√ Kecelakaan (10) - Coretan Basayev

Kecelakaan (10)


KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 10

"Bapak, lepaskan, Pak!" seruku sambil mencoba meraih lengan Bapak.

Bapak mendorong tubuh Mas Zen lagi. Kembali Mas Zen limbung dan terjengkang. Segera kuhalangi tubuhnya dari Bapak yang hendak mendekatinya lagi.

"Minggirlah, Ky," kata Bapak. "Biar Bapak selesaikan masalahmu dengan anak ini!"

"Tidak, Pak. Bapak bukan menyelesaikan masalah, tapi sebaliknya, memperkeruhnya!"

Tapi Bapak tidak mendengarkanku. Dikibasnya aku dengan sekali gerak. Dan sekali lagi, beliau berhadapan dengan Mas Zen. Mas Zen tampak pucat. Saat itulah kulihat Pakde Ikhtiar berlari mendekat.

"Pakde, tolong, Pakde," teriakku lekas.

Pakde Ikhtiar segera menghalangi Bapak dari hadapan Mas Zen. "Mas Dwi, sabar, Mas Dwi...," kata Pakde Ikhtiar sambil menyentuh kedua bahu Bapak.

"Minggirlah, Pakde. Ini urusanku. Seorang Bapak yang membela anaknya!" sergah Bapak.

Merasa kesulitan mengatasi emosi Bapak, Pakde Ikhtiar lekas berkata pada Mas Zen. "Mas, pergilah cepat. Keadaan tidak bisa dikompromi. Pergilah dulu!"

Aku mendekati Mas Zen. "Pergilah dulu, Mas. Bapak kalau lagi marah berbahaya!"

Untung Mas Zen mendengarkanku. Ia lekas beranjak menuju motornya. Bapak masih berteriak-teriak sementara Pakde Ikhtiar menahannya sekuat tenaga. Secepatnya Mas Zen men-starter  motor dan pergi. Aku bersyukur. Lekas kubantu Pakde Ikhtiar menenangkan Bapak.

"Mengapa kalian biarkan dia pergi? Aku harus membuat perhitungan dengannya," desis Bapak.

"Mas Dwi sabar dulu, tidak semua masalah harus selesai dengan adu jotos."

"Iya, Pak. Dia kemari dengan baik-baik, Bapak malah merusak semuanya," kataku membenarkan Pakde Ikhtiar.

Bapak mulai tenang, Mas Suden. Tapi lihatlah, wajah beliau masih terlihat merah menahan emosi. Bapak paling tidak bisa menahan diri. Beruntung Mas Zen lekas kabur, kalau tidak bisa-bisa Bapak sudah main pukul sesukanya.

Bapak masuk ke rumah. Kulihat beliau melepas hem batiknya. Lalu mengambil kaos di lemari dan mengenakannya. Pakde Ikhtiar mengikutiku masuk juga.

"Kamu ini susah benar menahan emosi, Mas Dwi. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anak orang itu, bagaimana? Kalau keluarganya tidak terima, bisa saja mereka melaporkan ke polisi."

"Aku tidak peduli. Yang jelas, dia telah mencelakai anakku."

Kupegang lengan Bapak. "Kecelakaan, tentu bukan hal yang disengaja, Pak."

"Tapi luka-lukamu itu nyata. Dan aku tidak bisa begitu saja terima."

Aku menghela napas berat. Bapak memang sangat mencintaiku, tapi kadang tidak berpikir panjang dalam bertindak jika menyangkut keselamatanku. Menurut Mas Suden, apakah ini masih di batas kewajaran?

"Sudahlah, aku mau ke pasar. Ruwet pikiran kalau di rumah!"

Usai bicara begitu, Bapak lekas beranjak pergi.

"Bapak diminta menemui Ibu Sovia," kataku menyampaikan pesan tamu tak sopan kemarin.

"Itu urusan Bapak. Kamu tidak usah memikirkannya."

Dan Bapak pergi. Kupandangi beliau yang melaju motornya dengan kekesalan itu, sampai menghilang di tikungan jalan.

"Pakde permisi, Ky," pamit Pakde Ikhtiar.

"Iya, Pakde. Terima kasih atas bantuannya."

Kembali rumah sepi. Aku jadi kepikiran Mas Zen, cowok yang menabrakku kemarin itu. Sikap Bapak terlalu kasar padanya. Aku jadi merasa tidak enak hati.

Kuambil KTP Mas Zen yang masih tergeletak di meja tamu. Kubaca alamat rumahnya. Tinggal di daerah Bulu rupanya. Apa aku perlu ke sana untuk meminta maaf atas perlakuan Bapak? Sendiri? Tidak mungkin, motor juga tidak ada. Mengajak Nisa, Nining, dan Laras? Mereka masih sekolah. Nunggu mereka pulang? Mas Suden punya saran? Tampaknya menunggu kepulangan mereka saja. Atau Mas Suden percepat saja kepulangan mereka? Gimana, Mas? Setuju?

Terdengar tiga suara motor memasuki halaman rumahku. Ketiganya matic. Disertai suara tawa canda khas ketiga pengendaranya. Yes! Siapa lagi kalau bukan Nisa, Nining, dan Laras. Mas Suden, beneran memulangkan cepat mereka? Bukannya baru sekitar jam 9 pagi ini? Alasannya harus logis, lho, Mas.

Aku lekas menuju pintu menyambut mereka. "Hey? Pada bolos kalian?" tanyaku segera. Eh, mereka bolos, Mas Suden? Nggak, kan?

"Hallo, Uky Cantik. Kamu gimana sudah baikan? Lukamu sakit nggak semalam? Terus, kamu tidur nyenyak nggak? Semoga segera pulih kembali, ya...," biasa, Nisa ini.

"Kalian bolos?" tanyaku lagi.

"Enggak dong, Ky. Kita anak baik-baik, buat apa pakai acara bolos. Kasihan dong orangtua yang bersusah-payah bekerja untuk membiayai sekolah kalau kita suka bolos. Itu juga tidak mencerminkan budaya negara kita yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Empat Lima..."

"Ayolah, masuk, masuk...," ajakku mengakhiri cerocosan Nisa. Kami masuk ke rumah segera.

"Semua guru mau rapat, Ky," Laras bicara. "Jadi anak-anak suruh belajar di rumah."

"Terus, kalian kesini? Mau belajar?"

"Halah... belajar mulu bosen, Ky. Kita kan butuh refresh pikiran, tidak harus belajar dan belajar terus. Kalau tidak diimbangi dengan ketenangan pikiran, maka akan terjadi suntuk yang berakibat stres, dan..."

"Stop!" Nining mengerem suara Nisa. "Kita kesini jenguk sahabat yang sakit. Ini juga atas saran Bu Rahayu, sebagai wali kelas beliau titip salam dan mohon maaf belum bisa jenguk karena harus ikut rapat guru."

"Iya, nggak apa-apa," jawabku lekas.

"Gimana kondisimu, Ky?" tanya Laras.

"Baik. Sudah sangat mendingan. Oh, ya, aku pengin ajak kalian pergi pada mau tidak?"

Ketiganya memandangku. Ada tanda tanya pada mata mereka. "Kemana?" kompak.

"Ke rumah Mas Zen."

Ketiganya saling pandang.

_Bersambung_

Get notifications from this blog

4 komentar

Jangan lupa beri komentar, ya... Semoga jadi ajang silaturahim kita.