Coretan Basayev: September 2020
S. Prasetyo Utomo: Kiat Menembus Kompas

S. Prasetyo Utomo: Kiat Menembus Kompas




Menulis cerpen untuk media massa baik cetak maupun daring, memang sangat menantang bagi para penulis. Kali ini, tidak sembarangan, saya meresume sebuah diskusi yang berlangsung pada 8 Agustus 2020 lalu, dengan seorang penulis yang berkali-kali cerpennya dimuat di Kompas. Seorang dosen di Universitas Negeri Semarang yang juga penulis cerpen yang karyanya bermunculan di media massa. Dia adalah Dr. S. Prasetyo Utomo!

Prasetyo Utomo, menulis cerpen, novel, dan esai sejak 1983. Secara khusus terkait cerpen yang bisa tembus ke Kompas, ia mengatakan bahwa semua tema berpeluang dimuat di sana. Perlu digarisbawahi; eksotisme, kebaruan, defamiliarisasi, dekonstruksi, dan sudut pandang yang berbeda menjadi obsesi redaksi. "Mohon perhatikan cerpen minggu lalu, Sasti menangkap persoalan psikoanalisis kejiwaan seorang istri," katanya memberikan contoh.

Rata-rata cerpen Kompas memang obsesi sosial (politik) seperti Seno, Joni, Faisal Oddang. Cerpen Kompas spesial dalam style, struktur ending yang mengejutkan. "Jadi, kiat awal nembus Kompas adalah angkat tema eksotis, sudut pandang baru, style memikat, segar, menyentuh empati pembaca, dan sekali lagi: ending yang tak terduga," tegasnya.

Menurut penulis senior kelahiran Yogyakarta, 7 Januari 1961 ini, semua penulis memperoleh kesempatan yang sama. Pengarang sekaliber apa pun pernah ditolak Kompas. Kegigihan para penulis yang tembus di sana akan terbayar dengan kepuasan luar biasa dan tentu menarik karena honor yang disediakan Kompas adalah Rp 1,4 juta!

Prasetyo Utomo sendiri sudah sekitar 22 cerpen dimuat Kompas cetak. Dibukukan dalam Bidadari Meniti Pelangi (Kompas, 2005) dan Kehidupan di Bawah Telaga (Kompas, proses cetak). "Rentang waktu kirim ke pemuatan 3-5 bulan," kenangnya.

Proses kreatif yang dilaluinya adalah dengan mendengar/melihat objek, membaca, dan mengimajinasikan objek. Dalam menulis cerpen, bila ide kuat, imaji lancar, struktur memikat, ia bisa menyelesaikan dengan cepat, seminggu kirim. Tapi bisa juga memerlukan waktu yang lebih lama. Menggabungkan riset, mitos, imaji, memang butuh latihan panjang, terus-menerus. Pada waktunya akan matang. "Mentok hal biasa. Saya akan mengamati objek, membaca, diskusi, dan kembali nulis," katanya.

Penulis yang selalu meluangkan waktu tiap hari untuk menulis ini, mengatakan bahwa ide yang ada tak habis untuk ditulis. Soal waktu yang paling disukai, ia mengaku, "Pagi setelah salat subuh: bening."

Saat ditanya terkait sebesar apa pengaruh selera redaktur, Prasetyo Utomo mengatakan bahwa tiap redaktur mencipta hegemoni. "Hanya saja, Kompas lebih demokratis karena dipegang lebih dari 2 orang," ungkapnya. "Karena itu, saya cenderung nulis ke Kompas."

Luar biasa, ya. Kapan kiranya bisa menembus Kompas? Semoga resume singkat ini bermanfaat. Terima kasih buat Pak Prasetyo Utomo atas waktu dan ilmunya, juga Bunda Komala Sutha sudah menghadirkan para penulis sukses sebagai narasumber di grup kepenulisannya.


COD Basah

COD Basah


Genduk Nicole yang masih duduk di bangku SMA mencari uang jajan tambahan dengan menjadi reseller produk kecantikan yang dijual tetangganya.

Bermodal gawai android, ia mengunggah iklan di media sosial.

Sudah cukup banyak produk yang berhasil dijualnya. Seperti pada Minggu pagi yang cerah itu, ia bersiap untuk pertemuan dengan pemesan dagangannya atau biasa disebut cash on delivery (COD). Ia janjian dengan calon konsumen bernama Lady Cempluk di Alun-alun Sukoharjo.

Alun-alun sepi sekali. Padahal sebelum ada pandemi Covid-19, tiap Minggu pagi ada car free day (CFD) dengan pengunjung yang luar biasa banyak. Biasanya, pedagang kaki lima menggelar bermacam dagangan di sepanjang tepi alun-alun dan pinggir jalan. Kini meski masuk masa kenormalan baru, pemerintah daerah belum membuka CFD lagi.

Nicole melihat beberapa petugas memanfaatkan mobil pemadam kebakaran untuk menyirami tepi alun-alun. Ia memilih menghentikan motor di tepi sebelah selatan yang sudah basah tanahnya. Setelah menyetandarkan motor, ia membuka gawai dan menulis pesan kepada Cempluk untuk mengabarkan ia sudah menunggu di alun-alun.



Sambil menunggu kedatangan Lady Cempluk, Nicole membuka Facebook dan membaca unggahan teman-temannya. Terkadang ia tersenyum sendiri membaca komentar yang lucu. Tanpa disadarinya, mobil pemadam yang menyemprotkan air mendekati tempatnya.

Dan byuuur! Nicole gelagapan saat semburan air itu menghujaninya.

“Ya Allah, Pak, kok saya digebyur banyu?” Nicole berseru kesal. Tapi mobil itu sudah menjauh. Ia kibas-kibas bajunya yang basah kuyub. Gawainya juga dilap dengan tangan. Bersamaan dengan itu, sebuah motor mendekat.

“Mbak Nicole, ya? Saya Cempluk yang mau COD,” kata seorang perempuan muda yang turun dari jok belakang motor itu. Cempluk datang bersama pacarnya yang bernama Jon Koplo.

“Oh, iya, Mbak. Sebentar, ya.” Nicole membuka jok motor dan mengeluarkan tas kresek berisi pesanan Cempluk.

“Kok basah-basahan, Mbak?” Jon Koplo berkomentar melihat Nicole yang basah kuyub.

“Iya, Mas, disemprot mobil itu tadi,” jawab Nicole setengah malu sambil menunjuk mobil pemadam yang menjauh. “Padahal saya milih nunggu di sini karena tanahnya sudah basah, saya pikir tidak disentor lagi.”



“Tiap Minggu pagi memang alun-alun disemprot, Mbak. Buat ngusir pedagang yang nekat jualan dan anak muda yang pada nongkrong. Biar tidak ada kerumunan, biar tidak pada kena corona, Mbak,” kata Jon Koplo menjelaskan.

“Oh, begitu, ya, Mas? Tapi kan di sini tadi sudah disentor, pikir saya tidak muter sini lagi.”

“Kalau masih terlihat ada orang, mereka akan menyemprot ulang terus, Mbak. Makanya transaksinya dipercepat saja sebelum mobilnya muter ke sini lagi,” saran Koplo.

Mendengar anjuran Jon Koplo, Nicole dan Cempluk segera menuntaskan transaksi. Segera mereka meninggalkan alun-alun sebelum petugas itu mendekat lagi. Nicole yang masih agak kesal sempat tersenyum sendiri. “Jangan-jangan, mobil itu tahu kalau aku belum mandi. Asem, asem.”

Pengirim: Wakhid Syamsudin 

Weru, Sukoharjo