Coretan Basayev: Oktober 2019

Ketua RT Harus Mengayomi



Miris rasanya membaca berita di Harian Umum Solopos edisi Jumat Legi, 18 Oktober 2019, berjudul Boikot Hajatan Gara-Gara Beda Pilihan, yang terjadi di Dukuh Jetak, Desa Hadiluwih, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen.

Pemboikotan itu terjadi atas hajatan di rumah Suhartini, 49, seorang janda yang menikahkan putri keduanya, Dwi Sri Suwarni, dengan Eko Jatmiko. Pemicunya adalah perbedaan dukungan saat pemilihan kepala desa, terutama dengan pengurus rukun tetangga (RT) yang menjadi dalang utama pemboikotan.

Apa jadinya ketika ketua RT yang seharusnya mengayomi justru menjadi pemantik bara panas boikot atas hajatan warganya? Betapa memalukan. Saya pribadi menyadari bisa saja ketua RT tersebut terpaksa melakukan karena terpojok oleh keadaan, akibat panasnya masa pemilihan kepala desa.

Masa pemilihan (umum), apa pun itu, sangat membuat repot para ketua RT terkait aksi tim sukses dari kandidat yang mencoba memanfaatkan pengaruh di tengah masyarakat yang ia pimpin.

Politik Pengurus RT

Begitulah setiap kali masa kampanye pemilihan kepala desa. Para kandidat akan berebut suara warga dan kedudukan ketua RT menjadi sangat signifikan. Siapa bisa mendapat restu ketua RT maka secara teori mereka akan mudah meraup suara warga.

Keterlibatan ketua RT dalam berkampanye adalah pelanggaran. Ada 12 pihak disebut dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) No. 28/2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum.

Pasal 6 ayat (2) peraturan itu mengatur yang tidak boleh terlibat kampanye, yakni hakim, pejabat negara bukan anggota partai politik, pegawai negeri sipil, anggota TNI, anggota Polri, kepala desa, perangkat desa, pengurus rukun tetangga (RT)/rukun warga (RW), dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Dalam praktik di masyarakat, bahkan perangkat desa pun sering dijumpai ikut berkampanye. Bersama pengurus RT yang satu pilihan, mereka biasanya memengaruhi masyarakat, bahkan tak jarang dengan intervensi berlebihan berupa intimidasi.

Ujungnya sangat mengabaikan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam pemilihan umum. Intimidasi di tingkat RT di antaranya seperti kasus Suhartini, pemboikotan pada saat menggelar hajatan. Hal ini bisa menimbulkan keresahan di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dalam kasus di Dukuh Jetak ini, perbedaan pilihan atas calon kepala desa menjadi pemicunya. Mari kita coba lihat aturan berkampanye saat pemilihan kepala desa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.112/2014.

Pasal 30 butir (1.f) mengatur pelaksana kampanye dilarang mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau calon yang lain.

Kekerasan sosial dengan pemboikotan seperti kasus di Dukuh Jetak seharusnya jangan sampai terjadi. Ketua RT seyogianya bersikap netral dalam politik karena fungsinya adalah memelihara keamanan, ketertiban, dan kerukunan hidup antarwarga.

Keterlibatan mereka dalam intervensi afiliasi politik justru mengurangi kewibawaan dan kebijaksanaan sebagai tokoh masyarakat. Warga di bawah mereka seharusnya mendapatkan keamanan dan jaminan atas hak asasi sebagai pemilih tanpa intimidasi.

Dana Desa

Di antara alasan pengurus RT mengajak warga mendukung satu pilihan kandidat kepala desa biasanya terkait dana yang dijanjikan atau diberikan oleh calon kepala desa. Dana yang digelontorkan biasanya akan masuk ke kas RT dan digunakan untuk pembangunan.

Sebenarnya hal semacam ini bisa diatasi dengan pemanfaatan dana desa sebaik mungkin, terutama untuk pembangunan infrastruktur di perdesaan hingga tidak perlu lagi ada ”dana sogokan” ke kas RT.

Dana desa yang diberikan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dimanfaatkan untuk pembangunan fisik yang biasa diajukan warga melalui musyawarah rencana pembangunan desa. Setiap RT bisa mengajukan usulan yang perlu dibangun.

Pengawasan atas pemanfaatan dana desa yang cukup ketat memastikan seluruh warga bisa merasakan manfaat dana besar tersebut. Harapannya, ketua RT tidak perlu repot memikirkan dana untuk pembangunan sehingga siapa saja yang terpilih jadi kepala desa tidak menimbulkan perpecahan di kalangan warga.

Ketua RT fokus pada tugas sebagai pengayom masyarakat. Jangan ada lagi kasus pemboikotan hajatan warga gara-gara beda pilihan politik.

Biarkan masyarakat merasakan betapa indahnya demokrasi yang berjalan pada relnya dan menghargai setiap hak pilih. Selamat bekerja bagi para ketua RT di mana saja, jadilah panutan bagi masyarakat.

Wakhid Syamsudin
[email protected]
Ketua Rukun Tetangga di Sidowayah, Ngreco, Weru, Sukoharjo


Dimuat di Harian Solopos edisi 22 Oktober 2019 rubrik Gagasan

Tak Usah Ngegas, Toh Tuhan Maha Santai!




Padahal mudah saja bagi-Nya kalau menghendaki semua orang beriman dan bersatu dengan kuasa Kun Fayakun-Nya, tapi tidak, Dia Swt tidak begitu, toh Dia santai-santai saja….

Pohon Islam kokoh menghunjam karena berakarkan iman kepada Allah Swt, tegak menjulang karena batang dan cabang-cabangnya adalah takwa. Daunnya sangat rimbun dengan buah-buah lezat yang bisa dinikmati dan dirasakan manfaatnya karena berupa akhlak karimah pemeluknya. Siapapun yang melintas dan berteduh di bawahnya akan merasakan kesejukan.  Siapa pun itu, tidak peduli ia makhluk beriman ataupun kufur, tetap akan diteduhi, sebagaimana Allah Swt yang Maha Kokoh pula ‘Maha Santai’, meneduhi semuanya tanpa pilih kasih, dalam pelukan Rahman Rahim-Nya.

Dalam buku terbarunya ini, Edi AH Iyubenu menyebut Tuhan ‘Maha Santai’ karena memang Dia Swt bersikap santai terhadap orang yang tidak mematuhi dan mengikuti ajaran-Nya. Sebagaimana ayat Quran menyebutkan: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Maka takkan beriman seseorang kecuali dengan izin Allah Swt. Dan Allah Swt menimpakan keburukan kepada orang-orang yang tak pernah mempergunakan akalnya.” (QS. Yunus : 99-100) (halaman 8)

Keyakinan Bukan Hasil Paksaan

Kemahakuasaan Allah Swt takkan bertambah cemerlang sedikit pun umpama semua manusia dan jin beriman dan beribadah kepada-Nya, sebagaimana kemahakuasaan Allah Swt pun takkan cedera sedikit pun umpama semua manusia dan jin kufur kepada-Nya. (halaman 10)

Edi mengajak pembacanya berpikir, merenungkan bahwa keyakinan adalah urusan personal mendalam, bukan hasil paksa-paksaan, ngototan, ngegas, sekalipun dimaksudkan untuk menegakkan ibadah wajib seperti salat misalnya. Sebagai muslim, kita memiliki tugas rohani untuk menanamkan rasa takut dan harap seumur hidup hanya kepada Allah Swt, dengan mengikuti syariat-Nya dan Rasulullah. Sementara untuk ke luar diri kita, tak lain adalah keharusan berakhlak karimah tanpa batas, tanpa sekat SARA apa pun.



Maka, gerangan apa lagi alasannya bagi kita untuk bersikap tegas dan keras kepada orang lain seolah-olah kita inilah pemangku kebenaran-Nya, pengemban amanah-Nya, pembela kekuasaan-Nya di dunia, dan penentu sahih/tidaknya iman dan amal orang lain? (halaman 12)

Lautan Tinta Pun Takkan Bisa Menulis Kalimat-Nya

Al Kahfi ayat 109 atau Luqman ayat 27 mengilustrasikan perumpamaan lautan dijadikan tinta lalu digunakan untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah Swt agar bisa dipahami oleh bahasa manusia, maka akan keringlah lautan sebelum tuntas menuliskannya. Bahkan jika didatangkan satu lautan tinta lagi, tak akan mampu. Dari itu, apakah kita ada wewenang menerjemahkan Allah Swt adalah harus seperti ini, tidak seperti itu, harus begini, bukan begitu, harus sesuai dengan pendapat kita, bukan pendapat orang lain? Jadi sangat tak pantas sekiranya kita jemawa menegasi pandangan dan keyakinan orang lain yang tak sama dengan kita?

Untuk itulah, kiranya di hadapan Allah Swt dalam segala pandangan, tafsir, takwil, dan resepsi setiap kita tiada lain yang paling patut untuk kita kedepankan kecuali kerendahan hati untuk menerima realitas majemuk paham dan cara taqarrub ilalLah itu sebagai bukti keagungan-Nya yang tiada batas. Usaha menepis realitas tersebut terlihat jelas bertentangan dengan sunnatullah-Nya, kehendak-Nya, fakta-fakta kemahaan-Nya. (halaman 20)

Kapasitas Setiap Diri dalam Berdakwah

Problema masa kini, adalah ketika generasi milenial yang begitu mudah mengakses segalanya lewat dunia maya, kepada siapa mereka berguru ilmu agama? Mayoritas adalah mencari ilmu pada Google, bahkan broadcast di grup-grup WhatsApp. Sesederhana itu. Tidak ada dialog, tidak ada muthola’ah, tidak ada bimbingan dan koreksi dari sang guru, dan tentu tidak ada “konteks asal” pada bangunan pemahaman mereka tentang hukum-hukum yang didapat secara instan tersebut. Mekanisme penilaian kesahihan hanya dengan bertenggernya link di halaman pertama Google. ‘Pesantren Google’ telah sempurna mengambil alih majelis-majelis taklim tradisional ala pondok pesantren.

Dan ketika para santri didikan Google terpanggil berdakwah karena dalil “Sampaikan walau hanya satu ayat”, maka keilmuan yang diperoleh instan itu tidak diimbangi dengan kapasitas memadai. Sedemikian mudah menilai salah pada pandangan dan pemahaman yang tidak sejalan dengan apa yang mereka yakini. Perbedaan bagi mereka bukan lagi rahmat.

Kita semua tampaknya perlu sekali membaca buku bagus ini. Agar bisa lebih bisa memahami apa sesungguhnya kebenaran, bagaimana menyikapi perbedaan, dan tidak melulu mengedepankan kekerasan dan emosi dalam melihat keragaman pola pikir yang tak serupa. Tidak perlu ngegas, selowlah, wong Tuhan saja Maha Santai. Padahal mudah saja bagi-Nya kalau menghendaki semua orang beriman dan bersatu dengan kuasa Kun Fayakun-Nya, tapi tidak, Dia Swt tidak begitu, toh Dia santai-santai saja….

Judul buku : Tuhan Itu ‘Maha Santai’, Maka Selowlah…
Penulis : Edi AH Iyubenu
Penerbit : DIVA Press
ISBN : 978-602-391-789-1
Cetakan : Pertama, September 2019
Tebal : 180 halaman


Dimuat di website Harakatuna edisi 13 Oktober 2019, link: https://www.harakatuna.com/tak-usah-ngegas-toh-tuhan-maha-santai.html

Semua Harus Berinovasi agar Tidak Mati


Judul : The Magic of Creativity
Penulis : Peng Kheng Sun dan Rahimah
Penerbit : Elex Media
Cetakan : September 2019
Tebal : ix + 266 halaman
ISBN : 978-623-00-0543-5


Buku ini membahas kreativitas untuk mengaplikasikan kemam­puan berpikir kreatif dalam kehidupan sehari-hari. Pada pemba­hasan awal diulas tentang kreativitas yang menghasilkan mode baru. Mode tidak mengenal kesempurnaan dan tidak akan pernah tercapai sampai kapan pun. Mode baru akan selalu dihasilkan kreativitas untuk menggan­tikan sebelumnya. Kadang, mode lama bisa lahir kembali dengan modifikasi.

Perkembangan teknologi merupa­kan faktor munculnya mode-mode baru (halaman 5). Selain itu, fungsi suatu produk juga memicu muncul­nya mode baru. Pada mulanya, produk diciptakan untuk fungsi hakiki, seperti sepatu sebagai alas kaki. Fungsi baru sepatu sebagai pendukung penam­pilan agar menarik, melahirkan mode-mode baru sebagai buah kreativitas.

Selain itu, kepraktisan juga menjadi alasan inovasi. Contoh, telepon dan ka­mera, ketika dituntut kepraktisan, muncullah perangkat baru berupa telepon genggam berkamera.

Pemicu mode baru lainnya juga bisa dilihat dari nilai keawetan produk. Arloji diuji daya tahannya terhadap berbagai macam kondisi, seperti gon­cangan, suhu ekstrem, dan tekanan air untuk melahirkan kreativitas produ­sen. Lebih dari itu, faktor kemewahan, kejenuhan, keindahan, eksklusivitas, hingga adanya kebutuhan khusus, mendorong orang berkreasi tak ada habisnya.

Produsen pun dituntut mengem­bangkan inovasi untuk mengganti mode lama, mencapai keunggulan da­lam bersaing, memperbanyak pilihan, membuat terobosan, meningkatkan nilai tambah, ranah ide, dan kesem­patan berkreasi. Maka tak ayal, berlaku sebuah adagium yang menyatakan, “inovasi atau mati”.


Orang-orang yang memiliki kreativitas menyadari bahwa harus selalu perubahan untuk memenang­kan persaingan. Mereka juga per­caya bahwa perubahan cenderung menghasilkan kemungkinan baru yang lebih baik. Selain itu, perubahan juga memacu mereka menghasilkan kreativitas lebih baik. Mereka mampu memanfaatkan perubahan dengan sebaik-baiknya (halaman 47).

Manusia kreatif akan mengubah masalah menjadi peluang dan menun­tut kemampuan lain, di antaranya ke­mampuan memotivasi diri sendiri baik intrinsik maupun ekstrinsik. Motivasi intrinsik bersumber dari diri sendiri, sedangkan motivasi ekstrinsik bersum­ber dari dunia luar. Buku ini mengulas keduanya secara mendalam.

Salah satu rahasia para genius, me­reka mampu melihat melalui pers­pektif yang berbeda. Ibarat fotografer profesional, mereka sering mengganti lensa sesuai dengan kondisi. Mereka mencoba berbagai jenis lensa, ter­masuk mengombinasikan pemakaian beberapa lensa yang berbeda untuk menemukan yang paling tepat (hala­man 172).

Sekali lagi, buku ini bisa menjadi pemantik kreativitas. Perubahan za­man menghasilkan inovasi bersumber dari gagasan kreatif yang unik dan menarik. Rasa ingin tahu yang manu­siawi juga berbanding lurus dengan kreativitas, ditopang imajinasi tanpa batas. Kita harus menyadarinya agar tak tergerus perubahan zaman.

Diresensi Wakhid Syamsudin, alumni SMU Negeri 1 Tawangsari, Surakarta
Dimuat di Koran Jakarta edisi 7 Oktober 2019, link: http://www.koran-jakarta.com/semua-harus-berinovasi-agar-tidak-mati/