Coretan Basayev: 2020
Telepon Hantu

Telepon Hantu

 

Genduk Nicole sangat penakut dan terkadang membuat Jon Koplo, suaminya, jengkel sendiri. Selain kebiasaan malam-malam membangunkan untuk minta diantar ke kamar kecil, Nicole kerap menggagalkan rencana Koplo keluar malam.

Nicole takut ditinggal di rumah. Apalagi dia sedang mengandung calon anak pertama. Manjanya tambah luar biasa.

Suatu hari, teman sekolah Nicole yang bernama Lady Cempluk meninggal dunia karena menderita sakit cukup lama. Nicole sangat akrab dengan Cempluk karena pernah sekelas dan semeja saat sekolah.

Begitu kabar kepergian Cempluk muncul dari grup alumni sekolah, Nicole langsung minta diantar takziah ke rumah duka.

Malam harinya, Nicole mendadak kumat jiwa penakutnya. Beralasan selalu teringat sama Almarhumah Cempluk, ia tak berani ke mana-mana, bahkan di kamarnya sendiri ketakutan. 


 “Mas Koplo mau ke mana?” tanya Nicole melihat suaminya berdiri.

“Ya Allah, Nic, aku cuma mau ke WC. Kamu mau nungguin orang buang air besar?” sergah Koplo sambil melangkah ke WC di dekat dapur.

“Jangan lama-lama,” pesan Nicole sambil memindah kanal TV.

Koplo baru membuka pintu WC saat mendadak istrinya berteriak dari ruang depan. Nicole sudah menyusul ke ruang belakang. “Mas, ada telepon hantu, Mas! Aku wedi tenan, Mas!”

“Telepon hantu apa?”

“Lihat saja sana, HP-ku di dekat TV!” jawab Nicole sambil menunjuk ke ruang depan.

Terpaksa Koplo menunda buang hajat. Bergegas ia menuju ke depan meraih gawai Nicole dan melihat layar perangkat Android itu.Rupanya ada panggilan Whatsapp masuk dari nomor Almarhumah Cempluk. Istrinya girap-girap ketakutan karena foto profil pemanggil adalah wajah Cempluk tersenyum.

Koplo segera mengangkatnya, dan ternyata Tom Gembus, suami Cempluk. “Halo, Mas, ada apa ya?”


“Mas, mau minta tolong penjenengan kirimi token listrik dulu nggih, ini acara tahlilan di rumah malah meteran listrik bunyi tanda mau habis,” kata Gembus.

“Oh iya, Mas, segera saya kirim, sebentar,” jawab Koplo.

Setelah menutup telepon, Koplo berkata ke istrinya. “Segera kirim token listriknya, kalau kelamaan bisa ditelepon hantu lagi kamu!” kata Koplo.

Pengirim: Wakhid Syamsudin
Weru, Sukoharjo

Dimuat di harian Solopos edisi 16 Desember 2020

Panen Mangga

Panen Mangga

 

Saat sengatan matahari mulai panas, Mbah Tom Gembus yang tinggal di Weru, Sukoharjo, pulang dari sawah. Mbok Cempluk, istrinya, sedang pergi.

Mbah Gembus menuju ke sumur samping rumah dan membersihkan badan. Saat gebyar-gebyur mandi, terdengar suara orang memanggil. “Kulanuwun, Pak, Bu, wonten tiyange mboten nggih?” begitu suara Jon Koplo memanggil.

Nggih, sekedhap, nembe adus,” seru Mbah Gembus dari kamar mandi.

Jon Koplo adalah penebas mangga. Dia melihat-lihat satu-satunya pohon mangga yang tumbuh di pekarangan Mbah Gembus yang tengah berbuah lebat bergelantungan.

“Mangganya dijual mboten, Mbah?” tanya Koplo.

Lha berani berapa, Mas?” respons Mbah Gembus.

“Kalau boleh, Rp300.000, Mbah,” jawab Koplo. Terjadilah tawar-menawar. Disepakati harga buah mangga satu pohon itu Rp400.000.

Koplo segera mengeluarkan dompet dan menyerahkan empat lembar uang pecahan Rp100.000. Tak lama kemudian, Koplo sibuk memanen mangga Mbah Gembus.

Beberapa saat kemudian Mbok Cempluk pulang dari pasar dengan tenggok berisi belanjaan. “Dari pasar, Mbok? Tumben belanja macam-macam? Kayak lagi banyak duit saja,” sambut Mbah Gembus.


Lha memang aku lagi ketiban rezeki, Kung,” jawab Mbok Cempluk. “Rezeki apa?” tanya Mbah Gembus. “Tadi waktu sampeyan ke sawah, ada penebas membeli mangga kita, Rp450.000. Ya, aku langsung setuju dengan harganya,” kata Cempluk.

“Penebas mangga? Lha itu, aku baru saja menjualnya,” kata Mbah Gembus sambil menunjuk Koplo.

Weh ladhalah, aku sudah menerima juga dari penebas yang tadi pagi ke sini, Kung. Rp450.000! Ini sebagian sudah aku pakai belanja,” kata Mbok Cempluk.

Lha terus, mana penebasmu, Mbok?” tanya Gembus.

“Orangnya sudah bayar, katanya mau dipanen siang nanti. Kok ini malah sampeyan jual lagi, Kung?” Mbok Cempluk jadi kesal sendiri.

Mendengar keributan sepasang kakek-nenek itu, Jon Koplo menghentikan panennya. “Pripun, Mbah?  Mangganya sudah ada yang bayar sebelum saya?” tanyanya. “Mohon maaf sekali, ya, Mas. Ini duitnya saya kembalikan saja,” jawab Mbah Gembus.

Tetapi Koplo tak mau mengalah. Karena Koplo terus mendesak, akhirnya transaksi dengan penebas pertama yang dibatalkan. Namun Mbok Cempluk tetap muring- muring. Apalagi selisihnya Rp50.000.

Ya wis, Mbah. Biar Mbah Putri legawa, uang tebasnya saya tambah Rp50.000 enggak apa-apa,” kata Koplo mengeluarkan dompetnya. Mbok Cempluk semringah tak jadi merugi.

Pengirim: Wakhid Syamsudin. Weru, Sukoharjo

Dimuat di koran Solopos edisi 10 November 2023

Musim Layangan

Musim Layangan


Di kampung Jon Koplo, daerah Weru, Sukoharjo, sedang musim layang-layang. Para petani menghalau burung yang menyerbu padi sambil menerbangkan layang-layang di sawah.

Anak-anak dan remaja turut meramaikan dengan aneka model layangan. Alkisah, Genduk Nicole, bocah yang masih duduk di pendidikan anak usia dini (PAUD), ingin mengikuti kakaknya, Tom Gembus, bermain layangan.

Tapi Gembus tidak mau mengajaknya karena merasa terganggu. Mau tak mau, Jon Koplo, bapak kedua bocah itu, menemani Nicole ke sawah membawa layang-layang yang baru dibeli.

Jon Koplo membawa si kecil Nicole ke dekat Gembus dan kawan-kawannya menerbangkan mainan tradisional itu.

Bocah-bocah usia SD itu kesulitan menerbangkan layang-layang. Ada yang sempat meninggi saat ada angin, tapi tak lama kemudian meluncur turun. Sebagian tersangkut pohon pisang.

Gembus berusaha menerbangkan layangan meski jatuh terus. Jon Koplo menawarkan bantuan, tetapi ditolak.

Ya wis, Bapak mau menerbangkan layangan Nicole saja,” kata Koplo.

Koplo segera membantu Nicole menerbangkan laying-layang. Layang-layang Nicole ternyata langsung terbang tinggi. Sayangnya, benangnya hanya pendek.

Melihat layangan adiknya terbang, Gembus mendekat. “Keren, layangan Genduk langsung bisa terbang,” komentarnya.

Melihat Gembus mendekat dengan layangan tergulung, Koplo berkata, “Le, mbok benang kamu disambungkan ke benang Genduk saja biar bisa tinggi. Masak ini terbang cuma segini saja.”

“Iya, Pak, ini pakai saja.”


Koplo memutus layangan Gembus dan menyambungkan benang itu ke benang layangan si adik. Layangan Nicole kian terbang tinggi. “Keren, kan,” kata Koplo senang.

Tapi tiba-tiba terdengar Nicole menangis keras. Koplo lekas bertanya, “Ana apa, Nduk? Kok malah nangis?”

“Layangan Genduk turunin, Pak. Genduk enggak mau layangannya tinggi-tinggi,” rengek Nicole.

Lho, layangan ya bagusnya bisa tinggi, Nduk,” jawab Koplo. “Emoh, turunkan,” Nicole terus menangis.

Woalah, Nduk, layangan sudah bagus bisa terbang tinggi kok malah suruh nurunin.”

“Genduk enggak mau layangannya tinggi. Nanti malah hilang. Turunin, Pak, turunin,” Nicole terus merengek.

Koplo mengalah. Segera ia gulung benang layangan Nicole. Begitu layang-layang turun, Nicole berhenti menangis dan tertawa senang. “Dasar bocah enggak mudeng layangan,” begitu Koplo membatin.

Pengirim: Wakhid Syamsudin
Weru, Sukoharjo

Dimuat di koran Solopos edisi Sabtu, 10 Oktober 2020

Cernak: Gajah Pinokio

Cernak: Gajah Pinokio

 

Oleh: Wakhid Syamsudin

Ada murid baru di Sekolah Hutan Rimbun, anak gajah kecil bernama Rubi. Ia duduk semeja dengan Tian, anak lembu berkulit putih bersih. Tian sangat baik pada Rubi, bahkan sering mengajari Rubi pelajaran yang Rubi belum paham.

Sayang sekali, ada Wawa, anak monyet yang agak nakal. Ia menunjukkan sikap yang kurang bersahabat kepada Rubi. “Halo, Rubi, aku tahu kenapa hidungmu panjang,” kata Wawa saat jam istirahat dan berpapasan dengan Rubi dan Tian.

“Ada apa? Apakah ada masalah dengan hidungku?” tanya Rubi.

“Hidungmu panjang karena kamu suka berbohong, bukan? Ha ha ha ….” Wawa mengejek lalu tertawa, diikuti tawa temannya satu geng, Noma si anak kucing, Pila si anak kancil, dan Fuda si anak musang.

“Kalian ini bisanya mengganggu saja, pergilah bermain sana!” sergah Tian sambil mengusir mereka.

Wawa dan teman-temannya tetap tertawa-tawa tanpa menggubris usiran Tian. “Hati-hati, Tian, kamu berteman dengan tukang bohong, bisa ketularan,” kata Wawa pula.

“Aku bukan tukang bohong!” seru Rubi membela diri. Agak jengkel juga dia hingga belalainya bergerak-gerak.

“Lihatlah, semakin kamu berbohong, hidungmu akan semakin panjang. Seperti Pinokio,” ejek Wawa.

Sejak itu, Wawa dan teman-temannya memanggil Rubi dengan sebutan Gajah Pinokio. Rubi kesal, tetapi Tian menyabarkannya. Kata Tian, sikap Wawa memang begitu sehari-hari. Ia suka mengganggu teman yang tak disukainya.

Hari itu Rubi pulang dengan wajah muram. Ia ingin mengadu dan bertanya pada ibunya terkait hidungnya yang panjang. Ia malu diledek Wawa dan teman-temannya.

“Kenapa, Sayang? Apa sekolahmu kurang menyenangkan?” tanya ibu Rubi.

“Ibu, mengapa hidung kita panjang?”

“Ya, karena kita gajah. Dari zaman nenek moyang kita, hidung kita sudah panjang begini. Bukannya kamu sudah tahu manfaat hidung kita? Oh, ya, kamu harus menyebutnya belalai, Sayang.”

“Apa panjangnya disebabkan kebohongan kita, Bu?”

Ibu Rubi tertawa dan menggeleng. “Tidak ada hubungannya berbohong dengan keadaan belalai kita. Mengapa kamu bertanya begitu?”

 



Rubi menceritakan ejekan Wawa. Ibu mendengarkannya dengan tenang. Lalu ia menghibur Rubi agar tidak menganggapnya serius. “Dia hanya mencandaimu, Nak,” hibur ibu Rubi.

Siang itu Rubi bermain sendirian. Ia berjalan di hutan yang beberapa hari ini ia tinggali bersama ibu dan beberapa saudaranya. Keluarganya sebenarnya berasal dari Hutan Liar, tetapi ada bencana kebakaran besar yang membuat ia sekeluarga harus pindah ke hutan ini.

Saat itulah Rubi mendengar suara gaduh dari arah sungai. Sepertinya ia tidak asing dengan pemilik suara-suara itu. Bergegas ia berlari kecil kea rah sungai. Benar saja, di sana ia melihat Noma, Pila, dan Fuda berseru sambil menunjuk-nunjuk ke tengah sungai.

“Teman-teman, ada apa?” tanya Rubi.

Melihat kedatangan Rubi, nyaris bersamaan ketiga anak itu menjawab, “Wawa tercebur sungai dan tidak bisa berenang!”

Rubi terkejut saat dilihatnya Wawa timbul-tenggelam di tengah sungai. “Aku akan menolongnya,” serunya.

Tanpa pikir panjang, Rubi lekas menuju tepi sungai. Ia mengulurkan belalainya yang cukup panjang ke arah Wawa. “Tangkap belalaiku, Wawa!”

Wawa yang nyaris tenggelam melihat ada bantuan datang lekas menyambut uluran belalai Rubi. Ia cepat-cepat menangkap ujung belalai Rubi. Dengan cekatan Rubi menarik Wawa ke tepian. Berhasil! Ia telah menyelamatkan Wawa.

Dengan basah kuyub dan napas terengah-engah, Wawa berkata, “Untung, untung kamu datang, Rubi. Terima kasih.”

“Syukurlah, kupikir aku tak kuat menarikmu. Arus sungai cukup deras.” Rubi bersyukur puas.

“Eh, kamu memanggilnya dengan nama asli, Wa?” komentar Pila karena mendengar Wawa menyebut nama Rubi.

“Biasanya kamu mengajak kami menyebutnya Gajah Pinokio,” timpal Noma.

“Tidak apa-apa, teman-teman. Sesuka kalian saja memanggilku dengan sebutan apa,” ujar Rubi tidak marah.

“Rubi, maafkan aku, ya. Terima kasih juga karena sudah menolongku,” ucap Wawa tulus.

“Jangan sungkan, sebagai sesama makhluk Tuhan, kita harus saling membantu.”

“Aku tidak akan memanggilmu Gajah Pinokio lagi,” janji Wawa.

“Mengapa begitu?”

Wawa menunduk. “Kata ayahku, semua gajah memang berhidung panjang dan itu bukan karena berbohong.”

Sejak saat itu, Wawa mengubah sikapnya. Ia tak lagi mengejek teman lainnya. Rubi akhirnya menjadi sahabat baiknya. Sekolah Hutan Rimbun dipenuhi suasana persahabatan tanpa memandang perbedaan fisik.

***

Dimuat di Majalah Utusan edisi No. 09 Tahun Ke-70, September 2020

S. Prasetyo Utomo: Kiat Menembus Kompas

S. Prasetyo Utomo: Kiat Menembus Kompas




Menulis cerpen untuk media massa baik cetak maupun daring, memang sangat menantang bagi para penulis. Kali ini, tidak sembarangan, saya meresume sebuah diskusi yang berlangsung pada 8 Agustus 2020 lalu, dengan seorang penulis yang berkali-kali cerpennya dimuat di Kompas. Seorang dosen di Universitas Negeri Semarang yang juga penulis cerpen yang karyanya bermunculan di media massa. Dia adalah Dr. S. Prasetyo Utomo!

Prasetyo Utomo, menulis cerpen, novel, dan esai sejak 1983. Secara khusus terkait cerpen yang bisa tembus ke Kompas, ia mengatakan bahwa semua tema berpeluang dimuat di sana. Perlu digarisbawahi; eksotisme, kebaruan, defamiliarisasi, dekonstruksi, dan sudut pandang yang berbeda menjadi obsesi redaksi. "Mohon perhatikan cerpen minggu lalu, Sasti menangkap persoalan psikoanalisis kejiwaan seorang istri," katanya memberikan contoh.

Rata-rata cerpen Kompas memang obsesi sosial (politik) seperti Seno, Joni, Faisal Oddang. Cerpen Kompas spesial dalam style, struktur ending yang mengejutkan. "Jadi, kiat awal nembus Kompas adalah angkat tema eksotis, sudut pandang baru, style memikat, segar, menyentuh empati pembaca, dan sekali lagi: ending yang tak terduga," tegasnya.

Menurut penulis senior kelahiran Yogyakarta, 7 Januari 1961 ini, semua penulis memperoleh kesempatan yang sama. Pengarang sekaliber apa pun pernah ditolak Kompas. Kegigihan para penulis yang tembus di sana akan terbayar dengan kepuasan luar biasa dan tentu menarik karena honor yang disediakan Kompas adalah Rp 1,4 juta!

Prasetyo Utomo sendiri sudah sekitar 22 cerpen dimuat Kompas cetak. Dibukukan dalam Bidadari Meniti Pelangi (Kompas, 2005) dan Kehidupan di Bawah Telaga (Kompas, proses cetak). "Rentang waktu kirim ke pemuatan 3-5 bulan," kenangnya.

Proses kreatif yang dilaluinya adalah dengan mendengar/melihat objek, membaca, dan mengimajinasikan objek. Dalam menulis cerpen, bila ide kuat, imaji lancar, struktur memikat, ia bisa menyelesaikan dengan cepat, seminggu kirim. Tapi bisa juga memerlukan waktu yang lebih lama. Menggabungkan riset, mitos, imaji, memang butuh latihan panjang, terus-menerus. Pada waktunya akan matang. "Mentok hal biasa. Saya akan mengamati objek, membaca, diskusi, dan kembali nulis," katanya.

Penulis yang selalu meluangkan waktu tiap hari untuk menulis ini, mengatakan bahwa ide yang ada tak habis untuk ditulis. Soal waktu yang paling disukai, ia mengaku, "Pagi setelah salat subuh: bening."

Saat ditanya terkait sebesar apa pengaruh selera redaktur, Prasetyo Utomo mengatakan bahwa tiap redaktur mencipta hegemoni. "Hanya saja, Kompas lebih demokratis karena dipegang lebih dari 2 orang," ungkapnya. "Karena itu, saya cenderung nulis ke Kompas."

Luar biasa, ya. Kapan kiranya bisa menembus Kompas? Semoga resume singkat ini bermanfaat. Terima kasih buat Pak Prasetyo Utomo atas waktu dan ilmunya, juga Bunda Komala Sutha sudah menghadirkan para penulis sukses sebagai narasumber di grup kepenulisannya.


COD Basah

COD Basah


Genduk Nicole yang masih duduk di bangku SMA mencari uang jajan tambahan dengan menjadi reseller produk kecantikan yang dijual tetangganya.

Bermodal gawai android, ia mengunggah iklan di media sosial.

Sudah cukup banyak produk yang berhasil dijualnya. Seperti pada Minggu pagi yang cerah itu, ia bersiap untuk pertemuan dengan pemesan dagangannya atau biasa disebut cash on delivery (COD). Ia janjian dengan calon konsumen bernama Lady Cempluk di Alun-alun Sukoharjo.

Alun-alun sepi sekali. Padahal sebelum ada pandemi Covid-19, tiap Minggu pagi ada car free day (CFD) dengan pengunjung yang luar biasa banyak. Biasanya, pedagang kaki lima menggelar bermacam dagangan di sepanjang tepi alun-alun dan pinggir jalan. Kini meski masuk masa kenormalan baru, pemerintah daerah belum membuka CFD lagi.

Nicole melihat beberapa petugas memanfaatkan mobil pemadam kebakaran untuk menyirami tepi alun-alun. Ia memilih menghentikan motor di tepi sebelah selatan yang sudah basah tanahnya. Setelah menyetandarkan motor, ia membuka gawai dan menulis pesan kepada Cempluk untuk mengabarkan ia sudah menunggu di alun-alun.



Sambil menunggu kedatangan Lady Cempluk, Nicole membuka Facebook dan membaca unggahan teman-temannya. Terkadang ia tersenyum sendiri membaca komentar yang lucu. Tanpa disadarinya, mobil pemadam yang menyemprotkan air mendekati tempatnya.

Dan byuuur! Nicole gelagapan saat semburan air itu menghujaninya.

“Ya Allah, Pak, kok saya digebyur banyu?” Nicole berseru kesal. Tapi mobil itu sudah menjauh. Ia kibas-kibas bajunya yang basah kuyub. Gawainya juga dilap dengan tangan. Bersamaan dengan itu, sebuah motor mendekat.

“Mbak Nicole, ya? Saya Cempluk yang mau COD,” kata seorang perempuan muda yang turun dari jok belakang motor itu. Cempluk datang bersama pacarnya yang bernama Jon Koplo.

“Oh, iya, Mbak. Sebentar, ya.” Nicole membuka jok motor dan mengeluarkan tas kresek berisi pesanan Cempluk.

“Kok basah-basahan, Mbak?” Jon Koplo berkomentar melihat Nicole yang basah kuyub.

“Iya, Mas, disemprot mobil itu tadi,” jawab Nicole setengah malu sambil menunjuk mobil pemadam yang menjauh. “Padahal saya milih nunggu di sini karena tanahnya sudah basah, saya pikir tidak disentor lagi.”



“Tiap Minggu pagi memang alun-alun disemprot, Mbak. Buat ngusir pedagang yang nekat jualan dan anak muda yang pada nongkrong. Biar tidak ada kerumunan, biar tidak pada kena corona, Mbak,” kata Jon Koplo menjelaskan.

“Oh, begitu, ya, Mas? Tapi kan di sini tadi sudah disentor, pikir saya tidak muter sini lagi.”

“Kalau masih terlihat ada orang, mereka akan menyemprot ulang terus, Mbak. Makanya transaksinya dipercepat saja sebelum mobilnya muter ke sini lagi,” saran Koplo.

Mendengar anjuran Jon Koplo, Nicole dan Cempluk segera menuntaskan transaksi. Segera mereka meninggalkan alun-alun sebelum petugas itu mendekat lagi. Nicole yang masih agak kesal sempat tersenyum sendiri. “Jangan-jangan, mobil itu tahu kalau aku belum mandi. Asem, asem.”

Pengirim: Wakhid Syamsudin 

Weru, Sukoharjo



Nilai Sosial Tradisi Tilik

Nilai Sosial Tradisi Tilik


Oleh: Wakhid Syamsudin
[email protected]
Ketua rukun tetangga di Sidowayah, Ngreco, Weru, Sukoharjo


Film pendek berbahasa Jawa berjudul Tilik (menjenguk) hingga hari ini masih menjadi perbincangan di banyak forum dalam kehidupan sehari-hari dan di dunia maya. Sesuai judul, latar belakang film ini adalah perjalanan ibu-ibu menuju rumah sakit untuk membesuk Bu Lurah yang sedang sakit.

Di atas truk yang mengangkut mereka, para ibu itu bergosip tentang Dian yang dianggap bukan perempuan baik-baik. Tokoh yang paling menonjol adalah Bu Tejo yang menyebarkan segala gosip yang bersumber dari media sosial. Film berdurasi 30 menit itu diproduksi pada 2018 dan kini bisa ditonton di kanal Youtube Ravacana Films.

Lepas dari perbincangan terkait kemudahan mengakses informasi dan berita di dunia maya yang bagi sebagian masyarakat tanpa disertai langkah mengecek kebenaran atau kebiasaan bergunjing serta kisah rumah tangga rusak karena kehadiran orang ketiga, sesungguhnya tradisi tilik adalah kebiasaan baik yang unik di tengah masyarakat perdesaan.

Saya sebagai ketua rukun tetangga adalah salah satu penggerak tilik saat ada warga yang dirawat di rumah sakit. Pada film karya Wahyu Agung Prasetyo tersebut perjalanan warga berangkat tilik, sekitar pukul 14.00 WIB, bisa dipastikan setting waktu sebelum 2016 karena sejak tahun itu manajemen rumah sakit besar memberlakukan jam besuk pasien hanya pukul 11.00 WIB-13.00 WIB pada siang hari dan pukul 17.00 WIB-19.00 WIB pada sore hari.

Kebijakan ini untuk memberikan kesempatan istirahat yang cukup kepada pasien sekaligus memperhatikan masukan dari berbagai pihak terkait pengaturan jam mengunjungi pasien rawat inap. Aturan ini tidak berlaku selama pandemi Covid-19. Semua rumah sakit menutup pintu untuk warga yang ingin besuk menjenguk pasien yang dirawat.

Ikatan Sosial

Salah satu ciri khas warga perdesaan adalah ikatan kekeluargaan sangat kuat. Interaksi sosial masyarakat perdesaan memang lebih intensif. Komunikasi yang bersifat personal terjadi hingga di antara warga satu dan lainnya saling sangat mengenal.

Begitu pula dukungan kuatnya tradisi lokal yang turun temurun dari generasi ke generasi, seperti halnya kebiasaan tilik saat ada warga yang sakit. Solidaritas sosial masyarakat perdesaan yang begitu kuat ini lebih disebabkan adanya kesamaan ciri-ciri sosial ekonomi, budaya, dan tujuan hidup yang diimbangi pula adanya kontrol sosial yang terbentuk lewat norma dan nilai yang berlaku di masyarakat.

Nilai-nilai ini berlaku dalam kebiasaan tilik. Begitu mudah mengajak warga menyempatkan diri bergabung bersama warga lainnya menjenguk warga yang sakit karena merasa kelak bisa saja gantian ia yang sakit.

Sanksi sosial secara tidak langsung bagi yang enggan berpartisipasi dalam kegiatan bersama seperti itu menjadi kontrol sosial yang bersifat otomatis. Kebiasaan mengerjakan segala sesuatu bersama-sama menunjukkan keguyuban antarwarga yang menjadi kekuatan dalam menjaga persatuan dan kesatuan.

Solidaritas sosial dalam tilik tak perlu diragukan lagi. Rasa simpati dan empati menumbuhkan kerukunan dalam masyarakat perdesaan. Manfaat yang jelas dirasakan dari tradisi tilik bagi warga yang sakit adalah menumbuhkan semangat, memberi sugesti, dan memotivasi untuk segera sembuh agar lekas kembali berkumpul dengan keluarga dan tetangga seperti biasa.

Sementara bagi pengunjung, peserta tilik, adalah menambah rasa syukur atas kesehatan yang dikaruniakan Tuhan dan menyadari betapa mahalnya kesehatan. Bagi umat beragama, tilik orang sakit adalah amal yang penuh keutamaan.

Umat Islam, sebagai contoh, punya pedoman yang menguatkan tradisi tilik, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadis: barang siapa mendatangi saudaranya ketika sakit untuk menjenguk, maka ia berjalan di kebun surga hingga ia duduk, niscaya rahmat Allah meliputinya. (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majjah).

Tradisi Positif

Tilik sudah seharusnya dilestarikan karena merupakan tradisi yang bersifat positif. Manajemen rumah sakit tempat warga dirawat yang memberikan kesempatan warga mengunjungi pasien bisa memanfaatkan untuk mengenalkan fasilitas rumah sakit dan edukasi terkait kesehatan.

Edukasi itu bisa dilakukan melalui spanduk atau poster yang tertempel di tempat strategis atau interaksi langsung petugas medis dengan warga yang sedang tilik. Ketika film garapan Ravacana Films itu menampilkan tilik sebagai wadah bergosip, seyogianya tidak memunculkan stigma pada budaya tilik.

Kebiasaan memperbincangkan keburukan orang lain bisa terjadi di mana saja dan pada aktivitas apa saja selama di situ berkumpul banyak orang. Tilik akan tetap lestari selama masyarakat perdesaan masih memegang nilai-nilai luhur dan norma yang sejauh ini masih berkembang dan berdaya.

Kita tetap mengapresiasi produksi film pendek sejenis Tilik ini, apalagi bisa mengenalkan kekayaan tradisi lokal yang masih lestari di kampung-kampung. Kita semua tentu berharap solidaritas antarwarga semakin mengukuhkan rasa persatuan dan kesatuan yang mendukung terjalinnya kerukunan sehingga masyarakat kian kompak dalam kebaikan. 

Dimuat di Harian Umum Solopos edisi 29 Agustus 2020

Gara-Gara Maskeran

Gara-Gara Maskeran

Genduk Nicole mengikuti salat Iduladha di masjid kampungnya di Weru, Sukoharjo. Seperti Idulfitri kemarin, karena pandemi Covid-19 belum mereda, jamaah salat Ied wajib menggunakan masker, di samping juga harus patuh protokol kesehatan lainnya: wudu dari rumah, bawa alas salat sendiri, dan ada pengecekan suhu tubuh di pintu masuk halaman masjid.

Sesampai di masjid, Nicole melihat sudah banyak jamaah yang datang. Saf putri juga sudah nyaris penuh. Saat ia lingak-linguk mencari tempat, seseorang memanggilnya dengan melambaikan tangan dan menunjuk bahwa di dekatnya ada tempat kosong. Tanpa pikir panjang, Nicole mendekat ke arah perempuan itu meski ia kesusahan mengenalinya lantaran mengenakan masker.



Sampai di dekat perempuan itu, Nicole mendengarnya mempersilakan, tapi tak begitu jelas karena dari pengeras suara masjid terlantun bacaan takbir dari jamaah bapak-bapak di saf dekat imam. “Mangga, sini saja, masih longgar,” kata perempuan itu.

Inggih, matur nuwun.” Nicole menjawab dengan bahasa Jawa halus, takut kalau yang menawarinya orang tua. Ia sama sekali tak bisa mendeteksi wajah yang hanya kelihatan bagian matanya saja itu.

Sampai salat Iduladha dan khotbahnya selesai, Nicole masih belum tahu siapa perempuan di sampingnya itu. Akhirnya tiba saat pulang, perempuan itu berkata, “Bareng siapa tadi berangkatnya?” dan sialnya, Nicole belum juga bisa menebak pemilik suara.

Maka Nicole menjawab dengan bahasa halus lagi. “Kula piyambakan, kok. Wau Ibuk kalih Bapak sampun tindhak rumiyin,” kata Nicole mengatakan ia datang sendiri karena orang tuanya sudah duluan.

“Dari tadi kok kamu bahasanya halus begitu, kamu pangling sama aku?” tanya si perempuan sambil menurunkan masker yang menutup sebagian wajahnya agar Nicole mengenalinya.

Seketika Nicole mengenali perempuan itu. Dia seorang tetangga beda RT, dari segi usia memang lebih tua, tapi sebelum-sebelumnya ia tak pernah menggunakan bahasa Jawa halus kalau berbincang dengannya. “Saya kira siapa, Mbak, wong maskeran begitu, susah mengenalinya.”

Perempuan itu tertawa. Lalu ia bercanda, “Apa menurutmu juga aku sekarang jadi gendutan daripada sebelum ada corona? Tapi memang iya sih, bobotku naik drastis gara-gara di rumah kebanyakan tidur dan tidak ke mana-mana. Bawaanya juga ngemil melulu,” katanya bercerita tanpa ditanya. Ia memang terkenal ceriwis.

Mereka berjalan beriringan menuju ke luar area masjid. Nicole lebih banyak mendengarkan perkataan si perempuan dan hanya menjawab seperlunya saja. Hingga tiba di perempatan, Nicole berbelok ke timur dan perempuan itu menuju arah barat karena rumah mereka memang tak lagi searah.

Baru dua langkah Nicole berjalan, perempuan itu berseru ke arahnya, “Lho, kok kamu ke timur, mau ke mana? Nggak langsung pulang?”

Nicole agak heran dengan pertanyaan itu. “Lha rumah saya sana, Mbak,” kata Nicole sambil menunjuk ke timur.



“Tunggu, tunggu, kamu bukan Lady Cempluk, ta? Jangan-jangan aku salah orang?” si perempuan mendadak curiga.

“Aku Nicole, Mbak.” Genduk Nicole lekas menurunkan maskernya juga. Dan perempuan itu akhirnya heboh sendiri.

“Ya Allah, dari tadi kupikir kamu Lady Cempluk tetangga depan rumahku. Jebul kamu Genduk Nicole. Badala, tiwas dari tadi aku ngomong ngalor-ngidul.”

Mau tidak mau, Genduk Nicole ikut tertawa melihat tingkah perempuan itu. “Saya kira cuma saya yang pangling Mbak pakai masker. Jebul jenengan lebih parah, saya Nicole bukan Lady Cempluk.”

Dan jamaah yang jalan dekat mereka ikut tertawa menyaksikan kejadian lucu itu. Ada-ada saja, gara-gara masker nih!

*) Versi asli yang saya kirim ke Solopos. Dimuat di rubrik Ah Tenane pada 19 Agustus 2020

Salah Dengar

Salah Dengar



Selepas salat Isya, Jon Koplo membuka gawainya. Terkejutlah dia saat membuka grup WhatsApp alumni sekolahnya yang mengabarkan berita duka. "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun," begitu dia refleks berucap.

Lady Cempluk, istrinya, yang tengah menonton acara televisi bersama Genduk Nicole, anak semata wayang mereka, otomatis penasaran dibuatnya. "Siapa yang meninggal, Mas?" tanya Cempluk.

"Temanku, Tom Gembus, Dik," jawab Koplo.

"Tom Gembus?" tanya Cempluk sambil mengingat-ingat. "Yang sekitar sebulan lalu main ke sini itu, ya, Mas?"

"Iya. Kasihan, anak-anaknya masih kecil-kecil," sahut Koplo lagi.

Jon Koplo bergegas berganti baju dan memakai celana panjang. Dia keluarkan motor yang tadi telanjur dia masukkan ke rumah. Lady Cempluk mengambilkan jaket suaminya.

"Ngomong-ngomong, Alhmarhum meninggal kenapa, Mas?" tanya Cempluk.

Jon Koplo mengenakan helm sambil menjawab lirih, "Jantung, Dik."

"Astagfirullah," desis Cempluk. Jon Koplo sudah menstarter motor dan mengucap salam.

Jon Koplo tak menyadari ternyata istrinya salah dengar saat dia mengatakan penyebab kematian Gembus. Ternyata telinga Cempluk mendengarnya "nggantung" alias gantung diri. Jadilah sepanjang menunggu kepulangan suaminya, Cempluk yang pada dasarnya penakut diserbu rasa ketakutan luar biasa.

Cempluk mendadak teringat saat Tom Gembus berkunjung dan duduk di kursi tamu. Seolah-olah bayangan Gembus masih duduk di situ.



Menit demi menit horor bagi Cempluk. Jon Koplo baru pulang sekitar pukul 10 malam.

"Suwe men ta, Mas," protesnya karena merasa Koplo kelamaan.

"Mas, sebenarnya Almarhum punya masalah apa sih sampai segitunya?" tanya Cempluk.

"Masalah apa maksudmu?" kata Koplo balik bertanya.

"Lha itu, Mas Gembus sampai gantung diri begitu?" jawab Cempluk.

Jon Koplo melongo. "Gantung diri? Kata siapa?" tanyanya heran.

"Lha tadi, Mas Koplo pas aku tanya, katanya Mas Gembus nggantung."

Sesaat Koplo terdiam. Barulah kemudian dia sadar yang terjadi. "Ya Allah, Dik. Jebul kamu salah dengar. Aku tadi bilang jantung, bukan nggantung!" kata Koplo.

Dimuat di Solopos edisi Rabu, 5 Agustus 2020.
Belajar Tekun bersama Yus R. Ismail

Belajar Tekun bersama Yus R. Ismail


Siapa yang tak kenal Yus R. Ismail di dunia kepenulisan? Penulis kelahiran Rancakalong, Sumedang, Jawa Barat, ini sangat produktif. Selain banyak menerbitkan buku, cerpen-cerpennya pun banyak bertebaran di media. Sebut saja Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Republika, Kompas, Koran Tempo, Nova, Citra, Annida, Matra, Horison, dan banyak lagi, yang pernah memuat buah karyanya.

Saya cukup beruntung saat berkesempatan ikut diskusi daring dalam sebuah grup WhatsApp dengan Yus R. Ismail yang tak keberatan membagikan kiat menembus koran dan media lainnya. Diskusi yang diinisiasi Komala Sutha yang juga penulis produktif berdarah Sunda ini, terselenggara pada 5 Agustus 2020 sekira pukul 19.30 WIB selama lebih dari 1 jam.

Hadir dalam diskusi ini, penulis dari berbagai daerah. Sebutlah mereka: Pangerang P. Muda, Imam Fawaid, Reni Asih W, Mhd. Irfan, R. Amalia, Rilen Dicki Agustin, Negara Rofiq, Ayis A. Navis, Joe Papua, Nina Rahayu Nadea, Ahmad Zul Hilmi, Elli Rusli, dan Gandi Sugandi.

Diskusi dimulai dengan kiat memahami karakter media sehingga tulisan kita dapat dengan mudah diterima atau dimuat. Yus R. Ismail terbiasa baca-baca cerpen di media itu. Kalau ada aturannya ditaati. Misalnya aturan di Tribun Jabar yang menerima cerpen tidak lebih dari 8000 karakter. Atau di Kedaulatan Rakyat yang hanya 5000 karakter. Itu kebijakan Redaksi yang tidak boleh dilanggar kalau ingin dimuat.

Lantas, tulisan seperti apa yang dilirik oleh media? Pertama, kebutuhan media mengenai tema. Kalau Femina pastinya temanya wanita dan permasalahannya. Media juga memilih berdasar kesesuaian panjang-pendek naskah terkait ketersediaan tempat di media itu. Kita harus menyesuaikan. Pelajari satu-satu medianya. Sekarang ini banyak cerpen yang sudah diterbitkan media bisa kita baca seperti di Lakon Hidup misalnya.

Yus R. Ismail mengatakan bahwa ia sebenarnya lebih perhatian kepada “Cerpen yang akan ditulis”. Jadi misalnya kita menargetkan satu hari satu cerpen. Biasanya ia malam sebelum tidur baca-baca dulu cerpen, puisi, karya orang lain. Berhenti di cerpen yang disukai. Suka apanya saja, baik gaya bercerita, kejutan akhir, dan sebagainya. Dari cerpen itu kita harus dapat cerita baru. Tapi tentu saja ini beda dengan plagiat.

Redaktur adalah penjaga gawang media, jadi wajar jika seleranya jadi prioritas tulisan yang dimuat. Tapi pastinya Redaktur punya wawasan mengenai selera dia yakni cerpen baik pada umumnya.

Semua media sepertinya terbuka bagi penulis baru. Jadi tinggal kita pasang target, sambil belajar, kirim semua media setiap bulan minimal satu cerpen. Tunggu saja nanti juga pasti ada kejutan. Tapi memang harus dipelajari medianya. Seperti tadi, panjang-pendek naskah, dan tema.

Menurut Yus R. Ismail, nama-nama penulis senior pastinya ada prioritas. Tapi ia mengingatkan bahwa penulis senior pun awalnya juga junior. Mereka juga mengawali. Kalau cerpen kita belum tembus-tembus, tetap kirim saja terus. Yus R. Ismail tidak lagi merasa surprise bila dimuat suatu media, karena perhatiannya memang semakin ke “cerpen yang ditulis”. Setelah selesai baru “disesuaikan” mau dikirim ke media yang mana. Bila tidak dimuat, “disesuaikan” lagi untuk dikirim ke media lain. Terus saja begitu. Kalau ingin nanti banyak kejutan, ia menyarankan mengirim 30 cerpen dalam sebulan. Kalau meleset hanya 20 naskah, itu kan sudah hebat, katanya.

Soal cerpen dengan tema lokalitas daerah, selain berpotensi dimuat di koran daerah tersebut, juga memungkinkan dimuat oleh media yang notabene dari daerah lain. Misal mau mengangkat lokalitas Madura, dikirimnya ke media Padang Ekspres. Yus R. Ismail mengaku juga lebih banyak menceritakan lokalitas Sunda, dan banyak juga yang tembus di Padang Ekspres, Lampung Pos, Sulawesi Tenggara. Penting untuk mencoba mengirim. Kalau tidak dimuat 3 bulan, kita tinggal belokkan ke media lain.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah relasi penulis dengan redaktur bisa membuat penyeleksian karya yang kita kirim ke media tertentu cepat diperiksa di meja Redaksi? Menurut Yus R. Ismail, hal itu bisa jadi ada. Tapi yang paling utama: Kita mengirim naskah terus. Ia mengakui kebanyakan hanya tahu nama redaktur-redaktur media. Yus R. Ismail juga bersahabat dengan redaktur Tribun Jabar dan Pikiran Rakyat, tapi banyak cerpennya yang tidak dimuat di media tersebut. Terlebih untuk pengiriman naskah ia tetap mengirim lewat jalur redaksi, bukan ke pribadi sahabatnya itu. Kalau ketemu, ia pun tidak pernah mengobrolkan naskah. Hal ini biar redaktur enjoy juga, kalau mau menolak naskah dari sahabatnya pun tidak segan. Selain itu, Yus tidak kenal sama sekali dengan redaktur Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Media Indonesia, Republika, dan lainnya, tapi bisa dimuat di sana.

Faktor lain yang cukup menentukan sebenarnya adalah keberuntungan, naskah kita dianggap bagus, cocok, naskah lain tidak berkenan di hati redaktur, dan sebagainya. Makanya, paling penting bila kita ingin dimuat suatu media adalah dengan mengirimnya. Tidak dimuat, kirim lagi saja. Bandel saja kita kirim terus. Berjuang terus. Akan tiba saatnya naskah kita dimuat, bahkan dimuat lagi dan lagi.

Yus R. Ismail juga mengingatkan agar penulis tetap harus belajar. Cerpen yang dimuat Koran Tempo itu seperti apa dan mengapa susah nembus. Kita harus baca cerpen2 yang dimuat di sana... Trik tadi itu, baca dan berhenti di cerpen yang kita suka, lalu berimajinasi deh sampai ketemu cerpen kita dan tuliskan.

Ia menyarankan para penulis untuk pasang target pribadi. Kalau Yus sendiri, dulu langsung menarget tinggi. Setiap hari harus menulis cerpen. Baca-baca malam, eksekusi bada subuh. Terus saja begitu. Meski tidak melulu tercapai, tapi sebulan bisa 10, apalagi 20, itu juga luar biasa. Kirim ke media, targetkan 30 cerpen sebulan.

Awalnya Yus memang menulis bertiga, yakni bersama istri dan anaknya. Tapi sepertinya sekarang sudah beda jurusan masing-masinh. Yus sendiri memilih bercerpen sastra, sang istri asyik di buku anak, dan si anak malah pilih nge-youtube.

Kemudian untuk merotasi tulisan, biasanya 3 bulan tidak dimuat ia akan kirim ke media lain. Kecuali media tertentu semisal kompas.id yang lebih panjang masa tunggunya sampai 6-7 bulan. Untuk prioritas pilihan media, Yus memilih yang honornya lebih besar dulu, jika tidak dimuat, kirim ke media berikutnya, sesuai honor. Meski tak semua harus begitu.

Yus R. Ismail dalam menulis cerpen banyak yang selesai sekali duduk. Sebelum menulis, jalan cerita harus sudah selesai di kepala. Kalau belum selesai, maksa juga sampai selesai. Kecuali bila menyerah, ya sering juga yang bersambung kemudian.

Ia juga menyarankan selain menulis karya berbahasa Indonesia, sebaiknya juga menulis dalam bahasa ibu. Terutama yang orang Jawa, banyak media berbahasa Jawa. Menulis di dua bahasa, medianya tentu jadi banyak. Di Sunda juga ada carpon.

Trik yang bisa dicoba adalah menerjemahkan cerpen bahasa Indonesia ke bahasa daerah dan sebaliknya. Tidak ada larangannya. Orang lain dapat proyek, bayarannya mahal, kita punya proyek pribadi dalam rangka memperluas pembaca saja.

Bagi penulis, sifat pemalas harus dihilangkan. Nikmati saja, senangi. Baca cerpen orang lain, berhenti pada yang kita suka, dan berimajinasi. Jangan malas lagi. Belum ketemu ide, baca lagi cerpen, berhenti pada cerpen yang suka, dan paksa itu otak untuk dapat plot. Saat nulis baru pake hati.

Demikian diskusi seru bersama Yus R. Ismail. Semoga mampu memotivasi siapa saja yang ingin menekuni dunia kepenulisan. Tidak ada yang instan, semua berproses dengan perjuangan. Selamat berjuang!


Spanduk Corona

Spanduk Corona


Jon Koplo berkunjung ke rumah Tom Gembus, temannya yang tinggal di daerah Weru, Sukoharjo. Cukup lama ia tidak main ke sana karena pandemi Covid-19 yang membuatnya bersabar tidak keluar rumah.

Bahkan Lebaran tahun ini dia urungkan niat silaturahmi ke rumah Tom Gembus, meski tempat tinggal mereka berada di satu kabupaten.

Jon Koplo datang dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, yakni menggunakan masker. Di depan rumah Gembus juga ada padasan air dan sabun yang disediakan untuk cuci tangan. Gembus menyambutnya sambil bercanda boleh apa tidak bersalaman. Lama tidak bersua, Koplo merasa tidak afdal jika tidak salaman.


Keduanya mengobrol di ruang tamu, sambil menikmati teh hangat bikinan Lady Cempluk, istri Gembus. Tak berselang lama, terdengar suara azan zuhur dari masjid. “Sudah azan, yuk kita berjemaah ke masjid dulu,” ajak Gembus yang memang rajin ke masjid.

Mendengar ajakan itu, Jon Koplo agak segan. Koplo sadar sedang berada jauh dari rumah dan pikir-pikir untuk masuk ke tempat umum di tengah pandemi. Cempluk lekas berkata, “Saya ambilkan sajadah dulu. Jemaah di masjid sini diharuskan pakai masker dan bawa sajadah dari rumah, Mas Koplo.”

Mendadak Koplo baru ingat saat lewat perempatan masjid tadi ada spanduk bertulis “Selama masa pandemi Covid-19 masjid ini hanya untuk berjamaah warga sekitar saja”. Lekas dia berkata kepada Gembus, “Bukannya masjid sini tidak boleh untuk orang luar, Mbus? Tadi aku baca spanduknya.”

“Ah, itu spanduk dari sejak awal corona, Plo. Sekarang kan sudah new normal, sudah boleh buat siapa saja, asalkan tetap pakai masker,” kata Gembus mematahkan alasan temannya.

Koplo tak menolak lagi. Diikutinya Gembus yang berwudu di padasan depan rumah.. Lady Cempluk sudah menyiapkan dua sajadah untuk suami dan temannya itu. Tak berapa lama kemudian kedua sohib karib itu berjalan kaki ke masjid yang jaraknya memang dekat.


Saat sampai perempatan, Koplo bermaksud menunjuk spanduk yang tadi dilihatnya. Ternyata spanduk itu jatuh karena talinya terlepas. Mungkin ada angin yang meniupnya hingga tali rafia yang mengikatnya putus dan spanduk itu nglumbruk di tepi jalan. “Lho, spanduknya putus, Mbus,” ujar Koplo.

Gembus baru menyadarinya. “Wealah, iya. Ini pasti gara-gara kehadiranmu, Plo. Spanduknya jatuh. Berarti aturannya tidak dilanggar. Kan sudah tidak ada larangan untuk orang luar. Hahaha,” canda Gembus.

“Kok bisa begitu ya, Mbus? Ada-ada saja kamu tuh.” Keduanya tertawa bersama sambil meneruskan jalan ke masjid.

Pengirim: Wakhid Syamsudin
Weru, Sukoharjo


Dimuat di Harian Umum Solopos edisi 28 Juli 2020.

Poorna, Penakluk Everest Termuda


Sebuah film inspiratif berjudul Poorna. Diangkat dari kisah nyata tentang Poorna Malavath yang diperankan oleh Aditi Inamdar, seorang gadis miskin dari keluarga suku berbahasa Telugu di daerah Pakala, distrik Nizamabad di negara bagian Telangana di India, yang berhasil mencatatkan rekor sebagai pendaki puncak Everest termuda pada usia 13 tahun 11 bulan atau hitung saja 14 tahun.

Semangat belajar Poorna di tengah kemiskinan dikobarkan oleh Priya, sahabat, kakak sepupu, sekaligus tetangga sebelah rumah, yang mengenalkannya pada mimpi bersekolah. Priya sendiri harus menerima nasib sebagai gadis suku dengan kenyataan adat yakni dinikahkan muda oleh orang tuanya, yang memupus impian dan cita-citanya.

Poorna belajar di sebuah lembaga pendidikan masyarakat Kesejahteraan Sosial Negara yang para gurunya identik dengan datang terlambat dan jatah makan yang tak memperhatikan gizi. Poorna sempat kabur dari sekolah karena tidak tahan dengan perlakuan yang diterima murid-murid di sana. Dibujuk oleh Dr.R.S. Praveen Kumar yang dibintangi Rahul Bose, sang sutradara, yang menjadi pendidik baru di lembaga tersebut, Poorna pun kembali ke tempat belajarnya itu.

Salah satu adegan Poorna bersama Praveen Kumar.
Awalnya ketika liburan, Poorna nyaris pulang ke kampungnya, saat itulah Priya menelepon dan menyarankan agar ia jangan pulang karena orang tuanya berniat mengawinkannya. Poorna mengurungkan kepulangan dan tanpa berpikir panjang lekas bergabung kelompok ekstrakurikuler panjat tebing yang hendak berlatih. Dan di situlah ia ternyata menemukan sebuah kenyataan bahwa ia memiliki bakat alami memanjat tebing, dan itu diketahui Praveen Kumar.

Cerita runut seputar perjuangan menjadi atlet panjat tebing, di antara bayangan rencana kawin muda oleh keluarganya, tarik-ulur dukungan pemerintah saat hendak membentuk tim ekspedisi Everest, bahkan kematian Priya saat melahirkan yang membuatnya shock, membuat film ini penuh warna. Lebih asyik ditonton sendiri daripada diceritakan di sini.

Poorna di puncak Everest
Sepanjang film, banyak pelajaran berharga tentang mimpi dan cita-cita. I wanted to prove that girls could do anything, that social welfare students could do anything, begitu semangat yang berkobar di dada Poorna. Saya ingin membuktikan bahwa anak perempuan dapat melakukan apa saja, bahwa siswa kesejahteraan sosial dapat melakukan apa saja.

Kutipan lain dari pesan yang disampaikan pelatih tim adalah: "Tidak ada yang datang dan pergi lebih dulu dalam pendakian, yang ada kita mendaki bersama."

Poorna Malavath dalam kehidupan nyata.
Ending film ini adalah pada tanggal 25 Mei 2014, di mana Poorna Malavath dan kawannya yang berusia 16 tahun, berasal dari kasta terendah Dalit, berhasil mendaki bersama 10 penunjuk jalan asal Nepal dan dengan bangga mengibarkan bendera India di puncak Everest.

Judul: Poorna
Rilis: 31 Maret 2017
Negara: India
Bahasa: Hindi
Sutradara: Rahul Bose
Produser: Rahul Bose, Amit Patni
Pemeran: Aditi Inamdar, Harsha Vardhan, S. Maria, Rahul Bose
Sinematografi: Subhransu Das
Distributor: Pvr Pictures.
Sharing Keseruan Nge-Blog Bersama Nova Nodiwa

Sharing Keseruan Nge-Blog Bersama Nova Nodiwa




Novarina Dian Wardani, author blog www.nodiwa.com berbagi kisah seru menekuni dunia kepenulisan di blog. Sesuai pengakuannya, pertama kali bikin blog pada tahun 2013, dan sempat dianggurin begitu saja, karena tidak tahu harus diapakan. Barulah 2016, mulai buat postingan, seiring bergabungnya ia pada komunitas yang mewajibkan anggotanya untuk membuat postingan setiap hari.

Tahun itu juga nama blog yang awalnya www.nodiwa.blogspot.com, berubah menjadi www.nodiwa.com, alias memakai domain yang berbayar. Saat itu Nova sudah mulai merasa nyaman dengan blog, bergabung dengan beberapa komunitas blogger, dan banyak info job dari komunitas-komunitas tersebut.

Job itu adalah menulis untuk diposting di blog, dan salah satu syaratnya adalah harus menggunakan blog dengan domain berbayar. Nova mengaku, saat itu, harga domain yang ia beli 125 ribu untuk setahun masa penggunaan.

"Job aku yang pertama datang dari stimuno. Saat itu, aku seperti tak percaya, brand ternama yang sedang campaign juga menjatuhkan pilihan dengan mengirim email padaku," kisahnya.

Wanita yang sehari-hari bekerja sebagai salah seorang ASN di Inspektorat Daerah Nganjuk ini, pada job perdana harus membuat postingan di blog, menulis tentang stimuno berupa review produk minimal 500 kata. "Aku akan dapat fee sebesar 100 ribu dan gratis produk stimuno untuk ku-review," kenangnya. "Pas dapat transferan, seneng banget dong. Meski bagi orang lain itu receh banget."

Postingan di www.nodiwa.com sebagian berisi review produk. Kadang karena ia memang pemakai produk itu, kadang dapat kiriman produk untuk di-review. "Lambat laun, ada yang melirik blog aku. Lantas menawarkan kerjasama," syukurnya. "Alhamdulillah, aku pernah bekerja sama dengan beberapa marketplace seperti Blibli dan Tokopedia. Ada juga Mataharimall.com. Kadang dapat produk gratis juga."

Kata Nova, fee dari job ini, tidak melulu transferan. Kadang berupa voucher yang bisa digunakan untuk belanja di marketplace yang menawarkan job.

Selain me-review, hingga kini, blog Nova masih dipercaya untuk job placement, di mana artikel sudah disediakan, tinggal publish di blog, dan dapat transferan. Blog itu mirip bikin postingan di media sosial semacam instagram dan facebook. Blog bertema khusus, cenderung sering dapat job. "Semua butuh proses dan perjuangan," ungkapnya.

Nova mengatakan, semua postingan harus mencerminkan blog yang nantinya jadi brand kita. "Bagiku, aku bikin postingan ya bikin aja. Nulis ya nulis aja. Ntar kalo ada yang nawarin kerjasama, alhamdulilah. Anggap bonus dari Allah."

Nova juga mengaku untuk konsisten menulis di blog memang tidak mudah baginya. Berbekal motivasi ingin berbagi lewat tulisan untuk dibaca banyak orang, ia pun menekuninya. "Yang diperlukan untuk berbisnis lewat tulisan adalah keyakinan kuat, konsisten dan tidak mudah menyerah," ungkapnya.

Untuk pemula, menurut Nova, sebaiknya mencoba blog yang gratisan dulu. Ada platform blogspot maupun wordpress. Setelah mantap nge-blog, bisa menggunakan domain atau hosting berbayar. Dulu ia pun belajar blog secara autodidak saat awal bikin blog. Hanya untuk mempercantiknya, ia minta tolong kepada teman yang kompeten.

Untuk mengawali, tidak ada kata lain selain: mulailah menulis, posting, dan biarkan orang lain membacanya. Kita tidak akan pernah tahu, tulisan yang mana sebagai pembuka pintu rezeki, bila kita tidak mencoba. "Kalau ada keyakinan, mau konsisten, dan mau terus belajar, insya Allah selalu ada jalan, termasuk membuka pintu rezeki lewat tulisan di blog," pungkasnya.

Resume ini disarikan dari obrolan kelas blog di grup WhatsApp komunitas Kopling (Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk), pada 20 Juni 2020 dimulai pukul 19:00 WIB.
Cemerlang Mendidik Anak

Cemerlang Mendidik Anak


Sebagai orang tua, maka kita punya kewajiban mendasar yakni mendidik anak seiring proses membesarkannya. Kesuksesan orang tua dalam mendidik tidak boleh hanya dibatasi pada sukses kehidupan dunia, tapi juga berorientasi pada kesuksesan kehidupan akhirat kelak.

Untuk mencapai tujuan mulia itu, sangat tepat kiranya kalau orang tua mencari referensi dari berbagai sumber, salah satunya buku bacaan. Sebuah buku berjudul 100 Ide Cemerlang dalam Mendidik Anak karya Iman Al-Mahdawi ini meringkas dan menjabarkan sejumlah kajian, pelatihan, eksperimen, dan pengalaman dalam hal pendidikan anak yang bisa diterapkan para orang tua.

Orang tua akan mendapat kesempurnaan pahala ketika bisa membuat hati anak senantiasa berhubungan dengan Allah Swt. Perkenalkan Allah Swt beserta nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tanamkan keharusan mengesakan Allah Swt, baik sebagai Tuhan Pemelihara Semesta maupun sebagai satu-satunya yang berhak disembah. Sehingga anak selalu merasa dalam pengawasan Allah Swt, kapan dan di mana pun berada.

Orang tua harus berusaha memberikan pengarahan-pengarahan berdasar Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw. Menanamkan rasa hormat pada Al-Qur'an dan membiasakan membacanya dengan etika-etika seperti membaca taawudz dan basmalah sebelum membacanya, juga menempatkan mushaf di tempat yang bersih dan mulia.

Di samping itu, berusahalah memosisikan anak selalu berhubungan dengan guru agama, ini merupakan metode yang digunakan oleh kaum salaf. Mengajak anak menghadiri majlis kajian hadits meski belum usia baligh, karena di tempat-tempat itu diliputi rahmat Allah Swt dan dikelilingi malaikat.

Orang tua juga musti mengarahkan perilaku anak, membiasakannya pada perbuatan baik dengan pengarahan, tugas, ataupun perintah secara bertahap. Pengarahan juga dengan memilih waktu yang tepat. Berbicara pada anak pun secara terus terang, tanpa berkelit-kelit atau berkelok-kelok. Biasakanlah juga untuk menghormati perasaan orang lain. Kenalkan hak dan kewajiban beriringan.

Ada bab khusus juga pada buku ini yang membahas larangan bagi orang tua dalam mendidik anak. Di antaranya menasihati anak atas kesalahannya di depan orang lain, apalagi orang banyak. Orang tua juga jangan terbiasa marah pada anak, tapi mengedepankan sikap tenang. Tidak boleh juga berlebihan memuji anak, memanjakan, dan menuruti semua keinginannya.

Sebagai orang tua harus selalu mengajarkan anak senantiasa berpikiran positif, keinginan tak harus selalu jadi kenyataan, dan memahami kegagalan bukan akhir segalanya. Di samping itu juga memotivasi anak agar percaya diri, memberinya kesempatan-kesempatan, dan tugas-tugas yang sesuai kemampuannya.

Pada bab akhir dianjurkan agar orang tua selalu menjaga kondisi kejiwaan diri agar maksimal mendidik anak, juga meningkatkan kemampuan diri dengan tetap belajar apa saja. Di ujung semua itu, tetap wajib berdoa kepada Allah Swt untuk kebaikan anak. Sungguh besar pengaruh doa dalam mendidik anak kita. Salah satu doa mustajab sebagaimana disebutkan hadits riwayat Muslim adalah doa orang tua untuk anaknya.

Judul buku: 100 Ide Cemerlang dalam Mendidik Anak
Judul asli: 100 Fikrah Dzahabiyyah li Tarbiyyah Thiflik
Penulis: Iman Al-Mahdawi
Penerjemah: Nashirul Haq, LC.
Penerbit: Irsyad Baitus Salam, Bandung
Cetakan: I, Juni 2007
Tebal: 112 halaman

Marahi Emosi

Marahi Emosi


ANAKKU sing nomer siji lanang dak jenengi Haikal, kelas 3 SD. Anak sing nomer loro isih PAUD, wadon dak wenehi sesilih Humaira. Padinane diceluk Kak Haikal karo Dhik Rara. Bocah sakloron iku sasat saben melek mripate mung padha regejekan bae. Kangmase ora gelem yen dolanan dirusuhi adhine, nanging sing cilik ora bisa yen kudu adoh saka kakange. Kanggoku kahanan mengkono ora dadi apa, malah ora patut yen anak loro ora tau kerengan. Ya mung bundhane sing kadhangkala jengkel ngulati bocah loro kok pijer kerah bae.

Sawijining dina, Kak Haikal muring-muring marang Dhik Rara amarga nalika dolanan robot dirusuhi adhine. "Ana apa, ta, Kak, kok muring-muring bae?" pitakone Bundha ngulati anak lanange bengok-bengok.

Kak Haikal banjur mangsuli, "Humaira kuwi lho, Bun, MMC!"

"Apa kuwi MMC, Kak?"

"MMC ki marahi emosi."


Aku sing lungguh maca buku ora adoh saka bocah-bocah melu krungu semaure Kak Haikal, ora bisa ngempet ngguyu. Apa meneh anak lanangku iku banjur ngomong kanthi jumawa, "Singkatan kuwi ciptaanku dhewe, apik ta? MMC, marahi emosi."

Wengine, wayah mapan turu, wis keliwat jam sanga, bocah loro iku durung iso merem. Dhik Rara wis wiwit mau njaluk dikeloni bundhane, ananging ya isih ana swarane. Kakange sing durung ngantuk ya wegah meneng. Akhire, aku melu gabung nek kamar melu gegojekan.

"Sak iki, ayo dolanan bedhekan. Ayah gawe bedhekan, Kak Haikal karo Dhik Rara gentenan sing njawab," tantangku marang bocah loro kuwi. "Dhik Rara dhisik ya, siap?"

"Siap!" Dhik Rara semangat anggone nunggu pitakonanku.

"Banyu sing mudhun saka langit diarani apa?"

"Udaan!"

"Pinter! Sak iki gilirane Kak Haikal, siap?"

"Siaplah!" Kak Haikal gage masang kuping.

"Apa sebabe wong pada anyel marang wong kang malesan, padahal kan dheweke ora tumindak apa-apa? Hayo, apa wangsulane?"

Kak Haikal katon bingung anggone goleki jawaban. Daktunggu sauntara limang menitan, anakku lanang kuwi lagi gelem nyerah.

"Yakin, wis ora gelem mikir meneh? Ya wis, jawabane gampang banget," ujarku.

"Apa jawabane, Yah?"

"Jawabane ... MMC!"

Kak Haikal melongo. Bundha dumadakan ngakak krungu jawaban pitakonku. "MMC marahi emosi?"

Wakhid Syamsudin
Sidowayah RT 01/RW 06
Ngreco, Weru, Sukoharjo.

Kamot ing Majalah Jaya Baya No. 43, Minggu III Juni 2020 kaca 48 ing rubrik Ana Ana Bae.

Jazbaa, Berpacu dalam Ketegangan

Jazbaa, Berpacu dalam Ketegangan



Benar, sebuah film India. Baru saja saya tonton di channel Zee Bioskop. Berkisah tentang kasus perkosaan dan pembunuhan terhadap seorang gadis bernama Sia. Tersangka sudah tertangkap, hasil penyelidikan Yoohan, seorang polisi yang diperankan oleh Irrfan Khan. Tersangka itu adalah seorang pengedar narkoba bernama Miyaaz Shaikh, dan sudah divonis pengadilan untuk sebuah hukuman mati. Tapi cerita tak berhenti di situ. Justru kisah baru dimulai!

Anuradha Verma sahabat Yoohan, pengacara kondang yang diperankan dengan sukses oleh Aishwarya Rai Bachchan, mendadak kehilangan putri tercintanya, Sanaya. Sanaya diculik seseorang yang ingin menukar keselamatan bocah kecil itu dengan kebebasan Miyaaz, tersangka pemerkosa dan pembunuh Sia!

Selanjutnya, detik demi detik sepanjang film adalah ketegangan luar biasa, di mana Verma harus berpacu dengan waktu mempelajari kasus pembunuhan itu. Mencoba menguraikannya hingga mengubah kesimpulan bahwa pembunuhan bukan dilakukan oleh Miyaaz. Terkuak juga keterlibatan pejabat bernama Mahesh Maklai, yang ternyata mencuci mayat Sia dengan alkohol untuk menghilangkan jejak pembunuhan sebelum membuangnya, karena anaknya adalah kekasih Sia, dan terbukti ada di lokasi saat pembunuhan terjadi!

Yoohan akhirnya bersimpati turut membantu sahabatnya itu membuka kembali kasus tersebut, terlebih setelah ia tahu Verma nekat menjadi pengacara untuk Miyaaz karena tekanan penculik Sanaya. Meski Yoohan sudah merasa sangat yakin bahwa memang Miyaaz adalah pelaku pembunuhan tersebut. Dan ia tak pernah salah menyelesaikan kasus yang ditanganinya.

Lalu apa yang terjadi kemudian? Seru deh pokoknya. Jelang ending, Miyaaz bebas dan putri Verma dilepaskan si penculik. Tapi ada twist ending yang menanti di ujung film, ketika Yoohan dengan sukses mengungkap pelaku penculikan itu.

Film ini disutradarai oleh Sanjay Gupta, dan merupakan film yang menandai kembalinya Aishwarya Rai Bachchan pasca kelahiran anak pertamanya. Aishwarya Rai sangat sukses memerankan Verma dengan segala emosional seorang ibu di tengah tekanan bekerja profesional sebagai pengacara yang wajib menang.

Banyak momen haru tentang makna kasih ibu dan kehampaan anak tanpa perhatian orangtua. Dialog-dialog Verma dengan ibunda Sia yang diperankan aktris senior Shabana Azmi. Sungguh, terlalu banyak anak tersesat jadi pengguna obat terlarang karena jauhnya perhatian orangtua.

Sekali lagi, saya puas dengan sajian film Bollywood. Seru, menegangkan, dan serba tak terduga.

Judul film: Jazbaa
Sutradara: Sanjay Gupta
Pemeran: Aishwarya Rai, Irrfan Khan, Shabana Azmi
Rilis: 9 Oktober 2015
Durasi: 123 menit
Bacaanku Sepanjang Mei 2020

Bacaanku Sepanjang Mei 2020


Buku yang aku baca di bulan Mei 2020 adalah:
  1. Novel Opera Jelaga karya Purwadi Joko Widodo tentang kisah Atika, seorang birokrat karier yang bertugas jadi sekretaris KPUD. 
  2. Buku Saku Ramadhan karya Muhammad bin Shalih Al-Munajjid tentang panduan di bulan suci (118 halaman) 
  3. Buku Panduan Praktis Menghitung Zakat karya DR. Ahmad Zain An Najah, MA tentang panduan zakat mal dan fitri (76 halaman) 
  4. Novel Balada Cito Citi karya Edi AH Iyubenu tentang perjuangan Cito dalam mencintai Citi (132 halaman)
Cerpen yang sempat kubaca di bulan Mei 2020 di antaranya:
  1. Cerpen Pengingat Kelak karya Indrian Koto di Kedaulatan Rakyat edisi 3 Mei 2020 tentang seorang penulis bertahan di tengah dampak korona.
  2. Cerpen Ajal karya Zainul Muttaqin di Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 10 Mei 2020 tentang kematian di tangan Tuhan di tengah imbauan tidak jamaah di masjid dahulu selama wabah korona.
Cerkak atau cerpen berbahasa Jawa yang aku baca di bulan Mei 2020 adalah:
  1. Cerkak Karantina karya Nono Warnono di Kedaulatan Rakyat edisi 3 Mei 2020 tentang usaha katering yang terdampak korona. 
  2. Cerkak Tangga Anyar karya Keliek Eswe di Kedaulatan Rakyat edisi 3 Mei 2020 tentang tetangga baru penjual tahu kupat.
Turun terus kualitas bacaku. Sedikit sekali yang bisa kubaca di bulan Mei 2020 ini....
Kehilangan

Kehilangan


Senin di awal Juni. Saya tidur cepat malam ini. Terbangun di sepertiga malam akhir, buka chat WhatsApp terkejut, ada kabar salah satu anggota komunitas ODOP meninggal dunia: Mbak Prajna Patriani. Saya ingat, belum lama ini (akhir Mei) ada tulisannya dimuat di Solopos pada rubrik Ah Tenane. Rupanya itu menjadi Jon Koplo pertama sekaligus terakhirnya. Inna lillahi wainna ilaihi rajiuuna.

Saya memang belum pernah sua Mbak Prajna, sebatas kenal di grup WhatsApp. Almarhumah adalah anggota batch 7 di ODOP, artinya beliau bergabung di komunitas itu kala saya menjabat ketua umunya waktu itu, 2019. Selanjutnya beliau aktif di program OTM (ODOP Tembus Media) yang saya gawangi. Beberapa tulisannya sudah masuk koran.

Terkejut, sedih, dan ada rasa kehilangan. Sama persis saat mendengar kabar meninggalnya Mbak Mutia Sadea dulu. Meski tak pernah sua langsung, kebersamaan di komunitas sudah menjadikan kami laksana keluarga besar. Kepergian almarhumah adalah kehilangan bagi kami.

Selanjutnya hanya doa yang bisa kami panjatkan kepada Sang Pemilik Nyawa. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Mbak Prajna, menerima segenap amal kebaikannya, menyempurnakan pahala Ramadannya, dan menempatkannya di surga. Allohumma amin. Semoga Allah juga menguatkan hati keluarga yang ditinggalkannya.

Kepergian Mbak Prajna menjadi perenungan. Kita semua pasti akan menghadap kepada Allah, kapan saja bisa terjadi dan di mana saja. Tak ada yang bisa menduganya. Sewaktu-waktu dan tanpa permisi terlebih dahulu. Seyogianya kita harus selalu bersiap diri. Perbanyak kebaikan, jauhkan diri dari segala kesia-siaan. Ya Allah, tunjukkan kami jalan lurus-Mu dan mudahkan kami menitinya. Hanya pada-Mu kami menyembah dan meminta pertolongan.

Rasulullah bersabda, "Orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk hari kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah." (HR. Tirmidzi)

Sungguh, Allah telah mengingatkan kita akan nasihat kematian dengan kepergian Mbak Prajna yang tak terduga kira ini. "Apa urusanku dengan dunia, aku di dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon setelah itu pergi dan meninggalkannya."
Balada Badala Cito dan Citi

Balada Badala Cito dan Citi


Buku kesekian dari Edi AH Iyubenu yang saya baca. Kali ini pinjaman dari Mbak Jihan Mawaddah bersama 3 judul buku lainnya, dari penulis yang sama. Saya jadikan pilihan baca pertama sebelum baca ketiga buku tersebut. Alasannya, buku fiksi ini paling tipis dibanding yang lain.

Buku ini diberi label Novel Komedi 18+. Berkisah tokoh utama Cito, panjangnya Citogog, panjangnya lagi (dan aseli) Muhammad Thoha bin Sulaiman bin Husein. Di usianya yang sudah matang-pohon alias waktunya menikah, Cito sedang memperjuangkan cintanya pada seorang mahasiswi cerdas, mapan, dan ayu bernama Citi. Kok pas ya namanya, Cito-Citi? Iyalah, suka-suka penulisnya.

Sekali lagi, novel ini dilabeli komedi, meski komedinya garing-garing. Coba simak contohnya;

"Kalau kamu hafal surat al-Ikhlas, akan kupertemukan dengan mamakmu. Bisa?"
Cito terdiam beberapa saat, lalu menggelengkan kepala, dan menunduk.
"Masak cah pinter ndak hafal al-Ikhlas, to?"
Cito menggeleng lagi.
"Lalu apa yang sudah hafal?"
"Qulhu...."
Lelaki itu tersenyum sendiri.
"Ya, coba...."
Tanpa menoleh, Cito mulai membacakan surat al-Ikhlas yang disebutnya Qulhu itu. Lancar sekali.
(Halaman 34-35)

Selanjutnya, untuk label 18+ nya, memang disebabkan banyaknya bertebaran kata makian nyaris tiap halaman, seperti contohnya: asu, jingan, jirut, goblok, bajigur, dan sebagainya. Pokoknya vulgar tanpa sensor tanpa pikir panjang. Ditambah guyonan saru tentang coli, ngacengan, dan sebagainya. Kalau ada bacaan lain, mending baca buku lain deh. Saya terpaksa menuntaskan karena kadung baca dari awal.

Penulisnya sendiri mengatakan bahwa buku ini adalah novel ra mutu yang ia selesaikan dalam 3 hari saja (5-8 April 2020). "Buat apa lama-lama menuliskannya, wong cuma novel ra mutu gini," katanya (halaman 7). Lagi pula, Edi menuliskan novel ngeres-misuhan ini dengan los dan sak karepe, alias masa bodoh saja soal tulisannya disukai atau dibenci orang.

Inti dari cerita dalam novel ini saya rasa disisipkan pada bagian akhir pada bab Kaidah Ushul Fiqh untuk Cito. Al-mukabbaru ya yukabbar (hal yang telah dibesarkan jangan dibesar-besarkan terus), al-yaqinu ya yuzalu bisysyak (suatu keyakinan tak bisa digugurkan oleh suatu keraguan). Jadi Citi tidak perlu meragukan cinta Cito hanya karena alasan takut kelak apa yang akan dimakan, tapi harus yakin dengan usaha Cito dengan kegigihannya mencari nafkah meski belum terlihat hasilnya sekarang. "Maka, menerima tresna Cito adalah keutamaan," begitu closing-nya.

Sekali lagi, kalau ada bacaan lain, mending tak usah baca buku ini deh. Serius!

Judul: Balada Cito Citi
Sub judul: Gampang Sayang, Gampang Kangen
Penulis: Edi AH Iyubenu
Penerbit: Diva Press
ISBN: 978-602-391-971-0
Cetakan: Pertama, April 2020
Tebal: 132 halaman

Mia Chuz: Harus Ada yang Menuliskan Kebaikan

Mia Chuz: Harus Ada yang Menuliskan Kebaikan


Awal bulan Mei tepatnya hari ketiga, dimulai sekira pukul 13:15 WIB, di channel Telegram INDONESIA MENULIS inisiasi KMO Indonesia, berlangsung sharing kepenulisan bersama Mia Chuz, penulis novel Wedding Agreement (2018). Berlimpah ilmu yang sayang untuk dibiarkan menguap. Makanya saya coba membuat resume di blog ini, biar bisa dibaca siapa saja yang berkenan mampir.

Penulis yang terlahir dengan nama Eria Chuzaimiah ini memulai dengan menyapa, “Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Saya ucapkan terima kasih kepada Indonesia Menulis yang memberikan kesempatan kepada saya untuk sharing dengan teman-teman semua. Terima kasih kepada teman-teman yang sudah meluangkan waktu untuk ikut sharing siang ini, insya Allah ada manfaat yang bisa diambil.”

Mia Chuz mengawali karir menulis dengan karya pertamanya Wedding Agreement, yang ternyata terbit secara Self Publishing. Yang mengagumkan, setahun setelah novel itu terbit, tepatnya 8 Agustus 2019, Starvision tertarik dan mengangkatnya ke layar lebar. Luar biasa, novel Self Publishing ternyata juga bisa dijadikan film!

Novel keduanya Rania (Lantunan Cinta di Sepertiga Malam), terbit di KMO Indonesia, kolaborasi bersama Ustaz Nasrullah, penulis sekaligus motivator Rahasia Magnet Rezeki. Lanjut novel ketiga Dearest Mai. “Sebenarnya, Dearest Mai ini adalah cerita yang pertama kali saya tulis di Wattpad,” kenangnya. “Gara-gara Dearest Mai, akhirnya saya ketagihan menulis.”

Penulis yang lahir di Jakarta dan besar di Palembang ini mengaku menulis di usia yang tidak muda lagi. Yakni saat sudah punya 3 anak, dan si sulung kelas 1 SMP.  Awalnya ia tidak merasa punya bakat menulis sama sekali. “Saya hobi baca sejak SD, tetapi tidak pernah menulis. Cerpen pun tidak,” ungkapnya.

Mia menyadari betul bahwa dukungan dari lingkungan itu berpengaruh besar. Banyak teman-teman yang men-support untuk menulis. Terutama sang suami. “Mereka membaca status-status di Facebook saya dan mengatakan tulisan saya enak dibaca. Padahal cuma status biasa, bukan cerpen yang saya post.”

Semula Mia mengabaikan itu semua. Ia tetap merasa tidak bisa menulis. Juga tidak pernah belajar kepenulisan. Sampai pada suatu waktu, perempuan berdarah Minang ini mempunyai alasan yang kuat untuk mencoba menulis. Ketika itu di Wattpad banyak cerita-cerita dewasa yang dengan leluasa bisa diakses oleh semua umur. Tanpa filter. Berawal dari kegelisahan itulah Mia akhirnya memutuskan untuk mencoba menulis.

“Berbekal nihil ilmu kepenulisan, saya menulis. Tujuannya cuma satu. Bisa memberikan alternatif bacaan yang baik untuk remaja. Karena anak saya juga sudah beranjak remaja. Minimal saya membuat tulisan untuk anak-anak saya. Itu saja niatnya. Nggak kepikiran ceritanya akan diterbitkan atau yang lain,” katanya.

Sejalan dengan waktu, tulisan Mia mulai banyak yang baca. Mulai ada yang kasih kritik dan saran, yang membuatnya bertekad untuk lebih belajar lagi agar bisa memberikan tulisan yang baik. Dari satu cerita pindah ke cerita lainnya. “Sampai akhirnya pada cerita saya yang ke-10, Wedding Agreement, ada penerbit yang tertarik untuk menerbitkan tulisan saya. Gimana rasanya? Unbelievable. Extraordinary. Ada yang mau beli novel yang saya tulis itu menurut saya ruarrr biasa!” kenangnya penuh rasa syukur.

Jujur, semula Mia mengaku malu untuk posting tulisan di Wattpad. Malu nanti tidak ada yang baca, atau dikomentari jelek. Sampai-sampai ia pakai akun di Wattpad bukan dengan nama asli agar tak ada yang tahu kalau itu akun miliknya. Mia merasa tidak percaya diri karena sama sekali tak paham bagaimana cara menulis yang baik dan benar.

“Ada saat-saat saya malas menulis. Bahkan sampai sekarang penyakit itu sering muncul. Percayalah, ini sebenarnya musuh utama penulis. Kalau sudah malas, kelar naskah yang belum selesai. Maksudnya kelar, nggak bakalan kelar-kelar,” candanya serius.

Bagi Mia, sebenarnya tak harus ada istilah writers block. Yang jelas itu ada karena kurang berusaha saja. Ketika berhadapan dengan laptop dan merasa blank, lalu meyerah dan menyalahkan writers block. Sebagai penulis ia mengaku sering mengalaminya juga. “Tips yang saya sering gunakan, dari Tere Liye, adalah … TULIS AJA DULU! Iyes. Ini tips yang ampuh buat saya. Nggak tahu mau nulis apa? Tulis aja dulu. Kalau jelek dan nggak berasa feel-nya gimana? Tulis aja dulu, percaya deh. Setelah selesai satu bab, kamu bisa baca ulang dan edit lagi. And it works for me all the time,” yakinnya.

Kendala dalam menulis selalu ada. Pilihan ada di tangan calon penulis, mau menyerah, atau lanjut? Kalau kata Pak Isa Alamsyah, NO EXCUSE! Kita sama-sama evaluasi, kenapa sampai saat ini belum juga menulis? Kenapa sampai saat ini belum menyelesaikan tulisan? Kenapa mencari alasan-alasan atas ketidakmampuan kita menyelesaikan tulisan? Kenapa menyalahkan hal-hal di luar diri kita ketika tidak menulis?

“Mau tahu gimana caranya bisa terus menulis sampai akhir hayat?” tanyanya beretorika. “Caranya: setting niat! Percaya, deh. Setting niat yang bisa mengalahkan semua rasa malas di dunia ini. Buat saya, itu satu-satunya jalan.”

Mia sangat mendukung siapa pun untuk menulis, kalau bisa semua orang menulis hal-hal baik. “Karena kalau kita tidak menulis hal-hal baik, maka akan ada orang lain menulis hal-hal tidak baik,” katanya. “Kalau bukan saya dan teman-teman yang menulis hal baik, siapa lagi? Tapi ingat, kalau bukan kita yang menulis, percayalah, akan terus ada orang-orang yang menulis untuk kebaikan. Bukankah sayang apabila kita tidak termasuk dalam barisan itu? Insya Allah ini menjadi penyemangat bagi saya sendiri untuk terus menulis dan menyelesaikan naskah yang belum selesai-selesai.”

Selanjutnya, Mia memberikan kiat untuk menarik pembaca agar mengunjungi tulisan kita. Meski awal menulis, ia sama sekali tidak memikirkan hal ini. “Yang aku pikirin cuma nulis aja, terus rajin update tulisan. Karena pembaca itu sukanya membaca tulisan yang penulisnya rajin update. Perbaiki kualitas tulisan, karena percaya deh, karya kita yang akan speak for it self. Kalau bagus, pasti akan dibaca orang. Jadi berikan yang terbaik untuk setiap tulisan yang kamu tulis. Sambil promo di media sosial. Pelan-pelan akan terbangun sendiri pembaca kita.”

Agar tulisan itu menarik dibaca dan tidak membosankan pembaca, biasanya Mia minta pendapat dari orang-orang terdekat. Menurutnya, sahabat pasti yang memberikan pendapat yang jujur. Kalau mereka bilang oke, berarti oke. Kalau mereka bilang belum oke, artinya harus memperbaiki tulisan.

Caranya, baca lagi novel-novel penulis favorit kita dan pelajari bagaimana mereka bisa menulis dengan bahasa yang enak dibaca. Amati Tiru Modifikasi. Intinya terus belajar dan jangan mudah menyerah. “A Fuadi saja nggak serta merta bisa menulis novel, lho. Dia perlu belajar selama satu tahun penuh untuk belajar menulis novel. Sampai akhirnya terbit karya yang fenomenal, Negeri 5 Menara. Jadi nggak ada yang instan di dunia ini,” simpulnya.

Mia berkomentar tentang penulis yang menjadikan ekonomi sebagai motivasi dalam menulis. Tidak ada masalah, katanya. Banyak juga yang menjadikan menulis sebagai penghasilan utama untuk keluarga. “Dulu, ketika kuliah di Mesir, Kang Abik menjadikan faktor ekonomi sebagai alasan menulis. Kenapa? Karena dengan beasiswa yang ada, tidak mencukupi kebutuhannya. Beliau perlu uang untuk sewa flat, untuk beli kitab, untuk biaya transportasi, untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau tidak menulis, maka fatal akibatnya.”

Niat itu bisa berkembang dan berubah-ubah seiring dengan perjalanan waktu. Apakah ada yang salah dengan motivasi secara ekonomi? Sama sekali tidak, kata Mia. Mencari nafkah untuk keluarga itu kan kewajiban. Dengan adanya uang masuk, banyak kebaikan yang bisa kita lakukan untuk membantu sesama.

Mia juga memberikan kiat membuat pembaca mendapat feel ketika baca tulisan kita. “Ketika menulis, kita harus masuk ke karakter yang kita reka. Ketika dia kesal, kita ikutan kesal. Ketika dia menangis, kita ikutan menangis. Ketika dia malu-malu, kita juga malu-malu. Ketika dia marah, kita juga marah. Ketika kita bisa merasakan apa yang karakter rasakan, maka pembaca juga akan merasakannya. Makanya jangan heran kalau melihat penulis sedang mengetik sambil nangis, itu biasa. He he. Artinya dia ikutan sedih ketika menuliskan karakternya sedang sedih,” begitu katanya.

Selanjutnya, agar cerita tidak bertele-tele, Mia menyarankan membuat plot yang tidak bertele-tele. Gunakan kalimat efektif saat menulis. Fokus, jangan keluar dari plot yang sudah ditetapkan. Bikin outline yang jelas. Ikuti kerangka yang sudah dibuat. “Awal menulis saya nggak pakai outline. Makanya cerita ngelantur ke mana-mana sampai 100 bab. He he, khilaf,” kenangnya. “Kalau sekarang, karena sudah belajar, saya menulis selalu menentukan karakter dulu, terus bikin plot, lalu outline. Setelahnya riset. Awal menulis saya ngambil cerita yang dekat dengan kehidupan saya, jadi risetnya nggak terlalu sulit. Buat saya, penting untuk persiapan yang matang, nggak apa-apa lama awalnya, tapi ketika menuliskan bab per bab, lancar.”

Ketika membuat plot di awal,  Mia sudah tahu ending-nya akan seperti apa. Jadi ia akan mengikut ending yang sudah dibuat itu. “Boleh nggak berubah? Boleh kok. Penulis mah bebas, he he. Tergantung kita mau ending seperti apa,” katanya pula. “Tapi saya sarankan, jangan terlalu sering berubah-ubah. Tetapkan di awal akan seperti apa. Matangkan perencanaan.”

Mia mengingatkan, menulis itu keterampilan. Semakin banyak menulis, maka akan semakin terasah. Jadi, berhentilah membuat alasan dan mulai menulis. Jangan sampai menulis saja belum tapi sudah banyak mengeluh tentang betapa susahnya menulis. “Saya sih berharap teman-teman belum puas dan terus belajar. Dan paling penting dipraktikkan.”

Semoga resume ini bisa menyemangati kita dalam menulis. Kalau mau follow Instagram Mia Chuz bisa di @mia_chuzaimiah, untuk akun Wattpad viveramia. “Kalau berminat membeli novel saya bisa langsung ke gramedia.com dan belanja online di sana. Sebagai bacaan selama di rumah saja,” tutupnya dengan promo.

Bagi teman-teman yang mau gabung di channel kepenulisan di Telegram, klik saja di sini. Dan untuk yang ingin bergabung di grup diskusi silakan klik tautan ini.

Selamat belajar menulis!