Coretan Basayev: Desember 2019

Duo Krucil di Ujung Waktu


"Kita di mana ini, Om?" Sovia lekas memandang sekelilingnya.

Lutfi juga terlihat sedikit bingung, tapi ia memilih tak bersuara dulu. Ia ikut memandang sekeliling.

Aku tergelak melihat kebingungan dua remaja yang sering kusebut dengan Duo Krucil itu. Kami memang berada beberapa tombak dari sebuah gapura kuno, yang dijaga oleh dua orang berpakaian ala prajurit dalam pentas ketoprak.

"Mas Suden ketawa aja. Kita di mana ini?" Lutfi tak sabar juga, bertanya akhirnya.

"Kita sedang berada di depan pintu gapura wisma kepatihan Majapahit," kataku segera, menjawab penasaran keduanya.

"Apa? Majapahit?" Duo Krucil berseru serentak kompak!

"Kok kaget, sih? Biasa sajalah," sergahku. "Kalian berdua kuajak jadi tokoh cerpen tugas RCO level akhir."

Keduanya saling pandang sebelum kembali menatapku. "Tapi tugasnya tidak harus pakai tokoh kita berdua, Mas," protes Lutfi.

"Tapi tidak ada larangan, kan, mau pakai tokoh siapa saja?"

Lutfi diam tak melanjutkan protesnya.

Sovia menunjukkan kekesalannya. "Aku sih tak masalah dijadikan tokoh tulisan Om Suden untuk kesekian kali. Tapi kenapa harus ke masa jadul begini? Sesekali ke masa depan kenapa sih, Om, setidaknya kan aku bisa tahu siapa jodohku kelak."

Sovia lekas menutup mulut seperti orang barusan keceplosan bicara. Aku jadi tertawa. Kulirik Lutfi sambil setengah berbisik, "Hahaha. Kode tuh, Mas Lutfi."

"Kode apaan, Mas?" tanya Lutfi tak paham.

"Itu, Sovia penasaran siapa jodohnya. Kali aja kamu mau ngasih kepastian," pancingku.

"Ah, ngomong apa sih, Mas, tak penting amat," sergah Lutfi dengan nada tidak suka. Tapi gelagatnya lucu juga, ia mendadak kikuk.

"Sudah ah, memang tidak ada yang penting soal aku." Sovia yang bicara. "Pokoknya, aku malas kalau jadi tokoh tulisan Om Suden dengan setting zaman jadul begini!"

"Terus gimana, dong, aku kan baca novel tentang Majapahit. Ya, aku harus bikin cerpen dari apa yang kubaca, sesuai tugas yang kalian tantangkan," kataku dengan sedikit kesal juga.

"Ya sudah, daripada ribut, kita ikut saja apa maunya Mas Suden," kata Lutfi menengahi.

"Nah, begitu bagusnya," kataku tersenyum puas.

"Tapi jangan panjang-panjang ceritanya. Ogah aku!"

Aku tertawa. "Baik, cukup 3000 kata saja ya?"

"Kepanjangan!" protes Sovia. "Pokoknya jangan lebih dari 1250 kata. Titik!"

Melihat kegalakan Sovia, tampaknya harus kuturuti saja. Daripada dia ngambek dan tidak lagi mau kujadikan tokoh ceritaku.

"Baik, Mas. Sekarang Mas mulai saja ceritanya," saran Lutfi.

"Iya, tentu." Aku memulai. "Kita berada di depan wisma kepatihan. Saat ini adalah masa awal berdirinya Majapahit. Rajanya adalah Sri Narapati Kertarajasa Jayawardana. Sri Kertarajasa mengangkat Nambi sebagai patih amangkubumi. Dan di wisma inilah sang Patih tinggal. Ayo kita masuk."

"Ada dua prajurit penjaga, Mas."

"Hahaha. Tenang saja, kita bisa melihat mereka, tapi mereka tidak bisa melihat kita," kataku menjelaskan.

"Serius? Kita bisa menghilang maksud Mas Suden?"

"Bisa dibilang begitu. Intinya, kita di sini untuk menyaksikan saja akan apa yang terjadi. Begitulah inti cerpen kita kali ini."

Lutfi mengangguk paham. Sovia ikut mengangguk. Keduanya lekas mengikuti langkah kakiku menuju gapura masuk.

Benar saja, kedua prajurit jaga memang tidak menghalangi langkah kami yang masuk ke wisma kepatihan. Sovia yang sempat was-was memegangi lengan Lutfi dengan raut sedikit ketakutan. Lutfi lekas merangkulkan tangannya dengan lagak melindungi. Aku tersenyum saja melihat kelakuan keduanya itu.

Di ruang penghapadan, terlihat dua orang tengah berbincang. Kujelaskan pada Lutfi dan Sovia bahwa kedua orang itu adalah Patih Nambi dan seorang menteri kepercayaannya, Rakyan Menteri Dyah Halayuda.

"Kita simak apa yang mereka bicarakan, jangan khawatir, mereka juga tidak bisa melihat keberadaan kita," kataku.

Duo Krucil mengangguk. Lutfi mengeratkan rangkulannya. Sovia tak menolak, jujur ia agak takut juga di tempat asing ini. Ia merasa Lutfi memang pantas jadi pelindungnya.

"Halayuda," berkata Patih Nambi. "Sebelum pergi meninggalkan Majapahit, Arya Wiraraja sempat memberi pesan padaku, bahwa ada sosok keparat bertangan kotor yang bermain di kerajaan ini. Katanya, ia juga terlibat dalam hasutan pemberontakan Rangga Lawe."

Dyah Halayuda mendengarkan dengan saksama. Patih Nambi kembali melanjutkan, "Aku ingin, agar engkau mengusut, mencari tahu siapa yang dimaksud sosok keparat bertangan kotor itu."

Halayuda mengangguk. "Aku siap melaksanakan perintahmu, Kakang Patih."

"Bagus, Halayuda."

"Kakang Patih, sebelum aku menyelidiki keparat itu, aku akan melaporkan hal yang tidak kalah penting."

"Hal apa itu, Halayuda?"

"Ini menyangkut keadaan negara, Kakang. Jika dibiarkan, maka akibatnya bisa sangat gawat."

Patih Nambi terlihat penasaran. "Segera laporkan apa yang terjadi," katanya tak sabaran.

"Kakang, Kebo Taruna berniat menuntut balas pada Kakang Lembu Sora atas kematian ayahandanya!"

Ucapan itu membuat Patih Nambi tersentak. "Tunggu, Halayuda. Kita semua tahu, bahwa benar Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang saat menumpas pemberontakan Rangga Lawe. Hal itu dilakukan Lembu Sora karena merasa ayahanda Kebo Taruna itu tidak bersikap kesatria saat perang tanding melawan Rangga Lawe di Kali Tambak Beras."

"Iya, Kakang. Aku juga tahu, bahkan Gusti Prabu sendiri mengampuni Kakang Lembu Sora. Dan yang jadi masalah, Kebo Taruna hendak menuntut penegakan hukum bagi pembunuh seperti Kakang Lembu Sora sesuai apa yang diundangkan dalam Kitab Kutaramanawa."

Patih Nambi diam sejenak. Ia hela napas panjang. Halayuda melanjutkan, "Menurut Kebo Taruna, jika di awal berdirinya Majapahit saja, undang-undang dilanggar, maka nama besar Majapahit akan tercoreng. Rakyat tidak akan percaya pada Gusti Prabu. Setidaknya itu yang aku khawatirkan juga jika terjadi, Kakang Patih."

Patih Nambi terlihat berpikir keras. "Begini saja, Halayuda."

"Bagaimana, Kakang?"

"Kutugaskan kau menemui Kebo Taruna. Bujuklah dia agar mengurungkan niatnya itu. Kita harus menghormati keputusan Gusti Prabu yang memberi ampun pada Lembu Sora karena ia sangat besar jasanya pada Majapahit. Ingat, sabda pandita ratu, apa yang jadi perkataan Raja tidak boleh berganti-ganti begitu saja."

Halayuda kini terdiam.

"Kau sanggup membujuknya?"

Halayuda menghaturkan sembah. "Baiklah, Kakang. Akan kutemui Kebo Taruna. Semoga dia bisa menerima penjelasanku."

Tak lama kemudian, Halayuda berpamitan. Meninggalkan Patih Nambi yang tepekur berpikir keras. Ia tidak sepenuhnya yakin, langkah Kebo Taruna bisa begitu saja dihalangi.

"Om, kita ke mana sekarang? Ikuti orang yang keluar barusan?" tanya Sovia.

"Pastilah, masa sih menetap di sini? Sang Patih kan cuma adegan kebingungan sendiri," kata Lutfi.

"Rencana awal memang kalian akan kuajak mengikuti Halayuda menemui Kebo Taruna," kataku.

"Kalau begitu, ayo, tunggu apa lagi, Om?"

Aku menatap wajah Sovia. "Kamu serius mau melanjutkan cerita ini?"

"Lah iya, dong, Om. Terlanjur penasaran bagaimana lanjutannya. Apakah Kebo Taruna jadi menuntut balas atas kematian ayahandanya?"

"Juga itu, Mas, siapa keparat yang sedang dicari Patih Nambi," tambah Lutfi.

Aku menggeleng. "Tidak. Jatah kita habis."

"Jatah apa, Mas?"

"Di awal tadi, aku menawarkan 3000 kata untuk cerpen ini. Sovia ogah, mintanya jangan lebih dari 1250 kata. Dan kita sudah nyaris kehabisan jatah itu."

"Kan tadi aku tidak tahu bakalan seru, Om. Aku bersedia deh sampai ribuan kata," ucap Sovia penuh minat.

Aku menggeleng. "Tidak bisa. Aku sudah memutuskan tak lebih dari 1250 kata. Sesuai permintaanmu di awal cerita."

"Kan bisa dirubah, Om."

"Diubah, bukan dirubah, Sov. Kata dasarnya ubah, bukan rubah," sela Lutfi.

"Terserah, pokoknya Om boleh tambah berapapun kata dalam cerpen ini asal kelar semua."

"Tidak, Sov. Maafkan aku. Kamu ingat kata-kata Patih Nambi tadi. Sabda pandita ratu. Tidak boleh keputusan diubah-ubah begitu saja."

"Itu berlaku buat keputusan Raja, kan, Om!"

Aku tertawa. "Menurutmu tidak berlaku buatku? Aku masih ketua umum ODOP! Anggap saja keputusanku juga keputusan seorang Raja."

Sovia terdiam.

"Jadi kesimpulannya? Kisah ini berakhir di sini?" tanya Lutfi setengah kecewa.

Aku mengangguk. "Ayo kita kembali ke alam nyata, di mana di sana sedang pengumuman ketua baru ODOP."

"Tuh, kan, Om bukan ketua lagi, bisalah ditarik keputusan jumlah katanya."

"Tidak, Sov. Sampai kisah ini kututup, belum serah terima jabatan. Jadi statusku masih ketua."

Sovia terlihat kecewa. Lutfi juga merasa sedih tak bisa membantu apa-apa untuk membujukku melanjutkan kisah yang harus diakhiri ini. Lutfi hanya bisa menghibur dengan memeluk Sovia erat-erat.

Kututup pada kata ke seribu dua ratus lima puluh. Di ujung tahun 2019, di akhir masa jabatanku sebagai ketua ODOP.

Membentuk Karakter Anak bersama Totto-chan


Totto-chan Si Gadis Kecil di Tepi Jendela adalah sebuah buku cerita buah karya Tetsuko Kuroyanagi yang mengisahkan masa kecilnya bersekolah di Tomoe. Sebuah cerita sederhana tapi sarat dengan makna tentang pembentukan karakter anak. Bahasanya yang simpel memang pas untuk bacaan anak. Orangtua juga perlu membacanya agar bisa mengimbangi cara bersikap menghadapi anak seperti Totto dengan segudang rasa ingin tahunya akan hal-hal baru.

Cerita dibuka dengan adegan Totto dan mamanya yang hendak mendaftar di sekolah baru, karena si anak yang baru kelas 1 sekolah dasar, harus dikeluarkan dari sekolah lama karena dianggap nakal dan mengganggu belajar teman-temannya.

Mama harap-harap cemas, takut kalau Totto tidak bisa diterima di sekolah tujuannya. Mama sangat bijak, ia tidak memberitahu bahwa Totto telah dikeluarkan dari sekolah lama. Ia hanya diajak untuk pindah ke sekolah baru.

Totto terpana dengan sekolah barunya: gerbangnya dari pohon hidup, ruang kelasnya dari bekas gerbong kereta. Dan yang tidak disangkanya: kepala sekolah mau mendengar Totto bercerita selama empat jam penuh dengan segenap perhatian! Hal yang tak pernah Totto jumpai di rumah maupun di sekolah lamanya. Totto sangat gembira saat kepala sekolah yang kemudian diketahui bernama Pak Sosaku Kobayashi itu berkata, "Mulai besok kau sudah menjadi murid sekolah ini."

Sekolah baru Totto bernama Tomoe. Banyak hal baru dan sangat berbeda yang ditemukan Totto jika dibanding sekolah lamanya. Di antaranya, anak-anak bebas memilih tempat duduk, setiap murid boleh memulai dari pelajaran yang disukainya, dan saat makan siang kepala sekolah mewajibkan membawa bekal makanan "yang berasal dari laut" dan "yang berasal dari gunung".

Tomoe ternyata sangat cocok untuk Totto yang begitu aktif dan besar rasa penasarannya akan hal baru. Teman-temannya menyenangkan, meski ada yang menderita polio, atau ada kekurangan fisik lainnya, tapi anak-anak diajari menghargai. Tidak ada guru memarahi murid, semua masalah diselesaikan dengan pendekatan ke anak di sekolah, tanpa perlu memanggil orangtuanya.

Membaca buku ini, kadang saya merasa terharu biru, ikut tertawa, merasakan keceriaan anak-anak Tomoe, dan di ending cerita, ikut merasakan duka luar biasa saat sekolah yang didirikan penuh dedikasi oleh Pak Kobayashi ini harus hancur akibat gempuran pesawat pembom B-29 dari Amerika. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1944 ketika serangan udara besar itu melanda Tokyo, jelang akhir Perang Dunia II.

Buku ini adalah usaha Tetsuko Kuroyanagi setelah dewasa, mengumpulkan kembali kepingan kenangan masa bersekolah di Tomoe, dengan menemui teman-teman sekolah yang masih bisa ia jumpai. Sambil mengenang segala kebijakan Pak Kobayashi yang meninggal pada usia 69 tahun, sebelum sempat mewujudkan mimpi dan cita-cita mendirikan kembali sekolah Tomoe. Lokasi sekolah Tomoe sekarang sudah dibangun supermarket Peacock Super Store dan lapangan parkir.

Kebijakan pendidikan Pak Kobayashi seperti tertulis dalam buku ini selalu mempunyai prinsip: "Anak siapa pun pada saat lahir selalu mempunyai sifat yang baik. Selama tumbuh ia dipengaruhi oleh keadaan sekelilingnya atau dimanjakan oleh orang dewasa. Karena itu kita harus secepatnya menemukan sifat baik ini dan kemudian memupuk atau mengembangkannya untuk menjadi manusia yang berkepribadian." (Halaman 177)

Judul buku : Totto-Chan Si Gadis Kecil di Tepi Jendela
Judul asli : Madogiwa No Totto-chan
Penulis : Tetsuko Kuroyanagi
Alih bahasa : Latiefah H. Rahmat, Nandang Rahmat
Penyunting : Kikiek Haryodo
Penerbit : PT. Pantja Simpati dan Yayasan Karti Sarana (Toyota Foundation, Jepang)
Cetakan : Keempat, 1998
Tebal : 198 halaman


Buku Totto-chan di tangan saya ini adalah edisi khusus untuk kalangan pribadi Sekolah Bina Anak Sholeh (BIAS). Terima kasih untuk Ustazah Tasmiyatun atas pinjamannya.

Pilar Penopang Keluarga Sakinah


Pernikahan adalah ikatan sakral antara dua insan dalam usahanya membentuk sebuah keluarga sakinah. Sakinah adalah kata kunci bagi pernikahan idaman semua orang, terutama muslim yang senantiasa berharap ridha dari Allah Ta'ala.

DR. Mohammad Natsir dalam salah satu kesempatan memberi nasihat pernikahan berkata, "Sekadar ada rumah dan ada tangga belumlah disebut sebagai rumah tangga. Bahkan andainya rumah dan tangga yang dimaksud bernilai mahal sekalipun. Karena rumah tangga adalah sebuah sistem yang di dalamnya ada nilai-nilai yang mesti berlaku pada keseluruhan anggotanya." (halaman 3)

Makna sakinah dalam Al-Qur'an dipakai untuk menggambarkan sebuah kenyamanan, ketenteraman, dan ketenangan batin. Gambaran ini untuk menyebutkan tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang. Dengan demikian, keluarga menjadi lahan subur bagi tumbuhnya rasa cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama anggotanya (halaman 8).

Buku ini menerangkan makna keluarga dalam Islam, makna sakinah dalam proses pembentukannya yang dimulai dari pintu gerbang utamanya yakni pernikahan yang sah dan benar. Bahkan merintisnya sejak memilih calon pasangan hidup sesuai anjuran Nabi Muhammad Saw.

Lebih lanjut, penulis menjelaskan perlunya bersandar pada pilar yang kuat, yakni keimanan dan ketakwaan pada Allah Swt, yang indikatornya bisa dilihat dari semangat memahami agama yang meninggi, kebiasaan menghidupkan salat malam, dan segala usaha menjaga keluarga dari azab api neraka.

Pilar yang tak kalah penting untuk dikuatkan adalah komunikasi yang harmonis antara suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Suami harus bisa menjalin komunikasi yang baik dan lebih ihsan kepada istri agar tercipta suasana harmonis, dinamis, dan penuh simpatik.

Beberapa adab dalam menjalin komunikasi di antaranya adalah membiasakan tersenyum, memberi salam, bersalaman lalu bertanya terlebih dahulu sebelum memulai pembicaraan lebih lanjut. Memilih waktu dan suasana yang tepat saat hendak menyampaikan keinginan tertentu.

Suami dan istri harus memahami hak dan kewajiban masing-masing, kesiapan menerima kekurangan pasangan baik pada sisi ciptaan maupun kelakuan. Dan tak kalah penting, kesanggupan suami untuk bersabar lebih besar dibanding istri.

Pilar keluarga sakinah yang juga sangat krusial, adalah terkait nafkah. Suami harus memberi nafkah dengan usaha yang halal. Istri juga harus memiliki sifat qanaah terhadap setiap rezeki dari Allah.

Secara keseluruhan, buku tipis ini mengandung pelajaran yang besar. Di mana jika pembacanya menerapkan setiap anjuran di dalamnya, maka akan terbentuklah impian keluarga yang sakinah. Harus disadari betul, keluarga sakinah bukanlah keluarga yang sepi dari ujian dan tantangan. Tapi bagaimana menyikapi segala pernak-perniknya dengan cara ihsan.

Judul buku : Membina Keluarga Sakinah
Penulis : Muzayyin Abdul Wahhab, Lc
Penerbit : Pustaka Da'wah, Solo
Cetakan : Kedua, 2016
Tebal : iii+50 halaman

Bang Ojan dan Cerpen Koran

"Kenalin, saya Majenis Panggar Besi. Tapi, teman-teman seringnya panggil saya Ojan. Yang belum kenal atau baru, biasanya memang panggil Majenis atau Panggar." Begitu penulis tamu di Kelas Fiksi komunitas One Day One Post pada 14 Desember 2019 itu memperkenalkan diri. "Ada pula yang panggil Besi," selorohnya.

Bang Ojan memakai nama pena Majenis Panggar Besi, katanya memang itu nama asli, hanya saja tidak tercatat di akta. "Panggar Besi itu marga sebuah keluarga di daerah Sumatra Selatan," katanya menerangkan. "Saya diangkat anak sama salah satu keluarga Panggar Besi sewaktu tinggal di Bengkulu. Dikasih nama Majenis Panggar Besi."

Setelah sesi perkenalan, Bang Ojan mulai menyampaikan tentang sastra koran, yaitu karya sastra yang dipublikasikan di koran. Kalau bicara sastra koran sendiri, sebenarnya tidak ada batasan jelasnya. Orang mana cerpen sastra dan yang tidak sastra saja belum pasti pembatasnya.  Sastra menurutnya, belum tentu sama menurut orang lain. Pun sebaliknya. Satu hal yang pasti adalah bahwa kita tahu sebuah cerpen itu termasuk yang disebut sastra atau bukan. Setiap orang bisa berbeda-beda dalam mendefinisikan apa itu sastra. Karena sastra hanya bisa kita rasakan tanpa mampu kita menjelaskan arti sastra itu sendiri ke dalam bentuk bahasa. "Yang bisa kita lakukan hanyalah menikmatinya, seperti halnya cinta, yang setia bermain-main di sini, untukmu," katanya setengah bercanda.

Bang Ojan mulai membaca dan mengliping koran Minggu itu sekitar awal tahun 2002. "Kebetulan masjid di tempat saya lumayan banyak jamaahnya, setiap hari Jumat jamaahnya sampai luber ke halaman dan jalanan di depan masjid. Banyak jamaah yang menggunakan koran bekas sebagai alas salat. Ya gitu, sehabis Jumatan saya suka milih-milihin koran bekas orang salat itu, kalau ada yang edisi hari Minggu dan ada cerpen atau puisinya langsung saya ambil. Kadang rebutan juga sama para pemulung koran," kenangnya sambil tersenyum sendiri mengingat masa-masa itu.

Bang Ojan mengaku, pertama kali berani menulis dan mengirim ke media sekitar tahun 2013. Jadi sebelum mulai menulis, ia terlebih dahulu melewati proses membaca yang cukup lama, yakni 11 tahun. Dan cerpen pertamanya yang dimuat media berjudul Mary Jane, tayang di Harian Suara NTB pada bulan Maret 2015. "Kalau mau dibilang baru, ya sebenarnya memang saya masih baru, hehe. Jadi di sini saya maunya kita lebih ke berbagi pengalaman dan proses kreatif. Kita sama-sama belajar, pasti banyak juga proses kreatif dari teman-teman semua yang selama ini tidak terpikir oleh saya," katanya merendah.

Saat ditanya ketertarikannya menulis cerpen, Bang Ojan menjawab, bahwa ia hanya merasa ada sesuatu yang perlu disampaikan dengan versi dia, dalam bentuk tulisan, tentang sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Tentang angin yang bertiup sehabis hujan, tentang perasaan ngilu saat kita harus berpisah dengan orang-orang yang kita sayangi. Lebih jauhnya, Bang Ojan ingin bercerita, dan tentu ingin didengar. "Dan salah satu cara supaya kita bisa didengar, ya dengan memublikasikan tulisan kita," katanya. "Mungkin benar bahwa saya tidak bisa mengubah dunia dengan tulisan saya, tapi setidaknya saya telah berusaha dan melakukan tindakan nyata. Bahwa bertindak--meskipun kecil-- adalah sesuatu yang berbeda dari tidak melakukan apa-apa sama sekali."

Dalam proses menyukai dunia kepenulisan, Bang Ojan setidaknya memfavoritkan dua nama penulis Indonesia, yakni Norman Erikson Pasaribu dan NH. Dini. "Saya menyukai kelembutan dan keindahan dalam gaya bertutur NH. Dini. Melalui mata NH. Dini, kita akan selalu melihat dunia dalam bentuk yang indah, jujur, sabar, dan mendamaikan hati," ungkapnya.

Berikutnya Bang Ojan mengutipkan salah satu paragraf favoritnya dari salah satu buku NH. Dini:
Umurku tiga belas tahun waktu ayahku meninggal. Rumah biru di pojok jalan yang kutemui sepulang dari sekolah tidak sesepi hari-hari biasa. Aku turun dari sepeda dengan kecurigaan yang memadat. Sampai di pendapa, kakakku laki-laki keluar dari pintu yang mengarah ke kamar tamu. Dia melihatku. Dengan gerakan yang hampir berlari dia mendekatiku. Dipeluknya aku dengan erat. Tiba-tiba kudengar suaranya yang parau di sela-sela isakannya. 
"Ayah sudah pergi."
Kalimat yang halus. Kalimat yang selalu diucapkan ayahku untuk mengatakan meninggalnya seseorang: pergi.
(Paragraf pertama Pada Sebuah Kapal, Nh. Dini)

"Sementara Norman, saya tidak perlu alasan untuk memfavoritkannya. Karena sejujurnya, jauh di dalam lubuk hati saya, saya mengakui bahwa saya ingin menulis dengan cara seperti Norman menulis. Sederhana dan dalam," katanya sepenuh rasa.

Jadi penasaran, seperti apa itu tulisan yang sederhana dan dalam. Bang Ojan lekas memberikan contoh:

CINTA
Ketika hujan datang
dan ia sedang di rumah
ia naik, dan memasuki kamar ini
untuk memastikan tak ada
rembesan pada langit-langit
(Norman Erikson Pasaribu, dalam Sergius Mencari Bacchus)

Koleksi buku favoritnya yang hasil karya Norman Erikson Pasaribu di antaranya berjudul Sergius Mencari Bacchus, dan Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu. Sementara buah karya NH. Dini di antaranya adalah berjudul Langit dan Bumi Sahabat Kami, Sebuah Lorong di Kotaku, Padang Ilalang di Belakang Rumah, Pada Sebuah Kapal, dan Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang.

Karya sastra lain yang menginspirasinya adalah Interpreter of Maladies (Jhumpa Lahiri), The Shell Seeker (Rosamunde Pilcher), dan terakhir, serial Harry Potter. "Meski seri bukunya sendiri sudah tamat bertahun-tahun yang lalu, sampai saat ini saya akan masih dengan senang hati berbincang membahas ketujuh buku Harry Potter," begitu ungkapnya. "Sekali lagi, saya menyukai hal-hal yang ditulis dengan cara sederhana, tapi memiliki lapisan makna yang mendalam."

Bang Ojan dalam sebulan memproduksi cerpen antara nol sampai lima cerpen. Kenapa nol? Karena sepengakuannya, ia pernah hanya menulis dua buah cerpen dalam satu tahun.

Kembali pada pembahasan cerpen koran. Kalau mau menembus koran, menurut Bang Ojan, kita bisa menulis tema yang sedang berlangsung. Misal tema Natal, Tahun Baru, Idul Fitri, Idul Adha, dan lain sebagainya. Meski tentu ada kelemahannya bila kita menulis cerpen yang tematik, karena bila gagal muat kali ini, kita harus menunggu tahun depan untuk mengirimnya kembali ke media yang lain.

"Untuk selanjutnya, sepembacaan saya, koran suka cerita tentang orang-orang yang tertindas atau kaum minoritas. Juga jangan melupakan tema lokalitas atau kearifan lokal, yang memang akan selalu 'laku' untuk diterbitkan di koran," katanya serius.

Cerpen Bang Ojan yang berjudul Mary Jane itu, mengalami proses panjang sebelum dimuat di koran. Ia mengaku sudah menggilir ke media nasional, tidak nyangkut. Akhirnya ia kirim ke koran NTB dan langsung dimuat.

"Cerpen saya tak pernah kirim sekali langsung tayang. Cerpen Salju-Salju yang Berjatuhan di Dalam Dadaku yang di Media Indonesia itu judul awalnya Yolendra, pertama kirim ke media, Desember 2015. Desember 2016 aku kirim lagi dengan beberapa perbaikan, masih gagal. Desember 2017 aku kirim lagi dengan beberapa perbaikan lagi, ditambah ganti judul. Kirim hari Selasa, Minggu langsung dimuat," kenangnya.

Waktu karya kita tidak kunjung nyangkut di media atau bahkan mengalami penolakan, pasti ada perasaan sedih atau kecewa. Cara mengembalikan kepercayaan diri dan tetap semangat menulis adalah dengan kembali ke motivasinya dalam menulis. "Kalau nulis tujuannya hanya buat dimuat saja ya pasti cepat lelah," katanya.

Cerpen Bang Ojan yang berjudul Salju-Salju yang Berjatuhan di Dalam Dadaku itu ber-setting luar negeri. Ia melakukan riset dulu yang banyak. Dengan begitu, menurutnya, nanti otomatis mengendap di alam  bawah sadar, jadi sewaktu menulis langsung mengalir begitu saja. Feel-nya juga jadi terasa lebih natural, tidak terlalu tekstual.

Kita bisa riset lewat internet dan YouTube, tanpa harus ke lokasi. Hanya saja kita harus pandai-pandao menyeleksi mana yang perlu ditampilkan dan mana yang tidak.

Sebagian kita bisa jadi merasa susah sekali mau menulis cerpen koran. Apalagi yang terbiasa nulis yang realis. Ada tips khusus dari Bang Ojan kalau mau mengubah yang menurut kita tidak sastra menjadi sastra. "Yaitu dengan eksperimen POV (point of view) atau sudut pandang. Misal: Ani minum kopi di dapur. Anakmu minum kopi di dapur. Aku melihat anakmu minum kopi di dapur," katanya menyontohkan. "Kalau mau lebih kental lagi feel sastranya, bisa ditambahkan keterangan waktu: Sehari setelah pemakamanmu, aku melihat anakmu sedang minum kopi di dapur."

Bang Ojan juga mengaku sering belajar dramatisasi kalimat. Sama seperti eksperimen dengan POV. "Ibaratnya kita pegang kamera gitu, terus bayangin kita geser-geser angle kameranya hingga dapat sudut yang dirasa pas," katanya.

Cerpen bergenre sejarah (klasik) juga punya peluang dimuat di koran. Tergantung pengemasannya. Sebagai referensi, kita bisa cari dan baca cerpen-cerpen Iksaka Banu, yang kesemuanya ber-setting zaman Kolonial Belanda. Cerpennya banyak dimuat di koran Tempo, dan sudah dua kali ia meraih Kusala.

Bang Ojan juga menceritakan proses pengolahan ide. "Cerpen saya kebanyakan dimulai dengan langsung masuk ke dalam adegan. Paragraf pembuka itu biasanya sebagai pemantik, yang saya tulis langsung ketika mendadak ide datang."

Bang Ojan tidak pernah bikin konsep atau semacam ide pokok, melainkan langsung mengalir begitu saja. "Sekali duduk biasanya langsung tamat, tapi paling cuma 6 atau 7 ribu cws. Saya endapkan, dua hari baca lagi sambil self editing, ditambal sana-sini sampai dirasa sudah pas," kisahnya.

Ia mengaku ada juga beberapa cerpen yang menerornya. Cerpen itu minta ditulis. Sampai pusing, soalnya kadang ide itu muncul pas lagi tidak pegang gawai atau lagi di jalan. Kepala sudah penuh banget sama opening-alur-ending. Jadi sekalinya ditulis langsung banjir.

Ketika ide muncul pas kondisi lagi tak siap buat nulis, Bang Ojan menyarankan untuk mencatat inti ide tersebut, di gawai misalnya. Kalau pas mau nulis malah blank, ya biarin saja. Suatu saat nanti, note-note kecil seperti itu pasti berguna.

Selanjutnya, agar pembaca betah berlama-lama membaca tulisan kita, kita harus menyadari bahwa pembaca biasanya sejalan dengan si penulis. "Kalau nulisnya aja susah, biasanya pembacanya juga kesusahan menikmati jalinan kata yang tertulis," katanya.

Dalam menulis cerpen koran, tidak selalu harus menggunakan diksi yang melangit. "Senyamannya kita saja," kata Bang Ojan melanjutkan. "Yang lebih penting dikejar dalam sastra adalah feel hasil akhir yang ditimbulkan oleh cerpen yang kita tulis. Bukan penggunaan diksi-diksi yang bahkan perlu membuka KBBI untuk tahu artinya."

Sejauh ini, Bang Ojan seolah sudah berhenti dalam upaya pencarian gaya menulisnya. Seperti ia katakan di awal tadi, ia ingin menulis seperti Norman dan NH. Dini, sederhana, indah, sabar dan dalam. "Cuma belakangan ada beberapa cerpen yang menolak untuk sederhana dan dalam, itu biasanya naskah untuk lomba. Karena tema yang ditentukan panitia, jadi sedikit banyak saya merasa dipaksa," akunya.

Bang Ojan sebenarnya juga ingin mengangkat tema lokalitas, tapi belum pernah berhasil menurut ekspektasinya sendiri. Ia merasa selalu terjebak pada cerita itu sendiri. Biasanya kalau sudah nulis jadi lupa plot awal, ceritanya mengalir sendiri saja.

Ketika ditanya terkait honor cerpen yang pernah ia dapat, Bang Ojan mengakui bahwa cerpennya yang dimuat di Media Indonesia adalah yang berhonor besar. "Cerpen pertama dulu masih 750 ribu. Terus yang kedua sudah turun jadi 600 ribu," ungkapnya jujur.

Penulis yang bisa dihubungi lewat akun facebook Jan dengan foto profil koala ini juga mengaku sedih dengan adanya koran yang tidak menyediakan honor bagi cerpen yang dimuat. "Mungkin memang media yang bersangkutan belum atau tidak sanggup menyediakan honor. Kita tetap apresiasi, setidaknya media bersangkutan masih menyediakan ruang untuk cerpen," simpulnya. "Ada juga yang ngakunya nyediain honor tapi tetep susah cair. Ya udah, ikhlasin saja. Anggap sedekah, semoga dinilai sebagai ibadah :')"

Ada juga koran yang menyediakan honor tapi dengan syarat penulis mengambilnya langsung ke kantor redaksi. "Tentu sangat repot, kalau kita domisili di Jawa, cerpen muat di Banjarmasin misalnya. Kita ke sana buat ambil honor kan gak balik modal. Hehe," selorohnya.

Pemilik akun instagram @mpb________ (8 kali garis bawah) ini menargetkan ke depannya untuk memiliki buku solo. Bukan antologi seperti selama ini. "Dan yang lebih ingin lagi, ya selalu diberi semangat dan anugerah kesehatan supaya tetap berkarya dan tidak hanya tidak melakukan apa-apa," katanya.

Bang Ojan pun berharap semoga dunia literasi kita suatu saat nanti populernya bisa sejajar dengan hiburan lain seperti film dan musik. Juga semoga rakyat semakin sadar betapa pentingnya arti hak cipta, dan sama-sama memerangi tindakan plagiat serta pembajakan terhadap buku-buku.

Untuk para penulis pemula, ia menasihatkan agar tetap menulis saja. "Percaya deh, nanti tulisannya bakal bagus sendiri. Intinya terus menulis, biar pun jelek. Kalau nulis jelek aja males, gimana bisa nulis bagus. Semua penulis profesional itu juga dulunya amatir kaya kita-kita, hehe."

Bang Ojan menutup obrolan malam itu dengan doa, "Semoga kita selalu hidup dalam keberkahan dan kebahagiaan."

Terima kasih Bang Majenis Panggar Besi atas sharing-nya malam ini. Semoga anggota komunitas ODOP bisa mengikuti jejakmu dalam berkarya. Sukses selalu!

Kebenaran Tak Harus Dibenturkan


Setiap manusia bisa jadi memiliki konsep kebenaran sendiri-sendiri. Hal ini dipengaruhi keragaman kompetensi ilmu, guru, konteks, dan perspektif masing-masing. Dalam Islam, keragaman memaknai kebenaran merupakan rahmat. Dalam jamaah apa pun, umat sama-sama meyakini bahwa kebenaran mutlak adalah Alquran dan As-Sunnah. Keragaman cara berpikir membuat konsep jalan iman, amal, dan ilmu memajemuk. Bisa dipastikan masing-masing tidak akan rela konsepnya dianggap salah.

Pada dasarnya, keragaman konsep kebenaran tersebut alamiah belaka, sangat mudah dipahami, seiring dengan makin beragamnya konteks kehidupan kita yang khas dan unik, lokal dan berskop kewilayahan, yang jelas musykil untuk diseragamkan. Ini situasi yang rasional belaka (halaman  43).

Buku ini mengajak kita merenungkan kemajemukan di Nusantara, secara keyakinan dan tradisi,  terutama dalam menjalankan ajaran agama Islam, sebagai mayoritas di Indonesia. Menjaga segala perbedaan cara berpikir dalam berislam, agar segala konsep kebenaran yang dipahami dan dipegang, tetap menjadi rahmat. Yang selama ini tampak begitu pelik dan rumit adalah terjadinya benturan antarkebenaran. Pada titik inilah kita rawan berseteru.

Situasi sejenis juga terjadi dengan eskalasi yang sangat sensitif dalam khazanah tafsir dan takwil kebenaran wacana (paham) Islam (halaman 41). Meski sebenarnya kondisi seperti ini sudah ada sejak dahulu kala, sejak era para sahabat sepeninggal Nabi Muhammad SAW.

Penulis memberikan contoh dengan mengulik sejarah terjadinya Perang Shiffin antara jemaah Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Ketika sudah nyaris memenangkan peperangan, Ali memutuskan berdamai dengan mekanisme tahkim (arbitrase), seketika pecahlah kongsi di antara jemaah Ali sendiri. Lahirlah kelompok Khawarij yang sangat radikal, keras, antikompromi, yang bahkan kemudian merenggut nyawa sang khalifah melalui tebasan pedang Abdurrahman bin Muljam yang hafiz Alquran dan ahli ibadah, sambil memekikkan: "Tidak ada hukum kecuali hukum Allah!"

Tragedi itu, meskipun tak terpisahkan dari keriuhan politik, jelas bergumul dengan sensitif-peliknya  benturan antarkebenaran. Kebenaran yang dipegang Abdurrahman dan kelompoknya, terhadap kebenaran yang diyakini Ali bin Abi Thalib dan pengikutnya.


Akibat benturan antarkebenaran sedemikian mengerikan, maka dari itu sudah seyogianya kita bisa  saling  menghargai satu sama lain. Sudah saatnya kita berpikir lebih dewasa untuk tidak selalu membenturkan kebenaran yang diyakini.

Di negeri yang majemuk ini, kita semua menyadari bahwa kita hidup berdampingan dengan begitu banyak pemeluk agama lain, juga aliran/mazhab Islam yang beragam, plus latar adat, tradisi, dan budayanya masing-masing. Jika gairah berdakwah tidak diiringi pengetahuan wacana keislaman yang memadai di satu sisi dan sikap bijaksana di sisi lain terhadap kemajemukan ini, sungguh rawanlah ia  terjatuh pada konflik dan ketegangan (halaman 68).

Penulis buku ini mengambil perumpamaan Islam sebagai sebuah pohon berakarkan keimanan kepada Allah SWT, batang dan cabangnya adalah ketakwaan, daun dan buahnya adalah akhlakul  karimah.  Pohon yang menghunjam dengan kokoh, berdaun rimbun berbuah lezat akan menyejukkan dan  menghidupi siapa saja yang melintas dan berteduh. Tak peduli orang beriman atau kufur yang  berteduh di bawahnya, tetap merasakan kenyamanan. Begitulah seharusnya umat Islam menyikapi  keragaman.


Kebenaran tidak untuk dibenturkan dan dipaksakan kepada orang lain. Kita harus bisa menyikapi dengan dewasa dan santai, sebagaimana Allah SWT “Maha Santai” terhadap hamba-Nya yang tidak mematuhi dan mengikuti ajaran-Nya.

“Kemahasantaian” Allah SWT bisa ditelisik dari salah satu ayat-Nya, "Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Maka takkan beriman seseorang kecuali dengan izin Allah SWT. Dan Allah Swt menimpakan keburukan kepada orang-orang yang tak mempergunakan akalnya." (QS. Yunus : 99-100)

Kita yakin, mudah saja bagi Allah SWT kalau menghendaki semua orang beriman dan bersatu dengan kuasa Kun Fa-yakun-Nya, tapi tidak, Dia SWT tidak begitu, Dia santai-santai saja.....

Wakhid Syamsudin
Ketua umum Komunitas literasi One Day One Post (ODOP), tinggal di Sukoharjo, Jawa Tengah.

Resensi ini dimuat di koran Solopos edisi Minggu, 8 Desember 2019

Ngobrol Cernak dan Cerma bersama Gita FU


Kelas Fiksi komunitas One Day One Post (ODOP) batch 7 kedatangan penulis tamu, yakni Mbak Gita FU. Tepatnya pada hari Sabtu, 7 Desember 2019 pagi, jam 08.00 WIB.

"Perkenalkan saya Gita FU, kelahiran Pontianak tahun 1981. Saya ibu dari tiga anak, saat ini mukim di Cilacap," kata Mbak Gita memperkenalkan diri.

Memulai obrolan, Mbak Gita mengenang masa awal mula menulis untuk media, yakni pada tahun 2006, saat mengirim cerita anak (cernak) ke majalah Bobo. Setelah pemuatan perdana tersebut ternyata ia harus vakum cukup lama, karena menikah, lalu punya anak, dan alasan-alasan lainnya.

"Tahun 2015 menjadi awal kembalinya saya ke dunia menulis. Kemudian tahun 2016 Alhamdulillah karya-karya saya mulai tayang di media cetak, digital, dan buku-buku Antologi," kenangnya penuh semangat.

Saat ditanya tentang tema dalam cernak apakah harus ringan, karena mengingat segmen pembacanya anak-anak, ia menjawab bahwa tema tidak harus ringan. Contoh, bisa saja tema yang diangkat ialah soal perceraian orang tua, pem-bully-an, bahkan LGBT.  "Namun dalam menuangkannya harus tepat sesuai porsi. Jika dalam cernak, maka sampaikanlah sesuai bahasa yang mudah dipahami anak-anak. Begitu pun jika untuk cerma (cerita remaja)," tegasnya.

Lantas Mbak Gita menyampaikan soal media, baik cetak maupun daring, yang menampung cernak dan cerma. Ia menyayangkan, saat ini jumlahnya telah menyusut drastis bahkan banyak yang telah tutup. "Dulu media terkenal penampung cerma ada:  Story, Aneka Yess, Gadis, Hai, Annida, Go Girl Magz, dan Minggu Pagi. Kini kesemuanya sudah tinggal kenangan," ungkapnya sedih.

Untuk cernak, katanya, dulu (hingga tahun 2018) bahkan banyak media cetak lokal yang menyediakan rubriknya. Kini sisa beberapa saja. Bahkan Majalah Bobo yang terkenal itu pun telah membatasi diri. Dan terkait honor cernak, berkisar pada angka 60-250 ribu.

Soal hilangnya media-media itu, banyak faktor yang saling terkait. Utamanya oplah media cetak telah menurun, banyak pelanggan beralih ke media digital. Tentu saja agar mereka bisa bertahan hidup, perampingan biasanya harus dilakukan. Maka dihilangkanlah rubrik-rubrik cerita itu, karena juga dipandang membebani finansial. Sebab lainnya, boleh jadi karena minat baca menurun akibat gawai.

Mbak Gita lantas melanjutkan perihal teknis menulis cernak. Ada syarat yang harus diperhatikan saat menulis cerita untuk anak. Pertama, pengolahan konflik: libatkan anak-anak baik sebagai pelaku, maupun yang memecahkan masalah. Kedua, bahasa: tentulah sederhana, gunakan kalimat-kalimat pendek. Ketiga alur, gunakan alur tunggal. Dan terakhir, sisipkan pesan moral. Cerita tentang anak, bisa diolah sebagai cerpen. Pengolahan kata, konflik, alur, tentu lebih bebas.

Bagi Mbak Gita, bagian paling sulit dalam menulis cernak dan cerma itu ialah menyajikan konflik dengan gaya bahasa untuk anak-anak maupun remaja. "Karena saya kan sudah berumur," celetuknya.

Dalam menyusun cerita anak, ada range usia pula yang harus diperhatikan. Misal range usia PAUD tentu konfliknya yang sederhana; rebutan mainan, pembagian tugas, olok-olok nama. Ada lagi range usia SD, di mana mereka sudah bisa diajak berlogika. Anak balita atau anak usia PAUD biasanya masih membutuhkan campur tangan orang dewasa untuk menyelesaikan konflik.

Cara mengemas ide yang sederhana menjadi menarik adalah dengan pengolahan diksi yang tepat, penokohan yang menarik, serta alur cerita yang mengalir. Jangan lupakan, beri unsur kejutan dalam cerita. Cerita anak itu tokohnya bisa berwujud siapa dan apa saja. Misal: peri berambut merah, sepatu tua yang lama diabaikan. Intinya, bisa dongeng, fantasi dan mitos-mitos.

Selanjutnya, membedakan cerma dengan young adult. Apakah harus ada bahasa gaul dan bertema percintaan serta tokohnya harus anak remaja? "Mari kita tentukan dulu range usia remaja dan young adult ini. Disebut remaja untuk anak usia 13-18 tahun. Sedangkan young adult saya kira untuk usia 19-24 tahun. Koreksi jika saya keliru," lanjutnya. "Dari situ saja kita sudah bisa mengamati perbedaannya bukan? Baik soal konflik yang dihadapi, karakter tokoh, hingga penyelesaian masalah."

Soal penggunaan bahasa gaul dalam cerma, Mbak Gita memilih mengutip pendapat seorang mantan Redaktur Majalah Gadis. "Kurang lebih beliau pernah menyampaikan, gunakan selalu bahasa baku dalam narasi cerita remajamu. Itu akan membantu ceritamu bertahan melewati zaman yang berganti. Jika ingin menggunakan bahasa gaul, pakailah hanya di bagian percakapan."

Dalam cernak maupun cerma pasti sarat pesan moral. Bagaimana caranya kita menyisipkan pesan moral tanpa ada kesan menggurui? "Sebelum menjawab ini, mari tanya balik ke diri sendiri, dengan jalan bagaimana saya ingin diberi pencerahan oleh cerita yang saya baca? Sudah ketemu jawabannya? Kalau saya sendiri tidak suka digurui secara terang-terangan. Saya lebih suka mendapatkannya lewat dialog yang mengalir, ending yang solutif," kata Mbak Gita.

Jadi yang terbaik, sisipan pesan moral tidak secara gamblang dikemukakan. Tapi, kebanyakan media menginginkan sebaliknya--khusus cerita anak. Dalam hal ini, kita harus paham juga selera media yang kita tuju.

Menulis cernak juga harus totalitas. Jika kita hendak mengambil tema anak berkebutuhan khusus (ABK) misalnya, sebaiknya si penulis membekali diri dengan riset, sehingga fakta yang dimasukkan betul-betul nyata. Di luar itu, teknisnya sama dengan menyusun cerita anak lainnya. Karena persoalan ABK di sini kan hanya masalah tema. Dan jika menggunakan sudut pandang anak, tentu harus disesuaikan dengan usia anak yang sedang bertutur itu.

Mbak Gita kemudian memberikan referensi bacaan cernak dan cerma. "Untuk penulis cerita anak dan remaja dalam negeri, banyak ya contohnya. Misal: Agnes Bemoe, Dian Onassis, Dian Kristiani, Clara Ng, Ruwi Meita, Ary Nilandari, Hairi Yanti, dkk. Kalau penulis luar misalnya: Roald Dahl, Kate Dicamillo, Cornelia Funke," katanya. "Saat ini yang terpikir oleh saya adalah novel anak terbaru Hairi Yanti berjudul Terima Kasih Allah, terbitan Indiva. Itu bagus pengemasannya, tidak menggurui, tapi anak dapat pesan moralnya; bahwa musibah mengajarkan banyak hal, terutama mengasah rasa syukur pada Allah."

Sebagai seorang ibu yang punya baby, Mbak Gita memilih waktu menulis di pagi hari, mulai jam 8. Mbak Gita yang bisa disapa di akun facebook Gita Fetty Utami dan instagram @gitafu ini juga memberikan komentarnya terkait polemik mengusik tentang lomba cerita anak di DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) yang tidak menentukan pemenang bahkan memberikan pernyataan menyinggung para penulis cernak. Mbak Gita mengatakan, "Sebenarnya begini (ini komen pribadiku), namanya ajang lomba tentu ada juri. Nah, juri pasti punya standarnya masing-masing. Jadi jangan terlalu lama baper hanya gara-gara komentar juri sebuah lomba, meskipun itu lomba yang bergengsi."

Demikian obrolan cernak dan cerma bersama Mbak Gita FU. Selamat berkarya, Mbak Gita. Terima kasih sudah berkenan berbagi di komunitas ODOP. Semoga kami bisa mengikuti jejakmu dalam dunia kepenulisan.

Kenalan Sama Corky Corcoran


Saya lagi baca buku serial Fear Street karya R.L. Stine berjudul Cheerleaders: The Second Evil (Musibah Kedua). Ini merupakan tugas baca dari kelas RCO (Reading Challenge ODOP) keenam pekan kedua: baca buku fiksi nonromance. Saya pilih buku ini karena memang belum sempat baca.

Tugas dari pije Duo Krucil (Mas Lutfi dan Mbak Sovia), adalah peserta diminta mengulas tentang tokoh utama dalam buku yang dibaca. Yuk, kita kenalan sama Corky Corcoran.

Corky adalah anak kedua dari keluarga Corcoran. Adiknya super nyebelin bernama Sean. Contohnya di adegan ini:

Sean membelalakkan mata ketika melihat gips yang membalut lengan Corky. "Wow! Boleh kupegang?"

Corky menyodorkan gipsnya ke hadapan Sean. "Pegang saja, kalau itu bisa membuatmu senang."

"Tunggu dulu," kata Sean dengan riang. "Aku mau kasih tanda tangan. Gips harus ditandatangani, ya, kan?"


Padahal itu tangan si kakak patah akibat jatuh ikut tampil bersama tim cheerleader-nya.

Corky punya kakak bernama Bobbi, yang pada buku sebelum ini, sudah meninggal dunia. Pada blurb tertulis: "Suatu malam Corky Corcoran melihat kakaknya yang telah meninggal bangkit dari kuburnya. Mungkinkah itu halusinasi saja atau memang kenyataan?!"

Di sekolah, Corky memiliki teman satu tim yang kompak: Debra, Kimmy, dan Ronnie, yang berjibaku mengungkap keberadaan roh jahat yang mengganggu kehidupan Corky dkk.

Corky punya pacar bernama Chip, yang akhirnya tewas mengenaskan dihabisi oleh roh jahat. Roh jahat benar-benar mengancam! Corky dkk bertekad menghentikannya.

Petunjuk demi petunjuk bermunculan. Ada Sarah Beth yang dipergoki menari di atas kuburan, ada Jon Daly yang membuntuti Corky demi mencari kepastian penyebab kematian kakaknya, Jennifer.

Saya tidak akan bercerita di sini kok, soalnya tugas saya cuma mengajak kenalan sama tokoh utama, dan ini sudah selesai, saya rasa.

Kalau kalian penasaran baca sendiri ya, kisah seram (tidak seram sih menurutku) ini. Bagaimana keseruan Corky dkk berusaha menghentikan roh jahat yang tak segan membunuh dengan kejam. Dan yang tak disangka... roh jahat itu sejak awal sudah merasuk ke salah satu orang yang dekat dengan Corky.

Udah ya....

Judul buku : Cheerleaders: The Second Evil (Musibah Kedua)
Penulis : R.L. Stine
Alihbahasa : Hendarto Setiadi
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Juni 1995
ISBN : 979-605-234-2
Tebal : 208 halaman

#RCO6 #OneDayOnePost

Anak-Anak Istimewa

 

Oleh : Wakhid Syamsudin
Ketua Umum komunitas menulis One Day One Post (ODOP)


Beberapa waktu lalu, salah seorang tetangga saya mengadakan tasyakuran khitan anaknya. Si anak adalah salah satu anak berkebutuhan khusus. Acara berjalan dengan lancar, banyak tamu turut mendoakan agar si anak menjadi anak saleh.

Awalnya saya datang dan istri turut hadir sebagai among tamu, seperti lazimnya acara hajatan di rumah tetangga, dengan perasaan biasa saja. Namun semakin berjalannya acara, saya merasakan keharuan demi keharuan membuncah ketika para tamu berdatangan.


Barangkali karena shahibul hajat memang aktif dalam kegiatan komunitas difabel di bawah naungan dinas sosial, tak heran tamu yang hadir sebagian dari keluarga yang memiliki anak-anak istimewa. Yang membuat saya terharu, anak-anak berkebutuhan khusus itu diajak bersosialisasi dengan baik, terkondisikan, dan tanpa sekat sosial. Betapa besar hati para orangtua yang dengan bangga menggendong anak-anak disabilitas, tanpa sungkan berbaur. Sangat mengharukan. Mereka datang selayaknya bertamu pada hajatan umumnya, anak-anak didandani seganteng dan secantik mungkin. Kekurangan anak diterima sebagai hadiah istimewa dari Allah Swt dengan segala syukur.

Ternyata belum genap keharuan yang saya rasakan. Ketika kepala kantor dinas sosial kabupaten yang menyempatkan datang, membuat mata saya berkaca-kaca. Usai menyanyi, orang nomor satu di kantor dinas sosial kabupaten itu memeluk si anak. Lalu dengan bangga mengatakan bahwa anak tersebut adalah juga cucu baginya. Terasa sekali kehangatan kekeluargaan yang beliau perlihatkan. Selain saya, hadirin juga terlihat terharu sekali.


Saat saya berkesempatan berbincang dengan istri saya, saya singgung tentang segala keharuan ini. Istri saya malah bilang kalau ia sampai meneteskan air mata saking terbawa perasaan.

Barangkali hari itu, merupakan momen yang tidak akan terlupakan. Di mana saya dan istri merasakan betapa kerdilnya saat diri kurang bersyukur. Kehadiran anak-anak istimewa dengan senyum dan gelak-tawa mereka, mampu meluruhkam segala keegoan jiwa. Sebuah pengalaman rohani yang mampu menguras keharuan. Sungguh, mereka telah menjadi guru yang mengajari bagaimana memaknai hidup.

Dimuat di Majalah Hadila edisi 149 bulan November 2019