√ Jam Gadang Kebanggaan Kota Bukittinggi - Coretan Basayev

Jam Gadang Kebanggaan Kota Bukittinggi




Dalam novel Just Let it Go karya Petronela Putri tersebutlah Jam Gadang sebagai salah satu destinasi wisata yang dikunjungi dua jurnalis tokoh utama cerita: Alena dan Verico. Keduanya mendapat tugas dari Bos Besar untuk meliput tempat wisata dalam negeri untuk penerbitan majalah traveling tempat mereka bekerja.
 
Sore ini langit Bukittinggi terlihat cukup cerah. Jam Gadang pun sedang ramai pengunjung. Salah satu kota wisata di bagian barat pulau Sumatera ini menjadi destinasi pertamaku di tahun yang baru. Beberapa wisatawan terlihat mondar-mandir dan sibuk berpose di sekeliling ikon Ranah Minang tersebut. Aku melangkah santai dengan camdig di tangan, Verico mengikuti di belakangku. (halaman 13)
 
Tapi dalam postingan kali ini, saya tidak akan mereview novel tersebut. Saya tertarik mengulik tentang Jam Gadang yang cukup membuat penasaran tentang keberadaannya.

Menara dengan Jam Berukuran Besar


Jam Gadang adalah sebuah menara setinggi 26 meter yang pada keempat sisinya memiliki jam ukuran besar berdiameter 80. Dalam bahasa Minangkabau, Jam Gadang memiliki arti "jam besar".

Secara struktur, ukuran dasarnya 6,5 x 6,5 meter ditambah ukuran dasar tangga selebar 4 meter. Jadi ukuran dasar bangunan keseluruhan 6,5 x 10,5 meter.

Bangunan Jam Gadang terdiri dari 4 tingkat. Tingkat pertama adalah ruangan petugas, tingkat kedua tempat bandul pemberat jam, tingkat ketiga tempat mesinnya, dan tingkat keempat adalah puncak menara. Di puncak menara itulah lonceng jam ditempatkan.



Seluruh angka jam dibuat dengan nomor romawi tapi pada angka 4 ditulis dengan huruf IIII padahal lazimnya angka romawi adalah IV. Hal ini menjadikan Jam Gadang unik dan menimbulkan rasa penasaran wisatawan.

Sekitar menara diperluas dengan taman yang menjadi ruang bagi masyarakat umum untuk berinteraksi. Taman Sabai Nan Aluih namanya. Taman ini juga biasa dipakai untuk acara-acara bersifat umum. Menara monumen jam besar ini menjadi patokan titik sentral atau titik nol Kota Bukittinggi.

Sejarah Jam Gadang


Jam Gadang dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dimulai pada 1926-1927 dan selesai pada 1932 dengan menghabiskan dana fantastis yakni sekitar 3.000 Gulden.

Pembangunan menara jam ini diinisiasi oleh Hendrik Roelof Rookmaaker, controleur atau sekretaris kota Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi). Jamnya hadiah dari Ratu Belanda Wilhelmina. Jam tersebut digerakkan secara mekanik oleh mesin langka buatan pabrik Vortmann Recklinghausen, Jerman. Konon, mesin jam tersebut hanya ada dua unit, satu untuk Jam Gadang dan satu lagi hingga kini masih digunakan dalam menara jam Big Ben di Kota London, Inggris.

Sementara untuk konstruksi bangunan dirancang oleh arsitek asli Minangkabau bernama Jazid Rajo Mangkuto dari Koto Gadang. Pelaksana pembangunan oleh Haji Moran dengan mandor Sutan Gigi Ameh. Konstruksinya tidak menggunakan logam dan semen, tapi menggunakan campuran batu kapur, putih telur, dan pasir.

Bentuk Atap Jam Gadang


Pada mulanya, atap Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Pada masa pendudukan Jepang, bentuknya diubah menjadi bentuk pagoda. Paska kemerdekaan, atapnya diubah menjadi bentuk gonjong atau atap rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.






Pertama kali bendera merah-putih berkibar di puncak Jam Gadang adalah ketika berita proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan. Pemuda yang memimpin massa untuk memasang Sang Saka bernama Mara Karma, setelah melalui pertentangan dengan tentara Jepang.

Jam Gadang dalam Lagu Pop Minang


Saya adalah satu dari sekian orang Jawa yang suka mendengarkan lagu Minang. Dalam banyak lirik, nama Jam Gadang sering kali disebut. Juga nama tempat lain di Sumatera Barat seperti Danau Maninjau, Jembatan Siti Nurbaya, Pantai Padang, dan sebagainya. Saya sering hanyut dibawa suasana alunan lagu seolah merasakan sebagai perantau yang merindukan tempat-tempat di tanah kelahiran.

Saya memang belum pernah ke Sumatera Barat, hanya bisa melihat ikon-ikon tersebut berkelebat di video klip. Jika saja saya bisa berkesempatan ke sana, terutama memandang langsung Jam Gadang, saya tentu ingin mengajak istri saya tercinta. Ia bukan orang Minang, tapi orang Jawa seperti saya. Hanya saja, ia berusaha ikut suka saat lagu Minang menghiasi suasana rumah kami. Meski ia kesulitan memahami makna lirik-liriknya. Hehehe.

Itulah sekelumit tentang Jam Gadang, ikon Kota Bukittinggi yang sempat dikunjungi Alena dan Verico dalam novel Just Let it Go. Untuk review novelnya semoga nanti sempat menuliskannya. Cukup ya tentang Jam Gadang.

Referensi: www.indonesiakaya.com, www.wikipedia.org

#RCO9
#OneDayOnePost
#ReadingChallengeODOP9

Get notifications from this blog

6 komentar

  1. Oh ternyata sejak zaman Hindia Belanda, lumayan lama juga ya... aku orang Jawa yang lahir di Sumatera dan pengen menjelajah pulau Sumatera semoga diberi kesempatan melihat jam gadang secara langsung aamiin

    BalasHapus
  2. Unik dam menarik sekali membaca tentang jam gadang sebuh destinasi wisata di kota Padang,

    Sama sepertii saya belum pernah ke Sumatra,smoga impiannya bisa terwujud m3ngajak istri tercinta mengumjungi jam Gadang

    BalasHapus
  3. Semoga suatu saat bisa mengunjungi kota padang dengan landmark kebanggaannya, jam gadang. Aamiin

    BalasHapus
  4. Baru tahu sejarahnya jam gadang. Dari dulu cuma penasaran sama bentuknya yang mirip Big Ben.
    Semoga pakde sekeluarga bisa ke sana suatu saat nanti.

    BalasHapus
  5. ternyata Jam Gadang memiliki sejarah panjang dalam pendiriannya

    BalasHapus
  6. Enggak tau kenapa tiap lihat landmark Bukittinggi satu ini hawanya kaya misterius gitu. Ternyata Jam Gadang sejarahnya panjang juga. Makasih untuk tulisannya, Kak!

    BalasHapus

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.