Coretan Basayev: Maret 2019

Sungguh-Sungguh Terjadi


Rubrik Sungguh-Sungguh Terjadi atau kita singkat saja dengan SST, ya. Merupakan sebuah rubrik sangat sederhana yang setiap hari muncul di halaman depan Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (KR Jogja) pada pojok kanan bawah. Rubrik ini serupa dengan rubrik Terjadi Sungguh-Sungguh milik Koran Merapi.

SST memuat tulisan satu paragraf kiriman pembaca yang berisi kejadian unik atau lucu yang bisa saja terjadi di sekitar kita. Meski hanya beberapa kalimat saja, tapi KR Jogja mengapresiasinya dengan honor senilai 50 ribu. Sangat besar untuk ukuran tulisan sependek itu sih.

Cara mengirim SST adalah dengan menuliskannya di kartu pos atau selembar kertas, lalu mengirimkannya lewat kantor pos ke alamat redaksi KR Jogja berikut ini: 

Redaksi Kedaulatan Rakyat
Jl. P. Mangkubumi No. 40 - 46
Yogyakarta
Telp. (0274) 3155542 / Fax . (0274) 550890

Kalau pakai kartu pos tinggal tulis alamat pengirim dan tujuan sebelum diposkan. Kalau di kertas lain, harus dimasukkan amplop, alamat tulis pada amplop dan mengirimkannya via pos. Jangan lupa tulis nama rubrik di pojok atas amplop TERJADI SUNGGUH-SUNGGUH.

Berikut ini contoh coretan SST tulisan istri saya, yang ditulis pada selembar kartu pos dan dikirim lewat pos tanggal 1 Maret 2019. Dan tidak menunggu lama, berhasil dimuat pada hari Minggu, 10 Maret 2019. Berikut ini naskah asli dan naskah yang dimuat, kena sunting sedemikian rupa dari Redaksi.

Tulisan tangan asli.

SST Minggu, 10 Maret 2019
Dan honor dikirim lewat wesel pos, sejumlah 48.500 rupiah. Asumsi saya, honornya 50 ribu kena potong pajak jadi sisa 48.500. Lumayan kan, untuk tulisan sependek itu. Oh iya, kemarin ongkos kirim via pos tarifnya 13 ribu rupiah dari Weru, Sukoharjo ke KR Jogja.

  

Bagaimana? Mau coba ikut kirim SST ke KR Jogja? Untuk mengecek apakah tulisan SST kita dimuat di sana, kita bisa melihatnya pada epaper KR Jogja. Klik di sini

Tidak ada alasan untuk tidak menulis. Hehehe.

Rindu Kampung


Rindu Kampung

dalam damai
terhirup aroma padi disemai
yang dulu lalai
kini selalu terkenang, aduhai

saat kumandang asar di surau
langkah petani antara galau
biji padi sudah semanis dikau
pipit menggoda terbang dihalau
angin berdesau
mengabarkan rindu perantau

Rindu Surau

saat kecil belajar mengaji
alif sampai ya dalam eja
di surau kampung berdinding suram
berlentera dian tak kunjung padam

kapur tulis berdebu
patah kecil satu-satu
papan hitam menjadi putih
berpindah ke tangan pipi

di sana di surau itu
yang kini tak terurus lagi
pernah bertumbuh diri ini
dalam balut ilmu dan budi

Rindu Ibu

jauh
tapi hati ini sedekat saat menyusu
tanpa ada jarak ruang dan waktu

kilatan air mata saat berpamit padamu
saat diri ini hendak pergi dulu
menyayat kalbu

suaramu mendendang bertalu
dalam jiwa rapuhku
memanggil kepadamu

seperti burung terbang
ia akan kembali ke sarang
pada waktunya
pada waktuku

Rindu Kamu

tergugu saat kenangan tak bisa hilang
serasa dikau ada di sisi menemani
dalam kepedihan suka duka
menyanyikan lagu tentang cinta

betapa aku tidak mampu
seperti pungguk saja saat terjauh darimu
dikau serupa bulan di angkasa raya
jauh dan tak tergapai
tapi aku rindu

aku janji kembali
kembali aku berjanji
padamu

Dimuat di Harian Analisa, edisi 27 Maret 2019


Pada edisi 10 April 2019, puisi-puisi tersebut diapresiasi oleh Redaktur. Berikut screenshot-nya:

Membaca Karya Penulis Nobel






Bergabung dalam Reading Challenge ODOP, dengan seabreg tantangan membaca tiap levelnya, mambuat saya mulai peduli untuk mengenal penulis-penulis keren dengan karya-karyanya yang mantap betul. Pada level akhir RCO kali ini, pije menantang membaca buku buah karya penulis yang pernah meraih Nobel di bidang sastra.

Pada level sebelumnya, saya sudah membaca tulisan Ernest Hemingway yang berjudul Lelaki Tua dan Laut, bahkan memaksakan diri mengunyah versi bahasa Inggrisnya berjudul The Old Man and The Sea. Dan semua dalam ujud ebook berformat PDF.

Kali ini saya memilih novel berjudul Orang Asing karya Albert Camus. Novel tipis yang menggunakan sudut pandang orang pertama ini terbit pertama kali dalam bahasa Prancis dengan judul L’Etranger pada tahun 1942, kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul The Outsider dan The Stranger.
Ini adalah novel filsafat yang mengusung tema absurd dan eksistensi yang secara permukaan tidak menghadirkan pergolakan emosi yang mengaduk-aduk, namun sesungguhnya memiliki makna yang sangat mendalam. Orang Asing juga menjadi kritik Albert Camus atas hukuman mati yang saat itu diterapkan.

Novel ini masuk dalam daftar 1001 Books You Must Read Before You Die. Dan saya sudah kelar membacanya.

Terima kasih pije RCO, Mas Lutfi dan Mbak Sovia, yang sudah memaksa saya membaca tulisan berbobot agar saya melek pada dunia sastra yang sesungguhnya. Semoga saya bisa banyak belajar menulis dari membaca. Sukses selalu buat RCO.

#ReadingChallengeODOP

Lutfi Tanpa Sovia


"Assalamualaikum, Mas Wakhid!"

Saya agak terkejut ketika ada seorang anak muda menyapa saya saat sedang memilih buku di Perpustakaan Serba Ada.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab saya segera, sambil memandang pemuda itu. "Subhanallah, ini Mas Lutfi, kan?"

"Iya, Mas. Rupanya kita bertemu lagi."

Saya tergelak sambil menyambut uluran tangannya bersalaman. "Semoga tidak bosan ketemu saya terus," kata saya pula.

"Enggak bosanlah, Mas. Hanya sungkan saja sih, sebenarnya."

"Sungkan kenapa?"

Lutfi lekas menggeleng. "Enggak kenapa-napa."

Saya tersenyum melihat gelagat Lutfi seperti itu. Saya jadi teringat kejadian tempo hari. "Kamu nggak enak hati kepergok pacaran sama Sovia?" tuduh saya.

"Ih, siapa juga yang pacaran, Mas!"

"Hm ... Waktu kemarin itu, Sovia perhatian banget sama kamu, Mas. Sampai kening Mas Lutfi yang keringetan saja dilap pakai sapu tangan."

"Udahlah, Mas, nggak penting itu mah!"

Saya kembali tergelak.

"Mas Wakhid, sebenarnya saya ada perlu sedikit sama sampeyan," kata Lutfi dengan nada agak serius.

"Ada apa, Mas?"

"Enggak, cuma saya mau minta sampel tanda tangan Mas Wakhid."

"Dih, tanda tangan? Macam orang penting saja?!"

Lutfi mencoba tertawa. "Iya, mau nggak mau, Mas Wakhid ya jadi orang penting."

"Memangnya tanda tangan buat apaan?"

"Saya mau bikin sertifikat buat yang lulus RCO."

"RCO sudah mau kelar? Cepat sekali, perasaan baru kemarin dimulai," sahut saya.

"Iya, Mas. Ini sudah level akhir. Kan postingan ini salah satu tantangannya, Mas. Nggak usah pura-pura nggak tahu deh, Mas."

"Oh iya juga. Gampanglah soal tanda tangan. Selain tanda tangan, bukannya Mas Lutfi mau minta masukan terkait RCO untuk ke depannya."

"Mas Wakhid sudah tahu juga saya mau nanya itu?"

"Dih, kan postingan ini tujuannya ke situ. Sudahlah, kita sama-sama tahu lah!"

Lutfi tertawa. "Oke, Mas langsung kasih masukan sajalah."

Saya diam sejenak. Sedikit berpikir.

"Jangan kelamaan mikirnya, Mas."

"Ih, sedikit bergaya lah, biar nggak membosankan pembaca."

"Terserah Mas Wakhid lah."

Saya mengangguk-angguk. "RCO kali ini sudah sangat bagus. Sangat terprogram dengan baik."

"Sarannya ke depan?"

"Hilangkan tantangan bacaan bahasa Inggris. Saya pusing kalau pas level itu."

"Yeah, itu kemunduran dong, Mas!"

"Ya, biarin. Kan itu usul saya. Suka-suka saya!"

"Baiklah, usul saya tampung. Tapi keputusan tetap di tangan pije lho, ya!"

"Kok saya tampung, Mas? Kan harusnya pakai kata kami. Kan kamu berdua sama Sovia pijenya!"

Lutfi terdiam beberapa jenak.

"Kok kamu jadi diam gitu, Mas? Saya salah?"

Lutfi menggeleng. "Enggak, Mas. Saya hanya ... teringat Sovia."

"Ada apa dengan dia?"

"Belakangan ini kami jarang ketemu. Bahkan WA juga tak terbalas."

"Duh, kok bisa gitu?"

"Dia sibuk belajar, Mas. Fokus ujian sekolah."

"Oo gitu. Ya, kamu musti sabar, Mas. Rindunya ditahan dulu."

Lutfi mengangguk. "Terima kasih sarannya, Mas. Tapi kan rindu memang berat."

"Saat-saat merindu itu saat yang bagus untuk produktif menulis lho, Mas. Kamu bisa mencurahkannya dalam puisi atau cerpen bahkan novel."

Lutfi mengangkat wajah memandang saya. "Bisa begitu ya, Mas?"

"Iya. Saat Mas Lutfi jauh dari Sovia untuk beberapa waktu, manfaatkan untuk menulis."

Lutfi terlihat tersenyum antusias. "Baiklah, Mas. Akan saya coba."

Saya tepuk-tepuk bahu pemuda itu memberikan suntikan semangat.

#ReadingChallengeOdop

Mencari Hikmah Sebuah Titik


Judul: Mencari Sebuah Titik
Penulis: Torianu Wisnu
Penerbit: Quanta (Elex Media Komputindo)
ISBN: 978-602-02-7217-7
Genre: Motivasi islami
Terbit: 2015
Tebal: 160 halaman

Ini hanyalah sebuah cara, untuk mengenal Tuhan dan Islam.

Dalam menjalani hari demi hari kehidupan kita, selayaknya seperti kepingan puzzle yang bisa kita susun dan rangkai dengan cara masing-masing. Jika kita cermat dan jeli, akan banyak tebaran hikmah yang bisa kita raih, di mana setiap peristiwa sesederhana apa pun akan mengantar kita pada sebuah titik akhir yang di sana kita bisa bertemu dengan kesejatian diri dalam mengenal Tuhan.

Torianu Wisnu dalam bukunya setebal 160 halaman ini, menuturkan jalinan puzzle kehidupan dalam usahanya menemukan titik akhir pencariannya. Pembaca diajaknya merenung, mengambil hikmah setiap peristiwa, tanpa perlu menunggu ada kejadian yang benar-benar wah. Dalam keseharian kita, di sanalah berjuta hikmah bisa dituai.

Buku ini memuat motivasi yang disajikan dengan sangat ringan, berupa catatan-catatan kecil yang tiap bab bisa dibaca sekali teguk, tanpa perlu banyak berpikir. Mengalir dengan sangat enteng, seperti kita berjalan di jalanan yang biasa kita lalui, meniti jembatan kehidupan yang saban hari kita lewati. Dan di situlah, perenungan itu hadir.

Kalau Anda butuh bacaan ringan dan tidak ingin berpikir jelimet, maka tulisan Torianu Wisnu ini bisa Anda nikmati. Seperti teh hangat, yang bisa disesap sambil ditemani makanan apa saja yang terhidang di meja. Menikmati segala kesyukuran, sambil melantunkan ayat yang diulang berkali-kali dalam Ar Rahman: Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Ernest Hemingway Peraih Nobel Sastra 1954


Ernest Miller Hemingway (1899-1961) adalah pengarang dari Amerika Serikat yang paling terkemuka di sepanjang zaman. Salah satu karyanya, novel The Old Man and The Sea (1952) telah mengantar penulis kelahiran Oak Park, Illinois, 21 Juli 1899 ini, meraih penghargaan Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1954. Novel yang ia tulis di Kuba ini juga menang Hadiah Pulitzer 1953 dan Award of Merit Medal for Novel dari American Academy of Letters.

Sebelum sukses sebagai pengarang, Hemingway mengawali karir sebagai wartawan. Ia adalah sosok kontroversial sejak muda. Semasa SMA ia sudah menulis untuk koran sekolah. Meski termasuk berhasil dalam segala aktivitas sekolah, Hemingway sempat dua kali berhenti sekolah dan kabur dari rumah sebelum magang jadi reporter di sebuah koran lokal terbitan Kansas City pada usia 17.

Hemingway juga pernah jadi sopir ambulan pasukan Sekutu di Italia dalam Perang Dunia Pertama dan pulang dalam kondisi luka sebagai pahlawan perang. Lalu ia jadi wartawan muda di mingguan Star Weekly yang terbit di Toronto, Kanada. Di sana ia menulis feature secara berkala.

Hemingway menikah pertama kali saat usia 23, sebelum kemudian pergi keliling Eropa sebagai wartawan lepas. Hingga ia berkenalan dengan para penulis terkemuka kala itu, seperti Gertude Stein, F. Scott Fitzgerald, dan Ezra Pound, dan menerbitkan buku perdananya, Three Stories and Ten Poems pada 1923 di Paris.

Ernest Hemingway menikah empat kali dan menjalin banyak affair selama hidupnya. Tiga pernikahannya kandas dalam perceraian. Sebuah anekdot mengatakan, Hemingway butuh istri berbeda untuk menyelesaikan tiap novel hebatnya. Mary Welch, istri keempatnya yang mendampingi saat menulis The Old Man and The Sea.

Hemingway adalah pecandu alkohol yang akhirnya depresi saat usia 62 karena merasa kehilangan kemampuan menulis. Ia menembak kepalanya sendiri dengan senapan berburu, beberapa hari sebelum ulang tahunnya, tepatnya pada 2 Juli 1961. Peristiwa tragis sang pengarang flamboyan ini terjadi di Ketchum, Idaho. Beberapa anggota keluarganya juga mati bunuh diri, termasuk sang ayah, Clarence, dan dua saudaranya: Ursula dan Leicester. Bahkan belakangan, cucunya yang seorang aktris, Margaux Hemingway, juga ikut jejak akhir hidupnya.

Peninggalan 'abadi' Hemingway di antaranya: In Our Time (1925, kumpulan cerpen), The Sun Also Rises (1926, novel), Men without Woman (1927, kumpulan cerpen), A Farewell to Arms (1929, novel), Death in Afternoon (1932, novel), Winner Takes Nothing (1933, kumpulan cerpen), For Whom the Bell Tolls (1940, novel), A Moveable Feast (1964, memoar), By Line M Hemingway (1967, kumpulan laporan jurnalistik), The Dangerous Summer (1985, novel). dan The Garden of Eden (1986).

Gaya penulisan Hemingway yang khas dicirikan oleh minimalisme yang singkat dan dengan gaya mengecilkan dari keadaan sebenarnya (understatement) dan mempunyai pengaruh yang penting terhadap perkembangan fiksi abad ke-20. Tokoh-tokoh protagonis Hemingway biasanya stoik, seringkali dilihat sebagai proyeksi dari karakternya sendiri-orang-orang yang harus memperlihatkan "keanggunan di bawah tekanan." Banyak dari karyanya dianggap klasik di dalam kanon sastra Amerika.

OTM Februari 2019


Salah satu program baru dari Komunitas ODOP adalah OTM, singkatan dari ODOP Tembus Media. Bulan Februari 2019, program ini dimulai. OTM fokus pada usaha para anggota ODOP mengirimkan tulisan-tulisan ke media massa baik lokal maupun nasional, dalam jaringan (media online) maupun luar jaringan (media cetak).

Di bulan pertama ini, anggota yang mendaftar di Kelas OTM sejumlah 59 peserta. Mereka berjibaku mencoba menulis untuk media. Sampai akhir bulan Februari 2019 tercatat 41 peserta sudah mengirimkan hasil karyanya. Total ada 66 buah tulisan tersebar ke email-email redaksi koran maupun majalah. Tinggal menunggu nasib, lolos ataukah tidak.

Seiring berjalan waktu, pada sepanjang bulan Februari tercatat ada 4 tulisan peserta OTM yang berhasil lolos dan dimuat di koran, yakni:
  1. Sok Kenal karya Winarto Sabdo di Koran Solopos rubrik Ah... Tenane edisi Senin, 11 Februari 2019
  2. Es Krimku... karya Endah Susilawati di Koran Solopos rubrik Ah... Tenane edisi Kamis, 14 Februari 2019
  3. Kok Semriwing? karya N. Purwanti di Koran Solopos rubrik Ah... Tenane edisi Selasa, 19 Februari 2019
  4. Terjadi Sungguh-Sungguh karya Herrisa Azhalia Wijaya di Koran Merapi edisi Rabu, 27 Februari 2019
Memang baru tulisan ringan yang berhasil lolos, tapi nikmat tetap harus disyukuri, agar Allah menambahkan lagi nikmat yang lebih besar.

Semoga naskah yang lain segera mendapat kepastian kabar baik selanjutnya. Kita tunggu dan jangan lupa terus menulis lagi!

Berikut penampakan tulisan di korannya:

Sok Kenal karya Winarto Sabdo

Es Krimku... karya Endah Susilawati

Kok Semriwing? karya N. Purwanti

TSS karya Herrisa Azhalia Wijaya