Coretan Basayev: Februari 2019

Kamu Bukan Perempuan Kertas


Judul: Perempuan Kertas
Penulis: Alga Biru dan Selvia Stiphani
Penerbit: PT Elex Media Komputindo (Quanta)
ISBN: 978-602-02-5082-3
Genre: Motivasi Islami
Tahun terbit: 2014
Tebal: 120 halaman


Perempuan Kertas menggambarkan perempuan galau yang gampang dilecekin dan disobek-sobek alias korban iseng-iseng lelaki. Alga Biru dan Selvia Stiphani mengajak para remaja putri untuk menyadari hal yang bisa saja dialami seperti ini. Bermodal kata manis, para lelaki semudahnya memacari, lalu mempermainkan perempuan. Nah, bacalah buku ini agar kamu, sebagai remaja putri, bisa lepas dari kegalauan hidup gara-gara makhluk bernama lelaki iseng.

Tema remaja dan pacaran memang tak habis-habisnya untuk dibahas. Menyadari pentingnya kesadaran agar bergaul dengan sehat, maka buku terbitan Quanta ini layak buat bacaan para remaja putri. Alasan berpacaran agar tidak ketinggalan zaman, memperdaya sehingga tidak sadar semudahnya perempuan jadi barang mainan.

Sebagian remaja menjadikan pacaran sebagai motivator agar semangat dalam belajar meski kenyataannya justru memperburuk nilai sekolah. Mengatasnamakan cinta, padahal uang jajan saja masih nodong orangtua. Bahkan remaja sudah banyak yang jago melempar rayuan maut.

Saling tertarik pada lawan jenis adalah normal, tapi saat syahwat yang bermain maka setan turut berupaya menyesatkan para remaja agat terperosok pada tindakan yang jauh dari norma dan ajaran agama. Apa yang dilakukan dengan pacar? Pegangan tangan, bongengan, mojok, pelukan, ciuman? Apa lagi? Sampai berhubungan seks? Wadaw! Semurah itukah?

Oke, oke. Tampaknya apa yang jadi keprihatinan Alga Biru dan Selvia Stiphani hingga menulis buku ini, adalah hasil pantauan dari fakta yang terjadi di sekitar kita. Sudah saatnya remaja kita diingatkan.

Buku ini menjabarkan bagaimana Islam menghargai perempuan. Bepergian saja harus ditemani makhram agar aman. Ada etika yang harus dijunjung dalam berhaul dengan lawan jenis. Ketika berduaan maka setan menjadi yang ketiga.

Penulis mengajak memaknai cinta sejati, bukan gombalan pacar, tapi keberanian melamar. Kalau tidak, sudah seharusnya perempuan menjaga kehormatan. Sekali lagi, jangan mau jadi Perempuan Kertas yang gampang dilecekin.

Buku ini ditulis dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami remaja. Banyak sekali pelajaran di dalamnya yang layak jadi pengingat. Sebagai makhluk yang diciptakan Allah paling sempurna, sudah pasti kita harus beda dengan binatang yang tidak punya etika dalam kehidupan.

Semoga remaja kita tidak kebablasan dalam bergaul. Mari lebih bijak agar bisa bersikap dewasa tanpa melanggar fitrah, tidak terselubung fitnah, dan tetap dalam jati diri sebagai remaja muslim. Agar Allah selalu cinta pada kita semua.

R.I.P, Mimpi Arum dan Juna


Judul buku: R.I.P Rest in Promise
Penulis: Dymar Mahafa
Penerbit: Niramedia, Tuban
Cetakan: Pertama, Desember 2018
Perancang sampul: MS Wijaya
ISBN: 978-602-53551-0-3
Tebal: 388 halaman


Tuntas sudah saya membaca novel tebal karya Dymar Mahafa berjudul R.I.P ini. Sebagaimana pengakuannya, ini adalah karya solo pertama Dymar yang diterbitkan dalam bentuk novel. Cukup telaten ia merampungkan tulisan setebal ini. Keren!

Berkisah tentang Arum dan Juna. Sahabat dari kecil yang akhirnya terpisah karena Juna harus pergi. Mereka sempat membuat semacam janji dan cita-cita yang ditanam di sebuah tempat. Keduanya menggembok kotak tertanam itu, dan masing-masing memegang kuncinya yang dijadikan liontin.

Arum telah sukses mewujudkan impiannya menjadi penulis. Meski ia menyembunyikan jati diri berlindung di balik nama pena Kaka Klavieri. Sementara impian Juna menjadi ilustrator tampaknya sudah ia abaikan seiring berjalan waktu.

Kisah berlanjut saat kedua sahabat lama ini bertemu di usia dewasa. Yang agaknya kurang kuat dari segi logika adalah kenyataan Arum dan Juna tidak saling mengenali, padahal persahabatan masa kecil sudah sekian lama dan kedekatan mereka sangat erat. Agak janggal kan kalau sampai benar-benar lupa. Tapi itu hak Dymar dalam menentukan alur kisah rekaannya.

Di antara mereka ada Yudhis, yang semasa kecil sering mem-bully Arum, dan Juna tampil sebagai pembelanya. Walau sebenarnya Yudhis sendiri menyukai Arum.

Mereka bertemu di usia dewasa, bergelut dengan kisah seru yang berunutan terjadi. Dymar menceritakannya dengan lancar dan telaten. Kisah berdarah-darah dan berurai air mata ini bisa disimak dalam novel terbitan Niramedia ini dengan santai, karena bahasa dan gaya bertutur Dymar sangat sederhana. Mudah dicerna siapa saja pembacanya.

Sedikit yang saya kurang nyaman adalah adegan yang terlalu didramatisir jadi terkesan seperti menonton sinema elektronik di televisi. Duel berdarah gara-gara cewek, anak-anak main bully tanpa ampun, atau cara Juna kecil membela Arum kecil saat di-bully geng bocah yang menyebut diri dengan nama F4. Tapi secara keseluruhan, novel isi sudah layak diacungi jempol. Keren!

Dalam cerita ini, kalau kita tidak fokus, maka akan bingung juga, soalnya Dymar menggunakan beberapa nama untuk dua tokoh utamanya. Ari Juna Prayoga alias Juna alias Arjun, waktu kecil disebutkan dengan nama Una, bahkan ketika dewasa jadi orang lain dengan nama Rama, atau panjangnya Rama Arjuna Wicaksono. Arum Sekar Soedalu alias Arum, juga punya nama Sekar dan Kaka. Tapi kalau bacanya konsen ya tidak akan bingung kok.

Penggunaan beberapa nama untuk tokoh sama ini, sempat juga membuat bingung si penulis cerita. Pada halaman 109 misalnya, Dymar menulis nama Juna, padahal sebagaimana alurnya, seharusnya nama yang dipakai adalah Una. Nah, kan?

Secara keseluruhan, saya cukup puas membaca karya Dymar Mahafa ini. Dan saya pastikan menanti novel-novelnya mendatang. Dymar sangat berbakat, dan saya yakin karyanya akan lebih keren di novel-novel selanjutnya. Kita tunggu saja!

Di dunia ini tak ada yang namanya berbohong demi kebaikan. Karena yang tersisa setelah satu kebohongan terucap adalah munculnya kebohongan-kebohongan lain demi menutupi kebohongan itu sendiri. Rantai kebohongan akan terus berlanjut tanpa manusia sadari. Dan itu tak akan pernah berakhir. (Halaman 271)

Mengamini Hiday Nur, Dymar memang pencerita yang piawai, di mana setiap kata yang ia tulis terasa nyata, seperti melihat film scene demi scene. Bahkan Sakifah memujinya, membaca R.I.P ia serasa naik trampoline di dunia Juna dan Arum. Asyik, nggak pengin beranjak sebelum cerita benar-benar selesai.

Sebagai penutup, jika Anda berminat membeli novel keren ini, silakan hubungi sang penulis langsung di nomor WhatsApp 085733171992. Mau kenal lebih dekat dengan penulis asal Kediri, Jawa Timur ini, bertemanlah di Facebook Ardenia Stradivari Agusta (Dymar Mahafa) atau kepoin Instagramnya @ard_augu. Sekalian main ke blognya, https://duniadymar.blogspot.com.

Setelah Soeharto Pergi


Kelar sudah membaca Setelah Dia Pergi, Tempo Edisi Khusus Soeharto yang terbit pada 4-10 Februari 2008. Dalam edisi spesial ini, Tempo memang mengulas tuntas tentang mantan Presiden Soeharto, setelah meninggalnya orang nomor satu di Indonesia pada zamannya ini. Saya baca versi ebook, hasil googling, dalam rangka memenuhi tantangan membaca tema sejarah pada level 3 Reading Challenge ODOP. 

Kita pasti sering mendapati meme atau gurauan atau apalah sebutannya, yang mengaitkan kondisi bangsa saat ini dengan masa kepresidenan Soeharto, dengan jargon Penak Jamanku, dan sebagainya. Sebagai rakyat kecil, mungkin sebagian besar kita merasa paling nyaman itu hidup pada masa Soeharto di mana apa-apa murah, cari kerja mudah, dan seabreg kenyamanan hidup lainnya. Nah, kalau Anda berpikir serupa, coba Anda baca ulasan Tempo edisi khusus ini. Mungkin setelahnya, Anda akan sedikit berpikir ulang tentang hal itu.

Tempo edisi Soeharto ini mencakup 46 bab ulasan dengan bahasa ringan dan enak sekali dibaca. Meskipun yang dibahas sebenarnya adalah hal berat, kehidupan Soeharto dan setelah kepergiannya. Bagaimana Bapak Pembangunan Indonesia itu memimpin selama 32 tahun, intrik politik di sekelilingnya, kehidupan keluarganya, caranya mengambil keputusan besar, dan sebagainya? Mengapa ia harus turun takhta dalam keadaan terhinakan?

Konon, sekitar 100 halaman edisi khusus ini sudah dipersiapkan sejak tahun 2001 ketika awal-awal Soeharto dilaporkan masuk rumah sakit. Setelah itu, antara tahun 2001 hingga 2007 Soeharto bolak-balik masuk rumah sakit, dan selama itu pula Tempo sudah berganti pemimpin redaksi, termasuk juga tim edisi khusus ini yang juga sudah berganti orang. Bahkan Pramoedya Ananta Toer dan Prof.Sadli yang menyumbang salah satu kolom edisi spesial ini meninggal lebih dulu. Redaksi Tempo menyatakan keseriusan menggarap edisi khusus Soeharto ini bukan karena mereka ingin mendahului takdir tapi lebih karena kesadaran bahwa Soeharto adalah tokoh yang penting bagi negeri ini. Edisi khusus ini adalah usaha Tempo untuk mencatat sepak terjang Sang Penguasa Orde Baru. Suka tidak suka semua pihak pasti bersepakat bahwasanya Soeharto cukup ‘mewarnai’ Indonesia tercinta ini.

Setelah menuntaskan baca, saya baru sadar bahwa saya sangat awam dan baru ngeh dengan beberapa peristiwa atau kasus semasa kepemimpinan Sang Jenderal Besar, sebutlah Tragedi 1965, Malari, Petrus, Peristiwa  Talangsari, Tanjungpriok, Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli), Operasi Militer Aceh - Papua, Penculikan aktivis tahun 1998,Trisakti dan Kedungombo. Tempo menyajikan tulisan detail meski singkat, padat, tapi jelas, sehingga pembaca akan mengetahui bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada gambaran yang bisa kita tangkap. Suara para korban peristiwa-peristiwa itu juga diberi ruang pada bahasan edisi khusus ini.

Sedikit-banyak, kita juga akan berkenalan lebih dekat dengan para loyalis Soeharto seperti Ismail Saleh, Haryono Suyono, Bustanul Arifin, Sudharmono, Saadilah Mursyid. Sebagai penyeimbang, juga dimunculkan para seteru Soeharto seperti Pram, Amin Rais, Budiman Sujatmiko, Syahris, Ali Sadikin, Soebandrio, Dewi Soekarno dan Beny Biki. Siapa saja mereka itu? Baca sendiri ya! Hehehe.

Sementara dari sisi manusiawi Soeharto dapat tergambarkan dari kesaksian beberapa orang yang pernah berada dekat dengannya, seperti mantan ajudan, teman memancing, wartawan istana dan fotograper istana. Terasa sekali kehangatan yang tercipta dalam keseharian di Istana Negara.

Sebagai pelengkap, Tempo juga mengulas sisi kebatinan Soeharto yang kental dengan dunia mistis Jawa. Bagaimana kedekatan spiritualnya pada Rama Marta, Rama Budi Utomo, Rama Dijat, dan Rama Mesran. Di mana nyaris setiap keputusannya, Soeharto selalu melibatkan pendapat para tokoh kejawen kepercayaannya.

Catatan hitam pelanggaran hak asasi manusia di bawah restu Soeharto tentu juga tidak bisa dihapuskan begitu saja. Tindakan drastis yang melahirkan banyak korban di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Papua, dan sejumlah tempat lain. Selain itu, kasus besar korupsi, kolusi dan nepostisme tidak bisa lepas dari masa kepemimpinan Soeharto. Kehidupan anak-anaknya yang serba dimudahkan dengan status orang nomor satu di Indonesia, jeratan korupsi dan kasus lainnya, diungkap singkat dan cukup tergambarkan.

Memang belum sempurna apa yang Tempo sajikan dalam edisi setebal 140 halaman ini. Tapi di sana kita mendapat gambaran tentang Soeharto, dari segala sisi. Dari kebaikannya, dari keburukannya. 

Saya tutup tulisan singkat ini dengan salah satu humor politik yang menjadi favorit saya. Orang-orang Indonesia pada zaman Soeharto punya tiga sifat dasar: pintar, jujur, dan pro-pemerintah. Tapi tiap orang Indonesia hanya bisa memiliki dua saja. Kalau dia pintar dan pro-pemerintah, dia tidak jujur; kalau dia jujur dan pro-pemerintah, dia tidak pintar;dan kalau dia pintar dan jujur, dia pasti anti-pemerintah.

#OneDayOnePost
#ReadingChallengeOdop




Lutfi dan Sovia

Saya menjumpai Lutfi tengah bekerja sendirian di samping rumah, menggergaji kayu, mengukurnya, dan menghaluskan permukaannya, dengan peralatan tukang yang lumayan komplit. Saya tertarik untuk mendekatinya.

"Assalamualaikum, Mas Lutfi. Sibuk sendirian saja, nih?"

Lutfi tersenyum, menghentikan sejenak pekerjaannya dan mendekati saya. "Waalaikumussalam, Mas Suden. Saya pikir siapa. Silakan masuk."

"Di sini saja, Mas. Kebetulan lewat, tertarik melihat pekerjaan Mas Lutfi," kata saya.

"Ya, sudah, duduk di sini saja," katanya sambil meraih kursi kayu panjang dan didekatkannya pada saya.

"Omong-omong Mas Lutfi sedang menggarap apa, nih?"

"Iseng saja, Mas. Saya mau bikin meja dan kursi untuk anak-anak yang mengaji tiap sore di musala."

"Duh, mantap betul Mas Lutfi ini."

Tapi Lutfi malah menunjukkan wajah mendung. "Saya berniat baik, tapi beberapa jamaah kurang suka dengan rencana saya, Mas Suden."

"Maksudnya?"

Lutfi menghela napas dalam. "Selama ini, anak-anak mengaji di atas tikar dalam musala. Di musala ada ruang sebelah yang kosong. Saya bermaksud menjadikannya kelas, dengan papan tulis, meja dan kursi selayaknya di sekolahan."

"Bagus itu," komentar saya.

"Tapi beberapa jamaah, terutama yang sepuh, mengatakan kalau rencana saya itu sebaiknya tidak dijalankan. Sudah budaya di musala kalau belajar ya di lantai musala, bukan dengan meja kursi macam sekolahan begitu."

Saya jadi tertarik dengan cerita Lutfi. "Apa yang salah, Mas?"

"Ya, mereka tidak suka saja dengan sistem belajar seperti itu. Tapi beberapa jamaah lain mendukung, maka saya lanjutkan mewujudkan keinginan saya menjadikan ruang sebelah musala menjadi kelas."

"Kadang, orang-orang tua memang segan menerima hal-hal baru semacam itu."

Lutfi mengangguk. "Saya juga mikir begitu, Mas."

"Saya jadi ingat sama Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah."

"Kenapa beliau, Mas?"

"Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kyai Dahlan juga berbuat seperti Mas Lutfi, mengadopsi model pembelajaran kelas, meniru sekolah umum bikinan pemerintahan Hindia Belanda."

"Lalu?"

"Apa yang dilakukan Kyai Dahlan dianggap sesat, meniru cara belajar kafir."

"Oh, gitu ya? Terus?"

"Beliau menjelaskan dengan sabar dan cara yang baik, sampai akhirnya banyak pendukung."

Lutfi terlihat antusias. "Subhanallah, bagus sekali."

"Makanya, Mas Lutfi juga perlu mengomunikasikan dengan baik pada jamaah yang kurang suka itu."

Lutfi mengangguk paham. "Iya, Mas. Saya akan coba."

Tiba-tiba dari ruang dalam, keluarlah seorang gadis muda. Melihat Lutfi berbincang dengan saya, gadis muda itu lekas berseru, "Om Suden, apa kabar?"

Saya lekas menolehnya. "Ya ampun, Sovia di sini juga?"

"Iya, Om. Saya menemani Lutfi. Kasihan dia bikin meja kursi sendirian."

Saya pandang bergantian Sovia dan Lutfi. "Kalian kompak sekali."

"Iya dong, Mas. Saya sama Sovia selalu kompak."

"Bagus, bagus."

"Sovia dengan senang hati bantu saya, Mas. Padahal kita beda keyakinan," kata Lutfi dengan senyum lebarnya.

"Sebagai umat Kristiani, saya dengan senang hati membantu sesama, Om."

"Luar biasa," komentar saya tulus.

Sovia duduk di kursi kayu sebelah Lutfi. Lutfi mengipas-kipaskan tangan kegerahan. Cuaca memang agak panas, seperti mau hujan tapi tidak kunjung turun.

Melihat Lutfi gerah, Sovia mengeluarkan sapu tangan. "Gerah, Lut? Kamu sih, sudah kubilang kalau capek istirahat dulu saja. Kan, meja-kursi tidak harus jadi hari ini," kata Sovia sambil tangannya bergerak mengelap keringat di dahi Lutfi.

Lutfi terlihat sungkan dan sepintas melirik ke arah saya. Saya lekas sadar, saya harus segera menyingkir dari sini. "Saya pamit dulu ya, ada perlu."

Sovia menoleh saya. "Om Suden buru-buru?"

"Iya. Maaf ya," kata saya sambil beranjak berdiri.

"Mas Suden, em ... Anu." Lutfi malah terlihat gugup.

"Sudah dulu, ya, saya pamit."

#OneDayOnePost
#ReadingChallengeOdop
#Tantangan3Level2

Biografi Singkat Ahmad Dahlan


Terlahir dengan nama kecil Muhammad Darwis di Yogyakarta pada tahun tanggal 1 Agustus 1868, merupakan putra keempat K.H. Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta. Jika dirunut silsilahnya, ia termasuk keturunan kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah satu Walisongo, yang terkenal sebagai penyebar Islam di Tanah Jawa.

Adapun silsilah tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).

Ketika Muhammad Darwis berusia 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Mulailah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Setelah menunaikan ibadah haji dan sebelum pulang ke kampung halaman ia diberi nama Ahmad Dahlan. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah.

Tahun 1903, Ahmad Dahlan kembali berangkat ke Mekah dan menetap di sana selama 2 tahun. Ia sengaja ingin memperdalam ilmu pengetahuan keislaman. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Ia juga makin intens membaca berbagai literatur karya para pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin al-Afghani.

Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Pada tanggal 20 Desember 1912 ia mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.

Muhammadiyah mengalami proses panjang dalam kepemimpinan K.H Ahmad Dahlan, sampai akhirnya sang pendiri meninggal dunia pada umur 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923. Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.

#OneDayOnePost
#ReadingChallengeODOP
#Tugas2tantangan2

Terjadi Sungguh-Sungguh


Sebuah rubrik mini di Harian Merapi, bernama Terjadi Sungguh-Sungguh, adalah salah satu ciri khas dari koran lokal terbitan Jogja ini. Pada rubrik ini, redaksi menerima kiriman tulisan dari pembaca dengan karakter huruf yang terbatas. Hanya satu paragraf saja. Pendek sekali? Iya. Tapi ada honornya. Nah lho!

Saya pertama kali tahu rubrik ini dari posting-an di akun facebook salah seorang kawan yang kebetulan mengabarkan tulisannya yang sering nongol di Terjadi Sungguh-Sungguh (TSS) yakni Mas Heru Prasetyo. Sangat pendek tapi langsung 'mengena'. To the point saja, dan sangat-sangat sederhana. Saya rasa setiap kita, pasti bisa membuatnya.

Akhirnya, saya kepo dan segera cari info sana-sini. Googling dan menyimpulkan sebuah informasi terkait rubrik tersebut. Ternyata, meski hanya sependek itu, tulisan yang dimuat akan mendapat honorarium. Menurut KBBI, honorarium/ho·no·ra·ri·um/ n adalah upah sebagai imbalan jasa (yang diberikan kepada pengarang, penerjemah, dokter, pengacara, konsultan, tenaga honorer); upah di luar gaji. Hehehe, sudah pada paham sih ya?

Dari sebuah sumber yang saya sendiri lupa dari mana, tapi insya Allah valid, karena saya sudah membuktikannya. Bahwa, untuk bisa dimuat di rubrik TSS kita bisa mengirimkannya melalui email. Menurut KBBI, email/ema·il/ /émail/ n adalah 1 massa berupa kaca tidak bening yang dipakai untuk melapisi benda dari logam, gelas, atau tembikar; 2 barang-barang yang diberi salutan email; 3 bahan padat berwarna putih dan keras yang melapisi dan melindungi bagian dentin mahkota gigi. Astaga! KBBI Online gagal paham rupanya! Itu kan pengertian email lapisan pelindung!

Sudahlah, email yang saya maksud beda jauh dengan apa kata KBBI di atas. Yang saya maksud adalah surat elektronik. Email adalah singkatan dari Elektronik Mail atau dalam bahasa Indonesia disebut Surat Elektronik merupakan sarana dalam mengirim surat yang dilakukan melalui media internet. Media internet yang dimaksud bisa melalui komputer atau handphone yang memiliki akses internet. Nah, ini baru benar. Saya curi dari sini.

Nah, tulisan singkat TSS bisa dikirim via email ke [email protected] dengan subject: Terjadi Sungguh-Sungguh. Tulis saja langsung di badan email karena sangat pendeknya, jadi tidak usah repot melampirkan di Miscrosoft Word. Microsoft Word atau Microsoft Office Word atau Word adalah perangkat lunak pengolah kata yang ... eh, maaf, tampaknya ini tidak perlu!

Sekali lagi, tulisan TSS langsung saja ketik di badan email. Di bawahnya cantumkan nama dan alamat pengirim. Perlukah dicantumkan juga nomor rekening bank? Cantumkan juga tidak apa-apa. Tapi ternyata eh ternyata, Redaksi Merapi memilih jasa pos untuk mengirimkan honornya. Iya, pakai weselpos. Apa? Nggak tahu apa itu weselpos? Bentar, saya googling dulu.

Nih, ketemu. Langsung dari web resmi PT. Pos. Weselpos merupakan layanan pengiriman dan penerimaan uang yang memberikan solusi terhadap kecepatan, ketepatan dan keamanan kiriman uang Anda, secara domestik (nasional) maupun luar negeri (internasional). Weselpos ini adalah layanan milik PT. Pos, di mana kita bisa saling kirim-terima duit tanpa rekening. Jadul banget sih, apalagi zaman sekarang kan sudah ada rekening bank yang jasa transfernya free.

Kembali ke pembahasan utama. Sebagai contoh, berikut ini saya tampilkan screenshot TSS yang saya kirim ke alamat email Merapi.



Saya kirim tulisan tersebut pada tanggal 18 Januari 2019. Berhubung saya tidak punya akses melihat edisi cetak koran tersebut, maka saya tidak tahu dimuat apa tidaknya TSS saya itu. Apalagi Koran Merapi belum ada versi epaper-nya. Tapi ternyata, pada hari Sabtu yang cerah pada tanggal 9 Februari 2019, saya kedatangan Pak Pos yang mengantarkan sepucuk pemberitahuan wesel.


Satu-satunya tulisan yang pernah saya kirim ke Koran Merapi ya hanya TSS itu. Jadi saya simpulkan bahwa ini adalah honor TSS saya yang dimuat, meski entah dimuat tanggal berapa. Akhirnya saya cairkan wesel tersebut ke kantor pos pada hari Senin-nya. Alhamdulillah, lumayanlah 24 ribu untuk tulisan sesingkat itu.

Penasaran mau coba-coba juga? Silakan, jangan sungkan. TSS sendiri adalah sebuah tulisan singkat satu paragraf yang mengisahkan sebuah kejadian (nyata) yang unik, menarik, lucu, tak terduga, dan sejenisnya. Kayaknya, setiap hari, Koran Merapi butuh satu TSS kiriman pembaca untuk dimuat di sana, Pantas saja peluang dimuatnya besar.

Contoh TSS tulisan Mas Heru Prasetyo bisa dilihat di bawah ini, sebagai bahan analisa kalau mau coba ikutan kirim:




Sudah dulu, ya, saya mau jajan dulu. Mayan. 24 rebu!




Lelaki Tua dan Laut, Kegigihan Seorang Santiago



Judul: Lelaki Tua dan Laut
Judul Asli: The Old Man and the Sea
Penulis: Ernest Hemingway
Penerjemah: Yuni K. Pramudhaningrat
ISBN: 978-602-290-028-3
Terbit: 1952
Penerbit: Serambi
Terbit Indonesia: Februari 2015
Jenis: Novel fiksi klasik
Genre: Petualangan
Tebal: 140 halaman


Banyak teman-teman membincangkan buku satu ini, sehingga saya pun penasaran untuk membacanya. Akhirnya kesampaian juga melahapnya meski versi ebook yang sungguh perlu kesabaran saya membacanya. Sekali lagi, lebih enak baca buku fisik. Untung tidak terlalu tebal.

Novel ini tidak terlalu tebal sih, hanya saja penyajiannya tanpa pembagian bab cukup membuat saya agak bosan. Rasanya seperti membaca cerpen yang panjang. Tapi saya bersabar menyelesaikannya, sesabar Pak Tua Santiago dalam usahanya menangkap ikan di laut.

Novel peraih Hadiah Publitzer 1953 dan Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letters dan mengantarkan Ernest Hemingwayt meraih penghargaan bergengsi Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1954 ini berkisah tentang Santiago, pelaut ulung yang sedang mengalami kesialan karena sudah delapan puluh empat hari gagal menangkap ikan di tengah arus Teluk Meksiko. Sampai-sampai Manolin, seorang anak yang selama ini membantunya melaut terpaksa meninggalkannya atas desakan orangtuanya yang ingin ia pindah ikut pelaut lain yang lebih beruntung.

Pak Tua Santiago akhirnya melaut sendiri dengan kapal kecilnya. Dan petualangan dimulai saat ada seekor ikan marlin besar memakan umpannya. Ia harus berjuang agar bisa membawa ikan itu ke daratan, padahal kapalnya kalah besar dengan hasil tangkapannya. Santiago juga harus bertarung melawan hiu-hiu yang berdatangan karena bau amis darah dari ikan tangkapannya. Tenaga tua, luka demi luka, kelelahan teramat, dan bekal yang menipis, sementara ia sudah terseret jauh ke tengah lautan mengikuti gerak tangkapannya sebelum mati, mampukah ia bertahan? 

Lelaki Tua dan Laut yang judul aslinya The Old Man and the Sea buah karya Ernest Hemingway ditulisnya saat tinggal di Kuba dan tentu saja banyak terinspirasi dari realita di sekelilingnya. Kegemarannya berlayar dan memancing ikan sangat membantunya saat menuliskan suasana dermaga, laut dan kegiatan memancing Santiago. Karakter Santiago sendiri pun dipercaya oleh banyak kritikus sastra terinspirasi oleh sosok seorang nelayan Kuba bernama Gregorio Fuentes.

Pelajaran berharga dari kisah Santiago ini adalah kegigihan dan tidak berputus asa dalam meraih impian. Ikhlas dan kelapangan hati serta memaksimalkan kemampuan diri, entah apa hasilnya nanti, merupakan bentuk ikhtiar yang harus disatupadukan. Tuhan memiliki cara sendiri untuk membentuk karakter hamba-hamba-Nya.

Tembus Koran Ala Pangerang P. Muda


Di sebuah grup WhatsApp, saya berkesempatan menyapa Pangerang P. Muda, penulis yang pada Minggu, 3 Februari 2019 kemarin, cerpennya dimuat di Tribun Jabar, berjudul Perempuan di Atas Jembatan.

Memenuhi permintaan Sariak Layung (Komala Sutha), admin grup tersebut, Pangerang membagikan buah karyanya itu untuk bersama-sama dianalisa para anggota grup. "Semoga menginspirasi," harapnya.

Seperti pengakuan guru SMK Negeri 1 yang tinggal di Parepare ini, cerpen Perempuan di Atas Jembatan lolos setelah proses kurasi dan harus menunggu sekitar 2 bulan, dari pengiriman sampai terbit di harian tersebut. "Sudah biasa (menunggu lama, red.), di majalah dulu ada yang sampai setahun," ungkapnya.

Ternyata, seorang penulis juga musti punya kesabaran ekstra sebelum menuai hasil, melihat nama dan karyanya tercetak di media massa dan pastinya mendapatkan honorarium. Sesuai pengalaman Pangerang, untuk koran dan media online, paling cepat seminggu masa menunggu sudah ada yang dimuat. Bahkan penulis lain ada yang cuma tiga hari menunggu. "Berarti cerpennya sangat disukai redaktur," katanya menyimpulkan.

Saat ditanya terkait proses kreatifnya dalam menulis, Pangerang P. Muda mengatakan bahwa setiap lintasan ide selalu ia catat di buku kecil, bahkan kadang mimpi pun dicatatnya ketika terbangun dan masih bisa diingat. "Itulah nanti yang jadi ide dasar untuk ditulis," jelas penulis yang karyanya sudah wara-wiri di koran seperti Solopos, Tribun Jabar, Padang Ekspres, Berita Pagi Palembang, Banjarmasin Post, Minggu Pagi Jogja, Haluan, Merapi, Radar Lampung, dan lainnya.

Dalam usaha menembus koran, tiap media punya tingkat kesulitan masing-masing. Prinsipnya, kirim saja dan lupakan. Tulis lagi yang lain dan kirim lagi. "Saya belum pernah tembus Pikiran Rakyat," akunya, "masih berjuang."

Sementara untuk kiat menembus media koran, bagi Pangerang tidak ada yang spesifik, cara yang umum ditempuh saja. Contoh di Tribun, perhatikan semua tema dan aliran yang pernah dimuat. Tiga cerpen Pangerang yang lolos di sana beda tema semua. "Untuk aliran, cerpen realis ada diterima, yang surealis pun ada. Jadi prinsipnya, bikin saja cerita yang menarik, memukau, dan kisah di dalamnya tidak terlalu klise."

Pemahaman sederhananya, realis itu nyata, sementara surealis agak gelap. Tidak perlu dibingungkan dengan istilah, tulis saja cerita yang mau ditulis. Kita baru meribetkan istilah itu kalau memang niat menspesialisasikan diri menulis satu saja aliran. Karena telaahnya malah makin bikin puyeng, ada cerpen semi-realis, absurd, realis-magis, dan lainnya.

"Untuk gaya tulisan yg disukai, lebih real kalau baca langsung cerpen-cerpen yg dimuat Tribun. Banyak di lakonhidup.com," sarannya. "Kalau saya susah menarasikan penjelasannya. Saya nulis dan ngirim cerpen ke media tidak mempertimbangkan faktor itu. Setiap cerpen saya jadi dan saya anggap cocok di media sasaran, ya kirim."

Demikian sekelumit obrolan maya dengan Pangerang P. Muda, kita memang harus rajin menganalisa sendiri cerpen-cerpen yang dimuat di media untuk mempelajari karakter dan aliran yang disukai media yang kita incar.

Buat yang penasaran dengan tulisan-tulisan Pangerang, bisa main ke blog-nya, klik di sini. Atau berteman saja di facebook: Pangerang P. Muda, instagram @pangerang_p.muda.

"Aku hanya seorang Toekang Tjerita; mohon diperkenankan bercerita hingga cerita-ceritaku sampai pada cerita ke seribu satu...." (Pangerang P. Muda)

Kiat Menembus Koran


Salah satu media cetak yang jadi incaran utama para penulis adalah media koran atau surat kabar harian. Menembus koran dengan karya-karya kita memang susah-susah gampang. Makanya, agar bisa berhasil menembusnya, kita perlu berkenalan dulu dengan koran yang mau kita coba kirimi tulisan.

Kita harus tahu apa saja yang bisa dan biasa dimuat di surat kabar yang terbit setiap hari itu. Secara umum, tulisan yang dibutuhkan oleh koran di antaranya adalah opini, cerpen (cerita pendek), cernak (cerita anak), resensi buku, dan puisi. Ada juga beberapa koran yang memiliki rubrik lokal atau ciri khas tertentu seperti cerkak (cerita cekak), yakni cerpen berbahasa Jawa. Kalau di Solopos ada rubrik Ah... Tenane yang jadi ciri khas dengan tokoh uniknya, Jon Koplo dkk. Di Kedaulatan Rakyat ada rubrik mini SST (Sungguh-Sungguh Terjadi) atau Koran Merapi dengan TSS (Terjadi Sungguh-Sungguh), dan sebagainya. Makanya, melihat langsung edisi cetaknya merupakan keharusan agar kita nyambung dengan keinginan redaksinya.

Untuk kolom atau rubrik opini, biasanya setiap koran butuh satu tulisan setiap harinya, kecuali hari libur. Cerpen, puisi, resensi, atau cerkak, biasanya seminggu sekali, rata-rata pada edisi hari Minggu. Melihat waktu terbitnya, tentu saja mengirim tulisan ke koran rata-rata masa menunggu pemuatan bisa lebih cepat. Bahkan hitungan hari bisa saja tulisan kita dimuat kalau memang layak.

Contoh rubrik lokal Ah... Tenane koran Solopos


Perlu kita ketahui juga, dari area edar, koran bisa kita bagi dua yakni koran lokal dan koran nasional. Koran lokal terbit dan beredar di daerah, sementara cakupan koran nasional lebih luas. Contoh koran lokal adalah Solopos, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Waspada, dan koran-koran di bawah Tribun seperti Tribun Jabar, Tribun Jogja, Tribun Jateng, Tribun Sumsel, Tribun Jambi, Tribun Batam, Tribun Lampung, dan sebagainya. Koran nasional bisa kita sebut di antaranya Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, dan Suara Merdeka.

Contoh opini di Solopos

Koran dengan jangkauan nasional, tentu saja lebih sulit menembusnya karena saingan kita dari seluruh Indonesia, bahkan penulis-penulis yang sudah ternama pasti mengincar rubrik-rubriknya di sana. Honornya pun bisa dipastikan lebih besar dari koran lokal. Maka, sebagai permulaan, kita bisa mencoba menembus dulu koran lokal di daerah tempat tinggal kita. Syukur-syukur kita tahu alamat kantornya, hingga kalau dimuat, kita bisa mengambil honor ke sana.

Contoh cerpen di Kedaulatan Rakyat

Honor koran lokal, biasanya sangat lambat jika menunggu ditransfer dari bagian keuangan mereka. Ini sudah menjadi rahasia umum. Makanya, lebih enak kita menulis untuk koran lokal di daerah kita dulu, sebelum coba-coba kirim tulisan lintas regional. Banyak penulis mengeluh, terpaksa harus nagih-nagih demi mendapatkan honornya. Padahal jika kita bisa secara langsung mengambil honor ke kantornya setelah sepekan pemuatan, pasti langsung cair. Itulah alasan utama saya lebih suka mengirim tulisan ke Solopos.

Tampilan Tribunnews Epaper

Sekali lagi, usaha awal menembus media koran, kita tetap butuh melihat edisi cetaknya. Kita bisa membelinya di lapak-lapak koran atau berlangganan. Sekarang sudah banyak koran yang menyediakan epaper atau koran cetak versi digital, yang bisa kita akses. Ada yang harus berlangganan dulu dengan sejumlah uang, ada yang benar-benar menggratiskannya untuk diakses siapa saja.

Koran di bawah naungan Tribun bisa kita simak edisi cetaknya setiap hari dengan mengunduh aplikasi Tribunnews Epaper di Playstore. Ada sekitar 22 koran lokal seluruh Indonesia ada di situ. Setiap hari di-update dan bisa kita simak sama persis dengan edisi cetaknya. Dari situ kita bisa mengenali karakter tulisan yang bisa dimuat di sana.

Contoh tampilan epaper koran.

Selain Tribunnews Epaper, kita juga bisa mengakses beberapa link koran digital gratis yang hanya dengan mendaftarkan email tanpa biaya. Di antara yang gratis itu adalah Waspada Medan, Pikiran Rakyat, dan Kedaulatan Rakyat. Jadi tidak ada alasan kita malas berkenalan dengan koran. Mulai dari mengenal dan menganalisa, kita bisa mencoba mengirim tulisan agar dimuat di sana.


Saatnya kita bergerak. Menulis bukan sekadar hobi, tapi bisa jadi pundi uang karena honor bisa didapat dari tulisan kita yang dimuat di koran. Selamat mencoba! Jangan pernah putus asa.


Teknis Dasar Kirim Naskah


Menulis untuk media massa, baik cetak maupun daring, adalah sebuah tantangan tersendiri. Rasanya puas sekali kalau bisa dimuat di media yang kita incar. Sebagian penulis pemula kadang masih bingung terkait teknis pengiriman naskahnya. Kali ini, saya akan berbagi pengalaman saya tentang hal ini.

Di zaman serba internet ini, kita dimudahkan sangat dengan adanya koneksi gaib bernama jaringan data. Maka tidak perlu lagi mengirim naskah lewat jasa kurir atau pos. Naskah dengan mudah dikirim lewat email. Wajiblah bagi penulis punya akun email, mau Yahoo, Gmail, Outlook, dll, silakan.

Teknis dasarnya adalah, kita buat tulisan dalam format Miscrosoft Word, baik disimpan dalam doc, docx, atau rtf. Dalam 1 file tersebut, isinya naskah kita, di bawahnya cantumkan biodata seperlunya. Nama pena, nama asli, alamat domisili, nomor KTP, nomor telepon, dan email. Boleh disertai foto dan scan/foto KTP. Tidak lupa pula cantumkan nomor rekening bank untuk pencairan honor jika dimuat.

Setelah siap file tersebut, kita buka email. Tulis email baru, isi alamat email tujuan, pada subject atau judul email tulis jenis naskah dan judul tulisan (misal: Opini-Kartini Masa Kini, atau Cerpen-Kita Manusia), pada badan email tulis pengantar naskah dengan memperkenalkan diri dan harapan dimuat pada rubrik yang diincar. Untuk naskah yang sudah kita buat dalam MS Word kita lampirkan. Lalu kirimkan. Satu email satu naskah saja, ya.

Pengantar di badan email juga seperlunya saja ya, jangan terlalu panjang. Sebagai contoh, misalnya:  

Salam. Perkenalkan saya Wakhid Syamsudin dari Sukoharjo, bersama ini mengirim naskah cerpen berjudul Piatu. Semoga berkenan membacanya, dan jika layak saya berharap bisa dimuat di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat. Terima kasih. 

Salam, Wakhid Syamsudin.

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan. Jangan sekalipun mengirim naskah sama ke beberapa media pada waktu bersamaan. Kalau sampai terjadi pemuatan satu naskah di dua media atau lebih, maka kita akan masuk blacklist di media tersebut. Hati-hati ya. Jangan pula mengirimkan tulisan hasil plagiat. Ini adalah dosa besar bagi penulis.

Semoga bermanfaat. Jika ada yang masih perlu ditanyakan, silakan tulis di kolom komentar. Terima kasih.

Book Progress, Pembatas Buku Ala Mas Zen



Suka baca buku? Harus dong! Ketika buku tidak bisa habis dibaca sekali duduk, tentu saja kita butuh pembatas halamannya. Cara kuno adalah dengan melipat halaman yang bersangkutan  agar sewaktu-waktu mau meneruskan baca tinggal buka lipatan tersebut.

Sebagian penerbit buku juga sudah menyertakan batas buku dari kertas yang bisa dimanfaatkan untuk menandai batas tersebut. Kalau tidak, kita juga bisa beli pembatas buku yang ada perekatnya, yang bisa ditempel dan mudah dilepas dari halaman demi halaman sehingga praktis sekali untuk membantu menandai batas bacaan.

Selain cara manual di atas, ada lho, aplikasi berbasis android yang bisa kita manfaatkan untuk membantu memberi batas buku pada bacaan kita. Aplikasi ini bernama Book Progress.

Book Progress adalah aplikasi hasil kreativitas Mas Zen, salah seorang teman kita anggota ODOP (One Day One Post), sebagai bentuk kecintaannya pada buku. Aplikasi ini sangat ringan dan tidak akan terlalu mengganggu RAM android kita. Tampilannya sederhana, tapi dilihat dari segi manfaat, aplikasi ini sangat berguna bagi kita penggila buku.

Aplikasi ini bisa kita unduh gratis di Play Store, link-nya bisa diklik di sini . Mas Zen mempersilakan siapa saja untuk manfaatkannya.



Begitu terinstal, kita bisa langsung membuat list buku yang sedang kita baca. Sederhana saja, cukup tulis judul buku (Title book?), penulisnya (Author?), dan jumlah halaman (Total pages?). Setelah buku masuk list, kita bisa mengetikkan halaman terakhir yang dibaca, dan akan terlihat persentase bacaan kita.



Tertarik menggunakan aplikasi ini? Yuk, tinggal instal dan gunakan. Semoga aplikasi ini jadi ladang pahala bagi Mas Zen, selama kita memanfaatkannya. Baca buku jangan lupa Book Progress!

Hilang Kontak


Usai mengambil honor di sebuah penerbitan di Solo, Jon Koplo mampir ke toko buku ternama bersama anaknya yang masih kelas II SD, Gendhuk Nicole. Mumpung ada obral buku murah di sana, Koplo ingin beli beberapa novel dan juga buku anak buat bacaan Gendhuk yang lagi libur sekolah.

Sesampai di tempat parkir, Koplo membuka jok motor dan menaruh amplop honor di dalamnya, baru kemudian masuk ke toko buku.

Cukup lama keduanya memilih buku dan akhirnya membeli beberapa. Setelah puas belanja buku, Koplo mengajak Gendhuk salat Asar dulu di musala. Setelah salat, barulah mereka mendekati motor untuk bersiap pulang.

Saat itulah Koplo kebingungan karena tidak menemukan kunci kontak motornya. “Wadhuh, kunci motor tadi di mana, ya, Ndhuk? Di saku baju dan celana kok nggak ada?”

Melihat ayahnya bingung, Gendhuk Nicole malah nambahi bingung, “Lah, kalau kuncinya hilang kita nggak bisa pulang dong, Yah? Nanti tidur di mana?”

“Sudah, jangan panik. Ayo dicari dulu kontaknya,” ajak Koplo.

Keduanya bergegas menuju musala dan tempat wudu, siapa tahu kunci kontak jatuh di sana. Nihil. Lalu mereka ke tempat obralan buku dan tidak juga berhasil mendapatkan kunci. Dengan lemas kembalilah mereka ke parkiran.



Koplo melihat Tom Gembus si penjaga pintu keluar parkir segera mendekat ke sana dan bertanya, “Mas, di dekat sini ada tukang kunci nggak ya?”

Tom Gembus balik bertanya, “Ada apa, Pak?”

“Kontak motor saya hilang.”

“Motornya apa?”

Koplo menyebutkan merk motor dan warnanya.

“Boleh lihat STNK-nya, Pak?”

“Ada, ini, Mas,” Koplo mengambil STNK dari dompet.

Setelah mengecek STNK milik Koplo, Gembus kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. “Ini kunci motor Bapak, tadi saya temukan masih menggantung di jok motor.”

Koplo terkejut, tapi juga bersyukur ternyata kontak motornya tidak jadi hilang. “Wah, terima kasih sekali ya, Mas, sudah diamankan,” kata Koplo sambil menerima kontak itu.

“Lain kali lebih hati-hati, ya, Pak,” pesan Gembus.

“Iya, Mas. Makasih.”

Akhirnya Koplo dan anaknya bisa pulang dengan lega. Untung ada tukang parkir.

Sabtiyaningsih ([email protected]

Dimuat di harian Solopos edisi Sabtu Pon, 2 Februari 2019. Pakai nama istri. :)

 

Decluttering Rumah Agar Hidup Lebih Menyenangkan


Judul buku: Decluttering Rumah
Penulis: Muhajjah Saratini
Penerbit: Trans Idea Publishing, Sleman, Jogjakarta
ISBN: 978-602-0808-76-5
Cetakan: Pertama, 2018
Kategori: Home & Living
Tebal: 224 halaman

Rumah dengan tumpukan barang di mana-mana, tentu membuat kita merasa tidak nyaman. Berbenah sepanjang hari pun tetap saja ada serakan kertas, tumpukan mainan anak, barang tidak terpakai yang menggunung. Adakah kita sudah benar dalam berbenah, atau hanya sekadar menumpuk dan memindah letaknya? Tampaknya kita perlu belajar berbenah dengan metode decluttering, seperti yang diulas tuntas oleh Muhajjah Saratini dalam buku ini.

Penumpukan barang di rumah disebabkan 3 hal: keinginan yang bersifat konsumtif akan barang, adanya nilai kenangan, dan harapan kelak berguna. Menurut Prof. Dr. Otto Sumarwoto, kebutuhan merupakan sesuatu yang terbatas dan diperlukan untuk mencapai kesehatan, keamanan, dan aspek-aspek yang berkaitan secara manusiawi, sementara keinginan diartikan sebaliknya, selalu ingin lebih banyak, terus menanjak dan tidak memiliki batas (the rising demans), sehingga keinginan inilah yang membuat kita banyak membeli barang yang seharusnya tidak kita beli karena sudah memiliki yang lain. Ini pemicu tumpukan barang di rumah kita.

Decluttering berasal dari bahasa Inggris yang berarti remove unecessasy items from (an untidy or overcrowded place). Kristen McQuillin menyederhanakannya, "Decluttering is a delightful way to make space in your home." Sementara Higher Read mengartikan, "Decluttering is simply the action we take to remove unwanted stuff from our lives." Intinya, decluttering adalah tindakan yang kita ambil untuk membuang barang yang tidak kita inginkan dalam hidup kita. Fokusnya, kita cukup menyimpan yang kita butuhkan, bukan menuruti keinginan. (Halaman 27).

Muhajjah Saratini memperkenalkan setidaknya 10 metode decluttering dalam buku setebal 224 halaman ini. Beberapa di antaranya adalah Four Box, kita siapkan empat kotak untuk memilah barang: simpan, buang, berikan, dan pindahkan. Pemilahan ini memaksa kita lebih paham akan kebutuhan kita.

Metode lain, 12-12-12. Ini dilakukan dengan mengelompokkan 12 barang dalam 3 bagian, 12 disimpan, 12 disumbangkan, dan 12 dibuang. Metode ini efektif untuk menyeleksi benda dengan kapasitas besar.

Metode lain dikupas dalam buku ini, seperti metode 333, metode KonMari, maupun 10 Prinsip Decluttering Spiritual, Hari demi Hari, Ikuti  Angka pada Tanggal, dan sebagainya.

Decluttering merupakan langkah pertama yang perlu kita lakukan untuk mendapatkan suasana rumah yang kita perlukan. Ingatlah, rumah bukan tempat menyimpan barang demi barang dan menumpuknya. Rumah adalah tempat kita dan keluarga saling mengenal dan berbagi perasaan. Barang yang terbatas tapi sanggup mewakili diri kita, jauh lebih baik daripada memiliki banyak barang hanya karena merasa sayang membuangnya. Tidying your home change your life.

Kecelakaan


"Aaaa! Sakiit...!" teriakku.

Ini memang sial. Lengan kiriku dijahit. Kulitnya robek tembus ke daging, mungkin tercabik aspal saat aku menggelasar jatuh dari motorku.

"Tahan, Nduk, sakit sedikit biar nanti segera sembuh," suara bapak-bapak paruh baya itu. Dia yang telah dengan sangat salah, mengendarai motor sambil bertelepon ria, hingga terjadilah kecelakaan itu. Dia menabrakku!

"Ooh! Sakit sekali!" teriakku lagi. Masa bodoh dengan para petugas yang ada di ruang UGD puskesmas ini. Biar saja mereka mau komentar apa, yang jelas petugas yang menjahit lenganku telah begitu tega menusuki kulit dagingku.

"Istighfar, Nduk...," bapak-bapak itu bersuara lagi. Ah, sumpek dengarnya! Sudah main tabrak, sok melarang orang berteriak pula. Sakit tahu!

Terdengar dering HP miliknya. "Nduk, aku angkat telepon dulu," pamitnya padaku sebelum keluar dari ruang UGD. Aku melengos saja.

Lukaku selesai dijahit.

"Bu...," kupanggil petugas UGD di dekatku. "Boleh pinjam HP?"

"Oh, mau menelepon keluarga?" tanyanya. Aku mengangguk. Dia menyerahkan HP-nya padaku. Lekas kuhubungi nomer Bapak.

Ah, sial, nomer tidak aktif! Kuulangi beberapa kali. Sama. Nomer Bapak tidak aktif. Aku jadi ingat pada HP jadul Bapak. HP yang casing-nya sudah tidak rapat lagi, Bapak mengikatnya dengan karet. Memang mengenaskan. Pasti HP jadul itu kehabisan baterai.

Bapak belum punya duit untuk beli HP baru. Bapak hanya buruh kasar di pasar dengan keuangan minim. Aku hanya tinggal berdua dengan Bapak setelah ibuku kawin lagi dengan lelaki lain di Jakarta sana. Dan sekarang Bapak pasti sedang di tempatnya kerja.

Tidak bisa menghubungi Bapak, aku ingat Lek Mul, siapa tahu beliau bisa kesini.

Benar saja, tak menunggu lama, usai kutelepon, adik kandung ibuku itu datang. Meski kakaknya sudah bukan istri Bapak, Lek Mul masih berhubungan baik dengan keluargaku.

"Kok bisa begini, Nin? Kamu tidak hati-hati naik motor?" tanya Lek Mul saat melihat kondisiku. "Bapakmu mana?"

"HP-nya tidak aktif, Lek."

Saat itulah, penabrakku masuk ke ruang UGD usai menuntaskan obrolannya di telepon. Melihat kedatangan Lek Mul, dia langsung menyalami. "Keluarga Nduk Nindi?" tanyanya.

"Saya paklek-nya," jawab Lek Mul, "Bapak ini siapa?"

"Saya Syarif, yang menabrak Nduk Nindi, Pak. Kecelakaan yang tidak kita inginkan. Saya mohon maaf sekali...."

Lek Mul berbincang dengan penabrakku. Tidak lama, bapak-bapak bernama Syarif itu menuju meja petugas. Sementara Lek Mul mendekatiku. "Nin, kita pulang. Kata petugas, kamu hanya luka-luka luar, bisa langsung pulang."

"Terus, urusannya sama yang nabrak?" tanyaku.

"Beliau bertanggung jawab. Untuk urusan pengobatanmu, juga perbaikan motormu," jawab Lek Mul. "Sekarang kita pulang. Bapak itu akan kembali ke lokasi kecelakaan untuk membawa motormu ke bengkel."

"Kalau dia kabur? Apa bisa langsung percaya begitu, Lek?" tanyaku pula.

"Aku meminta KTP-nya."

Lek Mul mengantarku. Setiba di rumah, aku kaget ternyata Bapak sudah pulang.

"Bapak sudah pulang? Ditelepon kok tidak bisa, sih?" tanyaku. Kesal juga rasanya.

"Iya. Bapak kerja setengah hari. HP Bapak jatuh di jalan. Belum bisa beli baru, malah HP jatuh entah di mana...," Bapak menjawab. "Kamu tidak parah, kan?"

"Ya, ini lenganku dijahit, Pak," aduku. Bapak hanya melihat sepintas lenganku. Bapak terlalu cuek untuk melihat anaknya yang kecelakaan. Bapak lebih memilih ngobrol dengan Lek Mul sebelum akhirnya pamanku itu berpamitan.

Sore sekali, penabrakku berkunjung. Dia ditemani seorang lelaki lebih muda. Bapak menyambutnya dengan sikap tak acuh.

"Bapak yang nabrak anak saya? Kok bisa? Apa sampeyan tidak melihat jalan sampai bisa menabrak Nindi?" suara Bapak. Sifat bapakku memang begitu. Kadang mudah terpancing emosi dan berangasan. Biarlah Bapak yang menyelesaikan urusan ini. Lagi pula, orang yang menabrakku yang salah.

"Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja," Pak Syarif mencoba membela diri.

"Kata Nindi, Bapak naik motor sambil teleponan. Itu kan berbahaya untuk orang lain, Pak."

"Untuk itu, saya minta maaf. Saya akui itu salah."

"Baguslah kalau Bapak sadar itu salah. Terus sekarang akibatnya seperti ini. Anak saya yang baru pulang sekolah Bapak tabrak. Bagaimana kalau besok tidak bisa masuk sekolah? Repot, kan?"

Wah, Bapak benar-benar marah rupanya.

"Pak, saya mohon maaf. Sebenarnya, saya yang menelepon Ustaz Syarif sesaat sebelum menabrak putri Bapak. Saya tetangga beliau," lelaki yang lebih muda yang menemani penabrakku ikut berbicara.

"Oo, jadi begitu? Kalau begitu, Bapak juga harus ikut tanggung jawab," Bapak menyahut.

"Mari kita bicarakan baik-baik, agar semua bisa selesai. Pokoknya, Ustaz Syarif sebagai penabrak, bertanggung jawab penuh atas kecelakaan ini."

Rupanya penabrakku seorang ustaz. Semoga sebagai ustaz dia memang serius menanggung semua ini.

"Iya. Lain kali, Bapak jangan ulangi lagi naik motor sambil nelepon. Bahaya."

Wuih, bapakku hebat. Berani memberi nasihat seorang ustaz.

"Sebenarnya saya waktu menelepon Ustaz Syarif, sedang mengabarkan kondisi anak beliau yang juga jadi korban kecelakaan. Beliau tergesa ingin segera ke rumah sakit, sehingga menerima telepon sambil naik motor."

Bapak belum menanggapi, orang itu melanjutkan bicara, "Dik Nindi barangkali lebih beruntung karena yang menabrak bertanggung jawab. Sementara anak Ustaz Syarif, penabraknya kabur, tabrak lari."

"Ya, itu tidak ada hubungannya dengan anak saya yang ditabrak," bapakku menyela.

"Saya hanya ingin Bapak juga memahami posisi Ustaz Syarif saat berkendara sambil menelepon. Meskipun itu juga salah."

Penabrakku, Ustaz Syarif, yang beberapa saat hanya diam, kembali bersuara. "Saya kemari ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya, karena saya juga harus segera mengurus anak saya yang masih di ruang ICU."

Heh? Separah itukah? Aku jadi terusik. Aku yang sedari tadi rebahan di depan TV, mencoba duduk. Kasihan juga rupanya Ustaz Syarif ini. Entah mengapa aku tiba-tiba penasaran dan bertanya, "Lalu, yang menabrak anak Bapak?"

Ustaz Syarif menolehku. "Saya belum memikirkan pelaku tabrak lari itu. Yang penting anak saya segera mendapat perawatan. Juga soal kamu, Nduk Nindi. Saya ingin segera selesai."

Aku jadi sedikit merasa bersalah juga sudah berprasangka aneh-aneh. Rupanya, hati Ustaz Syarif ini mulia juga. Tidak hanya mementingkan diri sendiri. Bahkan saat anaknya jadi korban tabrak lari, dia masih sempat mengurusiku yang ditabraknya. Meskipun dalam kasusku, dia tetap yang salah.

"Saya juga belum yakin bisa menemukan pelakunya. Saya tidak punya saksi. Juga tidak tahu siapa penabraknya. Hanya ada petunjuk ini, milik pelaku tabrak lari itu." Ustaz Syarif merogoh saku baju kokonya. Ia mengeluarkan sesuatu yang membuatku tersentak. "HP ini miliknya yang terjatuh di TKP, tapi kayaknya rusak, mati total."

Aku sontak menatap ke arah bapakku. Raut muka Bapak pun mendadak berubah. Kembali kuyakinkan penglihatanku pada apa yang dipegang Ustaz Syarif. Sebatang HP jadul dengan karet mengikat casing-nya yang tidak rapat lagi. Aku hapal betul itu HP siapa. Bapak mendadak pucat pasi.

***

Dimuat di Majalah Hadila edisi 139 bulan Januari 2019
Honor 200 ribu ditransfer akhir bulan.

Dikirimi 2 eks majalah bukti terbit.