Loading...
Monday, February 18, 2024

Lutfi dan Sovia

Saya menjumpai Lutfi tengah bekerja sendirian di samping rumah, menggergaji kayu, mengukurnya, dan menghaluskan permukaannya, dengan peralatan tukang yang lumayan komplit. Saya tertarik untuk mendekatinya.

"Assalamualaikum, Mas Lutfi. Sibuk sendirian saja, nih?"

Lutfi tersenyum, menghentikan sejenak pekerjaannya dan mendekati saya. "Waalaikumussalam, Mas Suden. Saya pikir siapa. Silakan masuk."

"Di sini saja, Mas. Kebetulan lewat, tertarik melihat pekerjaan Mas Lutfi," kata saya.

"Ya, sudah, duduk di sini saja," katanya sambil meraih kursi kayu panjang dan didekatkannya pada saya.

"Omong-omong Mas Lutfi sedang menggarap apa, nih?"

"Iseng saja, Mas. Saya mau bikin meja dan kursi untuk anak-anak yang mengaji tiap sore di musala."

"Duh, mantap betul Mas Lutfi ini."

Tapi Lutfi malah menunjukkan wajah mendung. "Saya berniat baik, tapi beberapa jamaah kurang suka dengan rencana saya, Mas Suden."

"Maksudnya?"

Lutfi menghela napas dalam. "Selama ini, anak-anak mengaji di atas tikar dalam musala. Di musala ada ruang sebelah yang kosong. Saya bermaksud menjadikannya kelas, dengan papan tulis, meja dan kursi selayaknya di sekolahan."

"Bagus itu," komentar saya.

"Tapi beberapa jamaah, terutama yang sepuh, mengatakan kalau rencana saya itu sebaiknya tidak dijalankan. Sudah budaya di musala kalau belajar ya di lantai musala, bukan dengan meja kursi macam sekolahan begitu."

Saya jadi tertarik dengan cerita Lutfi. "Apa yang salah, Mas?"

"Ya, mereka tidak suka saja dengan sistem belajar seperti itu. Tapi beberapa jamaah lain mendukung, maka saya lanjutkan mewujudkan keinginan saya menjadikan ruang sebelah musala menjadi kelas."

"Kadang, orang-orang tua memang segan menerima hal-hal baru semacam itu."

Lutfi mengangguk. "Saya juga mikir begitu, Mas."

"Saya jadi ingat sama Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah."

"Kenapa beliau, Mas?"

"Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kyai Dahlan juga berbuat seperti Mas Lutfi, mengadopsi model pembelajaran kelas, meniru sekolah umum bikinan pemerintahan Hindia Belanda."

"Lalu?"

"Apa yang dilakukan Kyai Dahlan dianggap sesat, meniru cara belajar kafir."

"Oh, gitu ya? Terus?"

"Beliau menjelaskan dengan sabar dan cara yang baik, sampai akhirnya banyak pendukung."

Lutfi terlihat antusias. "Subhanallah, bagus sekali."

"Makanya, Mas Lutfi juga perlu mengomunikasikan dengan baik pada jamaah yang kurang suka itu."

Lutfi mengangguk paham. "Iya, Mas. Saya akan coba."

Tiba-tiba dari ruang dalam, keluarlah seorang gadis muda. Melihat Lutfi berbincang dengan saya, gadis muda itu lekas berseru, "Om Suden, apa kabar?"

Saya lekas menolehnya. "Ya ampun, Sovia di sini juga?"

"Iya, Om. Saya menemani Lutfi. Kasihan dia bikin meja kursi sendirian."

Saya pandang bergantian Sovia dan Lutfi. "Kalian kompak sekali."

"Iya dong, Mas. Saya sama Sovia selalu kompak."

"Bagus, bagus."

"Sovia dengan senang hati bantu saya, Mas. Padahal kita beda keyakinan," kata Lutfi dengan senyum lebarnya.

"Sebagai umat Kristiani, saya dengan senang hati membantu sesama, Om."

"Luar biasa," komentar saya tulus.

Sovia duduk di kursi kayu sebelah Lutfi. Lutfi mengipas-kipaskan tangan kegerahan. Cuaca memang agak panas, seperti mau hujan tapi tidak kunjung turun.

Melihat Lutfi gerah, Sovia mengeluarkan sapu tangan. "Gerah, Lut? Kamu sih, sudah kubilang kalau capek istirahat dulu saja. Kan, meja-kursi tidak harus jadi hari ini," kata Sovia sambil tangannya bergerak mengelap keringat di dahi Lutfi.

Lutfi terlihat sungkan dan sepintas melirik ke arah saya. Saya lekas sadar, saya harus segera menyingkir dari sini. "Saya pamit dulu ya, ada perlu."

Sovia menoleh saya. "Om Suden buru-buru?"

"Iya. Maaf ya," kata saya sambil beranjak berdiri.

"Mas Suden, em ... Anu." Lutfi malah terlihat gugup.

"Sudah dulu, ya, saya pamit."

#OneDayOnePost
#ReadingChallengeOdop
#Tantangan3Level2
Share:

26 komentar:

  1. 😂😂😂 malah salfok sama adegan terakhirnya...

    ReplyDelete
  2. Saya kok kepengin komen pake emot senyum aja ya paketu

    ReplyDelete
  3. Ceritanya lucu-lucu gimana gitu, bikin gemes

    ReplyDelete
  4. kayaknya Mas Suden buru2 pergi karena cemburu.. hehehe 😁

    ReplyDelete

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.

 
TOP