√ Potret Sepi Terindah di Bali - Coretan Basayev

Potret Sepi Terindah di Bali


Judul: Potret Terindah dari Bali
Penulis: Pande Komang Suryanita
Penerbit: Kaifa, PT Mizan Pustaka, Bandung
ISBN: 978-602-8994-13-2
Tebal: 216 halaman

"Gadis Bali yang luar biasa. Potret kemiskinan yang direkam anak pemulung berbekal kamera pinjaman telah menjadi sebuah keajaiban Tuhan."
(Andi F. Noya, host Kick Andy)

Sebuah novel yang mengisahkan Ni Wayan Mertayani, atau biasa disapa dengan Sepi. Seorang anak pemulung yang menjuarai lomba fotografi internasional. Novel ini menceritakan kehidupan sehari-hari Sepi dan keluarganya. Hidup tanpa ayah, kemiskinan, dan rentetan penderitaan. Sepi tinggal di gubuk kecil bersama Ni Nengah Kirem, sang ibu, dan adiknya, Ni Nengah Gek Jati. Panggilan Sepi disematkan orang karena Ni Wayan Mertayani lahir saat heningnya Hari Raya Nyepi.

Kisah Sepi dimulai sejak ia kehilangan ayahnya, I Nengah Sangkrib, dan berlakunya hukum adat Bali, harta warisan jatuh kepada pihak purusa, pihak laki-laki. Dengan pongahnya, saudara jauh pihak ayah, Mek Mang, mengusir ibu Sepi karena mereka ingin menempati rumah peninggalan ayah Sepi.

Ibu mengajak Sepi dan Jati ke rumah Ki (kakek, ayah Ibu), I Ketut Genti yang seorang balian sakti (dukun). Tapi tidak lama mereka tinggal di sana. Suatu kali Ibu terlambat menyuguhi minum pasien, dan Ki yang baru saja menenggak tuak tersulut emosi dan marah-marah hingga keluar usiran dari mulutnya.

Akhirnya, Ibu menumpang di sebuah lahan di Kampung Bias Lantang, di tepi pantai. Dibantu beberapa tetangga yang berhati tulus, berdirilah gubuk ala kadarnya. Di situlah Sepi dan Jati menjalani kehidupannya.

Ibu berjualan kerupuk dan menjadi pemulung demi menghidupi kedua anaknya. Sepi dan Jati sudah kenyang juga dengan segala hinaan teman sekolah terkait segala kemiskinannya. Sungguh hidup yang terasa berat, tapi Ibu selalu menguatkan hati keduanya.

Tinggal di tepi Pantai Amed, membuat gubuk Sepi sering disinggahi turis yang melancong. Ada Jacques dan Jany Forte dari Prancis, Bianca dari Belanda, Guntz Philippe dari Prancis, Montse Galobardes dari Spanyol, Gunnar dan Eva dari Jerman, Virginie Guyard dari Prancis, Lauren Southern dari Amerika, Francine dan Jiji dari Prancis, Emanuele Bianchi dari Swiss, dan yang lainnya.

Kemiskinan keluarga Sepi juga seringkali jadi bahan nyinyir tetangga yang tidak suka. Termasuk Ibu juga sering mendapati penghinaan, bahkan gosip tidak mengenakkan. Saat Ibu sakit, ada saja yang menyebar isu bahwa Ibu terkena AIDS karena suka melayani para turis. Sepi dan keluarga selalu bersabar menghadapinya. Sepi sendiri pernah dituduh mencuri ketika teman-temannya melihat dia punya pulpen mahal, padahal itu pemberian turis yang singgah di gubuk mereka.

Penulis begitu lancar mengisahkan keseharian Sepi, meski ada beberapa dialog berbahasa Bali tidak diberi terjemahan, membuat pembaca yang tidak paham hanya bisa menerka maksud percakapan. Tetapi itu tidak terlalu menggangu. Selebihnya, semua tersaji pas dan tidak berlebihan.

Nasib baik Sepi adalah ketika mengikuti lomba foto yang diselenggarakan Museum Anne Frank, Belanda, dengan kamera yang dipinjamkan Dolly, salah satu turis yang berbaik hati. Dan Sepi juara 1, diundang untuk menerima penghargaan ke Belanda.

Buku ini juga menceritakan perjalanan Sepi dan Jati yang ditemani Marrie, dengan pesawat menuju ke Belanda. Betapa Sepi menikmati semuanya, sesuatu yang lama diidamkannya terwujud: pergi ke luar negeri.

Dikemas dalam sajian novel ciamik, kisah menginspirasi ini layak jadi bahan bacaan ringan. Setting Bali dengan pantainya cukup berhasil membawa pembaca seolah hadir ke sana. Banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik dari kisah hidup Sepi ini. Memaknai segala kekurangan dengan kesyukuran.

Get notifications from this blog

6 komentar

  1. Sepi... di tengah keramaian Sepi masih merasa sepi.

    BalasHapus
  2. Nyoba nyari di ipusnas ah,barangkali ada 😬

    BalasHapus
    Balasan
    1. Entah ada nggak. Itu terbitan lawas kok mbak. Bisa jadi ada.

      Hapus
  3. Apa ini terinspirasi dari kisah nyata? Apik koyone

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, kisah nyata. Tadinya kupikir bukan berbentuk novel. Ternyata novel banget.

      Hapus

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.