√ Duo Krucil di Ujung Waktu - Coretan Basayev

Duo Krucil di Ujung Waktu


"Kita di mana ini, Om?" Sovia lekas memandang sekelilingnya.

Lutfi juga terlihat sedikit bingung, tapi ia memilih tak bersuara dulu. Ia ikut memandang sekeliling.

Aku tergelak melihat kebingungan dua remaja yang sering kusebut dengan Duo Krucil itu. Kami memang berada beberapa tombak dari sebuah gapura kuno, yang dijaga oleh dua orang berpakaian ala prajurit dalam pentas ketoprak.

"Mas Suden ketawa aja. Kita di mana ini?" Lutfi tak sabar juga, bertanya akhirnya.

"Kita sedang berada di depan pintu gapura wisma kepatihan Majapahit," kataku segera, menjawab penasaran keduanya.

"Apa? Majapahit?" Duo Krucil berseru serentak kompak!

"Kok kaget, sih? Biasa sajalah," sergahku. "Kalian berdua kuajak jadi tokoh cerpen tugas RCO level akhir."

Keduanya saling pandang sebelum kembali menatapku. "Tapi tugasnya tidak harus pakai tokoh kita berdua, Mas," protes Lutfi.

"Tapi tidak ada larangan, kan, mau pakai tokoh siapa saja?"

Lutfi diam tak melanjutkan protesnya.

Sovia menunjukkan kekesalannya. "Aku sih tak masalah dijadikan tokoh tulisan Om Suden untuk kesekian kali. Tapi kenapa harus ke masa jadul begini? Sesekali ke masa depan kenapa sih, Om, setidaknya kan aku bisa tahu siapa jodohku kelak."

Sovia lekas menutup mulut seperti orang barusan keceplosan bicara. Aku jadi tertawa. Kulirik Lutfi sambil setengah berbisik, "Hahaha. Kode tuh, Mas Lutfi."

"Kode apaan, Mas?" tanya Lutfi tak paham.

"Itu, Sovia penasaran siapa jodohnya. Kali aja kamu mau ngasih kepastian," pancingku.

"Ah, ngomong apa sih, Mas, tak penting amat," sergah Lutfi dengan nada tidak suka. Tapi gelagatnya lucu juga, ia mendadak kikuk.

"Sudah ah, memang tidak ada yang penting soal aku." Sovia yang bicara. "Pokoknya, aku malas kalau jadi tokoh tulisan Om Suden dengan setting zaman jadul begini!"

"Terus gimana, dong, aku kan baca novel tentang Majapahit. Ya, aku harus bikin cerpen dari apa yang kubaca, sesuai tugas yang kalian tantangkan," kataku dengan sedikit kesal juga.

"Ya sudah, daripada ribut, kita ikut saja apa maunya Mas Suden," kata Lutfi menengahi.

"Nah, begitu bagusnya," kataku tersenyum puas.

"Tapi jangan panjang-panjang ceritanya. Ogah aku!"

Aku tertawa. "Baik, cukup 3000 kata saja ya?"

"Kepanjangan!" protes Sovia. "Pokoknya jangan lebih dari 1250 kata. Titik!"

Melihat kegalakan Sovia, tampaknya harus kuturuti saja. Daripada dia ngambek dan tidak lagi mau kujadikan tokoh ceritaku.

"Baik, Mas. Sekarang Mas mulai saja ceritanya," saran Lutfi.

"Iya, tentu." Aku memulai. "Kita berada di depan wisma kepatihan. Saat ini adalah masa awal berdirinya Majapahit. Rajanya adalah Sri Narapati Kertarajasa Jayawardana. Sri Kertarajasa mengangkat Nambi sebagai patih amangkubumi. Dan di wisma inilah sang Patih tinggal. Ayo kita masuk."

"Ada dua prajurit penjaga, Mas."

"Hahaha. Tenang saja, kita bisa melihat mereka, tapi mereka tidak bisa melihat kita," kataku menjelaskan.

"Serius? Kita bisa menghilang maksud Mas Suden?"

"Bisa dibilang begitu. Intinya, kita di sini untuk menyaksikan saja akan apa yang terjadi. Begitulah inti cerpen kita kali ini."

Lutfi mengangguk paham. Sovia ikut mengangguk. Keduanya lekas mengikuti langkah kakiku menuju gapura masuk.

Benar saja, kedua prajurit jaga memang tidak menghalangi langkah kami yang masuk ke wisma kepatihan. Sovia yang sempat was-was memegangi lengan Lutfi dengan raut sedikit ketakutan. Lutfi lekas merangkulkan tangannya dengan lagak melindungi. Aku tersenyum saja melihat kelakuan keduanya itu.

Di ruang penghapadan, terlihat dua orang tengah berbincang. Kujelaskan pada Lutfi dan Sovia bahwa kedua orang itu adalah Patih Nambi dan seorang menteri kepercayaannya, Rakyan Menteri Dyah Halayuda.

"Kita simak apa yang mereka bicarakan, jangan khawatir, mereka juga tidak bisa melihat keberadaan kita," kataku.

Duo Krucil mengangguk. Lutfi mengeratkan rangkulannya. Sovia tak menolak, jujur ia agak takut juga di tempat asing ini. Ia merasa Lutfi memang pantas jadi pelindungnya.

"Halayuda," berkata Patih Nambi. "Sebelum pergi meninggalkan Majapahit, Arya Wiraraja sempat memberi pesan padaku, bahwa ada sosok keparat bertangan kotor yang bermain di kerajaan ini. Katanya, ia juga terlibat dalam hasutan pemberontakan Rangga Lawe."

Dyah Halayuda mendengarkan dengan saksama. Patih Nambi kembali melanjutkan, "Aku ingin, agar engkau mengusut, mencari tahu siapa yang dimaksud sosok keparat bertangan kotor itu."

Halayuda mengangguk. "Aku siap melaksanakan perintahmu, Kakang Patih."

"Bagus, Halayuda."

"Kakang Patih, sebelum aku menyelidiki keparat itu, aku akan melaporkan hal yang tidak kalah penting."

"Hal apa itu, Halayuda?"

"Ini menyangkut keadaan negara, Kakang. Jika dibiarkan, maka akibatnya bisa sangat gawat."

Patih Nambi terlihat penasaran. "Segera laporkan apa yang terjadi," katanya tak sabaran.

"Kakang, Kebo Taruna berniat menuntut balas pada Kakang Lembu Sora atas kematian ayahandanya!"

Ucapan itu membuat Patih Nambi tersentak. "Tunggu, Halayuda. Kita semua tahu, bahwa benar Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang saat menumpas pemberontakan Rangga Lawe. Hal itu dilakukan Lembu Sora karena merasa ayahanda Kebo Taruna itu tidak bersikap kesatria saat perang tanding melawan Rangga Lawe di Kali Tambak Beras."

"Iya, Kakang. Aku juga tahu, bahkan Gusti Prabu sendiri mengampuni Kakang Lembu Sora. Dan yang jadi masalah, Kebo Taruna hendak menuntut penegakan hukum bagi pembunuh seperti Kakang Lembu Sora sesuai apa yang diundangkan dalam Kitab Kutaramanawa."

Patih Nambi diam sejenak. Ia hela napas panjang. Halayuda melanjutkan, "Menurut Kebo Taruna, jika di awal berdirinya Majapahit saja, undang-undang dilanggar, maka nama besar Majapahit akan tercoreng. Rakyat tidak akan percaya pada Gusti Prabu. Setidaknya itu yang aku khawatirkan juga jika terjadi, Kakang Patih."

Patih Nambi terlihat berpikir keras. "Begini saja, Halayuda."

"Bagaimana, Kakang?"

"Kutugaskan kau menemui Kebo Taruna. Bujuklah dia agar mengurungkan niatnya itu. Kita harus menghormati keputusan Gusti Prabu yang memberi ampun pada Lembu Sora karena ia sangat besar jasanya pada Majapahit. Ingat, sabda pandita ratu, apa yang jadi perkataan Raja tidak boleh berganti-ganti begitu saja."

Halayuda kini terdiam.

"Kau sanggup membujuknya?"

Halayuda menghaturkan sembah. "Baiklah, Kakang. Akan kutemui Kebo Taruna. Semoga dia bisa menerima penjelasanku."

Tak lama kemudian, Halayuda berpamitan. Meninggalkan Patih Nambi yang tepekur berpikir keras. Ia tidak sepenuhnya yakin, langkah Kebo Taruna bisa begitu saja dihalangi.

"Om, kita ke mana sekarang? Ikuti orang yang keluar barusan?" tanya Sovia.

"Pastilah, masa sih menetap di sini? Sang Patih kan cuma adegan kebingungan sendiri," kata Lutfi.

"Rencana awal memang kalian akan kuajak mengikuti Halayuda menemui Kebo Taruna," kataku.

"Kalau begitu, ayo, tunggu apa lagi, Om?"

Aku menatap wajah Sovia. "Kamu serius mau melanjutkan cerita ini?"

"Lah iya, dong, Om. Terlanjur penasaran bagaimana lanjutannya. Apakah Kebo Taruna jadi menuntut balas atas kematian ayahandanya?"

"Juga itu, Mas, siapa keparat yang sedang dicari Patih Nambi," tambah Lutfi.

Aku menggeleng. "Tidak. Jatah kita habis."

"Jatah apa, Mas?"

"Di awal tadi, aku menawarkan 3000 kata untuk cerpen ini. Sovia ogah, mintanya jangan lebih dari 1250 kata. Dan kita sudah nyaris kehabisan jatah itu."

"Kan tadi aku tidak tahu bakalan seru, Om. Aku bersedia deh sampai ribuan kata," ucap Sovia penuh minat.

Aku menggeleng. "Tidak bisa. Aku sudah memutuskan tak lebih dari 1250 kata. Sesuai permintaanmu di awal cerita."

"Kan bisa dirubah, Om."

"Diubah, bukan dirubah, Sov. Kata dasarnya ubah, bukan rubah," sela Lutfi.

"Terserah, pokoknya Om boleh tambah berapapun kata dalam cerpen ini asal kelar semua."

"Tidak, Sov. Maafkan aku. Kamu ingat kata-kata Patih Nambi tadi. Sabda pandita ratu. Tidak boleh keputusan diubah-ubah begitu saja."

"Itu berlaku buat keputusan Raja, kan, Om!"

Aku tertawa. "Menurutmu tidak berlaku buatku? Aku masih ketua umum ODOP! Anggap saja keputusanku juga keputusan seorang Raja."

Sovia terdiam.

"Jadi kesimpulannya? Kisah ini berakhir di sini?" tanya Lutfi setengah kecewa.

Aku mengangguk. "Ayo kita kembali ke alam nyata, di mana di sana sedang pengumuman ketua baru ODOP."

"Tuh, kan, Om bukan ketua lagi, bisalah ditarik keputusan jumlah katanya."

"Tidak, Sov. Sampai kisah ini kututup, belum serah terima jabatan. Jadi statusku masih ketua."

Sovia terlihat kecewa. Lutfi juga merasa sedih tak bisa membantu apa-apa untuk membujukku melanjutkan kisah yang harus diakhiri ini. Lutfi hanya bisa menghibur dengan memeluk Sovia erat-erat.

Kututup pada kata ke seribu dua ratus lima puluh. Di ujung tahun 2019, di akhir masa jabatanku sebagai ketua ODOP.

Get notifications from this blog

2 komentar

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.