Coretan Basayev: Juni 2019

Ketipu Sajadah


Libur Lebaran tahun ini, Jon Koplo tidak mudik ke kampungnya di Padang, Sumatera Barat. Ia diajak Tom Gembus, teman kerjanya, untuk mudik ke Sukoharjo. Ia mau saja, daripada kesepian di Jakarta karena teman-temannya pada mudik.

Jon Koplo memang baru pertama kali ini menginjakkan kaki di Sukoharjo. Rumah Tom Gembus rupanya di pelosok daerah Weru. Tapi tidak masalah bagi Koplo, ia malah senang bisa melihat pemandangan alam perdesaan yang masih asri di kampung Gembus.

Kepulangan Gembus disambut hangat keluarganya.

Ketika tiba waktu Salat Duhur, Gembus mengajak Koplo untuk salat di kamarnya. Keduanya mengambil wudu. Ketika di kamar, Gembus membentangkan sajadah. Saat itulah tiba-tiba ada tamu yang datang ingin bertemu Gembus. Terpaksalah Gembus menunda salat sebentar untuk menemui tamunya itu.

Koplo melihat sajadah sudah digelar, dan merasa kelamaan kalau salat menunggu Gembus, maka ia berniat salat duluan. Apalagi tamunya Gembus belum terlihat mau pamitan. Maka Koplo segera salat di atas sajadah yang dibentangkan Gembus tadi.

Tengah khusyuk-khusyuknya Koplo salat, Tom Gembus masuk ke kamar. Begitu ia menjumpai sobatnya sudah salat duluan, ia malah menepuk pundak Jon Koplo. Koplo agak kaget juga tahu-tahu ditepuk Gembus begitu. “Plo, kamu salah kiblat!” kata Gembus.

Jon Koplo terkesiap. Salah kiblat?


“Diulang saja salatnya, jamaah sama aku,” ajak Gembus.

Koplo akhirnya menghentikan gerakan salatnya disambut tawa Tom Gembus. Tapi ia belum yakin dengan perkataan Gembus. “Masa sih aku salah kiblat? Bukannya sana arah barat?”

“Kamu itu salat madep ke utara, ngalor.”

“Kan aku cuma nurut arah sajadah. Bukannya kamu yang nggelar?”

Tom Gembus tertawa lagi. “Woalah... sajadahku cuma satu, aku gelar menghadap utara karena niatku mau jemaah sama kamu, sajadah dipakai berdua bersisian. Jebul kamu pikir itu sajadah menghadap kiblat?”

“Sial! Jadi aku salah kiblat rupanya! Kena tipu aku sama sajadah!” Koplo menyadari kesalahannya. Tapi ia jadi tertawa juga karenanya.

“Sok tahu sih. Ayo, kita mulai Salat Zuhur,” ajak Gembus sambil menyudahi tawanya.

Wakhid Syamsudin
Ketua umum komunitas literasi One Day One Post (ODOP)


Dimuat di harian Solopos edisi Sabtu Kliwon, 29 Juni 2019

Buruh Migran dan Perjuangan Ber-Islam di Hong Kong


Sebuah buku terbitan PT Elex Media Komputindo pada lini Quanta berjudul Nikmat Bersua dengan-Mu, yang ditulis oleh Nur Musabikah, seorang mantan TKI yang pernah bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Hong Kong, membuat saya terkesima dengan perjuangan para pahlawan devisa itu terutama dalam hal konsistensi berislam, menjalankan ajaran agama di tengah kehidupan sehari-hari di keluarga yang berbeda keyakinan.

TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau BMI (Buruh Migran Indonesia), menurut Buku Panduan TKI, 2014, adalah setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Setiap tahun, Negara kita melalui Badan Nasional Pemerintah Tenaga Kerja Indonesia (BNPTKI) mengirimkan sekitar dua ratus ribu orang untuk bekerja ke sejumlah Negara, dari Asia, Timur Tengah, sampai Eropa.

Menurut uraian Nur Musabikah dalam bukunya setebal xvi + 164 halaman ini, menjadi TKI rentan stres, karena lingkungan adat, budaya, musim, dan bahasa baru. Apalagi bekerja di sektor rumah tangga/informal (baca: pekerja rumah tangga) yang dituntut untuk bisa berhadapan dengan berbagai peralatan rumah yang serbamodern, yang menjadi hal baru karena semasa di kampung halaman di Indonesia, tidak pernah bersentuhan dengan peralatan kekinian tersebut. Ditambah lagi, harus berhadapan langsung dengan majikan. Orang-orang dengan suara lantang dan tegas jika berbicara. Beruntung sebelum pemberangkatan, PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) bekerja sama dengan BLK (Balai Latihan Kerja) terlebih dulu mengadakan pelatihan skill bagi para calon TKI.

Menurut data Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, jumlah TKI yang bekerja sebanyak kurang lebih 165.000 jiwa di sektor informal, yakni pekerja rumah tangga. Job-nya bervariasi, jaga lansia, jaga anak-anak, beres-beres rumah, sampai ada yang mengurus kebun.

Selalu ada risiko setiap melakukan sesuatu, pun dengan menjadi TKI. Di Hong Kong menjadi rahasia umum bahwa pekerja sewaktu-waktu bisa kena interminit, pemutusan kerja secara sepihak dari majikan atau pekerja sebelum kontrak kerja selesai. (halaman 5)

Nur Musabikah bercerita tentang permasalahan yang sering muncul, terutama tentang penerapan ajaran Islam. Jilbab yang dikenakannya sering menjadi sorotan majikan. Dengan kemampuan bahasa yang terbatas, Nur mencoba menjelaskan dengan sangat hati-hati. “Dhai dhai sinsang, dalam agamaku seorang perempuan wajib menutup seluruh anggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan, termasuk rambut. Sehelai pun tidak boleh kelihatan.” (halaman 13)

Salat wajib adalah persoalan kedua yang sering jadi masalah ketika majikan keberatan pekerjanya melaksanakannya. Nur menyiasati sejak dini, saat interview dengan calon majikan. Ia memberanikan diri untuk minta diizinkan salat 5 waktu sebelum menandatangani kontrak kerja. Banyak sekali TKI yang terpaksa meninggalkan salat dan jilbab karena tidak diperbolehkan majikan. (halaman 34)
Kemudian, ketika bulan Ramadan tiba, perjuangan TKI muslim adalah bagaimana bisa berpuasa sebulan penuh dengan baik. Sebisa mungkin puasa tidak mengganggu segala aktivitas pekerjaan sehari-hari, agar majikan tidak murka hingga berujung pelarangan berpuasa.

Menjadi TKI dengan segala suka-dukanya membuat Nur Musabikah merasakan betapa ia sadar sepenuhnya bahwa kehadiran Allah Swt dalam hidup sangat terasa. Jauh dari keluarga, jauh dari orangtua, jauh dari kampung halaman, satu-satunya tempat mengadu yang selalu mendengarkan doanya adalah kepada Allah Swt.

Dalam 30 bab, catatan demi catatan selama di Hong Kong yang ditulis Nur Musabikah, merupakan buah perenungan yang penuh hikmah. Membacanya membuat saya mensyukuri segala nikmat terutama bisa berkumpul dengan keluarga. Bahasa yang digunakan penulis untuk menyampaikan kisahnya ini sangat sederhana sehingga terasa sekali kita bisa turut merasakan kehidupan sehari-hari di Hong Kong, sebagai seorang pekerja rumah tangga. Memang benar, di manapun berada, asal di hati kita ada Allah Swt, maka kenikmatan bersua dengan-Nya kentara terasa.

Selamat membaca.

Judul buku: Nikmat Bersua dengan-Mu
Penulis: Nur Musabikah
Penerbit: PT Elex Media Komputindo (Quanta)
ISBN: 978-602-04-9023-6
Cetakan: I, 2019
Tebal: xvi + 164 halaman

Dimuat di web Harakatuna pada 16 Juni 2019, link: https://www.harakatuna.com/buruh-migran-dan-perjuangan-ber-islam-di-hong-kong.html

Kehilangan Ibu


Gendhuk Nicole selalu diajak ikut salat Tarawih oleh orangtuanya, Jon Koplo dan Lady Cempluk, ke masjid kampungnya di daerah Weru, Sukoharjo. Meski anak perempuan, bocah berumur 3 tahun itu selalu minta ikut di barisan jemaah laki-laki bersama bapaknya. Seperti pada suatu malam di sepuluh malam terakhir Ramadan, Gendhuk Nicole Tarawih dekat Jon Koplo.


Namanya juga anak-anak, Gendhuk Nicole hanya ikut beberapa gerakan salat sebelum akhirnya keluar barisan saf dan memilih bermain-main bersama anak-anak lainnya yang juga diajak orangtua mereka ke masjid.

Saat rakaat kedua Tarawih, tiba-tiba terdengar suara tangisan Gendhuk Nicole dari barisan jemaah perempuan. Bocah itu menangis sambil memanggil-manggil ibunya. Koplo terganggu juga dengan tangisan sang anak dan merasa khawatir. Tapi salat sudah posisi tasyahud akhir, jadi ia bertahan sampai salam.

Begitu imam mengucap salam, Koplo lekas ikutan salam kanan-kiri, kemudian ia bergegas menuju ke tempat Gendhuk Nicole yang menangis. Agar tidak mengganggu jemaah lain, digendongnya Nicole keluar masjid. "Cup... cup... Sayang, nangisi apa sih, Ndhuk?"

"Huuu... Nyari Ibu enggak ketemu. Ibu di mana? Huu... huuu," begitu tangisnya malah tambah kencang.

"Eh, eh, sudah ah nangisnya. Kamu juga lucu, bukannya tadi kita cuma berangkat berdua? Ibu lagi enggak salat, Ndhuk, jadi enggak ikut ke masjid. Kan tadi sudah pamitan sama Ibu," kata Koplo mengingatkan.

Seketika Gendhuk Nicole diam dari tangisnya. Ia baru ingat ibunya tidak ikut ke masjid. Pantas saja ia cari-cari sampai muter seluruh jemaah perempuan, tidak juga menemui ibunya. "Iya, Ibu enggak ke masjid, ya, Pak? Aku lupa, Pak...."

Koplo geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli melihat kelakuan anaknya. "Makanya, apa-apa jangan terus nangis begitu!"

"Tiwas aku nangis," kata Gendhuk Nicole dengan nada lugu menyadari kekeliruannya.

"Ya sudah, ayo salat lagi," ajak Koplo akhirnya.

Pengirim: Sabtiyaningsih
Sidowayah RT 001/RW 006 Ngreco, Weru, Sukoharjo

Dimuat di harian Solopos edisi 18 Juni 2019



Sendiri


Lutfi merasa benar-benar sendiri. Meski dalam ruangan kelas ada 35 siswa, tapi ia merasa bahwa mereka hadir tidak untuknya, dan keberadaannya tidak dianggap oleh mereka. Mungkin ini semua adalah konsekuensi yang harus dijalaninya, akibat sikap yang ia pertahankan.

Saat jam istirahat, ketika beberapa teman sekelasnya bergerombol di salah satu meja, Lutfi pernah mendekat. Tapi ia kecewa karena semua mendadak bubar, atau berpindah ke kelompok kecil lainnya. Septian sempat berkata dengan nada sinis, "Tidak ada teman untuk orang yang tidak setia kawan."

Perkataan Septian ditimpali oleh Fadli, "Pintar cuma buat diri sendiri, buat apa berteman dengan kami?"

Lutfi tidak mampu menjawab apa-apa. Ia sadar betul, teman-temannya merasa kesal karena setiap kali ada pekerjaan rumah, tugas sekolah, bahkan ulangan, ia memang tidak pernah bersedia pekerjaannya dicontek siapapun.

"Biar dia rasakan hidup sendirian," sentak Alfian sambil menjauh dari Lutfi.

Lutfi mengalah, dan dia terima perlakuan teman-temannya dengan lapang dada. Mau apa lagi, ia memang tidak akan pernah sekalipun mengubah sikap. Ia paling benci ada teman yang hanya mengandalkan pekerjaan teman lain, meniru dan menconteknya tanpa mau berpikir sendiri. Bahkan tugas yang jawabannya jelas ada dalam buku paket saja, mereka malas mencarinya. Biarlah, Lutfi rela hidup sendiri di dalam kelas. Ia jadi orang asing di tengah teman-temannya.

Hari ini pulang agak cepat dari pada hari biasanya. Bapak ibu guru ada rapat pleno, jadi siswa diharap belajar di rumah.

Lutfi melangkahkan kaki ke luar gerbang sekolah. Ia berencana mampir warnet yang ada di seberang sekolah. Ada tugas yang harus dikerjakan, dan referensinya harus dicari di internet.

Beruntung, ia masih kebagian salah satu bilik warnet yang ternyata penuh pengunjung. Rupanya kesempatan pulang awal, dimanfaatkan juga oleh teman-temannya untuk ke warnet. Tapi Lutfi tahu, tidak semua temannya ke warnet untuk mengerjakan tugas, kebanyakan mereka memilih main game online, atau sekadar nonton video di YouTube.

Sesaat berada di biliknya, Lutfi sudah asyik membuka laman web untuk mencari kelengkapan bahan tugas. Saat itulah, ia mendengar sedikit ribut di tempat penjaga warnet yang memang berada di dekat biliknya. Suara penjaga warnet itu jelas sekali ia dengar.

"Tapi bilik penuh, Mbak. Lihat saja sendiri, tidak ada yang kosong," kata Mas Zaini, penjaga warnet.

"Ya, gimana dong. Tugas saya banyak sekali, Mas." Suara seorang siswi.

"Ke warnet lain coba," saran Mas Zaini.

"Warnet sebelah juga pas penuh, Mas."

"Kalau begitu, tulis saja tugasmu apa. Nanti aku carikan. Besok pagi, bisa kamu ambil," saran Mas Zaini.

"Ini kan tugas saya, Mas. Bukan tugas Mas."


"Sama saja. Aku kan cuma bantu mencarikannya di internet. Gurumu juga tidak bakal peduli kamu kerjakan sendiri atau tidak. Sama kayak teman-temanmu, seperti biasa. Tugas tinggal pesan padaku, pasti beres."

"Maaf, Mas. Saya tidak bisa begitu. Ini tugas saya, dan saya harus kerjakan sendiri."

"Terserah, yang jelas warnet lagi penuh. Itu, teman-temanmu yang pada main game online, tugasnya juga cuma nitip aku yang cariin."

Lutfi sejak tadi terusik dengan obrolan seorang siswi dengan Mas Zaini itu. Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Dalam hati ia takjub dengan sikap siswi itu.

"Siapa dia? Kok aku penasaran pengin kenal dia," batin Lutfi. Ia lalu mengintai dari pintu bilik yang terbuka, dan matanya menangkap badge nama di atas saku baju sekolah siswi itu. Namanya Sovia.

Suara Mas Zaini terdengar lagi, "Kalau mau bersabar, silakan tunggu sampai ada bilik yang kosong."

"Baiklah, saya akan menunggu saja," putus Sovia.

"Silakan duduk di kursi itu, semoga ada yang cepat keluar," kata Mas Zaini.

Lutfi segera mempercepat pekerjaannya. Ia ingin segera memberi kesempatan pada Sovia untuk mengerjakan tugasnya. Entah mengapa, Lutfi merasa keberadaan Sovia membuatnya merasa tidak sendiri lagi.

***

Wakhid Syamsudin, ketua komunitas menulis One Day One Post, tinggal di Sidowayah RT 001 RW 006 Ngreco Weru Sukoharjo Jawa Tengah.

Cerma (cerita remaja) dimuat di tabloid Minggu Pagi edisi No 09 Th 72Minggu V Mei 2019

Syawal Berkah dengan Berhijrah


SETELAH sebulan penuh digembleng puasa Ramadan, maka umat Islam seharusnya menyambut Syawal dengan berusaha  istikamah melanjutkan segala kebaikan dan amal ibadah yang sudah dilakukan di bulan suci. Usai idul fitri dan kembali suci setelah diampuni  Allah  dari  segala dosa. Maka selayaknya kita teruskan proses perbaikan diri  dengan berhijrah, bertobat untuk menuju pribadi yang lebih baik.

Sebuah buku motivasi karya Andri Astiawan Azis berjudul Habis Hijrah Terbitlah Berkah, tampaknya sangat bagus untuk bahan bacaan menyambut Syawal. Hijrah itu bukan menjadi lebih baik dari orang lain, tapi menjadi lebih baik dari diri kita yang dulu. Bukankah Allah berfirman : ”Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.”(QS. An Nur (24):31) (hal 21)

Mengapa orang bertobat akan beruntung? Rasulullah pernah bersabda bahwa Allah Swt sangat gembira dengan pertobatan hamba-Nya, melebihi rasa gembira seorang yang kehilangan onta dan tiba-tiba onta itu kembali saat ia putus asa mencarinya. Membuat Allah gembira akan mendatangkan keberkahan, itulah keberuntungan.

Hijrah berarti bergerak, berpindah, dan meninggalkan kenyamanan kita dalam kubangan dosa dan maksiat. Sebab kalau kita bertahan dan enggan untuk meninggalkan, maka sulit bagi kita untuk berubah ke arah kebaikan. Tentu akan banyak risiko yang kita hadapi : kehilangan teman-teman yang buruk, kebiasaan yang buruk,atau lingkungan yang buruk. Tapi yakinlah, siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya akan mendapatkan kehidupan yang luas dan rezeki yang banyak. (hal 11)

Berhijrah dan terus istikamah memang bukan hal mudah, maka kiat-kiat dalam buku ini sangat bagus untuk dijadikan inspirasi. Kita harus yakin akan datangnya kemudahan setelah kesulitan. Apa yang kita tanam, itulah yang kelak kita petik hasilnya. Jangan lupa selalu berdoa untuk segala urusan.

Penulis juga mengajak berguru pada lebah. Lebah tinggal di tempat yang bersih dan hanya menyesap yang bersih. Mengeluarkan yang bersih juga, serta tidak membuat kerusakan. Lebah juga makhluk pekerja keras yang gemar bekerja sama, saling peduli, dan tolong menolong. Tapi jangan salah, lebah akan bereaksi kalau diganggu.

Tidak ada alasan untuk tidak mau berubah menjadi lebih baik. Momentum Ramadan dan Syawal adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan perubahan itu. Membaca buku ini akan membuat kita merenung dan terinspirasi agar dapat kembali ke jalan hidayah dan meninggalkan kelam kemaksiatan.

Sebuah penyegaran di tengah kegersangan iman yang seringkali terjadi pada manusia-manusia modern. ”Libatkan Allah dalam setiap mimpi dan harapan. Karena Allah tak akan pernah mengecewakan hamba yang bergantung pada-Nya”. n-g*

Wakhid Syamsudin, Ketua Umum Komunitas Literasi One Day One Post (ODOP)

Dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Minggu Pon, 2 Juni 2019 

 

OTM Mei 2019


Bulan ketiga, dan perburuan berlanjut! Tersisa 14 peserta. Pada bulan Mei 2019 jumlah tulisan yang dikirim ke media adalah 34 judul, jadi total seluruh tulisan dari grup OTM 168 judul. Inilah tulisan anak-anak ODOP yang berhasil tembus ke media tujuan pada Mei 2019:
  1. Tips Cara Mengembalikan Fokus dalam Menulis karya Zen pada rubrik Kiat di web Ngodop.com edisi Mei 2019
  2. Cerpen Kamar Mandi Mertua karya Mabruroh Qosim pada rubrik Lakon di web Ngodop.com edisi Mei 2019
  3. Puisi Cinta Menggila karya Anelleea pada rubrik Bait di web Ngodop.com edisi Mei 2019
  4. Resensi Pewarna Rasa karya Nindyah Widyastuti pada rubrik Pustaka di web Ngodop.com edisi Mei 2019
  5. Cerpen Rindu karya Isnania pada rubrik Fiksi di majalah Hadila edisi Mei 2019 
  6. Terjadi Sungguh-Sungguh karya Wakhid Syamsudin di koran Merapi edisi 4 Mei 2019
  7. Resensi Bersua Tuhan di Negeri Beton karya Wakhid Syamsudin di koran Kedaulatan Rakyat edisi 5 Mei 2019 
  8. Puisi Rahasiamu karya Pebri Ika pada rubrik Puisi Kita di Harian Analisa edisi 5 Mei 2019 
  9. Pilihan Sang Cucu karya Nindyah Widyastuti pada rubrik Ah Tenane koran Solopos edisi 7 Mei 2019 
  10. Terjadi Sungguh-Sungguh karya Wakhid Syamsudin di koran Merapi edisi 8 Mei 2019 
  11. Puisi Lorong Gelap karya Isnaini Annisa di koran Radar Bekasi edisi 11 Mei 2019
  12. Terjadi Sungguh-Sungguh karya Wakhid Syamsudin di koran Merapi edisi 15 Mei 2019
  13. Tokek Tarawih karya Wakhid Syamsudin pada rubrik Ah Tenane koran Solopos edisi 15 Mei 2019
  14. Resensi Hijrah agar Bulan Suci Kian Berkah karya Wakhid Syamsudin pada rubrik Perada di Koran Jakart edisi 20 Mei 2019 
  15. Artikel Selain Manusia yang Diberkati Allah SWT karya Hiday Nur di majalah Al Uswah edisi 62, Mei 2019
  16. Resensi Mengenal Rasulullah Lebih Dekat karya Hiday Nur di majalah Al Uswah edisi 62, Mei 2019
  17. Nyumbang Nota karya Suparto pada rubrik Ah Tenane koran Solopos edisi 23 Mei 2019
  18. Cerma Sendiri karya Wakhid Syamsudin di tabloid Minggu Pagi edisi No. 09 Tahun 72 Minggu V Mei 2019
Penampakannya:
Cara Mengembalikan Fokus dalam Menulis karya Zen

Kamar Mandi Mertua karya Mabruroh Qosim

Cinta Menggila karya Anelleea

Pewarna Rasa karya Nindyah Widyastuti

Rindu karya Isnania
Bersua Tuhan di Negeri Beton karya Wakhid Syamsudin
TSS Wakhid Syamsudin
Rahasiamu karya Pebri Ika

Pilihan Sang Cucu karya Nindyah Widyastuti
TSS Wakhid Syamsudin
 Lorong Gelap karya Isnaini Annisa

TSS Wakhid
Tokek Tarawih karya Wakhid Syamsudin
Hijrah agar Bulan Suci Kian Berkah karya Wakhid Syamsudin
Selain Manusia yang Diberkati Allah SWT karya Hiday Nur

Mengenal Rasulullah Lebih Dekat karya Hiday Nur
Nyumbang Nota karya Suparto

Sendiri karya Wakhid Syamsudin