Coretan Basayev: Desember 2017

Lompatan 2017 Menuju 2018


Resolusi? Setiap jelang pergantian tahun, pasti akan banyak manusia menuliskan resolusi yang akan dicapai di tahun yang akan tiba. Segala macam target yang akan diraih, cita-cita yang harus diwujudkan, keinginan kuat yang dituju. Dan semua itu diharapkan menjadi penguat diri agar bisa merealisasikan semua yang dijadikan list resolusi.

Pentingkah? Saya sendiri belum pernah menargetkan resolusi tahunan seperti itu. Lalu apa saya harus ikut-ikutan membuat resolusi? Jujur saya lebih suka melalui hari-hari dengan jalan apa adanya, mengalir seperti air.

Belakangan ini saya mulai berpikir tentang penting nggak pentingnya menulis resolusi seperti yang dibuat orang-orang, para sahabat, dan teman-teman maya. Saya memang sudah melalui tahun demi tahun dengan tidak menargetkan apa-apa. Dan, apa saja yang saya jalani dan saya dapatkan ya tidak pernah saya gambarkan. Akhirnya, saya menjumpai juga keterbengkalaian apa-apa saja yang pernah saya impikan. Dan itu terbengkalai karena saya tidak menguatkan tekad untuk mencapainya.

Tahun 2018. Tidak terasa sudah di depan mata. Sedihnya saya yang pernah mimpi bisa menyelesaikan novel ternyata sama sekali tidak kesampaian. Nampaknya tahun 2018 saya harus menargetkannya. Ya, saya mulai berpikir untuk menjadikannya resolusi agar tercapai!

Terus... betapa sepinya karya saya yang lolos ke media massa. Belakangan ini saya belajar konsisten menulis di komunitas One Day One Post. Dan semangat itu muncul lagi, semangat menulis! Tampaknya saya harus menulis sebagai resolusi kedua: menyerbu media massa dengan tulisan saya.

Ngeblog? Salah satu persyaratan mengikuti komunitas ODOP saya memang diharuskan aktif lagi menulis di blog. Dan untuk tahun 2018 tampaknya harus ada peningkatan. Niche blog atau tetap gado-gado? Atau... oh iya, mempelajari potensi agar bisa diterima Google AdSense, secara saya awam dalam hal itu. Siapa pun, bantu saya dong agar bisa mewujudkannya!

Selain mewajibkan menulis di ODOP, di akhir tahun 2017, saya juga ikut Reading Challenge ODOP (RCO) yang mewajibkan setor bacaan. Nah, nah... saya akan berusaha melanjutkannya, meski mungkin nanti saya tidak lulus tingkatan RCO, saya akan berusaha tetap menarget bacaan harian. Sayang buku di rak banyak yang belum tersentuh.

Jadi dalam dunia kepenulisan, saya akan berusaha mewujudkan target berikut ini:

1. Merampungkan novel.
2. Mengirim tulisan ke media massa.
3. Blog diterima Google AdSense.
4. Membaca buku setiap hari minimal 20 halaman.

Lalu, untuk target di luar kepenulisan? Akan saya rembuk bersama istri, hehe. Target bisnis, target dalam keluarga, target dalam memperbaiki ibadah. Semoga Allah memberikan kemudahan. Allohumma aamiin.





Menyibak Fakta Wali Songo Tanpa Kemistisan


Judul: WALISONGO Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404 - 1482 M)
Penulis: Rachmad Abdullah, S.Si., M.Pd.
Penerbit: Al-Wafi, Solo
Tebal: 240 halaman

Apa yang muncul di benak kita saat disebut nama Wali Songo? Pasti banyak yang langsung membayangkan para Sunan yang berdakwah dengan seribu satu kesaktian, kekeramatan, dan kemistisan. Ketika dinalar, apalagi dengan mengkaji Islam yang sebenarnya, maka akan sangat bertentangan ketika dakwah Islam dipadupadankan dengan segala kesaktian melebihi para pendekar di film-film silat.

Kali ini saya ajak Anda menelisik dan mengkaji tentang para ulama yang tergabung dalam dewan wali yang kita kenal dengan nama Wali Songo ini. Panduannya adalah membaca sebuah karya Ustaz Rachmad Abdullah, S.Si., M.Pd berjudul Wali Songo: Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404 - 1482 M).

Buku setebal 240 halaman ini merupakan seri pertama dari trilogi Revolusi Islam Jawa. Penulisnya sendiri sebenarnya berlatar belakang profesi sebagai seorang Guru IPA Fisika di SMP Al-Islam 1 Surakarta. Tapi untuk karya luar biasa ini, Rachmad Abdullah melakukan kajian ilmiah yang cukup panjang dan melelahkan.

Buku ini menyuguhkan fakta menarik tentang Wali Songo yang akan sangat terasa berbeda dengan pemahaman khalayak ramai saat ini. Bahkan bisa jadi akan menjungkalkan pemahaman yang banyak diikuti pemerhati sejarah tentang para wali tersebut.

Saya sendiri menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sering melintas di benak saya selama ini. Di antaranya adalah tentang kesaktian para Sunan yang tidak ubahnya seperti cerita mitos dan legenda, yang menutupi idealisme para pendakwah tersebut. Di mana agungnya nilai ajaran Islam dan kekayaan khazanah keilmuan serta keluhuran sikap seolah tidak pernah ada, tertutup cerita-cerita ajaib yang beredar dari masa ke masa.

Buku ini cukup efektif menyikapi ketidakberpihakan catatan sejarah yang selama ini diajarkan secara umum, kepada dakwah Islam. Bahkan secara kasar menyatakan berdirinya kerajaan (kesultanan) Islam pertama di tanah Jawa, yakni Demak Bintoro, adalah dengan menyerang dan menghancurkan kerajaan Majapahit yang berbeda keyakinan. Setidaknya itu adalah doktrin yang dimuat dari buku Babad Tanah Jawa, yang dijadikan acuan para penulis baik itu pada cerita-cerita silat bergenre historical fiction maupun karya non fiksi tentang masuknya Islam di Indonesia. Apalagi yang berpegang teguh pada kitab Darmo Gandul dan Gatoloco yang sangat-sangat memojokkan ajaran Islam.

Memang dalam buku pertama ini baru sekadar disinggung tentang Demak Bintoro, yang lebih lengkapnya akan dibahas di buku kedua. Secara garis besar dapat disimpulkan, adanya perang saudara di Majapahit membuat lumpuhnya kekuatan kerajaan Hindu Syiwa-Buddha itu. Di mana sebenarnya terjadi perebutan kekuasaan oleh Girindra Wardhana yang mengakibatkan lepasnya kerajaan-kerajaan bawahan, sehingga Majapahit terpuruk menjelang keruntuhannya.

Ketika itulah Wali Songo mendirikan Kerajaan Islam Demak dan melantik Raden Patah sebagai raja (sultan). Meski sebenarnya, Raden Patah sendiri adalah putra dari Raja Brawijaya V dengan seorang selir dari Champa. Jadi ada hak bagi Raden Patah untuk menjadi raja di bekas reruntuhan Majapahit.

Kembali pada Wali Songo. Dalam buku ini, kita akan dikenalkan bahwa sebenarnya Wali Songo bukan hanya 9 Sunan yang kita kenal saja. Wali Songo adalah dewan wali, yang terbagi menjadi enam angkatan. Dan memang setiap angkatan selalu ada 9 wali yang menempati anggota dewan wali tersebut. Para ulama yang masuk pada angkatan I adalah tim dakwah bentukan Khalifah Turki Utsmani (Sultan Muhammad I) yang sengaja dikirim ke tanah Jawa untuk menyebarkan ajaran Islam.

Angkatan I (1404-1421) terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, M.A Jumadil Kubra, Muh. Al-Maghribi, Maulana Malik Isra'il, Muh. Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyuddin dan Syekh Subakir.

Angkatan II (1421-1436) Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada 1419 M digantikan oleh Sunan Ampel (Raden Rahmat).

Angkatan III (1436-1463), Maulana Malik Isra'il dan Muh. Ali Akbar meninggal dunia, digantikan oleh Ja'far Shodiq (Sunan Kudus) dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Angkatan IV (1463-1466), Maulana Ishaq, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyuddin, dan Syekh Subakir digantikan oleh Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Raden Said (Sunan Kalijaga), dan Raden Qasim (Sunan Drajat).

Angkatan V (1466-1478), M.A Jumadil Kubro dan Muh. Al Maghribi meninggal, gantinya adalah Raden Patah (Raden Fattah) dan Fathullah Khan (Fattahillah).

Angkatan VI (1478-...) Raden Patah dan Fatahillah digantikan oleh Umar Said (Sunan Muria) dan Ki Ageng Pandanaran (Sunan Tembayat).

Penulisan buku ini dengan melacak dari sumber berita Portugis, Belanda, Malaysia, Cina, dan Jawa tentunya. Dari berbagai sumber tersebut, yang lebih valid adalah dokumen yang tertulis di atas daun rontal sebagaimana yang dijadikan bahan penelitian kaum Orientalis Belanda. Ada 2 sumber yang layak dipercaya sebagai bahan rujukan tentang bagaimana ajaran, wejangan, madrasah, mazhab, serta aliran pemikiran asli Wali Songo.

Dua sumber itu adalah teks wejangan Sunan Bonang (Het Boek van Bonang) yang tersimpan di perpustakaan Belanda dan dokumen Kropak Ferrara yang tersimpan di perpustakaan Italia.

Akhirnya, kehadiran buku ini tentu menjadi tambahan kekayaan khasanah historiografi Wali Songo sebagai pendakwah Islam di tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Buku ini cocok untuk Anda yang butuh pencerahan tentang para wali, yang akan membuat Anda menyadari kesalahan-kesalahan pemikiran yang banyak diiyakan khalayak tentang para ulama tersebut.

Seru-Seru Asik Nih Ikut RCO


Ceritanya, saya sedang mengikuti Reading Challenge ODOP yang diselenggarakan para PJ di komunitas One Day One Post. Untuk tingkat 1 dimulai dari 18 Desember sampai berakhir nanti 31 Desember 2017.

Reading Challenge ODOP atau disingkat RCO, adalah tantangan membaca setiap hari. Dan pada tingkat 1 ini masih enteng saja, peserta harus membaca 2 judul buku dengan wajib perhari minimal 20 halaman. Bagi penggila baca buku pasti enteng sekali.

Saya memilih buku berjudul WALISONGO Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404 - 1482 M). Buku pertama dari serial trilogi Revolusi Islam Jawa buah karya Rachmad Abdullah, S.Si., M.Pd ini adalah sebuah buku non fiksi. Buku sejarah tentang awal masuknya Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, dengan perantara perjuangan para ulama yang tergabung dalam dewan wali yang lebih dikenal dengan nama Wali Songo. Insya Allah saya ingin menulis review buku ini di posting-an tersendiri.

Saya yang terbiasa membaca buku fiksi, mencoba membaca buku non fiksi. Barangkali ini buku non fiksi pertama yang saya baca tuntas dari halaman pertama sampai terakhir (240 halaman). Setiap hari saya hanya bisa setor 20-an halaman baca. Ternyata membaca buku non fiksi cukup asik juga, apalagi memang muatan sejarahnya yang saya suka.

Kesan saya ikut RCO adalah, serunya menyempatkan diri untuk membaca. Memaksa menuntaskan lembar demi lembar halaman dengan sabar. Sejauh ini saya bisa mengikuti ritme tantangan perdana. Semoga saya bisa naik tingkatan, meski saya sempat merasa down  melihat jumlah halaman peserta lain yang sudah wow sekali, bahkan tidak hanya ratusan, sudah ada yang memasuki angka ribuan lembar.

Saya berterima kasih buat para PJ RCO, semoga sabar merekap setiap hari. Saya sangat beruntung mengenal komunitas ini, sehingga saya bisa memaksa diri membaca dan menulis setiap hari. Maju teru RCO dan ODOP!

Rumah Kulon (1)

Rumah Kulon
Bagian Satu

"Pah, besok jadi ke rumah kulon, kan?" Dita mendekati suaminya yang masih sibuk di depan laptop.

"Insya Allah. Semoga malam ini bisa kelar lemburan Papah," jawab Alfian tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"Bodo amat dengan lemburan Papah. Kelar nggak kelar pokoknya besok harus ke rumah kulon!"

"Nggak harus besok, kan, Mah."

Dita cemberut. "Mas Septian sama Mbak Lail sudah di rumah kulon, Pah. Kapan lagi bisa kumpul kalau nggak libur natal berlanjut tahun baru begini!"

"Kan lebaran tahun depan juga kumpul," sahut Alfian dengan nada cuek.

"Mamah pengen lihat Safina udah segede apa, Pah. Dari masih orok sampai sekarang kan belum lihat lagi keponakan Mamah itu. Pasti bikin gemes."

"Lah... di facebook sama instagram Mbak Lail kan sudah sering Mamah lihat."

"Bedalah, Pah. Beda kalau ketemu langsung. Kata Mas Septian mereka cuma dua hari lho di rumah kulon. Sisanya mau liburan ke Wonogiri tempat Mbak Lail."

Alfian menghela napas. Mencoba lebih fokus pada kerjaannya. Dita jadi kesal dengan kelakuan sang suami. "Mamah juga sudah sering protes, pekerjaan kantor jangan suka dibawa pulang. Sebel deh!"

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum. Kulanuwun...."

Suara pintu diketuk disusul salam dari luar. Dita melenguh, "Siapa itu malam-malam bertamu?"

Sebelum Dita keluar kamar, terdengar suara Sovia dari ruang keluarga, tempat dia bersama Novia menonton televisi. "Mah... ada tamu!"

Dita keluar kamar dengan membawa kejengkelannya. Pintu depan sudah dibuka oleh Sovia, dan terlihat seorang perempuan muda di ambang pintu.

"Assalamualaikum, Bu Dita."

"Waalaikumussalam. Ada apa Mbak Irene? Silakan masuk...."

"Oh, tidak usah. Di sini saja. Saya cuma mau nganterin ini. Kebetulan saya masak mie godok banyak. Saya bawakan ini. Pak Alfian suka sama mie godok, kan?"

Dita sebenarnya agak tidak menyukai tetangganya satu ini. Apalagi ini malam-malam, memang sih belum ada jam 9, bertamu hanya untuk mengantar makanan.

Irene melongok ke dalam. Sungguh tidak sopan menurut Dita. Apalagi pertanyaannya, "Pak Alfian-nya ada, kan?"

"Terima kasih, Mbak Irene. Lain kali tidak usah repot-repot begini. Ini saya terima, ya. Tunggu sebentar, mangkuknya saya tukar sekalian." Dita lekas mengambil alih semangkuk besar dari tangan tamunya yang memang sudah diangsurkan sedari tadi.

"Wah... saya tidak repot, kok, Bu Dita. Kebetulan saja masak banyak ini tadi."

Dita langsung ke dapur. Mengambil mangkuk sesegera mungkin. Menumpah mie godok dari mangkuk Irene ke mangkuk miliknya. Lalu bergegas ke arah pintu. Menjumpai si tamu yang masih dengan konyolnya celingukan melihat-lihat ke dalam.

"Ini mangkuknya. Nanti saya sampaikan mie godoknya kepada Pak Alfian. Ini sudah malam, maaf, anak-anak sudah waktunya tidur." Dita berkata ketus, mengusir dengan halus, tapi sangat kentara.

"Eh... iya, Bu... saya pamit, ya...!"

"Iya. Terima kasih kirimannya."

Brak!

Dita menutup pintu. Membanting tepatnya. Sampai dua anak kembarnya, Sovia dan Novia, yang sedang melototi televisi, terkejut dibuatnya.

"Mamah kok banting-banting pintu, sih?" protes Novia.

"Iya... Mamah suka marah-marah kalau Tante Irene kesini. Kenapa sih, Mah? Kan Tante Irene baik, suka ngasih makanan," Sovia ikut memrotes kelakuan si mamah.

"Berisik kalian! Nonton tivi, nonton tivi saja! Tidak usah ikut urusan orang tua!" sahut Dita sewot.

Sovia dan Novia mencibir kompak. Sudah hafal rupanya dua anak kelas 2 SD itu dengan kelakuan si mamah kalau lagi kesal. Duo kembar identik itu segera kembali melototi televisi. Mamahnya lekas mengambil mangkuk penuh mie godok yang masih panas dari ruangan dapur.

"Ada apa, sih, Mah? Sukanya kok uring-uringan begitu!" Alfian berkomentar dari kamar. Ia belum beranjak dari meja tempatnya berkutat dengan keyboard laptop.

Dita masuk. Menaruh mangkuk dengan kasar, sampai kuah mie godok bercecer ke meja. Hampir membasahi laptop suaminya. "Ini masakan spesial buat Pak Alfian. Buruan makan, keburu dingin!"

Alfian melirik saja. Sebenarnya memang itu makanan kesukaannya. Mie godok ala Jawa. Tapi ada hati yang sedang kesal di dekatnya.

"Mamah makan saja. Papah mana sempat." Alfian mencoba mengelak.

"Papah nggak dengar: Saya cuma mau nganterin ini. Kebetulan saya masak mie godok banyak. Saya bawakan ini. Pak Alfian suka sama mie godok, kan?"

Sebenarnya Alfian merasa geli dengan gaya istrinya menirukan kata-kata tamunya barusan. Tapi bisa berabe kalau ia nekat menertawakan. Terpaksa ia hentikan memenceti keyboard laptop. Lalu memandang ke bidadarinya yang sedang cemberut parah.

"Mamah. Kita besok jadi ke rumah kulon. Sekarang, anak-anak ajak bobok gih. Kita berangkat pagi-pagi sekali. Biar Mamah puas di sana."

Tapi bujukan itu belum berhasil mengubah mimik muka sang istri. Alfian lekas melongok ke luar sambil berseru, "Sovia, Novia... matikan televisinya. Bobok cepat, ya. Besok kita ke rumah kulon."

"Hore... besok ke rumah Simbah!" Sovia menyambut seruan papahnya dengan riang.

"Beneran, Pah?" Novia ikut girang. Lalu memencet tombol merah pada remote yang ia pegang. Mematikan televisi dan langsung menyerbu ke kamar orangtuanya.

"Iya. Benar. Segera pipis dulu, cuci kaki sikat gigi, terus bobok. Besok bangun subuh, ya...."

"Oke, Pah!"

"Ye ye... besok ke rumah Simbah."

Keduanya berjingkrak ria. Alfian tersenyum melihat kedua buah hatinya itu. Duo kembar identik itu lekas menuju ke kamar kecil. Sementara di samping Alfian, mamah mereka masih memasang raut kejengkelan. Harus persiapkan jurus lain untuk menanganinya.

BERSAMBUNG

#TantanganFiksi
#DomesticDrama

Liburan di Rumah Nenek


1. Aku sedang di rumah Nenek
2. Aku di rumah Nenek bermain petak umpet
3. Kemudian Mas Azzam menangis
4. Aku senang di rumah Nenek
5. Karena banyak temannya 

Tulisan itu disodorkan anak saya, Haikal, yang baru kelas 1 SD (MI), sesaat ketika saya dan istri tiba di Kedungkluwih, kampung kelahiran istri saya. Di sinilah orangtua istri saya, mertua saya, tinggal. Dan liburan kali ini, Haikal selalu minta diantar ke rumah kakek-neneknya di sini. Tidak menginap, diantar pagi dijemput sore.

"Yang nulis siapa?" tanya saya.

"Aku," jawabnya sambil tersenyum-senyum.

Saya baca tulisan tangan Haikal di selembar kertas itu. "Ini nomor 3 kok nulis huruf z kebalik?" komentar saya. Melihat kesalahan itu Haikal menepuk jidat, "O iya, keliru!"

Saya koreksi lagi. "Ini nomor 5 bacanya apa? Karena kok cuma kare?"

Haikal melirik tulisannya sendiri. "Eh, iya, kok kurang na," ia menyadarinya.

"Ini bercerita kok dikasih nomor?" tanya saya.

"Memangnya tidak boleh, Yah?"

"Ya... nggak apa-apa. Tapi besok lagi kalau nulis cerita ya jangan pakai nomor," komentar saya.

"Oke, oke," katanya.

Itu sedikit cerita saat saya menjemput Haikal di suatu sore. Memang sebelumnya saya berkata meski sambil bercanda agar Haikal menulis cerita di kertas. Iming-imingnya kalau bagus mau saya muat di buletin Media An Nuur, majalah bulanannya TPA An Nuur tempat non formal Haikal belajar mengaji. Dan Haikal sudah menulisnya meski sangat-sangat pendek. Tidak apalah untuk sebuah awal. Semoga kelak kamu suka dengan dunia menulis, ya, Nak.

Ketika Teman Menerbitkan Buku


Pernah tahu-tahu di-tag teman yang baru saja launching buku? Bisa itu buku yang memuat tulisan teman kita yang lolos sebuah antologi. Bisa juga tulisan itu adalah buku solonya. Bahkan tag itu menawarkan pre-order pembelian sebelum diterbitkan. Lalu apa reaksi kita? Ada beberapa reaksi yang biasa muncul dari peristiwa ini. Barangkali beberapa reaksi berikut ini bisa kita lakukan menyikapi hal tersebut.

1. Mengucapkan selamat

Harusnya wajib seperti ini. Ucapan selamat dari kita kepada teman adalah bentuk apresiasi atas terbitnya buku tersebut. Paling tidak kita like postingan promosi mereka.

2. Turut mempromosikan

Ini juga reaksi yang bagus saat mendapati diri dalam tag teman kita tersebut. Membantu promo dengan membagikan kirimannya, atau memposting ulang dengan merekomendasikan kepada teman-teman kita yang lain.

3. Membelinya

Harapan dari tag si penulis tentu saja agar kita bersedia membelinya. Membeli berarti menghargai hasil karya teman tersebut. Ini bisa makin mengeratkan hubungan pertemanan. Dan pasti membuat teman kita bersemangat lagi dalam menulis.

4. Jangan sekali-kali minta gratisan

Ini sering saya jumpai pada komentar di postingan pre-order maupun promo buku baru. Adakah yang salah dengan kita minta gratisan bukunya? Ya. Ini kesalahan fatal menurut saya.

Cobalah kita merasakan kalau di posisi teman kita. Baru juga promosi, eh, teman yang diharap ikut membeli malah komentar minta gratisannya. Betapa kasihannya. Apalagi kalau buku terbit secara indie (penerbitan mandiri), yang bahkan harus bayar saat menerbitkannya atau harus beli sendiri kalau si penulis ingin memiliki buku sendiri.

Sebaiknya jangan sekali-kali minta gratisan. Apa kita tidak tahu betapa terjalnya proses penulisan sampai terbit buku itu? Hargailah karya teman, meski kita belum bersedia membeli, jangan sampai meminta jatah gratisan.

5. Buat review di blog kita

Ini adalah support  yang bagus sebagai teman. Setelah membeli dan membacanya, buatlah ulasan tentang buku itu dan post di blog pribadi kita. Buat semenarik mungkin dan komporin pengunjung blog agar ikut membelinya.

6. Doakanlah

Doakan agar laris. Doakan agar lekas menerbitkan lagi buku-buku berikutnya. Doakan rezeki teman kita kian bertambah. Doakan teman kita agar bisa konsisten menekuni dunia kepenulisan agar bisa menginspirasi dunia dengan pena dan bermanfaat bagi semua.

Nah... jangan salah, ya, dalam bersikap. Bahagiakan teman kita agar kita pun berbahagia. Semoga dengan melihat teman kita berkarya, maka bisa jadi pelecut diri kita untuk turut menelorkan karya kita.

Agar Tak Terlewat, Gunakan Bot Telegram Pengingat Waktu Salat

  

Kesibukan manusia kian hari kian bertambah saja. Hal itu seiring dengan tuntutan kehidupan yang semakin padat dan penuh persaingan. Sementara sebagai seorang Muslim, kita memiliki kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan yakni salat 5 waktu. Kadang, kita merasa sangat butuh pengingat agar tidak terlewat ketika waktu salat telah tiba.

Kali ini, kita akan memanfaatkan Bot (robot) dari aplikasi Telegram. Sudah tahu kan, aplikasi Telegram? Aplikasi ini hampir sama persis dengan aplikasi WhatsApp. Hanya ada perbedaan tertentu di fitur dari keduanya, yang masing-masing membawa kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri.

Aplikasi perpesanan Telegram bisa diunduh oleh smartphone berbasis Android di PlayStore. Setelah mengunduh dan mendaftarkan diri pada aplikasi ini, kita bisa memanfaatkan layanan Bot yang ada pada Telegram. Bot kali ini adalah Bot pengingat waktu salat. Namanya @ID_AzanBot.

Buka Telegram, cari @ID_AzanBot pada kolom pencarian. Atau klik tautan ini: https://t.me/ID_AzanBot. Maka pertama kali kita menemukannya, akan tampil seperti ini:

  
Klik MULAI untuk mengawali. Maka tampilan berikutnya seperti screenshot di bawah ini. Kita diminta menyetel zona tempat kita tinggal agar jadwal salat yang didapatkan nanti bisa akurat. Caranya dengan mengetik /setting.



Setelah itu kita akan mendapati opsi Zona untuk menyetel lokasi kita. Ada opsi lain di bawahnya yakni pilihan apakah perlu setting notifikasi Imsak dan Terbit, abaikan kalau tidak memerlukan. Lalu ada juga Reminder (menit), maksudnya kita perlu diingatkan berapa menit sebelum tiba waktu salat. Pilih 0 agar reminder tepat di waktu salat tiba.

Ketika memilih menu Zona, akan tampil Provinsi yang bisa kita pilih seperti tampilan berikut ini:

Pilih sesuai Provinsi tempat tinggal kita. Saya ambil contoh Jawa Tengah. Maka akan muncul nama kota Kabupaten yang bisa kita pilih:

Saya memilih Sukoharjo, maka akan tampil seperti ini:

Sampai pada step ini, kita sudah akan mendapat notifikasi berupa pesan masuk di Bot ini ketika waktu salat tiba. Untuk menampilkan menu lainnya silakan ketik garis miring (/) maka akan muncul opsinya.

Mudah sekali, bukan? Berikut ini contoh screenshot reminder berupa pesan masuk yang muncul tepat saat waktu salat tiba.

Adapun data waktu salat pada Bot ini diambil dari data Kementrian Agama Republik Indonesia, jadi kita tidak perlu meragukan kebenaran datanya.

Semoga bermanfaat.

Kisah Cinta Paling Baper Sedunia


Sebuah taman dengan berbagai jenis tanaman bunga yang bermekaran. Wanginya semerbak mengundang kumbang penghisap sari. Dua ekor kupu-kupu terbang dari kuntum satu ke kuntum yang lainnya. Lalu saling berkejaran, melintas di atas bangku taman tempatmu duduk sambil mencium mawar merah jambu yang barusan kupetikkan untukmu.

"Yah...," panggilmu. Aku lekas mengambil duduk di sebelahmu.

"Kenapa, Bun?" tanyaku sambil menatap teduhmu.

"Bunda pengin dengar cerita tentang dia."

"Dia siapa?"

"Dia-nya Ayah, lah," katamu sambil kembali menghirup aroma mawar di tangannya.

Aku tertawa kecil. "Buat apa, Bun? Ayah sudah membunuhnya dari hati."

"Bunda pengin mendengarnya. Apa tidak boleh?"

Kutarik napas dalam. "Buat apa mengungkit luka lama. Tidak akan ada manfaatnya, Bun."

"Waw. Luka lama."

"Em... Ayah salah bicara, ya, Bun?"

Kamu memandangku. "Apa ada yang bisa memberikan luka kalau tidak seseorang yang istimewa?"

Aku kembali tertawa kecil. Menertawakan diriku sendiri. "Tidak ada yang lebih istimewa bagi Ayah melebihi kehadiran Bunda."

Kamu malah menarik bibir memberikan cibiran. "Gombal," katamu.

"Serius, Bun. Bunda kok tidak percaya begitu, sih?"

"Iya, iya, Bunda percaya. Sekarang Bunda pengin Ayah cerita tentang dia."

"Penting?" tanyaku.

"Bunda kan berhak tahu juga tentang masa lalu Ayah."

Kembali kuhela napas. "Kalau itu yang Bunda mau, baiklah. Ayah akan menceritakannya."

Kamu diam dengan sikap siap mendengarkanku. Aku agak kebingungan juga mau dimulai dari mana. Kulirik kamu lagi.

"Dia...," kucoba memulai. Mengenang kembali masa-masa itu. "Dia adalah seorang gadis yang berbeda dari kebanyakan gadis lain seusianya. Saat teman-temannya sibuk dengan hedonisme dan hura-hura, dia memilih jadi pembimbing bagi anak-anak kampung yang belajar mengenal Alquran di masjid. Saat remaja sebayanya ribet ikut mode busana terbaru, dia istiqamah dengan jilbabnya. Dia sangat bersahaja, anggun, seolah segala kebaikan perilaku ada pada pribadinya."

"Dia cantik, salihah, menarik, dan Ayah jatuh cinta," sahutmu terdengar ketus.

Lekas kutatap kamu. Kamu membuang pandangan. "Bunda kenapa?"

"Bisa, ya, Ayah memuji perempuan lain di depan istri sampai sebegitunya," protesmu tanpa mengembalikan wajah ke arahku.

"Lho... kan Bunda yang minta Ayah cerita. Kenapa, Bun? Hm... Ayah tahu, Bunda cemburu, ya?" godaku.

"Cemburu sama siapa? Apa gunanya?" elakmu, membuatku terkekeh dengan sikapmu.

"Kalau Bunda tidak nyaman ya sudah tidak perlu dilanjut ceritanya," kataku.

"Lanjutkan saja. Tapi tidak usah terlalu detail begitu kalau memujinya."

"Ayah tidak memuji. Ayah sedang bercerita."

"Tapi benar, kan, Ayah jatuh cinta padanya?"

"Apa artinya jatuh cinta padanya. Toh takdir Ayah tetap sama Bunda."

Kamu mulai mengembalikan wajah padaku. "Ayah kecewa, menyesal?"

Aku tertawa lagi. Kamu terlihat lucu kalau cemberut begitu. Kuraih pundakmu dalam rengkuhan lengan kananku. Memelukmu dari samping sambil berkata, "Ayah memang menyesal."

Kamu menepis pelukanku. "Benar, kan? Memang cinta Ayah cuma buat dia, kan?"

Lagi, aku tertawa. "Ayah menyesal karena tidak dipertemukan dengan Bunda sejak awal. Seharusnya Ayah tidak perlu menyukai gadis lain waktu itu. Tapi Allah memang menggariskan begitu. Jodoh Ayah adalah Bunda yang cantik jelita ini."

"Alah... gombal!" cibirmu.

"Kok bilang gombal melulu. Ayah beneran. Em... berarti tidak usah cerita tentang orang lain lagi, ya?" simpulku.

"Ayah tetap harus cerita. Lanjutkan. Bunda tidak apa-apa, kok."

Aku tersenyum. "Baiklah. Ayah dulu menyukainya. Tapi Ayah pendam saja. Sampai pada suatu kesempatan Ayah menyatakan perasaan Ayah padanya."

"Terus?"

"Waktu itu... calon perawat itu sedang PKL di sebuah rumah sakit. Dan Ayah berkesempatan menelepon dia. Atau tepatnya berkenekatan menelepon dia."

"Ngobrol apa saja?"

"Ya... basa-basi saja, sampai akhirnya keberanian itu muncul."

"Ayah menyatakan cinta?"

"Iya."

Hening sejenak. Desau angin lembut menyapa kami. Meniup ujung kerudungmu. Aku pejamkan mata. Ada luka yang mendadak terasa goresannya lagi. Ah, sudahlah. Lalu kubuka mata dan menemukan teduhmu.

"Dia pasti senang dan menerima Ayah. Iya, kan?" desakmu.

Aku lekas menggeleng. "Tidak. Dia dengan tegas menolak dan tetap menganggap Ayah sebagai seniornya di kegiatan remaja masjid. Sebagai sahabat dalam perjuangan dakwah di kampung. Dia sudah nyaman begitu dan tidak ingin lebih dari itu."

"Masak, sih? Dia menolak Ayah? Bukannya Ayah pernah bilang kalian saling mencintai? Bukankah ini bertepuk sebelah tangan namanya?" tanyamu dengan tidak percaya.

"Tapi Ayah ditolak, Cantik...," kataku menekankan.

"Ayah pasti sedih sekali waktu itu?" tebakmu.

"Tidak. Ayah malah merasa lega sudah mengungkapkan apa yang selama ini Ayah pendam dalam-dalam. Meski pun penolakan yang Ayah terima."

"Idih, sok bijak, deh, Ayah."

Aku tertawa. "Sedikit kecewa wajarlah. Namanya ditolak sama orang yang ditaksir, bagaimana sih rasanya. Ayah bisa segera menata hati. Menganggap semua baik-baik saja. Setidaknya sebelum cerita itu berlanjut."

Kamu memandangku. "Masih ada lanjutannya?"

Aku mengangguk. "Iya. Sebuah kenyataan yang membuat bangunan ikhlas yang Ayah dirikan waktu itu kembali ambruk berkeping-keping."

"Waw? Apa yang terjadi?" tanyamu dengan wajah dipenuhi keheranan.

"Selang sehari dari penolakan itu. Ayah ditelepon seseorang."

"Dia menelepon Ayah?"

Aku menggeleng. "Bukan."

"Lalu siapa?"

Kutarik napas dalam. Lalu menghembuskannya perlahan. "Sahabatnya, teman sekamarnya di tempatnya PKL."

"Adakah hal penting yang sahabatnya sampaikan?" kamu tuh makin penasaran saja.

"Iya. Sebuah kenyataan yang membuat Ayah serasa hancur waktu itu."

"Ayah bikin penasaran, deh."

Aku lepas pandangan jauh. Lalu berkata, "Sahabatnya menangis saat menelepon Ayah."

"Kok bisa?"

"Usai menolak ungkapan cinta dari Ayah, usai dengan tegas menolak Ayah, setelah telepon Ayah tutup waktu itu. Dia lemas lunglai. Tangisnya pecah, air matanya mengucur menganak sungai."

Kamu diam.

"Sahabatnya kebingungan. Sahabatnya membujuk agar dia tenang. Dipeluk gadis berlinang air mata itu. Dan meluncur kisah yang tidak pernah Ayah duga."

"Apa, Ayah?"

Kupeluk kamu. Kamu yang kebingungan. Entah mengapa aku merasa butuh memelukmu untuk menguatkan diri.

"Ayah... nanti ada yang lihat, lho. Masak di taman begini Ayah peluk-peluk Bunda," kamu lekas mengingatkan. Kulepas pelukku.

"Bunda. Dia sudah lama menyimpan perasaan sama kepada Ayah. Dia sudah sekian lama menunggu Ayah menyatakan cinta. Dia tahu Ayah menyimpan rasa itu dari sikap-sikap Ayah. Tapi penantian itu seperti mimpi yang jauh dari kenyataan. Bahkan berkali dia menolak menjawab pinangan orang lain sekadar untuk menunggu Ayah. Penantian tanpa kepastian."

Kamu terpana dalam kediamanmu.

"Hingga akhirnya dengan berat hati dia menerima pinangan seseorang karena tidak tega menolak lelaki yang sangat baik kepada keluarganya. Meski ia belum tahu apa bisa mencintainya."

Kamu menatap nanar padaku. "Dan Ayah mengungkapkan perasaan itu setelah dia menerima pinangan lelaki lain?"

Aku mengangguk.

"Ayah tega." Kamu kenapa? Mengapa ada bening mengambang di matamu?

"Kenapa, Bunda?"

"Betapa hancur hatinya, Yah. Bunda bisa merasakannya."

Matamu berkaca-kaca. Aku tidak berani menatapmu. "Sudahlah, Bunda. Ayah sudah membunuh namanya. Jangan dihidupkan lagi."

"Bunda merasa seperti tidak layak menjadi istri Ayah."

"Bunda ngomong apa, sih?" sentakku.

"Kasihan dia."

"Sudah, sudah. Bunda malah baper begini...."

Kamu susut air mata. Lalu menyandarkan kepala ke bahuku.

"Cinta sejati tetap akan menemukan takdirnya. Bundalah cinta sejati Ayah."

"Terima kasih, Yah."

Suasana syahdu sejenak. Sepasang kupu-kupu mendekat, lalu berkejar lagi di antara wangi bunga.

Kamu sudah bisa mengendalikan perasaan. "Ayah. Berarti tebakan Bunda benar."

"Bunda menebak apa?"

Kamu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang kamu bawa. "Isi tulisan Ayah di sini sebagian adalah tentang dia."

Kulihat apa yang kamu pegang. Sebuah buku. "Kok Bunda bawa-bawa buku itu?"

"Apa tidak boleh? Ini Bunda ambil di rak buku Ayah."

Lalu kamu memandangi sampul buku itu. "Senyuman Bidadari. Karya Suden Basayev," kamu membacakannya.

"Ah, Bunda. Tidak semua isinya tentang dia, kok."

Lalu kamu membalik sampul belakang. "Penerbit Leutika Prio."

"Kan di halaman persembahan Ayah tulis buat Bunda tercinta," kataku.

Kamu tersenyum. "Ayah. Bunda bersyukur bisa mendampingi Ayah."

"Bunda ngomong apa, sih?"

Kamu tidak menggubrisku. Lalu memandang ke arah kamera. "Pemirsa. Bagi Anda yang ingin membaca 20 cerpen karya suami saya dalam kumcer ini, silakan bisa order di www.leutikaprio.com. Terima kasih...."

Klik. SEKIAN.

#TantanganKelasFiksi
#CintaPertama

Angkuhnya Penulis yang Tidak Suka Membaca

 

Seorang penulis terlahir karena dia pernah membaca. Itu sebuah kepastian. Tidak mungkin seseorang mau dan berkeinginan menulis ketika dia belum pernah membaca. Jadi ada korelasi antara membaca dengan menulis. Ada kaitannya yang seharusnya tidak terpisah dari kedua aktivitas tersebut.

Tapi pernahkah ada penulis yang enggan membaca? Ada. Saya pernah sangat enggan membaca, padahal hobi saya sejak kecil adalah membaca. Saya kecil pernah suka mencuri buku-buku di perpustakaan sekolah yang tidak terurus sama sekali. Saya menyelamatkan dan mengentaskan buku-buku cerita dari gudang perpus yang tidak tersentuh perhatian guru waktu itu. Saya kecil adalah penggila buku.

Lalu, ketika saya sedang belajar menulis, ketika cerpen saya sudah dikonsumsi teman-teman. Bahkan beberapa berhasil nongol di media. Saya merasa ada yang aneh pada diri saya. Apa itu? Saya mulai merasa enggan membaca buku. Saya memang suka mengoleksi buku, tapi bahkan waktu-waktu itu tidak satu buku pun berhasil saya tuntaskan membacanya. Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa saya jadi begini?

Lalu saya berpikir aneh-aneh. Apakah ini sebuah keangkuhan yang muncul pada diri saya seiring tulisan saya yang mulai ada yang berkenan membaca, meski belum benar-benar maksimal? Saya mulai khawatir jika itu akan membuat saya menjadi penulis yang masa bodoh dengan tulisan orang lain. Itu berarti tidak akan ada asupan ilmu yang masuk pada jiwa saya. Dan saya yakin itu akan menjadi hal yang kurang baik.

Saya mulai menginsyafi hal ini. Lalu saya coba untuk membaca di sela kesibukan sehari-hari saya. Apalagi hadirnya smartphone yang juga ikut menjadi penghambat membaca buku. Memang banyak ebook bisa dibaca di smartphone, tapi saya selalu tidak nyaman dengannya, masih nyaman buku fisik. Saya pun mulai membaca lagi. Menemukan keasyikan pada tulisan orang lain. Menghirupnya dengan nikmat.

Saya juga berpikir akan adanya sebuah karma. Karma? Iya. Saya berpikir, jika saya menjadi penulis tapi enggan membaca karya orang lain, maka apakah tidak mungkin jika orang lain pun akan enggan membaca tulisan saya. Itu karma yang bisa jadi akan saya terima.

Maka, saya pun mulai menggemari lagi membaca. Semoga Allah mengampuni keangkuhan saya.

Goloso Geloso, Novel Ciamik Serenyah Kentang Goreng


Judul : Goloso Geloso
Penulis : Tanti Susilawati
Penerbit : Gagas Media
Tebal : vi + 310 halaman
ISBN : 9789797803216
Genre : Fiksi / romace / umum


"Ketika kau memperoleh keinginanmu, kau kehilangan yang kau miliki."

Keren, ya, kata-katanya? Pintar dan cerdas Tanti Susilawati memberi gambaran statement dari keseluruhan isi novel oke punya ini. Goloso Geloso, pertama kali membaca judulnya, saya bahkan tidak terbayang apapun akan apa isi novel setebal total 316 halaman ini. Saya juga baru sekali ini melihat dan menjumpai dua kata yang digunakan untuk judul novel terbitan Gagas Media ini. Sampul bernuansa klasik dengan dua cangkir imut bertaut dan background bangunan khas negara Italia ini ternyata sukses membuat saya penasaran dengan isinya.

Italia. Benar, novel ini setting-nya di negara kiblat model dunia itu. Goloso Geloso ternyata juga berasal dari bahasa Italia yang kalau diartikan goloso adalah rakus sedangkan geloso artinya pencemburu. Tambah mubeng-mubeng tidak keruan kalau mau menebak apa isi tulisan karya Tanti Susilawati ini.

Novel ini berkisah tentang Larasati, seorang mahasiswi penerima beasiswa dari Indonesia tercinta. Larasati menjalin hubungan dengan Chicco, seorang pria baik hati yang semula hanya kenal lewat alam maya alias chatting. Cerita diawali ketika Larasati pindah dari Perugia ke Milan untuk melanjutkan study-nya. Dan di sana sudah menanti Chicco yang akan mengajaknya bertualang dalam sebuah kisah keren.

Chicco memperkenalkan Larasati pada keluarga besarnya yang sangat memuja AC Milan. Iya, Itali selain kiblat dunia model juga tidak bisa lepas dari sepak bola. Dan kerennya, Tanti Susilawati memasukkan unsur bola dengan sangat cantik. Yakni dengan memunculkan sebuah kenyataan bahwa Larasari adalah penggila Inter Milan. AC Milan dan Inter Milan adalah klub yang senantiasa berseteru, saudara yang tidak pernah akur. Perbedaan ini pun menjadi kisah unik dalam cinta Larasati dan Chicco, selain perbedaan-perbedaan lain yang berhasil diusung Tanti Susilawati dengan baiknya.

Kita juga akan dimanjakan dengan sajian deskripsi sudut demi sudut kota Milan, di mana si pria Italia itu mengajak kekasihnya mencicipi kemegahan kota ini. Hadirnya foto-foto lokasi beberapa tempat di Milan membuat novel ini juga serasa novel traveling yang sarat wawasan seputar budaya dan keseharian di sana.

Selain kisah cinta Larasati dan Chicco yang penuh perbedaan, terselip juga para tokoh pendukung yang tak kalah seru dan membuat semakin hidup novel ini. Sebut saja Kayla, cewek teman sekamar Larasati di apartemen yang suka asal ngomong. Juga hadir tokoh Pipo dengan sekeping kisah tragedi dan sekelumit kisah manis di tengah-tengah kehidupan cinta Larasati.

Dari segi penyampaian, pemilihan kata, kalimat-kalimatnya, semua sempurna menurut saya. Pokoknya setiap lembarnya adalah deretan huruf yang sangat gurih dinikmati. Bahasa yang enak dibaca, kalimat menggetarkan, brilian dan cerdas sekali. Tidak akan rela melewatkan tiap jengkal hurufnya.

Goloso Geloso adalah novel dengan garapan yang ciamik. Alurnya seru dan sangat asik dinikmati. Ide dengan penyajian yang segar. Bahkan tidak dijumpai kekurangan dalam cerita yang disajikan. Asik untuk dibaca remaja dan dewasa. Gagas Media adalah jaminan tersendiri akan kualitasnya. Saya juga jamin, Anda akan dibuat puas dengan membacanya.

Setelah selesai membaca seluruh isi novel ini, maka kita akan mengiyakan, "Ketika kau memperoleh keinginanmu, kau kehilangan yang kau miliki."

Merawat Kebiasaan Membaca

Membaca buku adalah aktivitas yang sangat bermanfaat. Dari membaca buku kita akan mendapatkan banyak pengetahuan, bisa tahu dunia meski tidak pergi ke mana-mana. Sebagian kita memang suka membaca tapi sering kali ketika kesibukan makin padat, kebiasaan membaca buku pun sirna perlahan-lahan.

Kebiasaan membaca memang harus dipelihara karena jika tidak, kita akan mulai meninggalkannya ketika memang sedang banyak kesibukan. Pekerjaan yang tidak ada selesainya, waktu yang terasa makin sempit, bahkan kesengajaan kita mengisi waktu luang dengan kegiatan-kegiatan lain yang tidak bermanfaat. Untuk itu perlulah kiranya kita pelihara rasa suka membaca kita.

Berikut tips agar kita tidak bosan membaca:

1. Meniatkan diri untuk membaca.
Misalnya kita punya buku baru, kita harus benar-benar meniatkan untuk menyelesaikan bacaan itu. Kalau tidak, maka bisa jadi baru membaca awal-awal halaman, kita taruh buku karena ada pekerjaan lain, lalu kita lupa dengan buku itu. Maka niatkanlah untuk menyelesaikannya.

2. Usahakan ada waktu khusus dalam sehari.
Kalau tidak meluangkan waktu, maka aktivitas ini akan tenggelam seiring banyaknya kesibukan kita. Bangun tidur sampai tidur lagi, buku terlewat. Tapi jika kita menempatkan waktu khusus untuk membaca, maka kita bisa memelihara kesukaan kita pada buku ini.

3. Membaca buku yang memang kita sukai.
Tidak semua buku bisa cocok dengan seseorang. Ada kala kita lebih suka fiksi dan enggan membaca non fiksi, maka manjakanlah diri dengan bacaan-bacaan fiksi. Pun sebaliknya, bagi penyuka non fiksi, peliharalah kegemaran membaca dengan selalu meluangkan waktu bersama buku non fiksi.

4. Senanglah jalan-jalan ke toko buku atau pameran buku.
Ini bisa memberi kesegaran jiwa. Ketika melihat buku-buku dengan jumlah yang luar biasa banyak, maka akan termotivasi diri untuk membaca. Seberapa buku yang sudah kita selesaikan jika dibandingkan dengan tumpukan buku di rak-rak toko buku atau bazar-bazar.

5. Menulislah.
Ya, dengan menulis, maka kita akan membutuhkan referensi-referensi, sehingga buku bisa jadi teman saban hari. Tulislah apa yang terinspirasi dari buku bacaan kita. Tapi jangan plagiat tentunya. Kita menulis dengan spirit yang kita ambil dari bacaan-bacaan kita. Siapa tahu kita bisa menerbitkan buku, wah mantap kan...

6. Jalin pertemanan dengan komunitas penyuka buku.
Saat ini, media sosial sudah sangat familiar bagi kita. Nah, berkumpullah di dunia maya dengan para penyuka buku, baik komunitas penulis atau pembaca buku. Kita bisa saling berbagi info tentang buku, termasuk rekomendasi buku-buku bagus dan sebagainya.

Masih banyak cara agar kita bisa menjaga kebiasaan membaca buku. Yang jelas, kita memang harus mencurahkan waktu dan kecintaan kita pada aksara. Semoga bermanfaat, ya.... Atau Anda punya tips lain? Silakan share di kolom komentar. Salam literasi.

Takziah Cinta


13 Januari 2013 07:15 WIB

Pagi yang indah sebenarnya, jika tak ada sedih yang tiba-tiba menghunjam. Langit cukup cerah, cuaca yang mendukung meski di musim penghujan.

Agenda hari ini, saya dan istri beserta para sahabat seperjuangan di TPA akan menemani adik-adik santri TPA melaksanakan outbond ke daerah perbukitan yang tak jauh lokasinya dari masjid. Wajah-wajah polos yang ceria, menanti mobil yang akan membawa ke area outbond.

"Yah," suara istri saya. Yang memulai kisah sedih di hari Minggu. Bidadari dunia-akhirat saya ini memegangi anak pertama kami yang baru berusia 1,5 tahun, yang tak bisa berhenti, selalu aktif berjalan ke sana kemari. Satu tangannya memegang ponsel lokal buatan China yang menampilkan barisan huruf yang menciderai indahnya pagi ini.

Saya menolehnya. Menemukan raut kesedihan itu. "Mbak Dilla akhirnya meninggal dunia, Yah."

***

Di kamar cinta kami, beberapa bulan lalu.

"Mbak Dilla SMS," suara istri saya yang sangat saya cintai.

"Kenapa?"

"Ada-ada saja, nih. Mau nikah tapi katanya ragu. Takut kehilangan waktu bersenang-senang. Ingin memanfaatkan masa sebelum jadi istri orang untuk menikmati kebebasan."

Saya tersenyum.

"Bunda balas, keraguan seperti itu biasa datang di masa-masa menunggu hari pernikahan."

Saya lebarkan senyuman. "Kayak Bunda dulu, ya? Ragu mau nerima Ayah?" goda saya.

"Ih, Ayah. Bukannya begitu."

"Bunda juga bingung, kan, ragu-ragu sama Ayah?"

"Dulu iya, bayangkan, kenal juga belum lama, tahu-tahu Ayah ngajak nikah, siapa yang nggak bingung?"

Saya nyengir. "Kasihan Bunda ya. Hehe. Toh sekarang keraguan Bunda sudah sirna, kan, seiring makin kenal sama Ayah...."

Istri saya ikut nyengir. "Iya, iya." Dan dia tak bisa menyangkalnya.

***

Kami hanya menyewa 1 mobil bak terbuka untuk mengangkut para santri. Lokasi yang memang tak jauh dari masjid memungkinkan untuk 2 kali angkut bolak-balik. Santri putri sudah berangkat duluan. Tinggal menunggu giliran santri putra.

Anak saya yang paling senang naik mobil sudah geger dari tadi, apalagi tidak saya turuti berangkat naik mobil pertama. Bundanya menenangkannya, menghibur agar tidak menangis.

"Dimakamkan jam berapa?" tanya saya.

"Jam 4. Nanti Ayah ikut takziah, kan?"

Saya mengangguk. Semestinya.

***

Sepulang liqo, istri saya yang memang selalu cerewet jika berbicara dengan suaminya, apalagi kalau punya bahan cerita yang dianggapnya sangat penting, langsung meminta waktu saya.

"Tahu nggak, Yah," jadi kayak bergosip, nih!

"Apaan?"

"Mbak Dilla sekarang pakai cadar!"

Tak ada yang salah sebenarnya, kan? Muslimah bercadar. Lepas dari status hukumnya yang masih banyak perdebatan, antara wajib atau sunnah, toh itu ajaran Nabi juga.

"Menuruti keinginan suaminya," kata istri saya.

"Tapi dia masih gabung liqo?"

"Iya. Tadi datang ditemani adik iparnya."

Jadi, tak ada masalah, kan?

***

Tim outbond yang memandu kegiatan sudah sibuk sedari tadi, menyiapkan permainan-permainan kreatif edukatif yang akan digunakan.

"Bunda sedih, ya?"

"Ayah bayangkan sendiri, ya. Mbak Dilla itu sahabat, saudara se-liqo. Terlalu banyak kenangan indah yang tak mungkin terlupakan."

***

3 Januari 2013 11:30 WIB

RSI Klaten. Ruang Mina nomor paling ujung.

Saya biarkan istri masuk ke ruangan di mana Mbak Dilla dirawat. Saya sendiri duduk di tikar yang digelar di depan pintu. Ditemani ayahanda Mbak Dilla.

"Kamar Mina nomor-nomor paling belakang adalah kamar untuk pasien dengan kondisi serius," kata lelaki sepuh yang terlihat tegar itu.

Saya hanya bisa memperlihatkan segenap keprihatinan. Saya yang memang pada dasarnya tak suka banyak bicara, lebih senang mendengarkan lelaki di depan saya ini berbicara.

"Setelah dioperasi, kondisi Dilla makin memburuk hari demi hari."

***

Saya sebenarnya belum begitu familiar dengan wajah Mbak Dilla. Hanya sepintas lalu saya bisa mencoba mengingat wajahnya. Maklum, bisa dihitung bilangan jari pertemuan dengannya. Hanya ketika liqo di rumah kami. Itu pun tak begitu saya perhatikan. Teman liqo istri saya kan tidak cuma satu-dua orang. Dan semuanya tidak saya kenal kalau tidak istri yang menyebutkan namanya. Liqo di rumah si fulanah, lalu di rumah si fulanah. Dan saya tak begitu berminat mengingat nama-nama fulanah itu.

"Yah, tolong cek email. Mbak Dilla kirim surat, minta dibacakan waktu liqo." SMS dari istri saya. Saya masih di tempat kerja. Dan memang tepat waktu, kebiasaan buruk saya memanfaatkan akses internet gratis melalui PC kantor memungkinkannya. "Sekalian tolong diprint ya, Yah."

Surat pamitan yang dikirim Mbak Dilla. Pasca menikah dan ikut suami di Jogja, memutus jalinan itu. Mbak Dilla tidak bisa lagi gabung liqoat bersama kelompok halaqah istri saya.

Air mata mewarnai pembacaan surat itu ketika liqo berlangsung. Akankah kehilangan seorang Mbak Dilla untuk selamanya?

***

Outbond berakhir waktu Zuhur. Kami pulang dengan wajah ceria para santri yang puas dengan kegiatan hari ini.

"Dedek biar ikut Mbah Uti. Kita takziah dan menunggu sampai acara pemakaman, ya, Yah?"

Saya mengangguk. Saya sentuh bahu istri saya. "Iya. Yang sabar, ya, Say...."

***

"Mbak Dilla dikuret, Yah. Kandungannya keguguran." Laporan update dari istri.

Saya sering mendengar hal-hal seperti itu. Seorang wanita yang hamil bisa keguguran dan harus dikuret untuk mengeluarkan janin yang sudah tidak bernyawa dari rahim sang ibu. Mungkin karena bukan dialami istri sendiri, kabar itu tak begitu mengganggu saya, meski memunculkan iba di hati. Tapi kisah bergulir dari bibir bidadari saya selanjutnya membuat rasa iba itu kian menjadi.

"Kasihan Mbak Dilla. Sebelum akhirnya dikuret, Mbak Dilla sempat selama 5 hari tersiksa kesakitan pada kandungannya. Tapi suaminya masih menunda-nunda saat Mbak Dilla meminta diperiksakan."

Kekerasan dalam berumah tangga. Dan korbannya seringkali adalah pihak istri yang tak berdaya. Suami sang pelindung pengayom menjadi momok dalam kehidupan istri.

"Yang lebih gila," lanjut istri saya, "saat keluarga Mbak Dilla meminta untuk merawat, eh lelaki itu malah bilang ke Mbak Dilla, mau nurut suami atau ikut orangtuanya? Kalau mau ikut orangtuanya untuk dirawat, maka ia tidak akan menjenguk sampai ia sehat untuk dimintanya kembali. Atau menurut suami dan akan dibawa periksa besok hari?"

Dan itu memang gila. Lebih gila, kata istri saya.

***

Saya masih belum begitu ingat wajah yang mana yang disebut wajah Mbak Dilla. Hanya saya agak ingat sewaktu Mbak Dilla mengantar jemput istri saya untuk acara kajian ke Tawangsari. Jujur saya penasaran, Mbak Dilla itu yang mana ya? Tapi sudahlah. Itu bukan syarat wajib untuk menyolatkannya. Di belakang imam, tetap saya doakan sepenuh hati sahabat istri saya itu.

"Allohummaghfirlahaa warhamhaa wa'afihi wafuanhaa...." Semoga Allah menempatkanmu bersama orang-orang shalih, Mbak Dilla.

Langit mencurahkan kasih dan cinta menyambut jiwa tenang, tetes-tetes bening mengalirkan kedamaian ke muka bumi.

***

Di tempat kerja, 14 Januari 2013

Saya membuka akun Facebook, menuntaskan kepenasaran akan wajah Mbak Dilla, dengan mendatangi dinding Facebook Mbak Dilla. Saya buka album foto dan melihat deretan foto yang ditandai sebagai Mbak Dilla. Hanya foto-foto kebersamaan dengan teman-temannya semasa kuliah.

Wajah itu adalah wajah yang ceria. Bahkan saya tak menemukan gurat sedih pun pada senyumnya. Selamat jalan, Mbak Dilla.


***

"Mbak Dilla kurus sekali, Yah."

Kami menelusuri lorong RSI Klaten menuju ke area parkir.

"Panas badannya masih tinggi. Dan selalu mengatakan kepalanya pusing. Bunda hampir nangis di sana. Bunda tahan."

"Semoga lekas sehat, ya, Bun."

"Amin." Istri saya terlihat sangat sedih. Saya bisa memahaminya. "Ayah tadi ngobrol apa sama bapaknya Mbak Dilla?"

"Beliau cerita banyak hal. Tentang operasi Mbak Dilla. Kasihan sekali, belum lama berselang dari kuret, Mbak Dilla harus menjalani operasi. Awalnya, setiap makanan masuk ke perut selalu muntah keluar. Ketika operasi berlangsung, pihak keluarga diperlihatkan keadaan ususnya yang lengket, yang mengakibatkan makanan tak bisa masuk ke pencernaan."

Apa yang saya dengar dari ayahanda Mbak Dilla adalah kisah duka sang anak yang menyempurnakan separuh dien, menjadi istri seorang lelaki yang tak mengerti bagaimana menjadi suami yang baik. Yang hanya mengerti bahwa apa yang ia pahami tentang agama adalah yang harus diterapkan. Tanpa tedeng aling-aling. Tanpa memedulikan bagaimana aplikasinya menciderai perasaan istri, bahkan keluarga besar istri. Yang ia tahu, pemahamannya adalah paling benar. Ia tak peduli ada hati yang tersiksa karenanya.

Mbak Dilla tidak boleh bekerja lagi, harus di rumah. Penghasilan suami yang belum bisa disebut cukup sudah berani dipaksakan untuk merumahkan sang istri. Mbak Dilla yang lulus S1 belum benar-benar menikmati hasil belajarnya untuk sekedar bekerja sebelum nantinya punya anak dan jadi ibu rumah tangga. Dia menuruti kehendak suaminya itu.

"Di rumah, ibaratnya makan apapun tak perlu dibatasi. Tapi setelah ikut suami, makan hanya cukup hitungan 3 kali sehari dengan porsi dicukup-cukupkan. Lauk yang jauh dari standar gizi." Masih terngiang jelas kata-kata ayahanda Mbak Dilla.

Padahal Mbak Dilla tak pernah punya riwayat sakit serius. Dulu, ia adalah akhwat ceria. Bungsu yang dimanja karena satu-satunya perempuan di antara kakak-kakaknya yang laki-laki semua.

***

Belum genap seminggu sepeninggal Mbak Dilla.

Istri saya mengikuti kajian tahsin berangkat bersama Mbak Ani, salah satu teman liqo yang kebetulan tetangga dekat Mbak Dilla. Perjalanan berboncengan mereka sampai pada pembicaraan tentang sahabat hati keduanya. Detik-detik menjelang Allah mengutus Izrail menjemputnya untuk dijaga dalam ketenangan-Nya.

"Yah," kata istri saya sepulang kajian. "Sebelum meninggal, Mbak Dilla bisa mengucap takbir dan tahlil. Dituntun salah satu kakaknya."

"Suaminya?"

"Katanya sih, saat mendekati kritis, ketika ditunggui suaminya, Mbak Dilla masih bisa menggerakkan tangan menyingkirkan sentuhan suaminya sambil bilang kalau ia butuh ketenangan."

Dan engkau tidak mendapatkan itu pada sentuhan suamimu, Mbak? Hingga Allah memilih menjagamu sendiri, dengan mengambilmu dari lelaki itu?

"Allah sangat menyayangi Mbak Dilla," simpul istri saya. "Dia tak mau Mbak Dilla sedih lagi."

Saya peluk istri saya sepenuh cinta.

***

#TantanganKelasFiksi
#CerpenTanpaSaltik

Balada Para Lelaki yang Takut kepada Tabung Gas LPG


Saya tergelitik obrolan di facebook, pada sebuah status yang ditulis adik laki-laki saya yang belum menikah. Dia menulis tentang ketidakberaniannya memasang atau mengganti tabung gas LPG yang habis dengan tabung baru yang isi.

Tidak disangka ternyata komentar-komentar yang menanggapi cukup banyak. Sebagian besar teman facebook adik saya, yang juga teman facebook saya. Mereka laki-laki juga. Bahkan sudah beristri. Dan apa tanggapan mereka tentang ketidakberanian adik saya untuk mengganti tabung gas LPG? Mereka menyatakan hal yang sama! Sebagian baru sekali-dua melakukannya karena terpaksa kondisi, dan dengan takut-takut. Sebagian malah mengaku belum pernah berani melakukannya. Membiarkan istrinya yang mengganti sendiri atau langsung minta tolong ke pemilik warung tempat membeli gas LPG untuk sekalian mengantar ke rumah dan memasangkannya.

Alasan mereka beragam. Sebagian besar karena takut tabungnya meledak. Hei...? Kalau takut meledak, mengapa membiarkan istri memasangnya? Apa tidak takut jika tabung gas meledak dan melukai sang istri?

Ternyata minimnya sosialisasi tentang cara aman memasang tabung gas LPG mendasari ketakutan mereka. Hingga mereka sama sekali tidak bersedia membantu istri memasang gas. Waduh... padahal Rasulullah Saw saja hobi membantu pekerjaan istri. Lah ini, para generasi zaman now sama tabung gas saja ketakutan sampai tidak mau membantu istri di dapur. Memang sih urusan dapur adalah urusan istri. Tapi apa iya, sekadar membantu memasang tabung gas saja tidak bersedia?

Baiklah yuk kita simak sedikit informasi tentang cara memasang tabung gas LPG ini. Semoga setelah membaca ini, siapa pun yang tadinya takut dengan tabung gas LPG bisa mulai berani mencoba memasangnya.

1. Lepas dulu segel plastik yang menutup lubang pada leher tabung.
2. Pastikan kompor dalam keadaan mati.
3. Jangan lupa, tabung gas diletakkan lebih rendah dari kompor agar terjauhkan dari jilatan api kalau sewaktu-waktu terjadi kebocoran gas.
4. Pastikan rubber seal atau karet yang mengelilingi mulut tabung terpasang dengan sempurna.
5. Pasang regulator dengan posisi tegal lurus ke leher tabung. Tekan dan putar penguncinya searah jarum jam sampai kemiringannya 180 derajat.
6. Pastikan tidak ada suara mendesis yang menandakan pemasangan regulator tidak tepat sehingga gas mengalir keluar.
7. Kalau mendesis, lepas lagi regulatornya dengan memutar pengunci ke arah berlawanan jarum jam.
8. Ulangi lagi dengan benar.
9. Selesai. Cobalah, kompor menyala siap untuk masak.

Mudah, bukan? Masih ada yang takut memasang gas baru? Cobalah.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Khususnya untuk para laki-laki yang ketakutan pada tabung gas. Selamat mencoba.

Penantian Gadis


Cuaca cerah seketika. Hujan yang tadi turun sedemikian deras sudah lenyap sama sekali. Di langit timur terlihat pelangi melengkung indah memamerkan warnanya. Hujan yang usai, menyisakan daun-daun basah, tanah becek dan kubangan di pinggir tegalan sawah menggenang airnya. Pas sekali untuk bermain bebek-bebekku sambil mencari makan di situ. Cacing, ikan kecil, bahkan kecebong menjadi santapan sore mereka. Termasuk keong sawah yang menjadi hama perusak tanaman petani, selain tikus sawah dan wereng. Keong sawah adalah favorit ternak-ternakku, sebagai makanan bergizi tinggi yang bagus untuk masa pertumbuhan mereka.

Lekas kugiring sekitar 100 ekor bebek piaraanku meninggalkan kandang. Berjalan beriringan dengan rapi sekali. Lebih rapi dari barisan paskibraka anak sekolahan pada Agustusan kemarin.

Aku menggiring bebek-bebekku menelusuri jalan kampung yang lupa belum diaspal oleh pemerintah. Becek yang lumayan parah. Makanya aku lebih suka bertelanjang kaki dari pada memakai sandal jepit yang pasti segera jebat, putus karetnya karena jeblok parah, lengket oleh gemburnya tanah becek.

Kring! Kring!

Suara bel sepeda. Aku tahu pasti si Gadis, anak Pakde Minto, biasa habis Asar dia harus ke sawah menunggu tanaman padi yang sudah mulai katak, berisi biji muda. Ia harus menghalau kawanan pipit yang selalu menyerbu ke sawah. Mengicip buliran padi sesuka mereka.

Bebek-bebekku agak menepi, memberi jalan Gadis dengan sepeda mininya. Di rak angsang depan terlihat dua buah buku yang siap menemaninya di gubuk di tepi sawah. Gadis memang pintar menikmati suasana sore....

"Aku duluan, Mas Jaka...."

"Iya, Dis... hati-hati ya, jalannya becek banget."

"Iya, Mas."

Kutatap Gadis yang mendahului dengan sepedanya. Lihatlah... seorang perawan kampung yang ayu dan sederhana. Jilbabnya yang berkibar dipermainkan angin sore, seolah melambai kepadaku. Jujur, aku mendambakan sosok anggun seperti itu untuk mendampingi hidupku. Aku menyukainya, tapi masih kupendam saja. Sudahlah.

Sudah sampai di area persawahan. Ternak-ternakku langsung menyebur ke kubangan. Menyusur mencari makan sambil berenang. Kubiarkan saja mereka. Aku memilih menoleh-noleh ke gubuk kecil di tepi sawah Pakde Minto. Melihat Gadis di sana.

Kakiku melangkah ke tempat Gadis berada. Sebuah gubuk kecil tanpa dinding, disokong empat tiang bambu, atasnya tumpukan rumbai sebagai atap. Gadis duduk di dalam gubuk panggung itu. Tangannya menarik-ulur tali yang dihubungkan dengan orang-orangan sawah yang ditancapkan di beberapa sudut untuk menghalau datangnya gerombolan pipit. Setiap kali tali digoyang, suara kaleng bekas yang ditautkan bergemerincing menakuti burung-burung kecil itu.

"Dis, biarkan sekali-sekali mereka menikmati aroma padi muda itu," kataku saat sudah di dekatnya.

"Eh, Mas Jaka, bebeknya tidak dijaga?" tanya Gadis begitu melihat kehadiranku.

Aku tertawa kecil. "Mereka sudah bisa cari makan sendiri, juga menjaga diri sendiri."

"Bisa saja Mas Jaka ini."

Sekelompok burung kecil itu mendekat lagi ke sawah Gadis. Gadis lekas menghalaunya.

Kutengok dua buah buku yang belum disentuh Gadis. Dua judul buku fiksi. Kelihatannya satu novel dan yang satu lagi sebuah antologi, kumpulan kisah yang ditulis bersama beberapa penulis.

"Lagi baca buku apa aja, Dis?" tanyaku.

"Biasa, Mas. Bacaan gadis pengangguran. Iseng dari pada jenuh."

Aku mengangguk saja. Sore yang indah. Siapa sangka aku sedang menikmati alam membentang berdua saja dengan seorang gadis yang diam-diam kutaksir ini. Gadis kembali menarik-narik tali penghalau pipit.

"Dis."

"Ya, Mas?"

"Kamu tidak jenuh sendirian begini?"

"Maksud Mas Jaka?"

"Maksudku... apa kamu belum memikirkan berumah tangga?"

Gadis memandangku. Dahinya berkerut. "Memangnya kenapa, Mas?"

Kulempar pandangan jauh ke hamparan sawah. Mengapa aku mendadak bertanya begitu tadi, ya? Wah... jadi sungkan sendiri jadinya. Tapi kepalang tanggung, mungkin inilah waktu yang tepat. Menyatakan perasaan pada Gadis. Terserah apa tanggapannya nanti.

"Mas Jaka kenapa jadi diam?"

Aku tersenyum. Memandang Gadis, meski tidak berani berlama-lama. "Teman-temanmu sudah pada menikah, kan? Bahkan sudah punya anak."

Gadis mencoba tersenyum. Makin cantik. "Maksud pertanyaan Mas Jaka apa?"

"Ya... aku pengin tahu saja, Dis. Apa kamu belum berpikir untuk menikah?"

"Sudah."

"Sudah?" Aku terhenyak dengan jawabam singkat itu. "Maksudmu? Kamu sudah punya calon?"

Gadis memandangku. "Calon apa, Mas Jaka?"

Waduh. "Ya... calon suami, Dis. Sudah ada yang akan meminangmu?"

Gadis tidak langsung menjawab. Dilempar jauh pandangannya ke hamparan sawah. Sekelompok pipit terbang menjauh.

"Mas Jaka mau jadi calon suamiku?"

Aku terkejut. Gadis? Mengapa kau bertanya begitu? Jantungku berdegup kencang jadinya.

Gadis tertawa kecil. "Mas Jaka malah kaget?"

"Kamu langsung bertanya begitu. Kan aku bingung jadinya."

"Mengapa harus bingung, Mas Jaka?"

Aku jadi salah tingkah. Heran, Gadis seberani ini? Padahal dia kalem saja orangnya. Kutu buku. Tidak suka pergi-pergi.

"Kalau aku memang berkeinginan menjadi suamimu bagaimana, Dis?" Aku ikut nekat. Berani juga kan aku?

"Aku sudah menduganya, Mas Jaka."

"Dari mana kau bisa menduga?"

"Sikap dan kata-kata Mas Jaka setiap bertemu denganku."

"Oh ya?"

"Mas Jaka mencintaiku?"

Dag dig dor hatiku. Mengapa Gadis malah yang fasih bicara?

"Tidak ada yang harus kusembunyikan lagi, Dis. Aku memang mencintaimu diam-diam."

Gadis tersenyum. "Tepat. Seperti cerita di novel yang nyaris kutuntaskan ini, Mas."

Kupandang novel yang diperlihatkan Gadis. "Sikap dan perilaku Mas Jaka padaku sama persis dengan sikap tokoh laki-laki di novel ini, yang akhirnya mengungkapkan cinta pada si tokoh wanita."

Waw. Aku terpesona.

"Jangan menyembunyikan rasa apapun di depan kutu buku, Mas. Pasti ketahuan."

Lalu apa yang harus kukatakan lagi?

"Lalu apa tanggapanmu, Dis?"

Gadis menghela napas. "Aku memang menantikan janji Tuhan. Dia yang menyiapkan jodoh untukku."

"Kau... kau bersedia menikah denganku?" tanyaku berani sekali.

Gadis diam. Aku pun diam. Aroma bulir padi muda dibawa angin ke angkasa.

"Jodohku bisa siapapun, Mas. Mas Jaka juga bisa."

"Maksudmu?"

"Asal bisa memenuhi syarat dariku."

"Syarat? Apa itu?"

Gadis kembali diam. Aku menunggu ia berkata-kata lagi. Cukup lama.

"Mas Jaka siap mendengar syaratku?"

"Tentu saja."

"Aku takut Mas Jaka menganggap syarat ini aneh."

Aku makin penasaran jadinya.

"Apa aku bisa memenuhinya kira-kira?"

"Semua tergantung Mas Jaka."

"Aku makin penasaran, Dis. Coba katakan saja syaratnya. Aku pasti berusaha memenuhinya. Sebisaku, semampuku."

"Baik. Dengarkan ya, Mas Jaka."

Diam lagi. Suasana menjadi benar-benar kaku.

"Aku hanya ingin dibelikan sebuah buku."

"Buku? Bukankah koleksimu sudah banyak?"

"Ini buku istimewa. Aku bertekad hanya akan menikah dengan laki-laki yang menghadiahiku buku itu."

Buku? Buku apa seistimewa itu?

"Buku apa itu?"

"Sebuah kumpulan cerpen."

"Penulisnya? Judulnya?"

"Penulisnya Suden Basayev. Judul buku itu Senyuman Bidadari."

Kuingat-ingat nama penulis yang pernah kubaca karyanya. Tidak ada nama asing itu. Suden Basayev? Senyuman Bidadari?

"Asing sekali nama penulisnya?"

"Memang. Buku itu juga terbit indie. Tidak ada di toko buku. Pesan khusus ke penerbitnya, Mas Jaka."

Aku diam. Apa asyiknya buku karya penulis tidak terkenal begitu? Terbit indie juga.

"Bagaimana, Mas Jaka? Aku cuma mengajukan syarat itu."

"Mengapa kamu begitu mengistimewakannya?"

"Aku menyukai tulisan Suden Basayev. Makanya aku ingin memiliki bukunya."

"Kulihat kamu sering juga beli buku online. Mengapa kamu tidak membeli buku itu sendiri?"

Gadis menghela napas. "Mas. Mungkin ini terdengar konyol. Tapi beginilah aku. Aku sangat menginginkan buku itu. Tapi aku tidak mau membelinya sendiri. Bukan masalah uang. Buku itu harganya Rp45.000,-. Berisi 20 cerita pendek. Tebal bukunya 271 halaman, Mas Jaka. Karena belinya online tentu tambah ongkos kirim. Tapi bukan itu alasan aku tidak membelinya, Mas."

"Lalu apa alasanmu?"

"Aku hanya ingin buku itu menjadi hadiah terindah dari calon suamiku. Itu saja keinginanku, Mas. Makanya aku tadi takut Mas Jaka menganggapnya aneh. Tapi memang itu yang kuinginkan, Mas."

"Kau kenal penulisnya?"

"Iya. Sangat mengenalnya."

"Kau... kau menyukainya? Mencintainya?"

Gadis tertawa kecil. "Dia sudah beristri, Mas Jaka."

Tapi aku merasakan getar kecewa yang dalam pada ucapan itu. Kuhela napas dalam. Apa Gadis sudah menuliskan nama laki-laki lain di hatinya? Suden Basayev?

"Tapi kau mencintainya?"

"Tidak. Aku hanya... hanya suka tulisannya. Aku tidak butuh alasan lain."

"Lalu kalau aku tidak mau membelikan buku itu?"

"Aku akan menunggu orang lain yang akan membelikannya untukku, Mas Jaka. Bisa siapapun."

"Gila."

"Apa, Mas? Mas mengataiku gila?"

"Bukan begitu maksudku. Persyaratanmu ini gila, Dis."

"Aku tadi takut Mas Jaka akan menganggap aneh persyaratanku. Ternyata lebih dari itu. Gila, ya...."

"Maaf kalau membuatmu tersinggung. Lalu... di mana aku bisa membeli buku tulisan Suden Basayev-mu itu?"

"Mengapa menambahi -mu pada namanya? Mas Jaka cemburu?"

Aku diam. Apa iya aku cemburu?

"Mas. Kalau Mas Jaka masih menginginkan Gadis, Mas bisa order buku itu di www.leutikaprio.com, website penerbit buku itu. Daftar dulu sebelum membeli. Di website itu ada kolom pencarian, tulis judul bukunya, Senyuman Bidadari. Setelah ketemu bisa diorder."

"Kamu hafal sekali?"

"Itu tidak penting, Mas Jaka."

Aku mengangguk-angguk. "Kamu benar-benar pengagumnya, Dis."

"Mas Jaka juga bisa order lewat SMS atau WhatsApp. Ketik Tanya biaya/jumlah eks/Senyuman Bidadari/alamat. Kirim ke 081904221928. Nanti akan dibalas lengkap harga dan ongkos kirim serta rekening untuk bayarnya."

"Bahkan kamu hafal nomornya?"

"Itu bukan nomor Suden Basayev, tapi nomor untuk pesan buku di Leutika Prio, Mas."

Kuhela napas. "Tapi aku jadi berpikir lagi, Dis."

"Berpikir apa?"

"Tepatnya berpikir ulang."

"Maksud Mas Jaka?"

"Aku takut menikahimu, tapi di hatimu hanya ada nama penulis itu. Apa jadinya rumah tangga kita."

Gadis hendak menyahut tapi tidak jadi. Aku memandangnya. "Hatimu sudah milik orang lain. Mengapa kamu tidak minta dinikahi Suden Basayev saja?"

Gadis menatapku dengan sorot tidak suka. "Mas Jaka. Aku perempuan baik-baik. Bahkan aku lebih rela Suden Basayev bahagia dengam keluarga kecilnya. Tidak terbersit niat sekotor itu di hatiku. Sekarang terserah Mas Jaka. Ingin meneruskan keinginan menikahiku atau mundur. Aku sudah terbiasa menanti dalam sepi, Mas."

Kulihat mata Gadis berkaca-kaca. Aku serba salah. Ada kecewa juga menyusup hatiku. Aku tidak berani bertemu tatap dengan kedua mata berair bening itu. Entahlah, aku belum bisa memutuskan. Apakah aku akan maju meminang Gadis ataukah membiarkannya kembali dalam penantiannya.

#TantanganKelasFiksiODOPBatch4
#Tantangan5KataKunci

Inilah Para Peraih ODOP Batch 4 Awards!

Hari ini, Senin, 11 Desember 2017, di grup WhatsApp ODOP Batch 4 sedang ada kejutan dari para PJ dan pengurus ODOP. Mas Heru selaku Ketua Umum ODOP Periode I yang membacakan (atau menuliskan?) pengumuman tersebut.

Biasalah, diawali dengan mengajak tegang para anggota grup. Beliau memulai, "Selamat pagi, para penulis hebat dan calon penulis besar. Sekedar ingin menginformasikan, hari ini ada kabar gembira. Jangan pindah chanel ya. Pantengin terus grup ini!"

Belingsatan deh para anggota grup. Mas Heru melanjutkan, "Selama dua bulan dua minggu kemarin, mulai pre ODOP hingga tantangan berakhir, diam-diam para PJ ngintipin kelakuan sampean semua. Singkatnya, kami semua terus memantau perkembangan anak-anak ODOP 4. Mulai dari kesungguhan mengikuti tantangan demi tantangan, maupun progress kemajuan tulisan sampean. Ada beberapa member yang memang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya. Member ini adalah para penulis pro di luar sana, yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan, yang entah apa alasannya, mau bergabung dengan ODOP 4. Sungguh, ini sebuah kehormatan bagi kami. Tetapi, di sisi lain, kami berpikir; bebek kok diajari nglangi? Kang @Wakhid Syamsudin, Mbak @Lilik Herawati, dll. adalah contohnya. Ada juga member yang benar-benar newbie. Mereka ini, bahkan batu ndadak membuat blog saat daftar ODOP 4. Khusus untuk para newbie ini, kami juga terus memantau perkembangan mereka. Mendekati kelulusan, banyak beberapa member yang mengalami kemajuan luar biasa. Perkembangan tulisan mereka, bahkan ada yang melampaui para PJ. Termasuk tulisan saya. Kesimpulannya; hasil tidak pernah mendustai kerja keras dan kemauan belajar."

Setelah menuai banyak komentar para peserta, barulah Mas Heru meneruskan lagi, "Hari ini, kami, para PJ dan pengurus lama (karena ODOP4 kemarin masih tanggung jawab saya) akan mengumumkan sesuatu. Kami sudah melakukan diskusi panjang sejak kelulusan. Akhirnya, kami sepakat memberikan apresiasi terhadap para member ODOP4. Ada dua kategori yang menjadi konsen kami, yaitu hasil UAS (Cerbung) dan hasil pantauan kelakuan (baca kesungguhan, kemauan) member. Sudah pasti, akan ada reward bagi member yang terpilih."

Dan akhirnya Mas Heru memposting juga pengumumannya. "Hari ini, Soma Kasih (Senin Kliwon), atau bertepatan dengan Wuku Pahang dalam penanggalan Jawa (11 Desember 2017 Masehi), hari yang menurut mitologi Jawa sangat baik untuk memulai pekerjaan, perjuangan, perjalanan. Tentunya dalam hal yang positiv. Saya umumkan para peraih award kelulusan."

Daftar Peraih Award Kelulusan ODOP Batch 4

Cerbung Terbaik:
Grup Cabe: Lailatul Isbach @Lailatul Isbach
Grup Kentang: Isnaini anisa @Isnaini Annisa
Grup Bawang: Pak Bari @BARI
Grup Wortel:  R. Dian Putri @riovanidian9

Member Terfavorit/Rajin:
Grup Cabe: Widhya @widhyanua sarjana
Grup Kentang:wakhid @Wakhid Syamsudin
Grup Bawang: Choirul Nisaa' @Chairul Nisaa`
Grup Wortel: Rani Alpiani (Alfie) @Alfie

Ttd,
Pengurus ODOP

"Kepada para anggota yang tersebut namanya, mohon menghubungi PJ @Kepak Sayap Sang Garuda ,  @ODOP Tian atau @sakifah untuk pengiriman bingkisan. Selamat dan sukses untuk semua," pungkas beliau.

Alhamdulillah, saya termasuk yang rajin. Selamat buat semuanya saja. Bagi yang tidak masuk peraih Award, yakinlah ini sekedar keberuntungan saja. Kalian juga hebat-hebat!

Hati-Hati Salah Bicara di Grup WhatsApp


Saya yakin, siapa pun yang memiliki perangkat komunikasi bersistem operasi android pasti menggunakan layanan aplikasi bernama WhatsApp. Itu menjadi penanda betapa WhatsApp sangat sukses menggaet para pengguna untuk meningkatkan trafik data aplikasi populer ini. Kemudahan registrasi, tidak perlu pakai PIN segala seperti aplikasi BBM, kontak yang otomatis mendeteksi teman yang juga menggunakannya, merupakan keunggulan WhatsApp yang benar-benar menarik minat setiap orang.

Selain itu, keasyikan ber-WA, begitu WhatsApp biasa disingkat, dengan adanya layanan grup yang sangat seru. Adanya layanan grup dengan banyak anggota yang masing-masing bisa saling berinteraksi di dalamnya, adalah daya pikat tersendiri. Maka tak ayal, seorang pengguna WA bisa dipastikan mengikuti grup yang ada. Baik itu grup komunitas, keluarga besar, alumni sekolah, atau grup kantor tempat bekerja. Semua ada lengkap dan menjangkau siapapun. Tidak sedikit yang mengikuti banyak grup di sana.

Saya hanya ingin mengingatkan bahwa kadang kita keasyikan berbalas chat di grup, sampai lupa diri sedang chat di grup mana, lalu kita menulis macam-macam bahkan berghibah atau membicarakan orang lain. Dan sering kejadian, pengguna tidak sadar sedang berada di satu grup dengan orang yang dibicarakan keburukannya. Apa yang terjadi saat kita menyadarinya? Bisa sangat fatal bukan?

Untuk menghindari salah kamar saat chating maka sebaiknya kita tetap waspada. Jauh lebih baik lagi, hindari berghibah atau membicarakan keburukan orang pada setiap chat. Itu lebih baik.

Intinya ketika ber-WA ria kita tetap harus menjaga 'mulut'. Jangan sampai deretan huruf yang kita ketik menjadi boomerang bagi kita. Ingatlah, kata-kata lebih tajam dari pedang. Dan luka karenanya sangat sulit disembuhkan. Lebih baik jadi orang yang bisa menahan diri dari pada menyesal di kemudian hari.

Kadang kita juga suka bercanda tanpa membatasi diri. Ingatlah, tidak semua anggota grup seperti kita yang mungkin enjoy dengan canda tawa. Ketika kita tidak berhati-hati, bisa jadi kita akan menyakiti hati mereka yang tidak sependapat dengan canda kita itu. Maka marilah bijak dalam bercanda.

WhatsApp atau layanan grupnya, seperti sebuah pisau. Ia bisa sangat bermanfaat, di sisi lain bisa menjadi penyebab seseorang tergores luka. Tetaplah berhati-hati.

Menerbitkan Buku Gratis di Nulisbuku.com


Kebelet menerbitkan buku? Solusinya indie. Mau yang gratis? Di Nulisbuku.com solusinya.

Saya bukan mau mempromosikan penerbit indie satu ini, cuma mau share saja tentang pengalaman saya menerbitkan di penerbit yang mengklaim sebagai the 1st online self publishing print on demand in Indonesia ini.

Beneran gratis? Iya. Tapi tetap saja kalau ingin memiliki buku cetaknya kita harus membeli. Tahu kan, konsekwensi menerbitkan indie?

Dalam hal ini, Nulisbuku.com hanya berperan sebagai pencetak saja. Tidak ada campur tangan mereka dalan urusan editing, layout ataupun desain sampul. Kalau mau pakai barcode dan bernomor ISBN (International Standard Book Number) ya musti mengurus sendiri. Tapi menurut saya sih, buku indie tidak perlu ribet pakai ISBN segala. Tapi kalau mau pakai ISBN sebagai identitas dan pengakuan perpusnas sebaiknya pakai jasa penerbit indie yang berbayar.

Kembali ke Nulisbuku.com. Sebagaimana umumnya penerbit indie, Nulisbuku.com tidak menolak naskah apapun atau tidak menyeleksi naskah yang akan diterbitkan. Nulisbuku.com menyediakan template yang bisa diunduh di website-nya, baik itu template sampul atau pun template layout isi berbentuk file MS Word.

Sebagai penulis, kita diharuskan menyetting sendiri naskah kita menyesuaikan template yang tersedia. Begitu juga mendesain sampul sesuka kita. Setelah dirasa fix, maka kita bisa menerbitkannya melalui Nulisbuku.com. Kita kunjungi web-nya, registrasi, lalu upload naskah dan sampul. Harga pun kita yang menentukan setelah mengetahui harga modal awalnya. Selisih harga modal dengan harga jual itulah keuntungan kita.

Setelah buku kita LIVE atau terbit, maka Nulisbuku.com menganjurkan agar kita membeli buku kita sendiri dulu untuk proof reading agar kita yakin bahwa buku kita benar sudah laik jual. Setelah itu, kita bisa promo sesuka kita. Lewat media sosial atau pun promo offline ke teman-teman kita.

Nah, sudah ada gambaran tentang Nulisbuku.com kan? Untuk yang minat menerbitkan bisa kepoin dulu website-nya. Informasi dari saya memang masih minim, kejelasannya bisa langsung ke lokasi.

Kalau kita merasa kesulitan dalam menyetting buku, kita bisa mengontak admin Nulisbuku.com, karena mereka juga melayani jasa setting bahkan sampai mengurus ISBN. Tapi ketika kita memilih berbayar penerbitannya, banyak pilihan self publishing lain yang bisa kita pilih. Tunggu di postingan-postingan yang akan datang, insya Allah.

Selamat untuk Pengurus Baru ODOP Periode II


One Day One Post sebuah komunitas menulis yang didirikan oleh Bang Syaiha, seorang penulis yang peduli dengan generasi bangsa ini. Di sinilah saya bergabung menjadi anggota yang dengan seleksi luar biasa berupa kewajiban menulis di blog setiap hari dalam jangka waktu tertentu. Dan saya bangga bisa bergabung dengan komunitas yang biasa disingkat ODOP ini. Harapan saya, saya bisa istiqamah dalam menulis ke depannya.

Pagi ini, 6 Desember 2017, di grup WhatsApp ODOP Batch 4 diumumkan kepengurusan baru, periode II menggantikan periode sebelumnya yang dipimpin Mas Heru. Kali ini kepengurusan diketuai Mas Tian yang akan melanjutkan kiprah ODOP di kancah kepenulisan negeri ini.

Berikut ini saya copas jajaran pengurus baru di bawah pimpinan Mas Tian:


Susunan Pengurus ODOP Periode II

🌾Founder: Bang Syaiha

🌾Dewan Penasehat:
Mbk Hiday
Pak Suparto
Uncle Ik
Heru

🌾Ketua Umum: MS Wijaya

🌾Sekretaris: Dita Dyah

🌾Ketua Fiksi: Wiwid
Anggota PJ Fiksi: Suden Basayev, Yoga P

🌾Ketua Non Fiksi: Nova
Anggota PJ Non Fiksi: Rika, Dewie Dean

🌾RCO: Sakifah

🌾Media: Enter Tran

🌾Fans Page: Estina
Anggota PJ FansPage: Inet, Vinny M, Rauf, Sovia, Lutfi dan Lailatul I

🌾PJ ODOP Batch 5: Sasmitha Lia & Kang Sae

Kepada seluruh pengurus baru, saya ucapkan selamat bertugas. Kiprah tanpa pamrih yang akan mengalirkan pahala dalam peluk keikhlasan beramal ilmu. Semoga kedepannya ODOP semakin maju dan mendampingi penulis-penulis keren yang melahirkan karya-karya keren untuk mewarnai negeri ini dan dunia dengan kata-kata.

Go, ODOP! Selamat dan sukses!


Tentang Sertifikat Kelulusan ODOP


Pagi ini saya membuka facebook. Searcing "One Day One Post". Dan ternyata saya belum me-like fanspage komunitas ini. Saya pun menyukainya.

Selanjutnya saya dengan mudahnya menemukan koleksi album foto yang berisi sertifikat penghargaan bagi para PJ (penanggung jawab) dan peserta yang lulus program ODOP Batch 4. Saya telusuri sertifikat peserta lulus dan menemukan nama pena saya terukir di sana. Suden Basayev.

Puas? Bangga? Atau perasaan apa yang hinggap? Entahlah. Yang pasti adalah saya berhasil mengalahkan rasa malas selama sekitar 2 bulan lebih ini untuk terus mem-posting tulisan di blog sehari minimal satu tulisan. Dan alhamdulillah saya bisa berkat bimbingan para PJ di komunitas One Day One Post, di mana saya bergabung pada Batch 4.
Melalui postingan kali ini saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para pengurus dan PJ di ODOP Batch 4 atas segala kesabarannya dalan mengurusi kami para peserta ODOP. Semoga semua ini menjadi amal jariyah yang selalu mengalirkan pahala ketika ilmu yang diturunkan kepada para peserta tetap dimanfaatkan.

Untuk sahabat-sahabatku sesama peserta yang lulus, mari kita selalu menjaga semangat dalam menulis. Semoga kelak kita menjadi penulis-penulis hebat, baik fiksi ataupun non fiksi. Tetap konsisten mendalami dan menjalani proses kepenulisan. Kita adalah yang berhasil lulus dari 250-an peserta. Tersisa kita 48 orang yang masih konsisten. Lanjutkan semangat ini.

ODOP maju terus!