Coretan Basayev: Februari 2018

Jam Tangan Couple




"Bunda, sini deh," panggilku, sambil mata tidak berpindah dari memandangi layar monitor komputer.

Bidadari dunia-akhiratku itu lekas mendekat. Mengambil duduk di kursi plastik menyisi di sampingku. "Apaan, Yah?" tanyanya. Ia mulai melihat arah pandanganku.

"Pilihlah, Bun." Tanganku memutar-mutar mouse hingga kursor di monitor ikut berputar mengelilingi daftar katalog di sebuah market place yang kubuka.

"Ayah mau beli jam tangan?"

"Buat kita berdua."

"Couple?"

Aku tersenyum. "Yo-i!"

Istriku itu ikut senyum. "Bagus-bagus, ya, Yah."

"Tentu saja."

Cukup lama mata kami menelusuri pilihan yang disajikan di halaman toko online itu, makin banyak pilihan makin bingung menentukan. "Sebagai istri yang baik, Bunda manut sama pilihan Ayah saja."

"Dih ... suruh milih juga. Bilang saja bingung. Iya, kan?"

Istriku tertawa kecil. "Sudahlah, Ayah pilihkan saja mana yang Ayah suka. Apa pun itu, Bunda pasti suka."

Dan lagi-lagi aku juga yang harus memilih di antara banyak.

"Yang murah saja, Yah," usul istriku. Hahaha ... dia memang paling tahu soal itu.

Jam tangan couple yang kuorder datang beberapa hari kemudian. Dan syukurlah, barang sesuai yang kami inginkan. Kulihat istriku memang merasa cocok dengan jam tangan barunya.

Aku sebenarnya tidak begitu suka mengenakan jam tangan, apalagi sudah ada gawai yang bisa dijadikan penunjuk waktu. Kebiasaanku dari remaja sih, selalu enjoy apa adanya, bahkan cuek dengan penampilan. Padahal jam tangan kan bisa menunjang penampilan. Kebiasaan ini membuatku sering kelupaan mengenakan jam tangan couple kami saat bepergian bersama bidadariku itu.

Suatu hari, saat kami hendak ada perlu keluar. Kami sudah di atas motor.

"Kita belum terlambat, kan, Bun?" tanyaku. "Jam berapa sekarang?"

Istriku bukan menjawab pertanyaanku dengan baik dan benar, tapi malah bertanya, "Ayah punya jam tangan sendiri, kenapa tidak dipakai?"

Aku tertawa kecil. "Lupa nggak Ayah pakai."

"Lupa kok keseringan, Yah. Jangan-jangan Ayah memang nggak suka pakai jam couple-an sama Bunda."

"Eh, kok Bunda ngomong kayak gitu? Pastilah Ayah suka couple sama istri tercinta," sahutku cepat.

"Buktinya, berapa kali Ayah pakai jam itu saat bepergian sama Bunda?"

Deg. Aku mendadak terdiam. Sebegitu berartinyakah mengenakan jam tangan itu bagi istriku? Waduh ... rupanya ada yang harus kujadikan koreksi diri dari hal yang kuanggap sepele ini.

"Itu ... penting ya, Bun?"

"Menurut Ayah?"

Aku tertawa lagi. "Ya sudah, Ayah ambil jamnya dulu."

Lekas aku turun dari motor. Mengambil kunci dan membuka pintu rumah. Berjalan menuju tempat biasa jam tangan kugeletakkan. Tapi ... celingukan sana-sini, tidak terlihat penampakan jam tangan itu. "Bun ... lihat jam Ayah nggak?" tanyaku setengah berteriak.

"Ayah yang nyimpan sendiri, kan? Bunda mana tahu."

Aku jadi agak tidak enak hati juga sama istriku. Segera kudekati dia. "Nggak ada. Ayah lupa kali naruh di mana."

Istriku memasang wajah cemberut. Lalu ia merogoh tas tangannya dan mengeluarkan sesuatu. Dih ... jam tangan itu dibawanya rupanya.

"Ih ... Bunda ngerjain Ayah nih?"

"Makanya dipakai terus."

"Iya, maafkan Ayah. Ayah akan memakainya."

Itu sekelumit kisahku dengan jam tangan couple yang kubeli untuk (seharusnya) kukenakan bersama istriku. Dan sumpah! mulai saat itu aku berusaha untuk tidak lupa mengenakannya saat keluar pergi sama si Cantik.

Semoga ada hikmah dari cerita ini, ya, terutama buat suami-suami agar mencoba mengerti tentang perasaan istrinya. Hahaha. Ini serius, jangan anggap bercanda.

Sebelum diakhiri tulisan kali ini, aku mau menutup dengan sebuah iklan promosi. Buat kamu-kamu yang ingin membeli jam tangan, kalian bisa kepoin RADA TIME, pusat jam tangan original Indonesia. Your Watch Your Personality. Selain langsung ke official website-nya, kalian bisa juga membeli barang-barang RADA TIME lewat market place Bukalapak atau juga Shopee. Sumpah! Kamu keren kalau pakai jam tangan original!


Non Fiksi dan Nonfiksi, Mana yang Benar?

Non Fiksi dan Nonfiksi, Mana yang Benar?


Saya memang bukan ahlinya dalam menulis nonfiksi tapi bukan berarti saya tidak boleh membahas tulisan nonfiksi kan, ya? Tapi saya tahu diri kok untuk tidak membahas tulisan berat sebagaimana yang kita pahami tentang artikel atau tulisan nonfiksi. Saya hanya akan membahas hal terkecil dari itu yakni tentang penulisan kata baku nonfiksi yang sesuai dengan ejaan dalam bahasa Indonesia.

Sebelum saya ikut ODOP, saya pernah menulis nonfiksi dengan digabung. Belakangan setelah saya ikut komunitas ini, saya melihat banyak sekali teman-teman penulis yang menggunakan ejaan nonfiksi dipisah jadi non fiksi. Maka saya pikir ejaan yang saya gunakan selama ini keliru, akhirnya saya ikut-ikutan menggunakan ejaan nonfiksi yang dipisah.

Alkisah, dalam beberapa kesempatan, saya melihat tulisan di internet maupun buku bacaan yang menuliskan nonfiksi dengan disambung. Saya mulai bertanya-tanya sebenarnya penulisan nonfiksi itu yang benar disambung ataukah dipisah?

Rasa penasaran saya kemudian mencari jawaban dari mesin penelusuran Google dengan mengetik kata kunci "non fiksi baku". Akhirnya saya menemukan sebuah blog yang menuliskan list kata baku dan tidak baku dalam bahasa Indonesia. Di sana penulisan nonfiksi yang benar adalah digabung.

Lantas saya mengambil buku tentang PUEBI yang ada di koleksi rak buku saya, saya buka-buka dan menemukan pembahasan tersebut tentang kata turunan unsur gabungan kata, di mana jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai. Contohnya adalah poligami, dwiwarna, biokimia, nonkolaborasi, paripurna, prasangka, swadaya, dan dasawarsa. Semua contoh kombinasi itu digabung atau ditulis serangkai. Ada pun pengecualiannya adalah apabila bentuk terikat diikuti oleh kata yang huruf awalnya kapital, maka penulisannya dipisahkan oleh tanda hubung. Contohnya pro-Barat, non-Indonesia.

Jadi ternyata dari penjelasan tersebut saya menyimpulkan bahwa penulisan nonfiksi adalah digabung atau ditulis serangkai. Mungkin ada teman-teman yang ingin menyampaikan bahasan yang berbeda? Silahkan tulis di kolom komentar untuk didiskusikan. Terima kasih, semoga bermanfaat.

Dan ... Sertifikat RCO Itu Tertera Nama Saya



Apa, ya? Kebanggaan? Kepuasan? Atau apa saya harus menyebutnya? Yang jelas saya sangat bersyukur akhirnya bisa membaca nama saya pada salah satu lembaran sertifikat kelulusan RCO yang dipost di fanspage One Day One Post. Saya berterima kasih kepada Mbak Sakifah yang sudah mendesain sertifikat itu dan tidak melupakan nama saya. Semoga Allah membalas dengan pahala berlipat.

RCO adalah kependekan dari Reading Challenge One Day One Post. Tantangan membaca setiap hari pasca kelulusan ODOP Batch 4. Dan ini adalah angkatan kedua. Kali ini RCO digawangi oleh dua pije yang masih gadis, belum ada yang punya, yakni Mbak Ciani Limaran dan Mbak Sakifah Ismail.

Ikut program challenge ini, peserta wajib menyetor bacaan harian dengan mancantumkan jumlah serta quote dari halaman yang dibaca. Tantangan juga berbeda tiap tingkatannya. Dari jenis buku yang harus dibaca, fiksi atau non fiksi, dari kumcer ringan, buku tema politik, sampai buku berbahasa selain Indonesia. Juga tantangan mereview bacaan, menulis apa kesan kita, bahkan menulis cerpen yang terinspirasi dari kumcer yang dibaca.

Awalnya saat RCO ditawarkan ke grup besar ODOP Batch 4, saya masih mikir-mikir ikut atau tidaknya. Memang ini bukan program wajib, sih. Hanya saja saya pikir keras, apakah akan bisa mengikuti dengan baik, karena bisa dipastikan ini membutuhkan waktu khusus saban harinya. Harus bisa mengatur waktu, apalagi berbarengan dengan dimulainya kelas fiksi sebagai lanjutan ODOP dan meyongsong kewajiban menjadi pije pada salah satu grup kecil batch 5. Saya putuskan gabung RCO, kalau nanti akhirnya tidak kuat ya sudah akan saya tinggal ngopi. Saya bisa mundur sewaktu-waktu.

Hari demi hari selanjutnya adalah saya kembali bercengkerama dengan buku. Baik fisik maupun ebook. Di sela kesibukan harian, saya berhasil menyelesaikan setiap tantangannya, dan seingat saya, saya sama sekali tidak pernah hutang setoran. Meski kadang hanya setor jumlah minimal halaman.

Sedih juga sih saat melihat satu persatu peserta berguguran setiap kenaikan tingkat. Dari awalnya yang gabung sejumlah 33 orang, gugur di tengah jalan sebagian hingga tersisa 14 peserta yang lolos sampai tingkat akhir. Dan saya salah satunya. Saya bersyukur sekali. Saya nyaris gugur saat tantangan membaca buku bahasa selain Indonesia. Beruntung ada peserta berbaik hati yakni Ibun Irai Mahmud mengirimi saya ebook bahasa Malaysia yang menyelamatkan saya. Bahasa Malaysia yang serumpun dengan bahasa Indonesia masih bisa saya pahami, apalagi dulu saya penggemar lagu-lagu negeri jiran itu.

Dan penuh syukur, setelah mengikuti program ini selama 60 hari (17 Desember 2017 sampai 16 Februari 2018), saya terima sertifikat dari pije RCO. Saya bahagia bisa termasuk peserta lulus. Dan saya baru menyadari ternyata saya satu-satunya peserta laki-laki yang lulus, saat mengisi list nama untuk sertifikat beberapa waktu kemarin.

Harapan saya semoga saya bisa tetap meneruskan dan merawat tradisi membaca ini meski RCO sudah tamat. Kangen melihat format laporan setoran harian dan rekapan pije di grup. Ah ... jadi pengin ikut RCO yang akan datang. Semoga masih ada kesempatan itu.

Sukses ya, buat teman-teman yang lolos. Saya list di bawah deh!

1. Ciani Limaran
2. Sakifah
3. El-lisa
4. Dyah Yuukita
5. Arin Gudesma
6. Nindyah Widyastuti
7. Raihana Mahmud
8. Sovia Triana Anggurela
9. Isnaini Annisa
10. Chairul Nisaa`
11. Rika Widiastuti Altair
12. Lilik Herawati
13. Alif Kiky Listiyati
14. Wakhid Syamsudin

Saya Tidak Suka Baca Ebook


Pada era digital seperti sekarang ini, segala bentuk kemudahan dihadirkan oleh kemajuan teknologi. Begitu juga dialami dunia kepenulisan, di mana kebutuhan bacaan bisa dipenuhi dengan hadirnya ebook atau buku elektronik, yang bisa menjadi alternatif bacaan saat tidak ada buku fisik.

Ebook yang kita kenal ada yang berbentuk aplikasi offline maupun online, file PDF, bahkan JAR, dan sebagainya. Yang semua bisa dibaca dengan mudah melalui gawai. Bisa dibaca di mana-mana, tidak merepotkan karena tersemat di perangkat tanpa perlu menenteng sebagaimana buku fisik.

Tetapi ternyata, saya adalah satu dari sekian orang yang tidak begitu bisa menikmati bacaan dari ebook. Beberapa alasan berikut ini adalah penyebab kurang sukanya saya dengan buku digital tersebut.

1. Baterai gawai jadi boros

Ini memang penyakit gawai saya, suka cepat habis kalau layar menyala terus. Kan kalau baca ebook bisa dipastikan layar gawai selalu menyala. Jadinya serba repot kalau menggunakannya untuk aktivitas membaca. Takutnya saat penting diperlukan, tuh perangkat kehabisan baterai. Makanya, saya tidak merasakan kenyamanan di sini.

2. Terganggu chat aplikasi perpesanan

Saat asik baca, eh ada notifikasi chat masuk. Terkadang saya suka penasaran untuk membuka chat itu dengan meninggalkan aplikasi ebook. Setelahnya bisa dipastikan lebih asik menanggapi chat dari pada meneruskan baca.

3. Cepat lelah memelototi layar kecil

Layar gawai yang hanya sekian inci, ditambah font yang juga kecil, membuat mata saya cepat pedih, apalagi yang namanya gawai tentu memancarkan cahaya yang lama-lama membuat mata terasa cepat lelah.

4. Tidak leluasa saat si kecil minta pinjam gawai

Anak saya yang belum genap dua tahun, sering kali meminta pinjam dan merebut setiap kali orang dewasa di dekatnya memegang gawai. Nah, ini menambah rasa tidak nyaman bagi saya kalau membaca buku digital. Tidak bisa bertahan membaca sembunyi-sembunyi. Pasti ketahuan si kecil.

5. Sulit saat membuat ulasan review

Saya suka menulis review bacaan yang selesai saya baca. Dan saya sangat kesulitan ketika harus mereview bacaan dari ebook. Mau mencari halamannya tidak semudah saat memegang buku fisik. 

Itu beberapa alasan saya merasa tidak asik membaca dari gawai. Tetap saja saya lebih nyaman memegang buku fisik, mencium aroma kertasnya, membolak-balik halamannya, mengelus sampulnya, dan menyelipkan pembatas bacaan.

Bagaimana dengan kalian?
 

Di Antara Buku-Buku


Saya, istri, dan kedua anak saya sedang berada di perpustakaan. Sebut saja perpustakaan Serba Ada. Kayak toko saja, ya? Tapi memang sih, di perpustakaan ini semua buku yang pernah terbit di Indonesia pasti ada dalam katalognya. Berjejer rapi pada rak yang berbagai ukuran. Dan ini adalah surga bagi para penyuka buku.

Kalian mungkin tidak menyangka, bahkan saya pun tidak mengira, ternyata di surga buku ini saya berjumpa dengan dua gadis strong bernama Sakifah dan Ciani. Tidak sengaja kami sedang memilih buku pada rak panjang yang sama.

"Maaf, saya seperti pernah lihat wajah Mbak." Saya mencoba menyapa membawa rasa penasaran.

Kedua gadis itu memandang saya. Saya tersenyum. Gadis yang saya merasa mengenalinya itu menatap sambil mengingat-ingat. Sebelum keduanya berbicara apa pun, saya lekas menebak, "Ini ... Mbak Sakifah, kan?"

Gadis yang saya sebut itu agak terkejut. "Em ... iya. Saya Sakifah. Bapak ini siapa? Apa kita pernah kenal?"

Saya tersenyum, benar rupanya dugaan saya. Meski hanya pernah melihat wajahnya di media sosial, tapi saya yakin sekali. Dan memang benar, gadis ini Sakifah.

Gadis yang satunya lagi yang kemudian justru menebak ke arah saya. "Bapak ini ... Suden Basayev? Pak Wakhid? Benar tidak, ya?"

Saya tertawa kecil. "Mbaknya malah tahu. Tapi saya tidak tahu Mbak ini siapa?"

Sakifah melongo menatap temannya yang justru mengenali saya. "Kamu serius, Ci?" tanyanya.

Teman Sakifah itu sumringah. "Tebakan saya benar, Pak? Subhanallah ... mimpi apa kita bisa bertemu di sini?"

"Tapi saya kok tidak bisa menebak ini siapa, ya?"

Gadis itu tertawa kecil. "Saya Ciani, Pak."

Saya terkesima. "Mbak Ciani Limaran? Waduh ... kalian kan dua pije RCO ya?"

"Iya, Pak."

"Panggil Mas saja ah. Jangan Pak. Kesannya kayak saya sudah tuaan banget."

"Ih, Ayah. Sudah punya dua anak juga. Panggil Pak pun boleh." Ini istri saya yang berbicara. Dia sambil menggendong putri kami yang tertidur.

Kembali saya tertawa kecil. Lalu menarik pelan lengan istri saya agar lebih mendekat. Kepada kedua gadis yang masih serba terkesima itu, saya perkenalkan dia. "Ini istri saya. Panggil saja Mbak Ningsih. Kalau saya Mas Wakhid saja, biar lebih akrab dan tidak kikuk."

Istri saya menyalami kedua gadis itu. Sakifah dan Ciani. "Kalian berdua saja?" Istri saya bertanya sambil salaman.

"Sama siapa lagi. Dua-duanya jomblo, Say." Saya yang menjawab dengan nada berkelakar.

"Dih si Bapak mah suka gitu." Sakifah terusik.

"Ya, baguslah. Lebih baik jomblo daripada pacaran. Iya kan, Dik?" bela istri saya.

"Betul, Mbak. Jomblo sebelum ada yang menghalalkan!" Ciani akur.

"Iya ... iya." Saya mengalah. Satu lawan tiga. Buang energi saja.

Putri kami terbangun. Terusik oleh obrolan orang-orang dewasa ini. Dia menggeliat, melihat ayah-bundanya. Lalu melirik Sakifah dan Ciani sebagai orang asing.

"Dih, lucunya. Salim dulu dong!" Sakifah mencoba mendekati putri kami sambil ulurkan tangan. Tapi si kecil mengkerutkan tubuh ke pelukan bundanya.

Istri saya lekas membujuk. "Nggak usah takut. Salim dulu sama Tante."

Putri kami yang belum genap dua tahun itu rupanya mengerti. Dia melirik Sakifah sejenak sebelum akhirnya menyalami dan mencium tangan gadis itu. "Siapa namanya, Cantik?" tanya Sakifah.

"Humaira, Tante." Istri saya yang menjawabkan. Lalu mengarahkan si kecil bersalaman pada Ciani.

"Baru satu buah hatinya, Mbak?" Ciani bertanya sambil menowel dagu putri kami. Membuatnya agak takut.

"Itu yang sulung kelas 1 SD. Lagi asik lihat gambar di buku." Saya tunjuk Haikal, sulung kami yang sedang membolak-balik buku tidak jauh dari kami.

"Sudah dua. Lengkap cewek-cowok. Pintar nih," komentar Ciani.

"Kamu pengin, Ci?" goda Sakifah.

"Ya ... suatu saat nanti akan tiba waktuku."

Saya tersenyum saja. Sakifah tiba-tiba ingat sesuatu. "Oh, iya, Pak. Eh, Mas aja ya? Gini, Mas Wakhid, kan Mas ikutan RCO. Bolehlah Mas kasih kesan-kesannya selama ikut RCO. Sekalian kritik dan saran buat RCO ke depannya. Mumpung kita ketemu di sini."

"Apa itu RCO, Dik?" tanya istri saya.

"Oh ... itu Mbak, Reading Challenge ODOP, kegiatan seru-seruan, agar kita bisa membiasakan diri membaca dengan menyetor bacaan harian." Ciani yang memberikan jawaban.

Istri saya mengangguk-angguk. "Hem ... pantesan belakangan ini suami saya saban hari berteman dengan buku terus. Kadang keseringan nyuekin istri."

"Ah, Bunda, jadi curhat di sini," sahut saya.

Sakifah tersenyum. "Jadi nggak enak kita-kita sebagai pije nih. Ternyata mengganggu aktivitas Mas Wakhid sama istri," katanya.

Saya lekas menyahut, "Enggak mengganggu kok, saya malah senang dengan adanya RCO. Jujur saya sudah lama sekali tidak pernah bisa menghabiskan buku sampai tamat. Barulah sejak ikut RCO saya seolah kembali menemukan diri saya seperti masa-masa sekolah dulu. Dulu saya gila baca. Entahlah, kesibukan saat kerja melalaikan saya dari baca buku."

"Iya, Dik. Tidak mengganggu kok. Hobi baca kan bagus. Untung suami saya tidak hobi yang lainnya yang aneh-aneh." Istri saya ikut berbicara. "Suami saya ini seringkali beli buku cuma ditaruh di rak buku berbulan-bulan tidak disentuh. Bahkan belum membuka plastiknya. Baru belakangan ini buku-buku itu disentuhnya."

Ciani mengangguk-angguk. "Jadi intinya, RCO ada ya, manfaatnya?"

"Banyak dong, Mbak. Meski saya kadang repot saat tantangan baca buku yang tidak saya suka, bahkan bahasa asing. Hehehe." Saya tertawa lagi.

"Barangkali ada masukan buat kita?" Sakifah bertanya. "Buat perbaikan RCO ke depannya."

Saya terdiam dan berpikir. Baru beberapa saat berkata lagi. "Em ... saya pribadi baru sekali ini ikut kegiatan baca semacam ini. Jadi menurut saya aturan mainnya sudah oke. Cuma itu ... untuk ebook yang sering dibagikan sebagai alternatif bacaan, kok kadang ada yang tidak full buku utuh. Tapi ketika dibaca dan dilaporkan di RCO dianggap sah. Bagaimana menurut Mbak berdua?"

Sakifah dan Ciani saling pandang. Sakifah yang kemudian menanggapi, "Itu juga ebook hasil download, Mas, belum semua terbaca oleh saya. Jadi ya ... tidak ada proses seleksi atau kontrol untuk ebook."

"Mungkin untuk besok-besok bisa kita perhatikan lagi," kata Ciani.

"Ada lagi mungkin, masukannya?" tanya Sakifah.

Saya menggeleng. "Cukup kok. Saya mau berterima kasih saja buat kalian yang meluangkam waktu untuk mengurus RCO. Semoga jadi amal kalian, ya?"

"Aamiin. Sama-sama, Mas."

Saya kemudian melihat buku yang dibawa keduanya. "Eh ... ngomong-ngomong, kalian pinjam buku apa saja?"

Sakifah tersenyum malu. Mencoba sembunyikan buku pilihannya. Tapi saya sempat baca judulnya yang nyerempet-nyerempet ke masalah menunggu jodoh itu.

Ciani yang langsung memperlihatkan buku pilihannya. "Ini saya pinjam buku Rahasiaku, Masih Ada, sama Nostalgia Biru."

"Dih ... bukunya teman-teman ODOP semua ya?" komentar saya.

Ciani mengangguk.

"Ini memang perpustakaan terlengkap se-Indonesia. Buku apa saja ada, yang penting sudah terbit saja, pasti ketemu kalau nyari di sini."

"Iya, Mas. Namanya juga perpustakaan Serba Ada."

Tidak lama berselang, saya dan istri berpamitan pulang lebih dahulu. Sakifah dan Ciani masih meneruskan memilih buku, setelah mengajak kami berfoto lebih dulu.

Pertemuan yang sungguh tidak diduga. Saya senang bertemu kalian berdua. Semoga tetap semangat dalam menulis dan membaca, ya. Semoga perjumpaan fiksi ini membuat silaturahim kita semakin terbina.

Duh ... Kau Membuatku Jatuh Cinta


Judul: Ibu Risma Memimpin dengan Hati
Penulis: Rinandi Dinanta
Penerbit: GIGA Pustaka
ISBN: 9786021318072
Tebal: 120 halaman

Ibu Risma, wali kota perempuan pertama di Surabaya, yang fenomenal dengan gaya kepemimpinannya yang tidak takut melawan arus politik, yang berdedikasi tinggi untuk kepentingan masyarakat banyak, membuat saya sempat penasaran juga, hingga akhirnya membaca buku ini. Selama ini informasi tentang Ibu Risma hanya saya tahu dari media massa yang tentu saja tidak mengisahkannya secara utuh.

Di masa sekarang yang sangat minim pemimpin yang benar-benar bisa jadi panutan, maka muncullah tokoh-tokoh yang diidolakan rakyat seperti Bu Risma ini. Sedikit sekali, bisa dibilang langka. Terlahir pada 20 November 2023 dengan nama Tri Rismaharini, perempuan tegas, tidak kenal kompromi, dan tidak takut ancaman pengusaha hitam ini mampu mengubah kota yang dipimpinnya, yang semula sumpek, kotor, dan rentan membuat stres warganya, menjadi sebuah pelabuhan hati yang bersih dengan taman-taman menghijau. Konflik Kebun Binatang Surabaya hingga penutupan semua lokalisasi pelacuran adalah hasil kerjanya yang sangat fantastis, dan semua dilakukan dengan penuh empati, manusiawi, khas sentuhan seorang ibu.

Risma yang lahir dan menghabiskan masa kecil di Kediri ini adalah anak ketiga dari pasangan Bapak Chuzaini dan Ibu Siri Mudjiatun. Ayahnya seorang PNS yang bekerja di kantor pajak dan memiliki usaha sampingan di antaranya sebuah toko yang di sinilah Risma kecil diajari bekerja sepulang sekolah, selayaknya seorang pegawai toko yang diberi upah sistem gaji. Pengalaman pekerjaan ini selalu diingat oleh Ibu Risma. Risma kecil sering sakit dan menderita asma yang membuat masa kecilnya sangat dibatasi dalam bermain keluar rumah.

Kejujuran seorang Risma sudah terlihat sejak sekolah, di mana dia tidak ikut-ikutan teman sekelas yang mendapat contekan sat hari ujian hingga nilainya paling jelek waktu itu. Sikap jujurnya mengalahkan hasrat untuk mendapat nilai bagus di kelas. Risma juga hobi menari dan sempat tampil pada acara-acara tertentu.

Kemunculan Ibu Risma di dunia politik, yang awalnya berlatar birokrat, adalah ketika dia diajukan oleh PDI-Perjuangan sebagai calon Wali Kota Surabaya pada 2010. Perannya sebagai pejabat publik yang profesional dan bersih, apa lagi memang dia bukan merupakan anggota partai, tidak membawa kepentingan apapun pada tiap posisi jabatan yang ditempatinya. Sempat menolak tawaran PDI-Perjuangan, meski akhirnya maju dan menang. Ketika itu Ibu Risma mengatakan usaha kemenangannya di pemilukada tidak perlu dipaksakan. Dia menolak dana kampanye besar yang hanya akan membuatnya terikat dengan kontrak politik dan kepentingan di kemudian hari.

Prestasi demi prestasi diukir Ibu Risma dalam masa kepemimpinannya. Berbagai penghargaan diterima. Dia juga sangat peduli dengan masyarakat. Sering kali ditemui wali kota satu ini sedang menyapu jalan, bahkan mengatur lalu-lintas yang macet karena tidak dijumpainya petugas Dishub Pemkot Surabaya di jalanan kala itu. Banyak politikus dan beberapa anggota DPRD Kota Surabaya yang mencibir gayanya memimpin yang bagi mereka terkesan overacting itu.

Pada 31 Januari 2011, belum genap satu tahun menjabat wali kota, DPRD Kota Surabaya menggunakan hak angket mereka untuk melengserkan sang wali kota yang tidak mereka sukai ini.  Ini terkait dengan Peraturan Wali Kota nomor 56 dan 57 tahun 2010 mengenai aturan pajak reklame  di kawasan-kawasan tertentu, terutama  di beberapa jalan protokol, yang naik 100-400% untuk reklame berukuran 8 meter, dan menurunkan 40% pajak reklame kecil di bawah 8 meter. Ini berdampak positif untuk tata ruang kota. Tapi para legislatif itu menolaknya. Enam dari tujuh fraksi termasuk PDI-Perjuangan terusik dan ingin melengserkan Ibu Risma. Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolak melengserkannya. Sungguh tidak terlalu rumit untuk menyimpulkan bahwa pengusaha-pengusaha besar merasa dirugikan dan melakukan tekanan untuk mempengaruhi para anggota dewan agar peraturan yang mengganggu kepentingan bisnis mereka itu untuk disingkirkan.

Dalam perkembangannya, media massa di Surabaya condong mendukung Ibu Risma sehingga opini publik pun terpengaruh. Ini juga terulang saat Ibu Risma menolak membangun proyek jalan tol dalam kota Surabaya, yang membuat gerah para politikus dan anggota dewan yang tidak suka dan merasa terganggu dengan gaya kepemimpinan Ibu Risma.

Ibu Risma yang tidak takut dengan tekanan politik, menyerahkan keamanan diri pada Tuhan. Bahkan ia rela mati untuk kepentingan rakyat Surabaya. Inilah yang menjadikan rakyat Surabaya merasa memiliki Ibu Risma, hingga semua dukungan mengalir padanya yang selalu pro kepada kepentingan rakyat.

Satu lagi yang fenomenal adalah penutupan semua lokalisasi pelacuran di Surabaya. Rencana penutupan ini semakin bulat saat Ibu Risma mewawancarai seorang pekerja seks berusia 60 tahun yang terlilit banyak hutang, yang masih menjalani profesi hitamnya. Pengakuan pekerja seks sepuh itu membuat miris, karena faktor usia yang membuatnya tidak laku lagi, hingga dia hanya bisa melayani hasrat bocah-bocah SD hingga SMP dengan tarif sesuai uang jajan mereka. Ibu Risma menangis dan semakin membulatkan tekad menutup lokalisasi apapun risikonya.

Ibu Risma yang memimpin dengan kearifan seorang ibu, religius dengan imannya yang tidak kenal kompromi dengan segala kebobrokan politik, membuat saya jatuh cinta pada sosoknya. Ibu Risma meski diajukan oleh partai politik, namun berani menentang kebijakan yang tidak sesuai nuraninya. Semoga selalu diberi keberkahan hidup dan sehat selalu, Ibu Risma.

Sauh Berlabuh Juga pada Dermaganya


Judul buku: Sauh
Penulis: Shabrina Ws
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
ISBN: 978-602-04-5206-7
Tebal: vi + 222 halaman
 

Bagaimana aku bisa berlabuh, pada hati yang bukan dermagaku?

Saya membeli novel ini setelah mengenal penulisnya, Mbak Shabrina Ws. Perkenalan pada proses kreatifnya dalam menulis, saat sharing di grup WhatsApp Kelas Fiksi ODOP beberapa waktu lalu. Sungguh, saya penasaran dengan buku baru Mbak Shabrina Ws ini. Sayangnya, saya harus bersabar menuntaskan membaca novel ini karena masih diburu setoran bacaan pada Reading Challenge ODOP '2 yang saya ikuti.

Setelah saya menyelesaikan membaca Sauh setebal 222 halaman ini, saya merasa cukup puas. Cerita yang diangkat sebenarnya sudah banyak digarap penulis lain. Tapi tetap saja rasa dan aroma yang disajikan penulis asal Pacitan ini punya kekhasan yang berbeda. Saya sangat enjoy menikmati lembar demi lembar halamannya. Renyah seperti kentang goreng.

Novel ber-setting utama di Pacitan ini penuh dengan kutipan-kutipan keren. Yang tiap baris quote-nya membuat saya merasa diajak berpikir kembali tentang makna kehidupan. Tentang keluarga, pernikahan, tanggung jawab, perjuangan, bahkan nilai kesetiaan.

Sauh berkisah tentang Rosita Wisudanti (bukan Eni Wulansari, lho, ya!) yang dihadapkan pada sebuah masalah dalam keluarga. Pada prolog di halaman awal, pembaca langsung disajikan sebuah problema yang cukup membuat saya terpancing untuk penasaran. "Tidak akan ada pernikahan pertama di rumah ini, selain pernikahanmu!" Ini suara Pak Maryono, ayah Rosita, yang tidak akan rela anak sulungnya didahului sang adik menikah. Apa lagi adiknya seorang laki-laki. Apa kata dunia, jika sampai anak pertama yang seorang gadis harus dilangkahi menikah sang adik yang laki-laki?

Dan, Rosita memang sedang menunggu cintanya yang belum kunjung berlabuh. Mbak Shabrina kemudian memunculkan nama Danu, teman kerja Rosita yang diam-diam suka padanya. Yang pada kenyataannya, Rosita pun punya rasa yang sama. Untuk membuat seru kisahnya, hadirlah Firman, pemuda pilihan orangtua Rosita yang hendak dijodohkan dengannya.

Siapakah di antara Danu dan Firman yang akan menjadi suami Rosita? Ataukah keduanya bukan jodoh Rosita? Rosita, Danu, dan Firman bersisian dan bersilangan pada jalan takdir. Ketiganya meyakini bahwa setiap orang memperjuangkan cinta dengan caranya sendiri. Tetapi, di musim yang lain, mereka didera pertanyaan. Sejauh mana cinta harus diperjuangkan?

Apa yang menjadi menarik dari kisah cinta segitiga ini? Rosita tidak tahu, mengapa Mbak Shabrina Ws mengajaknya berselancar pada novel Sauh ini. Yang ia tahu, ia dan Danu saling memendam rasa cinta. Sementara Firman blak-blakan mengatakan tentang perjodohan itu, padahal ia sama sekali tidak mencintai Rosita pada awalnya. Begitu juga Rosita yang marah besar saat mengetahui kepindahan tempat kerjanya adalah sebuah skenario perjodohan. Tapi keduanya mempunyai orangtua yang harus dihormati dan dijaga perasaannya. Keduanya berusaha mencoba menjalani proses perjodohan ini. Dan Danu? Dia memilih fokus pada tambak warisan ayahnya yang meninggal, menjadi laki-laki satu-satunya dalam keluarga, yang harus menanggung dua adiknya yang masih sekolah.

Lalu perjalanan takdir menemukan celah masing-masing. Peristiwa demi peristiwa terjadi dan banyak yang tidak terduga, sebagaimana misterinya takdir dan jodoh. Lalu, kembali ke pertanyaan tentang siapa jodoh Rosita? Dermaga itu akan dilabuhi oleh hati yang mana? Pasti akan seru jika kalian membacanya sendiri.

Bab demi bab tersaji dengan ringan, karena setiap bab bisa dibaca sekali duduk. Mbak Shabrina Ws memilih menuliskan tiap bab dengan tidak terlalu panjang, tapi selalu mengena di hati. Tidak kacangan. Dan saya suka. Dan seperti saya bilang tadi, tiap bab membawa quote yang mencerahkan jiwa, membuat pembaca merenung.

Secara keseluruhan, novel ini sangat bagus dan asik dinikmati. Kalian akan diajak jalan-jalan ke Pantai Teleng Ria, Pacitan. Setting yang disajikan dengan detail akan membuat kalian serasa hadir di sana. Menikmati pasirnya, jilatan ombaknya, dan desau anginnya.

Bacaan bagus buat kalian yang masih jomblo, menanti kekasih yang dijanjikan Tuhan. Juga bagus untuk yang sudah menikah, karena sebagian hidup kita adalah milik keluarga, kata Mbak Shabrina Ws pada prolog novel ini.

Saya tutup celotehan ini dengan mengutip tulisan di sampul belakang: Barangkali benar, kau dan aku sama-sama berjuang. Tetapi hanya Tuhan yang tahu, jalan yang kita tempuh ... akan bersauh pada pertemuan atau perpisahan.

Amplop Kelalen


Kisah ini terjadi ketika warga Sidowayah, Ngreco, Weru, Sukoharjo, membesuk Gendhuk Nicole, tetangga yang dirawat di salah satu rumah sakit di daerah Klaten. Warga mencarter sebuah bus tanggung.

Ketika sudah di dalam bus, Jon Koplo selaku ketua RT mengumpulkan dana iuran dari warga yang ikut. Setelah uang terkumpul, Koplo menyisihkan sebagian untuk biaya carteran bus, sisanya semua dimasukkan ke amplop.

"Ini nanti tolong ibu-ibu yang menyerahkan amplopnya, ya?" pinta Koplo.

"Mbah Cempluk saja yang paling sepuh, lebih afdal," usul Tom Gembus. Jon Koplo setuju, amplop diserahkan kepada Mbah Cempluk.


Sesampai di rumah sakit ternyata keadaan Gendhuk Nicole sudah cukup membaik. Dia sudah bisa diajak berbicara para penjenguknya. Setelah dirasa cukup waktunya, Jon Koplo mewakili pamit pada keluarga Gendhuk Nicole yang menjaganya. Rombongan segera bersalaman dan kembali ke parkiran, naik ke bus carteran.

Ketika perjalanan pulang sudah setengah jalan, tiba-tiba terdengar ribut-ribut. Jon Koplo lekas bertanya, "Ada apa kok pada ramai?"

Mbah Cempluk yang menjawab, "Nyuwun pangapunten, Pak RT. Saya lupa menyerahkan amplopnya. Ini amplop masih saya bawa!"

Wadhuh! Jon Koplo saknalika kelimpungan. "Wah, kok bisa lupa ta, Mbah. Terus bagaimana ini?"

"Ya, maaf, Pak RT, lagian suruh bawa orang tua, kan saya sering lupa," Mbah Cempluk membela diri.

Seisi bus mengeluh. Akhirnya, Tom Gembus menengahi, "Semua sudah terlanjur. Besok kalau Gendhuk Nicole sudah dibawa pulang, Pak RT antar amplopnya sambil minta maaf kalau kelupaan. Ndak apa-apa begitu."

Semua mengangguk setuju. Namanya juga sudah sepuh, mau bagaimana lagi?

Wakhid Syamsudin
Sidowayah RT 01 RW 06 Ngreco, Weru, Sukoharjo

Dimuat di harian Solopos edisi Selasa Pahing, 6 Februari 2018.

Alhamdulillah, sekali lagi tulisan ringan saya berhasil dimuat di koran. Saya mengirimkannya lewat email tangal 5 dan esok harinya langsung lolos dimuat. Semoga menjadi penyemangat dalam menulis.

Sumpah! Saya Puyeng Baca Buku Puisi!


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada 

(Aku Ingin, Sapardi Djoko Damono)

Dua bait itu adalah puisi yang sudah tenar dan banyak didengar maupun dikutip oleh khalayak. Barangkali dua bait itu juga yang tidak terlalu membuat saya puyeng untuk memahami maknanya. Setidaknya, itu yang bisa saya ingat setelah membaca ebook Manuskrip Puisi Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Darmono terbitan Grasindo. (Semoga sampul di atas itu benar, soalnya ebook yang saya baca tidak ada sampulnya.)

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Mbak Dita atas kiriman ebook-nya, dan Mbak Sakifah yang telah menjanjikannya. Dan saya terharu atas usaha kalian berdua membuat saya puyeng. Kenapa? Jujur saya tidak terbiasa membaca puisi, dan itu cukup sudah untuk menjadikan saya serasa kelenger setengah mati membaca huruf demi huruf pada ebook ini.

Tantangan Reading Challenge ODOP kali ini ada 3 pilihan buku bacaan. Pertama, sejarah. Oke, saya suka, dan saya pilih melanjutkan buku kedua trilogi Revolusi Islam di Tanah Jawa karya Ustaz Rachmad Abdullah terbitan Al-Wafi Publisher, Solo. Kedua, buku berbahasa selain Indonesia. Apa ini? Ini tantangan berat! Apa lagi kalau bahasa asing. Untung boleh pilih bahasa Jawa, tapi saya sedang tidak berselera, hahaha. Opsi kedua ini adalah bacaan wajib. Ternyata saya harus mengejarnya. Dan opsi ketiga adalah kumpulan puisi. Saya bukan penyuka baca puisi, tapi demi memenuhi tantangan pije RCO, saya pun membacanya. Dan saya benar-benar tidak bisa menikmatinya. Hahaha ....

Saya membaca ebook Manuskrip Puisi Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Darmono dengan tanpa rasa. Maafkan saya, wahai para pecinta puisi. Saya memaksa mata saya menekuri huruf demi huruf, halaman demi halaman. Padahal puisi karya Sapardi Djoko Darmono adalah puisi berkelas, dan saya belum bisa mencicipinya dengan baik.

Saya sih berharap, suatu saat nanti saya bisa menjadi penikmat puisi juga seperti kalian. Aamiin .... 

Ingat Waktu


Sepulang sekolah hutan, Uky si kelinci putih segera menuju ke rumah Sovia si kucing belang untuk bermain. Di sana sudah menunggu Yanyan si rusa bulu merah.

"Hai, teman-teman. Kita jadi main apa siang ini?" Uky si kelinci langsung bertanya pada teman-temannya.

Sovia si kucing belang segera mendekati Uky si kelinci. "Kita kan masih anak-anak, jadi mainan yang kekanak-kanakan saja."

Yanyan si rusa bulu merah ikut mendekati Uky si kelinci putih. "Betul kata Sovia. Kita main petak umpet saja."

"Usul yang bagus. Aku setuju." Uky si kelinci putih terlihat senang.

Ketiga sahabat itu segera melakukan hompipah untuk menentukan siapa yang jadi dan harus mencari temannya setelah bersembunyi nanti.

Uky si kelinci putih ternyata yang jadi. Dia segera menuju sebuah pohon turi dan menangkupkan kaki depan ke mata untuk menutupinya. "Aku hitung sampai sepuluh, ya?"

"Iya." Serempak Yanyan si rusa bulu merah dan si Sovia si kucing belang menjawab. Keduanya segera mencari tempat persembunyian sebelum Uky si kelinci putih selesai pada hitungan angka sepuluh.

Setelah hitungan sepuluh, Uky si kelinci putih segera mencari tempat persembunyian teman-temannya. Ternyata dia beruntung, dengan mudah tempat persembunyian Yanyan si rusa bulu merah dan si Sovia si kucing belang ditemukannya,.

Mereka terus bermain dengan serunya. Tidak terasa matahari sudah tergelincir ke langit sebelah barat.

"Teman-teman, maaf, ya, aku harus pulang." Tiba-tiba Uky si kelinci menghentikan permainan.

"Kita sedang seru-serunya, Uky," sahut Yanyan si rusa bulu merah.

"Tanggung, Uky." Sovia ikut menahan.

"Tapi aku sudah janji pada Ibu, kalau matahari sudah tergelincir aku harus pulang."

"Halah ... mundur sebentar kan tidak apa-apa."

"Tidak, Sov. Maaf, aku harus pulang sekarang."

"Kan ibumu juga belum mencari, Uky."

Uky si kelinci putih menggeleng. Dia tetap harus pulang. "Maaf, teman-teman. Aku tidak boleh lupa waktu. Aku harus pulang. Kita main lagi besok, ya ...."

Meski kecewa, Sovia si kucing belang dan Yanyan si rusa bulu merah tidak bisa lagi menahan kepulangan sahabatnya itu. "Ah, Uky nggak asik!" keluh Yanyan.

Melihat kejadian itu, Novnov si induk kucing, ibu Sovia, lekas mendekati keduanya. "Kalian seharusnya mencontoh sikap si Uky. Dia ingat waktu kapan main dan kapan harus pulang."

"Tapi kan permainan belum selesai, Bu."

"Iya, Sov. Tapi kalian sudah cukup lama mainnya. Dan memang ibunya Uky berpesan agar dia pulang tepat waktu. Kalian pun harus ingat waktu. Jangan main sesukanya saja. Waktu untuk main ada, untuk belajar juga ada."

Yanyan si rusa bulu merah dan Sovia si kucing belang diam saja. Keduanya mulai mengerti dengan sikap sahabatnya. Jadi, tetap harus ingat waktu, ya ....

#30DWCday24

Hahaha, susah juga bikin fabel. Kurang nendang kayaknya.

Sebuah Pengakuan



Yoga baru saja memencet tombol merah pada remote sambil selonjoran di tikar yang digelar di depan televisi. Perangkat elektronik itu menyala seiring masuknya Irene sambil mengucapkan salam. Yoga menjawab tanpa mengalihkan mata dari layar kaca. Istrinya itu terlihat cantik dengan sedikit berdandan dan mengenakan kaos panjang bercelana hitam panjang. Ia mengenakan rompi yang biasa dipakainya kalau ada acara dari posyandu. Rambutnya diikat dan ditutup topi sewarna dengan rompinya.

"Sudah selesai, Say?" Yoga bertanya, melirik sebentar ke arah istrinya yang sedang membuka lembaran kertas buram fotokopian.

"Iya, Mas. Untung cuacanya tidak begitu panas."

"Jadi sama siapa?"

"Sama Mbak Listiana tadi. Kebagian mendata di RT kita sama RT sebelah."

Yoga manggut-manggut. Ia berkali mengganti chanel televisi mencari acara yang disukainya, tapi tidak ketemu. Semua sinema lebay dengan akting tidak bermutu. Kesal, dimatikannya perangkat hiburan itu. Lalu berdiri, duduk di kursi tamu, tempat Irene masih sibuk dengan kertas buramnya.

"Ada berapa warga yang terdata?" tanya Yoga.

"Yang masuk difabel di RT kita ada 5, RT sebelah 7. Total satu kebayanan 21 orang, Mas."

Yoga melihat istrinya yang mulai menulisi kolom kertas buram itu. Memang sejak direkrut gabung menjadi kader PKK dan penggerak posyandu, istrinya itu memang super sibuk. Sering ada acara yang cukup menyita waktu. Tapi biarlah, toh ia tidak merasa terganggu dengan aktivitas istrinya itu. Lagi pula mereka memang belum dikaruniai anak, jadi kegiatan itu bisa membuat Irene cukup terhibur dengan kesibukannya. Yoga sendiri senang istrinya bisa berkiprah di masyarakat.

"Apa kendalanya mendata mereka?"

Irene berhenti menulis. Sejenak menatap suaminya sambil mengingat. "Kendalanya sih, kadang dari keluarga si penyandang difabel, Mas. Sebagian mereka tidak senang kehadiran kita. Seolah mendata anggota keluarga yang difabel itu menyudutkan mereka. Menganggap dibeda-bedakan."

"Wajar juga, sih, menurutku."

"Tapi lebih banyak yang merasa senang sudah mulai ada perhatian dari pemerintah kepada penyandang difabel. Apalagi adanya program bantuan peralatan yang dibutuhkan mereka, seperti prothese, tangan palsu, kursi roda, brisk, krek, modifikasi motor, korset, dan sebagainya."

Yoga mengangguk. Ia ingat teman kerjanya yang kecelakaan beberapa bulan lalu mendapat bantuan prothese atau kaki palsu dari pemerintah. "Kita memang tidak boleh menganggap difabel sebagai beban dalam masyarakat. Kita harus merangkul mereka."

Irene tersenyum. Suaminya memang sangat peduli sama orang lain, itu juga yang membuatnya selalu kesengsem pada lelaki itu. "Difabel memang sedang dalam perhatian pemerintah, Mas. Ini salah satu program terkait mewujudkan desa inklusi."

"Desa inklusi?"

Irene mengangguk. Lalu membuka lembaran lain yang dia bawa. Membaliknya, menemukan tulisan yang ia cari. Lalu membacanya. "Peduli Disabilitas merupakan program dari Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Manusia dan Kebudayaan RI. Ini juga sebagain respon adanya Undang-Undang Desa dan memenuhi mandat dari Ratifikasi Konvensi Hak Penyadang Disabilitas dengan Undang-Undang nomor 19 Tahun 2011."

"Kamu kok cerdas begitu, sih, Say?"

"Dih ... saya baca, Mas. Ini tertulis di sini pembahasannya." Irene menunjukkan kertas buramnya.

"Coba baca lagi, ada lanjutannya nggak?"

"Konsep Inklusi sebenarnya bisa dipahami sebagai “pengakuan dan penghargaan atas keberagaman”. Masyarakat inklusi adalah masyarakat yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan mampu mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan maupun insfrastruktur yang ada pada masyarakat itu sendiri. Keberagaman disini meliputi : agama, budaya, bahasa, gender, ras, suku bangsa, strata ekonomi, termasuk perbedaan fisik/mental atau disebut disabilitas. Apabila keragaman ini mampu diterima dengan baik dan dianggap sesuatu yang wajar maka masyarakat akan membangun sistem layanan, interaksi dan fasilitas yang memudahkan bagai semua orang termasuk orang-orang yang mempuyai hambatan dan kebutuhan khusus."

"Panjang amat?"

"Iya, biar jelas. Kemudian ..."

"Sudah, sudah. Mas sudah paham kok. Mas ikut senang saja dengan program-program pro difabel begini. Sebagai sebuah pengakuan keberadaan mereka. Tanpa sekat."

Irene tertawa kecil. "Saya mau rekap hasil pendataannya, Mas. Habis itu setor hasilnya ke rumah Bu Bayan."

"Iya, deh. Mas juga mau main-main sama si Wulan."

"Ih, burung terus yang diurusin!" protes Irene.

"Mau main-main sama anak belum punya."

"Maaf, Mas." Irene mendadak sedih mendengar sahutan suaminya.

"Maaf, Say, Mas nggak ada maksud ..., sudahlah. Anggap angin lalu saja." Yoga lekas mencoba alihkan suasana dengan berkata,"Itu burung baru. Habis beli dari teman. Burung kesayangannya yang terpaksa dijual ke Mas."

Irene mengangguk. Yoga paham kesedihan terdalam itu. Penantian yang entah akan sampai kapan. Yoga yakin rumah ini tetap akan ramai gelak canda bocah suatu saat nanti. Aamiin ....

"Namanya keren ya, kayak nama cewek. Wulan. Ada-ada saja si empunya ngasih nama."

"Iya, Mas. Asal jangan main cewek aja!" Irene mengingatkan dengan nada sangat-sangat serius.

Yoga hanya tertawa. Senang istrinya tidak terlihat sedih lagi. Lekas ia beranjak berdiri. Menuju ke teras, di mana koleksi burungnya digantung berjejer di dalam sangkarnya.

#30DWCday22
#difabel