Coretan Basayev: Januari 2020
Yahudi di Balik Tragedi Dunia

Yahudi di Balik Tragedi Dunia


Sejak zaman Rasulullah Muhammad Saw, konflik dengan kaum Yahudi penuh pertikaian, perang, pengusiran, dan pembunuhan. Kaum Yahudi dan musyrikin memang paling keras memusuhi orang-orang yang beriman. Bahkan hingga masa kini, kaum itulah yang selalu menjadi aktor terciptanya pertikaian, peperangan, dan konflik antaragama dan bangsa. Buku yang saya baca ini mengulas lengkap bagaimana watak dan karakter orang Yahudi, sejarah konflik, berbagai tragedi kemanusiaan yang ternyata ada kepentingan Yahudi di belakangnya.

Cikal bakal lahirnya kaum Yahudi adalah keturunan Nabi Ibrahim As. Nabi Ibrahim memiliki anak dari Siti Hajar bernama Ismail, dari Siti Sarah mendapatkan anak bernama Ishaq. Ishaq menikah dengan Rifqo binti Batwail menghasilkan anak kembar bernama 'Aishu dan Ya'qub. Salah satu putra Ya'qub bernama Yahudza, dan Yahudza inilah muasal sebutan Yahudi (halaman 12).

Dalam Alquran disebutkan watak kaum Yahudi adalah al-hasad yakni menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang yang berhak menerimanya atau dengki. Lalu al-fusuq, bentuk pengingkaran terhadap Allah Swt. Watak yang terkenal melekat pada kaum Yahudi adalah suka melanggar janji, rakus pada kesenangan dunia dan takut mati. Selain itu, mereka juga meyakini sihir sebagai warisan Nabi Sulaiman. Dan yang paling jelas, kaum Yahudi dengki terhadap Rasulullah Saw dan umatnya.

Saat di Madinah, tercatat dalam sejarah, kaum muslimin berulang kali konflik dengan Yahudi, baik dari Bani Nadhir maupun Bani Quraidhah. “Meski sudah beberapa kali berkhianat, memusuhi secara terang-terangan, mencaci, mengumpat, hingga berperang melawan kaum muslimin dan selalu kalah, mereka belum kunjung mengakui kenabian Muhammad Saw dan tak henti-hentinya ingin memerangi kaum muslim, (halaman 45).”

Kehidupan kaum Yahudi yang penuh konflik juga terjadi di berbagai negara di dunia. Mereka melakukan konspirasi kudeta di Inggris, konspirasi terjadinya perang di Prancis, serangkaian peristiwa berdarah di Rusia, penjajahan di tanah Palestina, bahkan konspirasi di balik tragedi Holocaust yang diduga kuat hanyalah drama para petinggi Yahudi untuk menarik simpati masyarakat dunia.

Buku ini menjelaskan bagaimana hebatnya Yahudi menyusup di media dan badan internasional. Mereka mampu menguasai media, perfilman, jaringan televisi, dan penerbitan buku. Kekuasaan yang mencengkeram dunia dengan kuatnya.

Diungkapkan pula ternyata Yahudi berada di balik tragedi Perang Dunia I, Perang Dunia II, di balik jatuhnya bok atom di Hiroshima dan Nagasaki. Mereka juga bermain cantik pada Perang Irak, bahkan peristiwa runtuhnya gedung WTC (World Trade Center) pada 11 September 2001.

Sungguh mengerikan cengkeraman Yahudi di dunia ini. “Mereka tidak lagi memakai cara lama dengan terjun ke medan perang bersama persenjataan yang lengkap atau mengadu domba antargolongan dari mulut ke mulut. Saat ini, Yahudi berperang dengan cara yang cukup halus, yakni melalui penguasaan media. Dengannya mereka menyulap yang benar menjadi salah dan sebaliknya, kemudian dengan kekuatan itulah, Yahudi menggiring orang untuk saling bertikai dan saling membunuh, (halaman 137).”


Judul : Sejarah Konflik & Peperangan Kaum Yahudi
Penulis : Najamuddin Muhammad
Penerbit : Buku Biru (Diva Press)
Cetakan : Pertama, Januari 2014
ISBN : 978-602-255-405-9
Tebal : 190 halaman
Sutono Adiwerna: Bentuk Karakter Anak dengan Cernak

Sutono Adiwerna: Bentuk Karakter Anak dengan Cernak



“Perkenalkan, saya Sutono. Tapi kalau di buku atau media massa biasa memakai nama Sutono Adiwerna. Kebetulan saya sejak 2016 sampai sekarang dipercaya sebagai ketua FLP cabang Tegal.” Begitu perkenalan penulis yang cerita pendek anak (cernak)-nya sudah menembus majalah Ummi, Anak Saleh, Soca, Syiar, Adzkia, dan koran Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Radar, Wawasan, Lampung Post, dan Solopos ini, saat menjadi penulis tamu di komunitas literasi One Day One Post (ODOP) pada 21 Desember 2019 lalu.

“Saya belajar menulis tahun 2006. Tapi mulai serius, berusaha menembus media massa 2009. Lepas resign dari tempat kerja, saya buka lapak koran. Awalnya, buat nyari lowongan kerja akhirnya buat belajar gaya, tipe cerpen, tulisan di media. Sambil menunggu pembeli koran datang, saya baca buku, majalah, koran. Alhamdulillah walau sejak tahun ini tak menjadi loper koran lagi, saya sudah menulis sekitar 70 sampai 80-an tulisan di berbagai media. Lokal dan nasional. Nulis beberapa buku solo dan belasan antologi. Sekarang fokus nulis cerita anak, alasannya ingin berperan serta membentuk karakter pemimpin masa depan,” kisahnya.

Mas Sutono yang selain aktif dalam organisasi FLP, juga aktif pada RBA (Rumah Baca Asma Nadia) Tegal, dan relawan Kelas Inspirasi ini, sudah menerbitkan 2 buku kumpulan cerpen anak yaitu Baju untuk Lili dan Tante Hesti.

Penulis yang menjadi guru ekstrakurikuler menulis di dua SD di Tegal ini menyampaikan sebuah materi yang ia ambil intisarinya dari buku Mbak Veronica Widyastuti dan Mas Ali Muakhir. Diawali dengan apa saja manfaat menulis, yakni di antaranya untuk menuangkan ide, membiasakan berpikir, membantu tugas sekolah (kalau masih pelajar), penyegar pikiran, mendapat penghasilan, dan berdakwah.

Selanjutnya tips menemukan ide, bisa dengan mengingat pengalaman, berandai-andai, banyak membaca, memperhatikan lingkungan, dan bermain. Sementara untuk tips mencari nama tokoh bisa dengan melihat latar belakang, melihat sifat, memperhatikan tempat dan waktu, juga tak kalah penting tetap mencari referensi.

“Untuk judul, kita sebisa mungkin membuat yang kuat dan unik,” katanya melanjutkan. “Lebih bagus lagi, yang memuat rahasia dan bermisteri. Boleh juga memakai judul berima. Pokoknya judul yang baik jangan sampai membocorkan isi cerita.”

Agar menarik, dalam membuka cerita, kata pemilik blog sutonosuto.blogspot.com ini, bisa diawali dengan dialog, atau langsung menampilkan konflik. Jauhi kalimat bertele-tele, dan ciptakan suasana seru.

Mas Sutono melanjutkan, agar penulis bisa membuat cerita yang istimewa, harus melalui proses banyak membaca. Dalam menulis juga perlu berperan sebagai pembaca untuk bisa mengritisi tulisan sendiri. Buat cerita yang beda dengan biasanya. “Lebih bagus lagi kalau penulis bisa mempermainkan emosi pembaca. Dan paling istimewa, suguhkan twist ending!” ungkapnya.

Mas Sutono mengaku untuk sementara ini lebih fokus menulis cerita anak usia 8 sampai 13 tahun di media massa. Untuk bisa tembus media, cernak boleh bertema binatang, buah, atau seperti kartun. Bisa juga realitas tapi tokohnya anak. Pun bisa menggunakan tokoh dewasa tapi tema dan ceritanya untuk konsumsi anak. Memang tidak dimungkiri, anak-anak suka fabel atau cerita binatang. Imajinatif.

Untuk menciptakan konflik pada cerita anak, sebagai penulis kita harus banyak mengamati dan berinteraksi dengan anak. “Saya pernah bikin cernak idenya pas ada yang beli di warung saya, terus saya ngasih kmbalian kebanyakan,” katanya. Mas Sutono memberikan contoh, penulis cerita anak Enid Byton yang sudah menulis 700 novel anak, adalah seorang pengajar di TK. Ide akan selalu ada jika kita berinteraksi dengan anak-anak, dan jadi lebih produktif.

“Anak-anak pada dasarnya suka cerita yang dekat dengan keseharian,” katanya menambahkan. “Bisa persahabatan, sekolah, bermain, dan sebagainya. Bisa dengan tokoh anak, bisa juga lewat fabel atau dongeng.”

Untuk cernak dengan muatan lokas Indonesia bisa baca referensinya pada Harian Kompas Minggu di halaman Nubi (Nusantara Bertutur), atau lihat akun Nusantara Bertutur, tema yang diminta selalu tentang lokal, Indonesia.

Tak kalah penting juga, biasakan membaca buku tentang anak biar tahu konflik yang sering mereka hadapi. “Dan usahakan, yang menyelesaikan konflik, ya, anak-anak itu sendiri, biar tak menggurui,” katanya.

Penulis yang pernah menyabet juara harapan lomba cerpen Cinta dalam Aksara, Asma Nadia Publishing House 2016 ini berkisah, pertama kali membuat cernak berjudul Baju untuk Lili dan mengirim ke Majalah Ummi tahun 2009, ternyata dimuat. Itu membuatnya bersemangat menulis genre anak. Genre lain pun sesekali dicoba buat selingan agar tidak bosan.

Mas Sutono mengaku lebih suka menulis cerita-cerita pendek. Salah satu alasannya, karena di rumah tidak ada laptop atau komputer. “Saya menulis di kertas, kemudian dibawa ke warnet,” kenangnya.

Kegemarannya membaca membuat penghasilan dari menulis sebagian besar ia pakai untuk menimbun buku. “Buku koleksi saya kebanyakan kumpulan cerita.”

Sebagai ladang menulis, Mas Sutono mengirim naskah ke berbagai media massa. Tulisan pun harus dikemas sesuai ciri khas majalah atau korannya. Terkait honor, tiap media memiliki kebijakan berbeda-beda. “Harian Kedaulatan Rakyat honor cernak kisaran 100 ribu, Majalah Bobo 250 ribu, untuk Koran Solopos 75 hingga 100 ribu, Majalah Adzkia 150 ribu. Dulu bisa juga ke Majalah Ummi, Anak Saleh, dan Soca, sayang sekarang sudah tidak terbit lagi,” kisahnya.

Sebenarnya, dunia cernak tidak melulu harus didominasi orang dewasa yang berkarya. Banyak anak-anak yang sudah pandai menulis sebenarnya. “Coba lihat buku KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya), produk unggulan di lini anak Mizan yang khusus menerbitkan buku-buku yang ditulis oleh anak-anak usia 7-12 tahun. Ada Fayana, Mutia Fadila, dan lainnya. Menengok ke belakang, dulu ada Faiz putrinya Mbak Helvy Tiana Rosa dan Izati yang rekor Muri penulis termuda (7 tahun),” ungkapnya.

Mas Sutono sempat memberi komentar terkait penjurian lomba cerita anak DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) yang menuai pro-kontra itu, “Kalau kritiknya oke, seperti jangan bikin cerita liburan di rumah nenek. Tapi kalau bilang, penulis anak kecakapan seadanya, no! Banyak penulis anak yang oke kok! Ambil misal, Pak Suryadi yang bikin karakter Si Unyil, Arswendo yang bikin Keluarga Cemara, Imung dan masih buanyak lagi,” lanjutnya. “Kalau untuk lomba, harusnya juri bilang naskah yang masuk, atau draf cerita anak bukan buku anak. Mungkin yang nulisnya bagus sedikit, tapi jangan bilang selama ini buku anak dibuat dengan kecakapan seadanya.”

Sastra anak yang baik, mengutip perkataan Pak Soekanto (pendiri Majalah Kuncung), adalah bacaan yang bisa membuat anak sampai bersembunyi di kolong agar tidak ada yang mengganggunya membaca.

Sementara untuk kiat mengajari anak-anak menulis, Mas Sutono menjelaskan, “Ajak anak-anak baca buku, lama-lama ia akan tergerak jadi ingin nulis. Saya ngajar eskul nulis, rata rata mereka bacaannya melimpah. Bisa baca dari perpus atau pojok baca.”

Nah, berminat menekuni menulis cerita anak seperti Mas Sutono? Jangan segan mencoba, belajar menulis, dan perbanyak membaca. Bagi yang mau sapa Mas Sutono di facebook, silakan berteman: Sutono Suto.

Terima kasih sharing-nya Mas Sutono. Sukses selalu, ya! Dan buat kamu-kamu yang pengin belajar menulis cernak, bisa membeli buku kumpulan cernak terbaru karya Mas Sutono berjudul Rahasia Bang Udin, Cuma 27 ribu! Hubungi penulis di WhatsApp 085786541053.
Bertebar Fitnah di Majapahit

Bertebar Fitnah di Majapahit



Novel yang saya baca ini sebenarnya adalah buku kedua dari tetralogi epik-inspiratif buah karya Gamal Komandoko. Meski buku pertama saya belum baca (belum punya), tapi saya sudah bisa langsung mengerti akan jalan cerita yang disajikan, secara saya adalah penggemar berat kisah Majapahit lewat sandiwara radio Tutur Tinular. Meski tentu saja beda media beda penyajian, juga beda cara improvisasi yang dilakukan mendiang S. Tidjab dengan Gamal Komandoko ini.

Novel ini mengambil kisah tentang Dyah Halayuda (kalau versi Tutur Tinular bernama Sang Ramapati dengan suara khas Idris Affandi) yang menebar seribu siasat demi memuluskan ambisinya menjadi mahapatih Majapahit. Dalam novel ini disebutkan bahwa Dyah Halayuda turut memantik pemberontakan Rangga Lawe, sehingga Arya Wiraraja menyiratkan pesan pada Mahapatih Nambi untuk berhati-hati akan adanya keparat bertangan kotor yang bermain di Majapahit. Namun sosok misterius itu tidak mampu Nambi ungkap, malah ia sangat percaya kepada Halayuda!

Halayuda yang berhasil meyakinkan Nambi dan mendapat kepercayaan Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana berkat sumpah-sumpah palsunya, makin leluasa menjalankan siasat adu domba dan fitnah sana-sininya. Lembu Sora adalah sasaran selanjutnya setelah tersingkirnya Rangga Lawe. Dan siasat liciknya mampu menghadapkan Nambi bertarung hidup mati dengan Lembu Sora, melupakan persahabatan dan segenap kenangan berjuang bersama saat mendirikan Majapahit!

Usai melenyapkan Lembu Sora yang sekaligus menghabisi Gajah Biru dan Juru Demung, sasaran berikutnya adalah Nambi sendiri! Tapi untuk melenyapkan Nambi demi ambisinya menjadi mahapatih, Halayuda baru bisa melakukannya setelah kematian Prabu Kertarajasa, saat Majapahit di bawah pemerintahan Prabu Jayanegara.

Gamal Komandoko berhasil menampilkan cerita Halayuda ini dengan baik, mampu membuat pembaca geregetan, kesal, dan ikut geram padanya. Merasakan betapa besarnya akibat dari fitnah dan siasat keji. Keberhasilan Halayuda menyingkirkan tokoh-tokoh yang ia anggap menghalanginya, dapat ditampilkan dengan lugas dan tidak terasa dipaksakan.

Arya Wiraraja yang terkenal dengan kecerdikan siasat, ternyata bisa dikalahkan oleh seorang Halayuda. Hebat sekali. Hingga ayahanda dari Rangga Lawe itu terpojok dalam permainan, bahkan dianggap pemberontak oleh Majapahit. Jasa-jasanya seolah sirna. Terkait tersingkirnya Rangga Lawe, ia sudah ikhlas karena menyadari betul bahwa Sri Kertarajasa dan anaknya ibarat dua singa ganas. Menyatukan dua singa ganas dalam satu kandang memang sulit dilakukan, harus ada salah satu singa yang terkapar mati. Dan celakanya, anak kandungnya yang menemui kematian itu (halaman 16).

Pelajaran besar dari sejarah Majapahit ini adalah, siasat jahat dan kotor mampu merusakkan hubungan para tokoh pendiri Majapahit, hingga terbunuh banyak tokoh tersebut, meski sebenarnya darah mereka kental akan Majapahit, dan sejatinya mereka bukanlah pemberontak sebagaimana yang berhasil diposisikan oleh Halayuda atas mereka sebelum menemui ajal masing-masing.

Judul : Siasat & Kemelut Atas Tahta
Penulis : Gamal Komandoko
Penerbit : Diva Press
ISBN : 978-602-955-647-6
Cetakan : Pertama, April 2010
Tebal : 436 halaman

Tiwas Kemayu

Tiwas Kemayu


Jon Koplo dan istrinya, Lady Cempluk, adalah pasangan yang mesra dalam setiap suasana. Sehari-hari mereka berjualan jus buah dan menjajakannya ke berbagai pasar tradisional mengikuti hari pasaran.

Suatu hari keduanya menuju Pasar Tawangkuno di Kecamatan Weru, Sukoharjo. Sesampai di pasar, Lady Cempluk berkata, “Mas Koplo, tiap hari kan sampeyan yang keliling, hari ini aku coba yang keliling ya, Mas Koplo nunggu dagangan yang di motor saja. Siapa tahu kalau aku yang jualan cepet habis dagangannya. Aku kan cuaantik,” ujar Cempluk kemayu.

“Ya wis, kamu coba saja,” sahut Koplo. Malah enak bisa tiduran, batin Koplo.

Cempluk bergegas membawa dagangan berkeliling pasar, menawarkan pada simbok-simbok bakul dan pengunjung yang ditemui. Tapi hingga lewat jam belum juga ada yang mau membeli.

“Bu, jus buah segar, Bu,” tawarnya pada Mbok Nicole yang jualan tempe alakatak khas Weru.


“Waduh, pangapunten, Mbak, kula sampun gadhah langganan. Biasanya saya beli ke mas-mas langganan saya,” tolak Mbok Nicole.

“Mas-mas itu suami saya, Bu,” kata Cempluk menjelaskan.

“Jualan ya jualan saja, Mbak. Nggak usah ngaku-ngaku begitu. Dosa lho kalau bohong,” nasihat Mbok Nicole.

Cempluk gusar. Beberapa bakul dan pengunjung pasar lainnya memberikan jawaban senada tiap kali ditawari jus. Alhasil hingga satu jam ia belum laku satu pun.



“Kok belum ada yang terjual, Dik?” tanya Koplo melihat dagangan Cempluk masih utuh.

“Yang ditawari pada bilang kalau langganan sama mas-mas. Pada nggak mau beli,” adu Cempluk.

“Lah, mas-mas itu kan aku, Dik,” kata Koplo. “Kamu kan tinggal bilang kalau kamu istriku.”

“Pada nggak percaya, Mas. Ya sudah, Mas Koplo saja yang keliling. Sudah ditunggu tuh para pelanggan tercinta,” sahut Cempluk kesal.

Jon Koplo tertawa melihat istrinya yang mencak-mencak begitu. Akhirnya ia kembali berkeliling seperti biasa. Ajaib, dagangan pun laris manis.

Pengirim: Wakhid Syamsudin, Weru, Sukoharjo
Dimuat di Solopos edisi Sabtu Wage, 4 Januari 2020