√ Kecelakaan (8) - Coretan Basayev

Kecelakaan (8)


KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 8

Om Teddy Syah dan Tante Mabruroh memohon pamit.

"Aku juga pamit," kata Nisa. "Laras sama Nining kan juga masih harus ke rumahku. Tadi terlanjur memulai mengerjakan tugas kelompok. Kayaknya harus dilanjut meski Uky nggak ikut."

"Iya, kita kerjakan bersama. Uky tidak usah ikut," sambut Nining.

Nisa, Laras dan Nining ikut bangkit berdiri. Mereka pun ikut pamit. Pakde Ikhtiar dan Mbak Nova menyalami mereka bersamaku. Tak lupa kuucapkan terima kasih pada mereka. Beruntung aku ya, Mas Suden, punya sahabat dan om tante sebaik mereka....

"Nah, sekarang Pakde juga mau pulang dulu," kata Pakde Ikhtiar.

"Pakde ikut-ikutan saja...," komentarku.

"Ada kesibukan yang harus Pakde kerjakan," kata Pakde Ikhtiar.

"Kesibukan apa, Pakde?"

"Biasa, rebahan," Mbak Nova yang menjawab, sambil tersenyum.

"Rebahan sambil nonton berita di televisi, Ky. Hiburan orang tua seperti Pakde ya cuma begitu," sambut Pakde Ikhtiar membela diri.

"Oh, rebahan itu termasuk kesibukan, ya, Pakde?" tanyaku. Pakde ada-ada saja, nih.

"Karena orang rebahan tidak bisa mengerjakan yang lainnya, jadi masuk kategori kesibukan, Ky," yang jawab Mbak Nova.

"Maksudmu Bapak tidak bisa kerja apa-apa kalau lagi rebahan, gitu, Nov?" Pakde Ikhtiar rupanya mengerti disindir anaknya.

"Lha Bapak kalau sudah asik rebahan di depan tivi kan memang begitu. Kerjaan rumah tidak satu pun yang dipegang."

Waduh, ini anak-bapak kayaknya lagi perang panas-dingin, Mas Suden. Gimana nih?

"Bapak kan juga butuh istirahat, Nov. Kalau lagi musim ke sawah, Bapak juga ke sawah. Ini saja lagi tidak ada kerjaan sawah, jadinya Bapak santai di rumah. Kamu tidak suka?" Pakde Ikhtiar malah terlihat marah.

"Maaf, Pak, Nova nggak maksud begitu, saya minta maaf, Pak. Bapak jangan marah sama saya, ya...," pinta Mbak Nova segera. Terlihat anak gadis Pakde Ikhtiar ini ketakutan dengan sikap bapaknya. Aku jadi serba salah, nih, Mas Suden.

"Terserah, Bapak mau pulang!" kata Pakde Ikhtiar dengan nada kesal. Lalu keluar dari ruang tamuku.

Mbak Nova memandangku. "Ky, maaf, ya, aku juga pulang dulu. Aku takut Bapak marah."

Aku hanya bisa mengangguk. Berdebar kencang hatiku. Kasihan Mbak Nova dengan sikap Pakde Ikhtiar. Satu sisi, Pakde Ikhtiar itu orangnya baik sekali. Sisi lain, kalau lagi marah membuat orang takut di dekatnya. Kalau Mas Suden suka marah-marah nggak? Jangan, ya, Mas. Kasihan anak-istri Mas Suden kalau Mas bersikap kasar. Eh, jadi kayak menggurui Mas Suden. Maafkan Uky, deh, Mas.

Sepeninggal Pakde Ikhtiar dan Mbak Nova, mendadak rumah ini terasa sepi. Kuambil remote dan menyalakan televisi. Mencoba mencari chanel yang acaranya bagus. Tapi tidak ada yang menarik.

Kumatikan lagi televisi. Aku beranjak masuk kamar. Tidur sajalah, perbanyak istirahat. Luka jahitan di lenganku terasa berdenyut. Menikmati pedihnya. Dalam kesendirianku. Oh, syahdu benar hidupku, ya Mas Suden....

Saat sejenak aku rebahan di kamar. Kudengar suara motor masuk pekarangan rumahku. Berhenti di halaman rumah. Siapa lagi yang datang, Mas Suden?

Tok! Tok! Tok!

"Permisi, kulanuwun!"

Terdengar pintu yang tidak kututup diketuk orang. Suara salam yang terdengar kasar di telinga. Siapa, sih, Mas Suden? Mas Suden tahu nggak siapa pemilik suara itu. Rasanya asing bagiku.

Aku lekas bangun. Keluar kamar secepatnya, karena ketukan pintu makin tidak sabar. "Permisi! Ada orang tidak, ya?"

Di ambang pintu kulihat dua orang lelaki bertubuh tegap dan tampang kasar. Mereka mengenakan jaket kulit hitam. Meski aku sudah menampakkan diri, mata mereka masih melongok-longok seperti mencari sesuatu.

"Siapa, ya? Ada perlu apa?" kuberanikan bertanya.

"Mana si Jabrik? Suruh keluar dia!" bentak salah seorang tamuku.

"Bapak tidak di rumah," jawabku dengan nada agak gemetar. Sikap mereka tidak bersahabat, Mas Suden....

"Kemana dia?" tanya tamuku itu.

"Jangan bohong, ya! Dia pasti di rumah!" bentak yang satunya lagi.

"Bapak sedang keluar. Pamitnya menghadiri acara nikahan teman Bapak."

Kedua tamu itu masuk. Dengan liar mata mereka melongok kesana-kemari mencari Bapak. Bahkan salah seorang berani membuka pintu kamarku dan pintu kamar lainnya. Mereka tidak percaya jawabanku.

"Ada nggak?" tanya tamuku yang berdiri di depanku. Dimaksudkan kepada temannya yang mengecek ke kamar.

"Semprul! Jabrik tidak ada!" jawab si penggeledah kamar.

"Saya sudah bilang, Bapak lagi pergi," kataku lekas. Berharap keduanya percaya dan segera enyah dari hadapanku.

"Baiklah. Aku percaya. Dia memang tidak di rumah ini. Nomernya aku hubungi tidak nyambung. Apa kamu punya nomer Jabrik yang lain?" tanya salah satu tamu itu padaku. Nadanya sangat tidak sopan sebagai seorang tamu.

Nomer Bapak? Wah... aku saja tidak tahu.

"Bapak ganti nomer dan aku tidak tahu."

"Ganti nomer? Beraninya dia ganti nomer!"

"Kartu lama hangus tidak bisa dipakai."

"Hahaha. Alasan saja si Jabrik itu. Kurang ajar!"

Aku tidak menjawab lagi. Ah, ada-ada saja kejadian hari Minggu kali ini.

"Kamu anaknya?"

Aku mengangguk.

"Sampaikan pesanku pada bapakmu kalau sudah pulang nanti. Secepatnya si Jabrik harus menemui Ibu Sovia! Jangan lupa, ya!"

Eits,
_Bersambung_

Get notifications from this blog

4 komentar

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.