√ Setelah Soeharto Pergi - Coretan Basayev

Setelah Soeharto Pergi


Kelar sudah membaca Setelah Dia Pergi, Tempo Edisi Khusus Soeharto yang terbit pada 4-10 Februari 2008. Dalam edisi spesial ini, Tempo memang mengulas tuntas tentang mantan Presiden Soeharto, setelah meninggalnya orang nomor satu di Indonesia pada zamannya ini. Saya baca versi ebook, hasil googling, dalam rangka memenuhi tantangan membaca tema sejarah pada level 3 Reading Challenge ODOP. 

Kita pasti sering mendapati meme atau gurauan atau apalah sebutannya, yang mengaitkan kondisi bangsa saat ini dengan masa kepresidenan Soeharto, dengan jargon Penak Jamanku, dan sebagainya. Sebagai rakyat kecil, mungkin sebagian besar kita merasa paling nyaman itu hidup pada masa Soeharto di mana apa-apa murah, cari kerja mudah, dan seabreg kenyamanan hidup lainnya. Nah, kalau Anda berpikir serupa, coba Anda baca ulasan Tempo edisi khusus ini. Mungkin setelahnya, Anda akan sedikit berpikir ulang tentang hal itu.

Tempo edisi Soeharto ini mencakup 46 bab ulasan dengan bahasa ringan dan enak sekali dibaca. Meskipun yang dibahas sebenarnya adalah hal berat, kehidupan Soeharto dan setelah kepergiannya. Bagaimana Bapak Pembangunan Indonesia itu memimpin selama 32 tahun, intrik politik di sekelilingnya, kehidupan keluarganya, caranya mengambil keputusan besar, dan sebagainya? Mengapa ia harus turun takhta dalam keadaan terhinakan?

Konon, sekitar 100 halaman edisi khusus ini sudah dipersiapkan sejak tahun 2001 ketika awal-awal Soeharto dilaporkan masuk rumah sakit. Setelah itu, antara tahun 2001 hingga 2007 Soeharto bolak-balik masuk rumah sakit, dan selama itu pula Tempo sudah berganti pemimpin redaksi, termasuk juga tim edisi khusus ini yang juga sudah berganti orang. Bahkan Pramoedya Ananta Toer dan Prof.Sadli yang menyumbang salah satu kolom edisi spesial ini meninggal lebih dulu. Redaksi Tempo menyatakan keseriusan menggarap edisi khusus Soeharto ini bukan karena mereka ingin mendahului takdir tapi lebih karena kesadaran bahwa Soeharto adalah tokoh yang penting bagi negeri ini. Edisi khusus ini adalah usaha Tempo untuk mencatat sepak terjang Sang Penguasa Orde Baru. Suka tidak suka semua pihak pasti bersepakat bahwasanya Soeharto cukup ‘mewarnai’ Indonesia tercinta ini.

Setelah menuntaskan baca, saya baru sadar bahwa saya sangat awam dan baru ngeh dengan beberapa peristiwa atau kasus semasa kepemimpinan Sang Jenderal Besar, sebutlah Tragedi 1965, Malari, Petrus, Peristiwa  Talangsari, Tanjungpriok, Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli), Operasi Militer Aceh - Papua, Penculikan aktivis tahun 1998,Trisakti dan Kedungombo. Tempo menyajikan tulisan detail meski singkat, padat, tapi jelas, sehingga pembaca akan mengetahui bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada gambaran yang bisa kita tangkap. Suara para korban peristiwa-peristiwa itu juga diberi ruang pada bahasan edisi khusus ini.

Sedikit-banyak, kita juga akan berkenalan lebih dekat dengan para loyalis Soeharto seperti Ismail Saleh, Haryono Suyono, Bustanul Arifin, Sudharmono, Saadilah Mursyid. Sebagai penyeimbang, juga dimunculkan para seteru Soeharto seperti Pram, Amin Rais, Budiman Sujatmiko, Syahris, Ali Sadikin, Soebandrio, Dewi Soekarno dan Beny Biki. Siapa saja mereka itu? Baca sendiri ya! Hehehe.

Sementara dari sisi manusiawi Soeharto dapat tergambarkan dari kesaksian beberapa orang yang pernah berada dekat dengannya, seperti mantan ajudan, teman memancing, wartawan istana dan fotograper istana. Terasa sekali kehangatan yang tercipta dalam keseharian di Istana Negara.

Sebagai pelengkap, Tempo juga mengulas sisi kebatinan Soeharto yang kental dengan dunia mistis Jawa. Bagaimana kedekatan spiritualnya pada Rama Marta, Rama Budi Utomo, Rama Dijat, dan Rama Mesran. Di mana nyaris setiap keputusannya, Soeharto selalu melibatkan pendapat para tokoh kejawen kepercayaannya.

Catatan hitam pelanggaran hak asasi manusia di bawah restu Soeharto tentu juga tidak bisa dihapuskan begitu saja. Tindakan drastis yang melahirkan banyak korban di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Papua, dan sejumlah tempat lain. Selain itu, kasus besar korupsi, kolusi dan nepostisme tidak bisa lepas dari masa kepemimpinan Soeharto. Kehidupan anak-anaknya yang serba dimudahkan dengan status orang nomor satu di Indonesia, jeratan korupsi dan kasus lainnya, diungkap singkat dan cukup tergambarkan.

Memang belum sempurna apa yang Tempo sajikan dalam edisi setebal 140 halaman ini. Tapi di sana kita mendapat gambaran tentang Soeharto, dari segala sisi. Dari kebaikannya, dari keburukannya. 

Saya tutup tulisan singkat ini dengan salah satu humor politik yang menjadi favorit saya. Orang-orang Indonesia pada zaman Soeharto punya tiga sifat dasar: pintar, jujur, dan pro-pemerintah. Tapi tiap orang Indonesia hanya bisa memiliki dua saja. Kalau dia pintar dan pro-pemerintah, dia tidak jujur; kalau dia jujur dan pro-pemerintah, dia tidak pintar;dan kalau dia pintar dan jujur, dia pasti anti-pemerintah.

#OneDayOnePost
#ReadingChallengeOdop




Get notifications from this blog

8 komentar

  1. Saya jawab Betul betul betul tentang humor di akhir tulisan tersebut. Betuuul banget. Tapi mbahku juga selalu.bilang, isih enak zaman soeharto. Enak sakabehe. Hihi..

    BalasHapus
  2. Aku kemarin baca sedikit tentang peristiwa 27 juli itu. Tapi blm mudeng...
    Kayaknya bagus deh itu bacaannya

    BalasHapus
  3. apik, wis.. kayaknya bakal jadi bahan bacaan sy berikutnya 😁

    BalasHapus
  4. Suka dengan kalimat-kalimat di akhir paragraf. Tapi tidak akan bebas berekspresi terutama pers seperti seperti sekarang.

    Terima kasih sudah berbagi tulisan yang menambah wawasanku ^^

    BalasHapus

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.