Coretan Basayev: November 2017

Balada Kartu Identitas Anak buat Haikal dan Humaira


Sebenarnya sudah lama saya mendapat informasi edaran agar anak usia di bawah 17 tahun dibuatkan KTP anak atau istilahnya KIA, Kartu Identitas Anak. Tapi baru hari ini saya bergerak ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sukoharjo untuk mendaftar pembuatan KIA buat Haikal dan Humaira.

Banyak warga di kampung saya sudah antusias membuatkan KIA sejak awal informasi diterima. Saya saja yang enggan untuk buru-buru. Sebenarnya buat apa sih anak-anak musti dibuatkan KTP? Seberapa penting?

Penerbitan KIA oleh pemerintah ini didasarkan Permendagri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Kartu Identitas Anak. KTP anak ini terdiri dari 2 jenis berdasarkan usia, yakni usia 0-5 tahun dan 5-7 tahun. Konon semua ini bertujuan untuk mendorong peningkatan pendataan, perlindungan, dan pemenuhan hak konstitusional anak.

Bagi anak yang baru lahir, KTP anak ini akan diterbitkan bersamaan penerbitan akte kelahiran. Sementara yang berusia di bawah 5 tahun dan belum memiliki KIA bisa mengajukan pembuatan dengan memenuhi persyaratan berikut:

a. Fotokopi kutipan akta kelahiran
b. Fotokopi Kartu Keluarga
c. Fotokopi KTP orangtua
d. Mengisi formulir


Dan untuk usia di atas 5 tahun harus menyertakan pas foto 3x4 sebanyak 2 lembar.

Berbekal kelengkapan tersebut berangkatlah saya ke Kantor Dispendukcapil Sukoharjo. Cuaca mulai mendung lagi ini....

Saya sampai di Kantor Dispendukcapil pukul 10.40 WIB dan langsung menuju loket yang mengurusi akte dkk. Tapi dasar nasib lagi kurang beruntung rupanya, di pintu masuk ruangan tertulis:

MULAI TANGGAL 13 NOPEMBER 2017 PENDAFTARAN KARTU IDENTITAS ANAK (KIA) DIHENTIKAN


Waduh... baru juga belum lama dibuka layanannya, tapi sekarang? Segera saya tanya ke Mbak Petugas yang berjilbab dan berkacamata, dan beliaunya hanya menjawab, "Nanti kalau sudah bisa melayani lagi akan ada pengumuman."

Wah, akhirnya saya memupus harap untuk bisa mendapatkan KIA sesegera mungkin buat Haikal dan Humaira. Sementara di depan saya lewatlah sepasang suami istri muda bersama seorang anak usia sekitar 5 tahunan, dengan kesal memaki-maki. "Sial. Disuruh kesini lagi tanggal sekian. Blangko habis katanya."

Wah, wah. Ya sudahlah. Saya pulang dengan tangan hampa.

Barangkali nasihat yang bisa kita ambil sebagai pembelajaran adalah, jangan suka menunda-nunda karena bisa jadi kita akan kehabisan. Apapun itu. Karena terlambat itu menyesekkan.

Godaan Itu Bernama Buku Murah



Hari Selasa tertanggal 28 November 2017, adalah hari perdana pembukaan Bazar Buku Murah Sukoharjo.

Kemarin hujan seharian sehingga berhasil menunda keinginan saya untuk berkunjung ke sana. Hari ini, hari kedua bazar, cuaca mendung juga sih, tapi tidak hujan. Sekitar jam 10 pagi saya sudah selesaikan pekerjaan saya. Akhirnya saya tergoda untuk main ke Gedung Budi Sasono, Jl. Veteran no. 1 Sukoharjo, tempat pameran digelar, sebelum pulang ke rumah.
Masih sepi ternyata. Mungkin efek banyaknya lokasi kebanjiran di sekitar Sukoharjo. Bisa juga karena ini hari masuk sekolah, jadi belum banyak yang berkunjung.


Dan, hamparan buku menyambut saya. Dari yang obral harga 3000, 5000, 10.000 atau buku-buku diskon lainnya, terbentang di ruangan gedung.


Saya benar-benar masuk ruangan penuh godaan di sini. Apa lagi yang bisa menggoda seorang penyuka buku jika bukan melihat obral murah buku-buku fiksi maupun non fiksi sedemikian banyaknya.


Saya berkeliling sambil memilah memilih buku incaran saya. Memang bukan buku-buku terbitan baru sih, rata-rata buku lawas kondisi baru hasil cuci gudang. Memang saya suka yang begini, soalnya kalau yang baru terbit kan mahal-mahal. Hahaha.


Setiap kali melihat tumpukan buku begini selalu mencuat tanya, kapan giliran buku saya dipajang berderet dengan buku terbit lainnya? Semoga ruang penuh buku ini menjadi pelecut saya agar tidak bosan belajar menulis. Aamiin...
Udah ya, saya mau bercumbu dengan jilidan kertas-kertas aksara ini. Semoga saya baik-baik saja....

Haikal dan Hujan


Haikal, sulung saya, pernah sangat takut dengan hujan. Untunglah sekarang ketakutan itu sudah lenyap sama sekali.

Awal ketakutan itu muncul saat Haikal berusia sekitar 4 tahun, ketika itu turun hujan sangat deras disertai angin sehingga banyak pohon bertumbangan dan dahan-dahan yang patah berjatuhan. Ditambah gemuruh dan kilat petir yang menggidikkan. Haikal kecil melihat langsung suasana ketika itu. Dia terlihat takut, memeluk erat Bunda yang menggendongnya. Bahkan telinganya ditutup erat-erat dengan telapak tangan.

Kejadian hari itu rupanya sangat membekas pada ingatan anak saya. Di hari-hari setelah itu, setiap kali turun hujan, Haikal langsung menutup telinga, memejamkan mata dan menangis. Mau tidak mau saya ataupun bundanya harus lekas mendekapnya agar tidak bertambah kalut.

Saya dan istri saya sempat waswas juga kalau hal ini terus berlanjut. Akhirnya saya berinisiatif memperkenalkan Haikal pada serunya bermain hujan.

Suatu ketika, hujan turun. Saya ajak Haikal menadahkan tangan ke kucuran air dari genteng. Meski takut-takut, lama kelamaan dia mulai merasa nyaman. Akhirnya kubawa dia ke halaman menyambut guyuran deras dari langit.

Terapi hujan yang saya terapkan membuahkan hasil. Haikal tidak takut lagi dengan hujan. Tapi terkadang tiap mulai turun hujan baru dia masih suka ketakutan. Selalu saya bawa dia untuk hujan-hujanan. Menikmati serunya air yang Allah curahkan.

Haikal akhirnya sama sekali tidak takut hujan. Bahkan sekarang, tiap gerimis mulai turun rintik-rintik, dia selalu minta hujan-hujanan. Bahkan tanpa perlu saya temani seperti di awal-awal dulu.

Hujan juga tidak pernah membuatnya jatuh sakit. Tidak ada cerita Haikal terserang flu setelah hujan-hujanan. Hujan adalah berkah dari langit yang selalu seru untuk disambut.

Hujan oh Hujan


Hujan turun saban hari sudah seminggu lebih. Pagi-pagi baru terjaga dari tidur sudah terdengar rintik hujan di luar. Aktivitas seharian pun tak pelak diwarnai guyuran dari langit. Ada yang terganggu dengan turunnya hujan karena aktivitas luar rumahnya terkendala, ada yang menyambut syukur karena lama menanti kehadirannya.

Petani bersuka cita karena hujan menyuburkan tanaman padi di sawah. Pekerja bangunan merasa kesal dengan hujan yang membuat pekerjaannya terganggu. Anak-anak sekolah merasa ribet ketika berangkat-pulang diwarnai hujan.

Apapun, kita harus menyadari sepenuhnya bahwa hujan adalah barakah dari Allah Swt. Ibnu Baththol mengatakan, ”Anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 5: 18, Asy Syamilah). Adapun doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika hujan turun adalah:

اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً


"Allohumma shoyyiban naafian". Yang artinya, Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat.

Nah, itu ajaran dari Rasulullah kepada kita umat Islam. Maka tidak ada ruang untuk merasa kesal dengan hujan yang membawa berkah. Bahkan ketika hujan turun merupakan waktu yang baik untuk berdoa.

Ada hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ

Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shohihul Jaami’ no. 3078).

Marilah kita syukuri hujan yang diturunkan Allah Swt dan senantiasa memohon kebaikan pada-Nya dengan dilimpahkan-Nya rintik air dari langit.

Namun ketika hujan turun dengan lebat disertai angin dan membuat kita cemas akan datangnya banjir atau bencana longsor dan sebagainya, Rasulullah juga mengajarkan doa sebagai berikut:

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari." Yang artinya, "Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan.” (HR. Bukhari no. 1014)
Dan terakhir, ketika hujan sudah reda, Rasulullah Saw mengajarkan agar mengucapkan:

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ

"Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih". Yang artinya, "Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah."


Begitu lengkap ya, apa yang sudah diajarkan Rasul tercinta...
Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat

Sumber : https://rumaysho.com/3759-doa-ketika-turun-hujan.html

اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

Sumber : https://rumaysho.com/3759-doa-ketika-turun-hujan.html

Kecelakaan (12)



KECELAKAAN 
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 12


"Kalian tinggal bertiga di rumah ini?" tanyaku pada Safina.

Gadis kecil itu mengangguk. Aku bertanya lagi dengan hati-hati sekali, "Orangtua kalian?"

"Kami yatim sejak kecil, Kak," jawab Safina tanpa gurat kesedihan.

"Maaf," kataku segera, takut membuatnya bersedih.

"Tidak apa-apa, Kak. Meski orangtua kami sudah tidak ada, kami bersyukur ada Haji Syaiha yang mengangkat kami menjadi salah satu anak asuh beliau. Urusan sekolah beliau yang menanggung. Mas Zen sudah lulus SMA, saat ini Mas Zen ikut belajar di pesantren milik Haji Syaiha sambil bantu-bantu di toko herbal beliau."

Aku mengangguk saja. Kulihat Nisa, Nining, dan Laras juga memilih diam. Mereka lebih suka mendengar Safina bercerita dari pada bertanya.

"Oh, iya, kira-kira masih lama nggak Mas Zen pulangnya, ya?"

"Saya juga kurang tahu. Coba SMS Mas Zen saja."

Aku menggeleng. "Tidak perlu. Kami hanya mau mengembalikan KTP kakakmu."

Lekas kuambil KTP Mas Zen dari tas yang kubawa. Kuangsurkan pada Safina.

"Kok KTP Mas Zen ada pada Kakak?" tanya Safina. "Kata Mas Zen KTP ditinggal di tempat orang yang ditabraknya. Eh, atau... jangan-jangan Kakak ini yang ditabrak Mas Zen? Benarkah? Mas Zen bilang yang ia tabrak usia SMA. Kakakkah?"

Aku mengangguk. "Iya."

"Kak, mohon dimaafkan, ya, Mas Zen tidak sengaja mencelakai Kakak. Kakak yang cedera apanya?"

"Tidak apa-apa, kok, Dik. Hanya tangan ini yang sedikit luka," jawabku sambil memperlihatkan tanganku yang diperban.

"Kasihan Kakak. Maafkan Mas Zen, ya, Kak."

Aku mengangguk segera. "Iya. Mas Zen tidak sengaja. Saya juga memahami keadaan Mas Zen yang ternyata sedang dikabari kamu mau dirujuk ke rumah sakit untuk dioperasi. Justru saya yang minta maaf telah memperlambat kepulangan kakakmu."

"Kakak tidak salah, kok. Semua kesalahan Mas Zen. Tidak seharusnya berkendara sambil menerima telepon."

Mas Suden, aku terharu dengan kedewasaan Safina ini. Ingin rasanya aku memeluk gadis kecil ini. Tapi kutahan, malulah. Kulihat Nisa, Nining, dan Laras juga terharu dan terdiam di tempatnya.

"Oh, iya, yang menabrak kamu bertanggung jawab apa tidak?" tanya Nining.

Safina tersenyum. "Kata Lek Feri yang menolong saya kemarin, penabrak saya sempat jatuh juga bersama motornya, tapi dia bisa berdiri dan melarikan diri dengan memacu motornya cepat sekali."

"Tabrak lari rupanya," desis Laras.

"Kasihan kamu, Dik," kataku agak terisak.

"Harusnya diadukan ke polisi biar dicari penabrak yang tidak tanggung jawab seperti itu," komentar Nisa geregetan.

"Susah dong, Nis. Mau melacaknya kemana?" sahut Laras.

"Sebenarnya ada barang dia yang terjatuh. Tapi sayang kami tidak bisa mencari petunjuk apa-apa dari barang itu," kata Safina sambil tersenyum.

"Ada barangnya yang terjatuh?" tanya Nisa.

Safina mengangguk. "Sebuah handphone, tapi tidak ada buku teleponnya. Tidak ada histori SMS atau pun panggilan keluar-masuk. Lebih-lebih kondisi handphone itu juga cukup parah."

"Jadi tidak ada petunjuk apapun yang bisa didapat?" tanya Nisa sedikit ikut kesal.

"Iya. Mas Zen menaruh handphone-nya di atas lemari kecil itu, Kak."

Kami menoleh ke lemari yang ditunjuk Safina. Nisa yang mendekati lemari kecil itu dan meraih handphone di atasnya. "Handphone jadul begini?"

Aku tersentak. Handphone yang dipegang Nisa itu... Nokia jadul dengan kondisi casing tidak rapat dan harus dikaret agar tidak buyar. Mas Suden..., aku sangat hafal dengan handphone itu! Mendadak lemaslah sekujur tubuhku.

Nisa membawa handphone itu mendekati kami. Lekas kuminta. Nisa membiarkan saja aku mengambil darinya. Lalu kutatap Safina dengan mata berkaca-kaca. Bibirku bergetar, "Dik, barang bukti ini saya pinjam, ya...."

Safina belum menjawab apa-apa. Aku tidak peduli lagi. Aku segera berdiri. "Nisa, Nining, Laras. Ayo pamitan."

Aku bergegas melangkah keluar. Ketiga sahabatku kebingungan. "Uky, kenapa kamu ini? Tadi kamu maksa diantar kesini. Ini belum ketemu Mas Zen kamu sudah buru-buru minta pulang. Ky... tunggu!" Nisa protes.

Sempat kudengar Laras mewakili pamitan ke Safina sebelum ketiganya mengejarku keluar. Aku menunggu di atas motor Laras dengan sangat tidak sabar.

Nisa dan Nining sudah mendekat, sementara Laras berpamitan ke Mbah Wiwid. Neneknya Safina itu menjawab permintaan pamit Laras dengan berkata, "Kalian mencari Zaini? Anak itu lagi ngaji di langgarnya Haji Syaiha."

Aku tidak peduli. Yang aku inginkan sekarang, segera terbang ke pasar kota menemui Bapak. Apapun yang terjadi, Bapak harus bertanggung jawab. Nokia jadul berkaret ini tidak bisa berdusta!

"Buruan, Laras!" panggilku tidak sabar.

"Iya, iya!"

"Langsung pulang ini?" tanya Nisa.

"Tidak, kita ke pasar kota, aku harus ketemu Bapak!" jawabku tegas. Ketiga sahabatku terlihat heran dengan sikapku. Bodo! Yang penting kedua motor kami lekas menderu meninggalkan rumah Mas Zen.

Aku pamit, Mas Suden. Mas Suden tidak usah ikut, ini urusanku dengan Bapak. Mas Suden pamitan saja sama pembaca. Aku pergi, Mas.

***

Pembaca yang budiman, Uky hanya bercerita sampai di sini kepada saya. Dia minta saya tuliskan cerita seputar kecelakaan yang menimpanya itu. Saya manut saja sambil menuliskan apa yang Uky ceritakan. Uky sendiri belum sempat membaca tulisan ini.

Kalau di pasar kota kalian melihat empat gadis usia SMA, satu berpakaian biasa dan yang tiga masih mengenakan seragam, sedang melabrak seorang juru parkir berambut jabrik. Itu Uky cs. Kalian bisa membantu saya meneruskan tulisan ini.

Demikian dari saya, mohon maaf dan terima kasih.

Suden Basayev


SEKIAN

Kecelakaan (11)



KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 11

"What? Ke rumah cowok yang nabrak kamu, Ky? Nggak banget. Aturan, kan, dia yang harus kemari. Lagi pula KTP ada di sini, masak kita yang harus kesana? Apa urusannya? Kalau dia memang beritikad baik, dia pasti kesini."

"Bener katamu, Nis," dukung Laras.

"Sepakat!" Nining akur.

"Kalian dengarkan aku dulu," kataku segera. "Tadi Mas Zen itu sudah datang kemari. Tapi Bapak marah-marah, Mas Zen mau dipukulinya."

"Apa?" kaget ketiganya.

"Untung ada Pakde Ikhtiar menyelamatkannya. Mas Zen disuruh pergi secepatnya."

"Segitunya bapakmu, Ky?"

"Iya, Ning, makanya aku jadi merasa tidak enak hati."

Ketiganya diam. "Bagaimana? Mau, ya...," bujukku.

Ketiganya saling pandang. "Pliisss," mohonku.

Syukurlah, Mas Suden, ketiga sahabatku menurut saja akhirnya. Berempat kami berangkat dengan mengendarai dua motor, motor Nisa ditinggal di rumahku. Aku membonceng Laras, Nisa diboncengkan Nining. Meluncur ke alamat yang tertera pada KTP Mas Zen.

Kami lewat jalan tembus dari Dukuh Candi menuju Langkap, Tawangsari, lalu menuju ke Bulu. Perjalanan lancar-lancar saja. Sesampai daerah Bulu, kami bertanya sampai tiga kali barulah sampai di alamat yang tertera pada KTP. Motor kami berhenti di depan sebuah rumah sederhana.

"Ini rumahnya, kayaknya," kata Nining.

"Menurut tukang sayur yang kita tanyai tadi memang di sini rumahnya. Ada pohon kelapa tiga berderet di samping rumah. Sesuai petunjuknya," simpulku.

Rumah terlihat sepi. Hanya ada seorang nenek duduk di sebuah kursi di serambi depan, di sisi pintu masuk yang terbuka. Kami lekas memarkir motor, turun dan mendekati pintu masuk.

"Assalamualaikum, Mbah," Laras mencoba mendekati nenek itu. Tapi rupanya si nenek sudah tidak bagus pendengarannya. Tapi wanita tua itu memandangi kedatangan kami.

"Kalian mencari Zaini? Anak itu lagi ngaji di langgarnya Haji Syaiha," suara nenek itu ditujukan pada kami.

"Em, iya, Mbah, kami mencari Mas Zen, Mas Zaini," jawab Laras.

Kami menunggu reaksi si nenek selanjutnya. Tapi beliau diam saja seolah tidak melihat kami. Kami saling pandang. "Mbah, Simbah," panggil Laras.

Beberapa saat kemudian si nenek kembali memandang kami. Dan beliau bicara, "Kalian mencari Zaini? Anak itu lagi ngaji di langgarnya Haji Syaiha."

"Oh... Mas Zen lagi ngaji, teman-teman," kata Nisa menyimpulkan.

"Terus? Gimana?" tanya Nining.

"Ya sudah, pamit saja, ya," usul Laras. Tanpa menunggu persetujuan kami, Laras segera berkata pada si nenek, "Ya, sudah, Mbah, kami pamit dulu."

Si nenek malah cuek. Baru beberapa saat kemudian memandangi kami lagi. Dan menjawab kata-kata Laras dengan, "Kalian mencari Zaini? Anak itu lagi ngaji di langgarnya Haji Syaiha."

Kami saling pandang. Mas Suden, merasa ada yang aneh nggak? Kayak ada yang tidak beres.

"Siapa, ya? Masuk saja ke dalam. Monggo, silakan...." Terdengar suara dari dalam rumah. Suara perempuan, kayaknya sih masih anak-anak.

Kembali kami saling pandang. Nenek itu sudah cuek lagi. "Masuk, yuk," ajakku.

Kami pun mengucap salam dan memasuki rumah itu. Si nenek tetap cuek duduk di luar.

Sebuah ruangan sederhana sekali, tanpa banyak perabot rumah yang berharga. Ada sebuah dipan yang ditiduri seseorang yang tadi memanggil kami.

"Kalian teman-temannya Mas Zen?" tanya orang yang berbaring itu. Kami mendekat. Rupanya seorang anak gadis usia SMP.

Gadis kecil itu memandang kami, "Maaf, saya disuruh berbaring saja dulu. Saya baru habis operasi tadi malam. Tulang bahu saya retak dan kaki kanan saya patah."

Kami saling pandang lagi. Gadis berkerudung itu mengenakan mengenakan babydoll panjang, tapi bagian kaki kanan memang terlihat dalam keadaan di-gipsum.

"Silakan duduk, tapi saya tidak bisa menyiapkan minum," katanya.

"Oh, tidak usah repot-repot," kata Nining segera.

Kami duduk di kursi berbahan plastik yang tersedia di depan dipan. "Adik ini kena musibah apa?" tanya Laras.

"Kecelakaan, Kak. Kemarin pagi."

Kami saling pandang. Rasa iba yang muncul tiba-tiba.

"Oh, iya, saya adiknya Mas Zen, nama saya Safina. Kemarin saat bersepeda hendak belanja di warung, saya ditabrak motor. Untung saya ditolong Lek Feri, seorang tetangga yang jualan sayur keliling, yang kebetulan melintas di jalan."

Kami diam. Seolah memilih mendengar adiknya Mas Zen itu bercerita. Gadis kecil bernama Safina itu melanjutkan cerita, "Lek Feri melihat keadaan saya yang ternyata parah lekas menelepon Mas Zen yang sedang mengantar pesanan herbal ke Cawas. Sambil menunggu Mas Zen, Lek Feri minta tolong warga membawa saya ke puskesmas."

"Terus?" Nisa nih.

"Ternyata saya harus dirujuk ke rumah sakit besar untuk operasi. Lek Feri lekas menelepon Mas Zen lagi, yang sedang perjalanan pulang."

"Terus?" Nisa lagi.

"Gara-gara mengangkat telepon sambil naik motor, nasib malang, Mas Zen malah menabrak pengendara motor lain. Mas Zen harus membawa korban ke puskesmas terdekat."

Aku tercekat mendengar kisah itu.

"Terlalu lama jika harus menunggu kedatangan Mas Zen, akhirnya saya dibawa ke rumah sakit khusus bedah di Solo. Semua biaya ditanggung Haji Syaiha, orangtua asuh saya."

Nisa hendak bertanya lanjutannya, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.

"Mas Zen menyusul ke rumah sakit setelah selesai mengurusi orang yang ditabraknya."

Safina memandangi kami bergantian. "Maaf, saya malah curhat sama kakak-kakak. Kalian mencari Mas Zen? Kakakku itu sedang ke rumah orang yang ditabraknya untuk membicarakan penyelesaian kasus kecelakaan kemarin itu, biar tidak tertunda-tunda."

Aku tahu, Mas Zen ke rumah orang yang ditabraknya. Dan kamu tidak tahu, Safina, bagaimana perlakuan tidak pantas bapaknya orang yang dia tabrak, kepada kakakmu. Ada cairan bening mengambang di sudut mataku. Mas Suden, mengapa jadi begini?

"Tapi kenapa Simbah tadi bilang kalau Mas Zen sedang ngaji?" tanya Nisa tiba-tiba.

Safina tersenyum. "Maafkan Simbah Wiwid, nenek kami itu memang sudah pikun. Beliau ingatnya cuma Mas Zen pergi mengaji ke langgarnya Haji Syaiha. Maafkan, ya, kakak-kakak...."

_Bersambung_

Kecelakaan (10)


KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 10

"Bapak, lepaskan, Pak!" seruku sambil mencoba meraih lengan Bapak.

Bapak mendorong tubuh Mas Zen lagi. Kembali Mas Zen limbung dan terjengkang. Segera kuhalangi tubuhnya dari Bapak yang hendak mendekatinya lagi.

"Minggirlah, Ky," kata Bapak. "Biar Bapak selesaikan masalahmu dengan anak ini!"

"Tidak, Pak. Bapak bukan menyelesaikan masalah, tapi sebaliknya, memperkeruhnya!"

Tapi Bapak tidak mendengarkanku. Dikibasnya aku dengan sekali gerak. Dan sekali lagi, beliau berhadapan dengan Mas Zen. Mas Zen tampak pucat. Saat itulah kulihat Pakde Ikhtiar berlari mendekat.

"Pakde, tolong, Pakde," teriakku lekas.

Pakde Ikhtiar segera menghalangi Bapak dari hadapan Mas Zen. "Mas Dwi, sabar, Mas Dwi...," kata Pakde Ikhtiar sambil menyentuh kedua bahu Bapak.

"Minggirlah, Pakde. Ini urusanku. Seorang Bapak yang membela anaknya!" sergah Bapak.

Merasa kesulitan mengatasi emosi Bapak, Pakde Ikhtiar lekas berkata pada Mas Zen. "Mas, pergilah cepat. Keadaan tidak bisa dikompromi. Pergilah dulu!"

Aku mendekati Mas Zen. "Pergilah dulu, Mas. Bapak kalau lagi marah berbahaya!"

Untung Mas Zen mendengarkanku. Ia lekas beranjak menuju motornya. Bapak masih berteriak-teriak sementara Pakde Ikhtiar menahannya sekuat tenaga. Secepatnya Mas Zen men-starter  motor dan pergi. Aku bersyukur. Lekas kubantu Pakde Ikhtiar menenangkan Bapak.

"Mengapa kalian biarkan dia pergi? Aku harus membuat perhitungan dengannya," desis Bapak.

"Mas Dwi sabar dulu, tidak semua masalah harus selesai dengan adu jotos."

"Iya, Pak. Dia kemari dengan baik-baik, Bapak malah merusak semuanya," kataku membenarkan Pakde Ikhtiar.

Bapak mulai tenang, Mas Suden. Tapi lihatlah, wajah beliau masih terlihat merah menahan emosi. Bapak paling tidak bisa menahan diri. Beruntung Mas Zen lekas kabur, kalau tidak bisa-bisa Bapak sudah main pukul sesukanya.

Bapak masuk ke rumah. Kulihat beliau melepas hem batiknya. Lalu mengambil kaos di lemari dan mengenakannya. Pakde Ikhtiar mengikutiku masuk juga.

"Kamu ini susah benar menahan emosi, Mas Dwi. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anak orang itu, bagaimana? Kalau keluarganya tidak terima, bisa saja mereka melaporkan ke polisi."

"Aku tidak peduli. Yang jelas, dia telah mencelakai anakku."

Kupegang lengan Bapak. "Kecelakaan, tentu bukan hal yang disengaja, Pak."

"Tapi luka-lukamu itu nyata. Dan aku tidak bisa begitu saja terima."

Aku menghela napas berat. Bapak memang sangat mencintaiku, tapi kadang tidak berpikir panjang dalam bertindak jika menyangkut keselamatanku. Menurut Mas Suden, apakah ini masih di batas kewajaran?

"Sudahlah, aku mau ke pasar. Ruwet pikiran kalau di rumah!"

Usai bicara begitu, Bapak lekas beranjak pergi.

"Bapak diminta menemui Ibu Sovia," kataku menyampaikan pesan tamu tak sopan kemarin.

"Itu urusan Bapak. Kamu tidak usah memikirkannya."

Dan Bapak pergi. Kupandangi beliau yang melaju motornya dengan kekesalan itu, sampai menghilang di tikungan jalan.

"Pakde permisi, Ky," pamit Pakde Ikhtiar.

"Iya, Pakde. Terima kasih atas bantuannya."

Kembali rumah sepi. Aku jadi kepikiran Mas Zen, cowok yang menabrakku kemarin itu. Sikap Bapak terlalu kasar padanya. Aku jadi merasa tidak enak hati.

Kuambil KTP Mas Zen yang masih tergeletak di meja tamu. Kubaca alamat rumahnya. Tinggal di daerah Bulu rupanya. Apa aku perlu ke sana untuk meminta maaf atas perlakuan Bapak? Sendiri? Tidak mungkin, motor juga tidak ada. Mengajak Nisa, Nining, dan Laras? Mereka masih sekolah. Nunggu mereka pulang? Mas Suden punya saran? Tampaknya menunggu kepulangan mereka saja. Atau Mas Suden percepat saja kepulangan mereka? Gimana, Mas? Setuju?

Terdengar tiga suara motor memasuki halaman rumahku. Ketiganya matic. Disertai suara tawa canda khas ketiga pengendaranya. Yes! Siapa lagi kalau bukan Nisa, Nining, dan Laras. Mas Suden, beneran memulangkan cepat mereka? Bukannya baru sekitar jam 9 pagi ini? Alasannya harus logis, lho, Mas.

Aku lekas menuju pintu menyambut mereka. "Hey? Pada bolos kalian?" tanyaku segera. Eh, mereka bolos, Mas Suden? Nggak, kan?

"Hallo, Uky Cantik. Kamu gimana sudah baikan? Lukamu sakit nggak semalam? Terus, kamu tidur nyenyak nggak? Semoga segera pulih kembali, ya...," biasa, Nisa ini.

"Kalian bolos?" tanyaku lagi.

"Enggak dong, Ky. Kita anak baik-baik, buat apa pakai acara bolos. Kasihan dong orangtua yang bersusah-payah bekerja untuk membiayai sekolah kalau kita suka bolos. Itu juga tidak mencerminkan budaya negara kita yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Empat Lima..."

"Ayolah, masuk, masuk...," ajakku mengakhiri cerocosan Nisa. Kami masuk ke rumah segera.

"Semua guru mau rapat, Ky," Laras bicara. "Jadi anak-anak suruh belajar di rumah."

"Terus, kalian kesini? Mau belajar?"

"Halah... belajar mulu bosen, Ky. Kita kan butuh refresh pikiran, tidak harus belajar dan belajar terus. Kalau tidak diimbangi dengan ketenangan pikiran, maka akan terjadi suntuk yang berakibat stres, dan..."

"Stop!" Nining mengerem suara Nisa. "Kita kesini jenguk sahabat yang sakit. Ini juga atas saran Bu Rahayu, sebagai wali kelas beliau titip salam dan mohon maaf belum bisa jenguk karena harus ikut rapat guru."

"Iya, nggak apa-apa," jawabku lekas.

"Gimana kondisimu, Ky?" tanya Laras.

"Baik. Sudah sangat mendingan. Oh, ya, aku pengin ajak kalian pergi pada mau tidak?"

Ketiganya memandangku. Ada tanda tanya pada mata mereka. "Kemana?" kompak.

"Ke rumah Mas Zen."

Ketiganya saling pandang.

_Bersambung_

Kecelakaan (9)


KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 9


Aku tersentak mendengar nama yang disebut oleh tamu yang tidak sopan itu. Ibu Sovia?! Bapak berurusan lagi dengan Ibu Sovia?!

"Ayo, kita tinggalkan rumah ini!"

"Ayolah, buat apa berlama-lama."

Kedua lelaki berjaket hitam itu lekas keluar dari ruang tamu. Aku masih terbawa keterkejutanku ketika motor yang mereka naiki mulai menderu, menjauh dari halaman rumahku. Mas Suden, mengapa hari Minggu-ku kali ini sangat tidak menyenangkan?

Aku kembali ke kamar. Terduduk lunglai di tepi ranjang. Mas Suden kenal nggak sama Ibu Sovia yang disebut oleh tamuku tadi? Teringat kembali kenangan beberapa bulan lalu, saat Ibu kecelakaan, harus dioperasi, dan meninggalnya beliau di rumah sakit. Lalu muncul nama itu... Ibu Sovia! Bapak belum pulang. Aku harus meminta penjelasan Bapak untuk semua ini.

Aduh, jahitan di tanganku kembali berdenyut sakit. Aku melenguh. Sebaiknya aku coba tidur saja, Mas Suden. Semoga sebangunnya dari tidur, nyut-nyutan ini berkurang. Dan tidak lama, aku sudah terlelap dengan mimpi yang indah. Dan aku bertemu Ibu di mimpiku. Seorang perempuan sabar yang mendampingi seorang suami seperti bapakku.

Waktu beranjak. Saat sore menapak, belum terlihat kepulangan Bapak. Apa mungkin Bapak menginap di Wonogiri? Atau malah sudah pulang tapi langsung ke pasar? Tidak ada nomer yang bisa kuhubungi. Aku bahkan tidak tahu, kutaruh dimana kemasan kartu perdana paketan yang sekarang nomernya dipakai Bapak.

Malam mulai menyelimuti, saat sepi makin mencekam. Aku sudah terbiasa sendiri, kok, Mas Suden. Tapi malam ini, aku tidur di rumah tanpa kepulangan Bapak dan tanganku berdenyut terus, entah mengapa. Sakitnya lumayan terasa. Ya sudahlah. Nikmati saja semua ini.

Bangun pagi, kurasakan sekujur tubuhku sakit semua. Sepertinya, benturan ke aspal kemarin mulai terasa efeknya. Luka jahitanku masih sedikit berdenyut. Tampaknya aku harus izin tidak masuk sekolah. Apalagi tidak ada motor. Bapak juga belum pulang.

"Ras, aku nggak masuk, tolong izinkan ke wali kelas, ya...," chat lewat WhatsApp ke Laras.

"Iya, Ky. Rehat dulu saja."

"Makasih, Ras."

Aku membeli nasi bungkus untuk sarapan. Malas mau masak. Apalagi Bapak juga belum tentu segera pulang. Saat makan pagi di depan televisi sendirian itulah, terdengar suara motor yang kuhafal, memasuki halaman rumah dan berhenti di serambi. Bapak pulang, Mas Suden.

Bapak masuk. "Kamu nggak sekolah, Ky?" tanya beliau saat menjumpaiku sedang sarapan. Ini sudah lewat pukul 8 pagi.

Aku belum menjawab saat Bapak terlihat terkejut mendapati lenganku diperban. "Kamu kenapa, Ky?"

Kuteguk teh hangat dulu, baru menjawab pertanyaan Bapak. Beliau mendekatiku segera. "Kemarin kecelakaan, Pak."

"Kecelakaan? Di mana?"

"Saat mau kelompok ke rumah Nisa."

"Lenganmu luka parah?"

"Dijahit, Pak. Lumayan. Sama lututku juga luka-luka."

"Motormu?"

"Di bengkel, Pak."

Bapak melepas jaket dan menaruh helm. Lalu kembali mendekatiku. "Maafkan Bapak ya, tahu begini Bapak tidak menginap di Wonogiri."

"Tidak apa-apa, kok, Pak. Tapi, ada yang mau aku tanyakan ke Bapak."

"Soal apa?"

Kutatap wajah Bapak. "Bapak berurusan lagi sama Ibu Sovia?"

Kentara sekali keterkejutan Bapak. Tapi beliau mengelak. "Kata siapa?"

Kuakhiri sarapan pada suapan terakhir. Lalu meneguk teh hangatku.

"Siapa yang bilang tentang Ibu Sovia? Kamu jangan suka asal percaya, Ky."

"Ada dua orang anak buah Ibu Sovia datang kemari, Pak. Kemarin siang. Mereka marah-marah. Mencari Bapak."

Bapak gusar, Mas Suden. Tidak mungkin beliau mengelak lagi.

"Belum lama kita berhasil lepas dari jeratan rentenir itu. Hutang besar demi mencoba menyelamatkan Ibu. Meski semua berakhir dengan meninggalnya Ibu."

Bapak terdiam.

"Bapak berhutang lagi padanya?"

Bapak menunduk. Aku berdiri. Membuang bekas bungkus nasiku ke tempat sampah. Saat mendekati Bapak lagi, beliau berkata, "Aku sudah bilang agar tidak menagih ke rumah. Rupanya mereka tidak menggubrisnya."

"Bapak mengaku, kan?" tanyaku.

Bapak mendesah. Saat itulah terdengar motor berhenti di jalan depan rumahku. Terlihat Pakde Ikhtiar berdiri menunjuk ke arah rumahku kepada si pengendara motor. "Itu rumahnya, Mas," kata Pakde Ikhtiar.

Pengendara motor itu turun. Melepas helm. Lalu memasuki pintu pagar halaman. Aku mengenalnya. Dia penabrakku kemarin, Mas Suden.

"Assalamualaikum...."

Bapak berdiri dari duduk. Lalu mendekati pintu, di mana penabrakku itu berdiri mengucap salam. Aku ikut mendekat.

"Waalaikumussalam. Cari siapa?" tanya Bapak lekas. Bapak masih membawa kegusarannya di depan tamu kali ini.

"Saya, ingin menemui Dik Uky, saya yang kemarin tidak sengaja menabrak Dik Uky," kata penabrakku yang bernama Mas Zen itu. "Panjenengan bapaknya Dik Uky?"

"Oh... jadi Uky kecelakaan karena kamu tabrak?"

"Iya, saya minta maaf."

"Berani ya, kamu kemari? Punya nyawa rangkap kamu?"

Aku terkejut dengan sikap Bapak. Mas Suden, kenapa ini? Bapak marah?

"Maaf..."

"Maaf? Kamu pikir maaf bisa menyembuhkan luka-luka anakku?!" sentak Bapak sambil mendorong bahu Mas Zen hingga terjengkang.

"Bapak!" seruku mencoba menahan.

"Maaf, Pak, saya...," Mas Zen berdiri, Bapak mendekatinya dengan amarah. Wah, gawat ini, Mas Suden!

Lekas kutarik tangan Bapak. "Sabar, Pak. Jangan gegabah!"

"Diamlah kamu, Ky. Biar Bapak beri pelajaran bocah tidak tahu diri ini!"

"Jangan, Pak."

Tapi tanganku tidak bisa menahan gerakan Bapak. Aku hanya bisa menjerit saat Bapak mencengkeram kerah jaket Mas Zen. "Ampun, Pak," Mas Zen berseru cepat.

Jatah 750 kata sudah lewat. Sudahi dulu, ya.
_Bersambung_

Sahabat Pena


Sahabat Pena
Suden Basayev

Ufh... Capek banget hari ini. Urusan kerjaan belum ada yang beres. Ah... masalah besar dengan Tanti tetap bergelayut. Mendesak suntuk di lubuk otakku yang nyaris tak lagi berfungsi. Kusandarkan punggung di tembok, sementara kakiku kuselonjorkan di lantai beralas karpet bahan plastik. Berharap bebanku sedikit berkurang. Kontrakanku memang kecil dan tak ada meja kursi, tidur juga cuma menggelar kasur lipat. Maklum kontrakan anak PT di Jakarta. Aku tinggal berdua bersama Elo. Hanya saja kami tak satu tempat kerja. Saat di kontrakan pun jarang bisa di rumah bareng. Lebih sering saat aku pulang pagi dia shift siang di pabriknya. Atau saat aku pulang sore, dia malah kejatah shift malam.

Kurasakan ada yang bergetar di saku celanaku. Lalu terdengar truetones lagu Dewa 19 terbaru. Ah, ada SMS. Kuharap bukan dari Tanti, aku sedang tak ingin dihubunginya. Segera kuloloskan henpon dari saku celana.

Kubuka kunci keypad dan lekas membuka inbox SMS.

“Ass. Benar ini number Jony? Inget temen lama nggak yah?” begitu bunyi pesannya. Nomor henpon pengirim tak tercatat di phonebook. Siapa ini? Teman lama?

Kupilih opsi reply SMS. Jempolku mulai memencet abjad keypad. “Wss. Ya, ini Jony. Siapa nih?”

SMS delivered. Kutunggu sejenak sambil mengira-ngira siapa gerangan pemilik nomor ponsel itu. Agak cukup lama baru ponselku berbunyi lagi. SMS balasan.

“Alhamdulillah, ketemu juga. Inget nggak sama pemilik ternak tuyul baik hati?”

Aku kerutkan dahi. ‘Pemilik ternak tuyul baik hati’? Kupaksa otakku berputar. Ah..., tak ketemu siapapun. Apa orang iseng? Siapa ya?! Aku sedikit jengkel. Otakku sedang tidak mau diajak main teka-teki. Segera ku-reply, “Sori, siapa ya? Plis kasih nama kalau mau dibales lagi sms-nya.”

Sending. Delivered.

“Idihh, kamu berubah banget, Jon. Gampang sewot ya? Biasa kamu suka dikasih tebakan. Tebak dulu dong siapa nih teman lama...”

Ah, sialan. SMS-nya nggak mutu! Nggak tahu orang lagi suntuk banyak masalah! Kutaruh begitu saja henpon di lantai. Malas kubalas, main teka-teki, otakku tak ada waktu untuk itu. Lalu aku bangkit, mengambil gelas memencet kran dispenser. Meminum air mineral yang mengucur dari galon yang tinggal separuh isinya. Benda cair itu meluncur begitu saja lewat tenggorokan tanpa rasa. Lalu aku duduk lagi di tempat semula.

Kuraih remot tivi dan menyalakan perangkat hiburan di depanku itu tanpa gairah. Menukar-nukar chanel tak ketemu acara yang bermutu. Ah, tambah parah saja acara tivi!

Henponku berbunyi lagi. Segera kubuka SMS baru yang masuk. “Lama banget mikirnya? Inget belum?”

Siapa pula yang mengingat-ingat. Kubalas, “Sori, gue lagi sibuk. Nggak sempet tebak-tebakan!”

Aku tak menunggui balasan. Kembali mengarahkan mata ke acara tivi. Tapi tak lama, ada balasan SMS-ku...

“Aduh-aduh... Marah bener nih. Inget Metty gak?”

Metty? Kuputar otak menyibak kenangan sebelumnya. Metty?

“Kebangeten kalau lupa!” SMS susulan.

Metty Dining Pangestuti. Nama itu berkelebat. Ya ampuuun, anak dari Gubug Grobogan. Sahabat penaku semasa SMP. Aku masih berkorespondensi dengannya sampai SMA, begitu lulus aku tak tahu lagi kabarnya. Apa benar dia?!

Awalnya dulu, di majalah remaja yang kubaca di rubrik Sahabat Pena, aku melihat foto dan biodatanya. Dulu teman-teman seangkatanku sedang rame gandrung korespondensi, cari-cari kenalan sahabat pena. Aku mengirimi surat mengajak kenalan dan menjalin persahabatan dengan cewek dari Grobogan itu. Dia satu kelas di bawahku. Umur kami terpaut 2 tahun.

Aku ingat betul, surat balasannya datang lima hari sejak kuposkan suratku. Ia menyambut senang ajakan bersahabat dariku. Suratnya kubalas, dia membalas suratku, begitu berkelanjutan. Banyak canda kami dalam setiap goresan pena. Aku tak pernah mendengar suaranya. Wajahnya hanya kulihat di foto yang terpampang di majalah. Suatu kali kami bertukar foto. Aku baru tahu wajahnya di foto close up yang dikirimkannya. Agak beda terlihat dari foto hitam-putih ukuran 2x3 di majalah.

Ia suka sekali memakai kertas surat pink bergambar kartun hantu lucu Casper. Selalu kertas itu, sampai aku candai dia sebagai peternak tuyul. Ia senang dengan julukan itu, ia bilang ia memang peternak tuyul baik hati, Casper kan hantu baik-baik. Ya ampuuun, ‘pemilik ternak tuyul baik hati’ itu muncul lagi setelah sekian lamanya menghilang. Dan, mengapa aku tak terlintas mengingatnya saat ia lontarkan tebakan tadi? Duh, malu aku malah memaki-makinya tadi. Secepat kilat ku-reply SMS-nya:

“Aduh... sori banget, kirain siapa! Sori, tadi lagi suntuk jadi nggak inget sahabat sejati nan jelita. Sorii banget ya...”

Ia membalas segera, “Nggak papa. Tapi kok kamu terkesan kasar gitu. Kamu nggak kayak Jony yang dulu deh. Sori, jangan tersinggung ya...”

Kasar? Waduh, kenapa juga aku tadi bersikap demikian...

“Sori, belakangan lagi banyak problem. Kepala pusing, otak seperti tumpul. Sori ya, Met,” balasku hati-hati.

Agak lama Metty tidak membalas. Wah, marahkah ia?

“Nggak balas-balas. Kenapa? Kamu marah, Met?” ku-SMS lagi.

Tidak lama, ada balasan, “Nggak kok, Jon. Maklum sambil ngurusin si kecil...”

Si kecil?

“Kamu udah merid? Udah dapet momongan?”

“Begitulah. Anakku udah umur 2 tahun... Kamu sendiri, udah nikah belum?”

Dia balik bertanya padaku. Ah, ingat Tanti!

“Belon. Kali bentar lagi. Kamu jadi merid ama Rahman?”

“Alhamdulillah iya. Eh, kamu udah ketemu bidadari idamanmu?”

Aku tak langsung menjawab. Bidadari idamanku? Terlintas Tanti di pelupuk mataku. Ah... jauuh sekali! Aku jadi ingat aku dulu. Setiap kali menulis surat untuk Metty, aku selipkan nasehat-nasehat agama. Ah, aku dulu terlalu alim. Aku terlalu lugu. Waktu Metty cerita tentang cowoknya yang bernama Rahman, ia sangat bangga. Ia nanya siapa cewekku.

Aku waktu sekolah tak kenal pacaran. Asal tahu saja, aku dulu sangat paham betul tentang agama. Say NO to pacaran. Aku mengindahkan nasehat kakak-kakak ustadz di setiap kajian rohis untuk menghindari yang namanya berpacaran. Pacaran adalah proses mendekati zina dan itu kan dilarang Allah. Dalam suratku, aku selipkan nasehat tentang pacaran ke Metty. Ia hanya berterima kasih dengan nasehatku, tanpa mengindahkan. Buktinya, ia masih jalan terus sama Rahman. Ia banyak cerita tentang asyiknya punya pacar. Semangat belajar bertambah. Ada teman curhat waktu ada masalah. Pokoknya menyenangkan.

Waktu Metty bertanya tentang cewek idamanku, aku dengan polos lugu bilang, aku mengidamkan cewek solehah, pakai jilbab, pintar ngaji. Tapi itu nanti kalau sudah siap menikah, sudah lulus sekolah dan punya penghasilan sendiri. Tidak untuk pacaran usia sekolah. Cewek ‘pemilik ternak tuyul’ ini dulu sempat mencandaiku, katanya aku terlalu kolot, kuno. Ah, biasa kali.

Kuketik lagi SMS, “Nggak ketemu cewek begituan. Ah, nggak usah bahas itu. Cerita aja pasca lulus sekolahmu.”

“Aku lulus, kuliah bentar terus kerja. Nggak lama nikah sama Rahman.”

“Lempeng aja ya. Kalu aku abis lulus SMA, ke Jakarta kerja pabrik jadi kuli orang...,” ceritaku apa adanya.

“Apa-apa kalau dijalani lempeng aja, Jon. Kerja pabrik kan batu loncatan untuk penghidupan nantinya...”

Terdengar nada peringatan henponku lowbat. Kuraih kabel charger di samping tivi, kucas segera sambil jempolku mengetik pesan lagi, “Maunya nanti bisa mandiri. Rahman-mu kerja di mana?”

“Nerusin usaha Bapaknya, ngurus pabrik roti keluarga.”

“Hebat, jadi boss dong. Terus, kamu masih kerja nggak?”

“Boss apaan? Yah, buat hidup cukuplah. Semenjak ada si kecil, aku berhenti kerja. Anjuran suami tercinta.”

Aku mengangguk. Lalu membayangkan jadi seorang Bapak... Mampukah nanti aku mengurus anak? Ah... Terbayang Tanti. Siapkah aku menikahi dia?

“Oh ya, gimana cita-citamu jadi penulis?” Metty SMS lagi. Rupanya tak sabar menunggu balasanku.

Penulis? Aku menggeleng. Itu cita-citaku dulu waktu sekolah. Memang aku hobi menulis. Menyusun diari keseharianku. Menulis pengalaman-pengalaman suka-duka yang kualami atau dari kejadian yang menimpa teman-teman. Mengarang cerita lepas. Bikin puisi. Malah sempat coba-coba menciptakan lagu. Itu dulu. Setelah kenal kesibukan kerja, semua mimpi itu kutinggalkan. Aku tak melihat masa depanku di situ. Aku pilih menyibukkan diri dengan profesi yang kujalani. Pekerjaanku.

“Sebatas cita-cita, Met. Sekarang sibuk terus jadi nggak sempet nulis-nulis...”

“Wah... Sayang tuh. Kamu kan bakat banget menulis. Cerpen yang pernah kamu tulis dulu bagus. Cukup mewakili karyamu yang lain kayaknya,” tulis Metty.

Aku ingat, dulu aku sempat mengirim salah satu cerpen ke sahabat penaku ini. Berkisah tentang dua sahabat yang suka-duka selalu bersama. Lalu sahabat yang satu pergi jauh, tapi masih sering berkirim surat. Persahabatan tetap terjaga meski berjauhan. Metty waktu itu memujiku. Katanya cerpenku bagus sekali. Ia minta izin untuk menempelkannya di mading sekolahan dia. Aku bangga juga waktu itu. Karyaku terpampang di sekolahan lain yang jauh dari tempat tinggalku. Bahkan aku belum pernah ke sana sampai sekarangpun.

“Bakat tak tersalurkan, Met. Biarlah. Sekarang aku sangat malas menulis kok. Nggak semangat lagi seperti dulu.”

Sambil menunggu SMS balasan Metty, aku terbangkan lagi hayalan ke masa lalu. Dulu aku sangat bergairah berkarya. Cerpen yang kutulis di buku tulis tebal sudah ada beberapa judul. Diari sudah ganti berkali-kali karena halaman penuh. Tapi kini sebaliknya, aku jadi pemalas soal menulis. Ide bersliweran di benakku kubiarkan berlalu.

“Kenapa nggak coba kirim naskah-naskah lawas kamu ke majalah? Apalagi kamu di Jakarta, peluang nerusin menulis kan bagus,” Metty coba beri semangat.

Aku tersenyum miris. Malas berangan lagi. “Ntar-ntar mungkin kalau ada minat. Sekarang lagi nggak mood.”

“Kamu kok kayak nggak semangat gitu... Mana Jony yang dulu? Kamu dulu kan paling pintar motivasi orang...”

Aku mendesah berat. Metty benar, aku banyak berubah. Dulu hampir tiap Metty mengadukan problematika aku yang selalu menghibur dan memotivasi dia. Tapi apa sekarang? Semua berubah 180 derajat. Aku tumbuh jadi remaja rapuh. Gampang menyerah dengan kenyataan. Kalau melongok melihat kadar imanku, aku yakin tampak sekali aku makin parah. Sholat yang dulu kujaga rutin, bahkan waktupun kujaga agar selalu melaksanakan di awal waktu, tapi apa kini? Jangankan menjaga awal waktunya, sholatku sekarang banyak yang bolong! Wajar mungkin Metty merasakan perubahanku meski tak melihat langsung. Mungkin benar, sholat itu bisa tercermin di kehidupan, bahkan dalam bahasa tulisan pun.

“Aku bobrok, Met. Kalau kau tahu keadaanku, kau mungkin tak lagi kenal Jony yang dulu...,” SMS-ku.

Metty agak lama membalas, kali si kecilnya rewel. Kuketik lagi pesan, “Coba kamu kasih motivasi, aku lagi pusing banyak problem.”

“Emang kamu separah apa? Aku keki suruh kasih motivasi. Kan kamu yang canggih di bidang itu. Kalau banyak masalah, selalulah ingat Allah. Setelah kesukaran ada kemudahan...”

Aku terseyum membaca SMS itu. Ada haru... terasa mataku hangat. Hampir air mata leleh. Pasalnya, nasehat yang ditulis Metty adalah nasehat yang pernah kutulis dalam surat dulu waktu ia ada problem. Sama persis, tanpa perubahan. Dan kini ia membalikkan kalimat itu... untukku.

Aku nyaris tak sanggup membalas SMS itu. Tak lama menyusul SMS lanjutan, “Yakinlah, masalah kita tak akan diselesaikan orang lain, hadapi sendiri dan carilah pemecahannya. Percayalah, banyak sahabat yang ada di sampingmu.”

Metty! ‘Peternak tuyul’ itu menohokku...! Aku terpojok di ruangan kebuntuan, ia membalikkan semua kata-kata yang pernah kunasehatkan padanya! Sama persis, menjiplak total tanpa mengurangi dan melebihkan! Air mataku mengambang memenuhi kelopak mata dan nyaris tumpah! Ya Allaaah... Aku masih bisa menangis? Aku masih bisa meneteskan air mata?! Apa artinya hatiku belum benar-benar membatu? Robbii...

“Maaf ya, Jon. Aku nggak bisa bikin nasehat. Itu kata-katamu sendiri yang aku ingat betul. Jangan mengira aku menulis ini sambil melihat surat lawasmu... Nasehatmu ini kuhafal betul. Maaf kalau ingatanku kurang bagus...,” Metty tak menunggu aku membalas.

Badanku seakan bergetar. Tanganku seperti lemas tak sanggup mengetik pesan. Ingatanmu bagus, Met. Itu kata-kataku... Agak lama aku terpekur sendiri, sampai henponku berbunyi lagi, Metty menulis, “Waduh... Kamu nggak balas-balas? Marah ya aku mem-plagiat nasehatmu?”

“Nggak, Met... Aku cuma merasa tertohok dengan SMS-mu. Dulu seolah tanpa beban aku menulis itu... Kini nasehat itu kembali padaku. Aku malu sekali, Met. Malu...,” balasku segera, tak ingin sahabatku itu salah paham.

“Maaf ya kalau kamu tersinggung, aku nggak bermaksud begitu...”

“Nggak papa, Met. Aku malah berterima kasih kok. Aku hanya malu pada diri sendiri dan kamu...”

Aku kembali mencoba merenung. Kubuka lagi inbox membaca nasehatku yang ditulis ulang Metty. Semua gampang ditulis dan dibaca. Kini aku harus mengalami sendiri. Semua problematika di pundakku menumpuk. Ya Allah, aku hampir-hampir tak lagi percaya ada kemudahanMu di balik kesukaran yang Kau ujikan padaku. Masalah itu terlalu banyak dan menumpuk! Aku hampir tak yakin bisa menyelesaikan semua masalah ini sendiri. Imanku terlalu tipis.

Metty mengirim SMS lagi, “Nggak perlu malu padaku, Jon. Aku senang kamu menerima nasehatku.”

“Ya, Met. Makasih banyak.”

“Sebenarnya nasehat itu banyak berarti dalam hidupku, Jon. Sampai aku hafal sendiri kata-katamu itu. Kamu tahu, sekarang aku berjilbab lho. Saat kuliah aku sempat merenungkan semua nasehat dalam surat-suratmu. Kamu benar soal aurat wanita, kamu benar soal pacaran, kamu benar soal khalwat dan ikhtilat. Aku aktif di rohis kampus. Rahman mau mengerti tentang itu. Tapi hubungan kami sudah lama dan aku tak sampai putus dengan dia. Kami membatasi diri masing-masing. Sampai kuliah kelar dan aku kerja. Rahman akhirnya melamarku.” panjang sekali SMS-nya.

Kubaca berulang kali SMS itu. Ya Allah, Metty yang gaul itu kini berjilbab. Malah sempat aktif di rohis... Apa kata dunia jika aku ternyata sebaliknya sekarang. Aku hancur lebur! Aku ingat saat ia bangga bercerita tentang lagu-lagu kegemarannya. Ia paling senang lagu Melly Goeslaw, ia bilang teman-temannya menjulukinya Metty Goeslaw saking seringnya lagu komposer kondang itu dilantunkannya. Dan waktu itu aku bilang, aku suka lagu nasyid. Lagu islami. Ia sempat menertawakanku juga. Tapi kini, seiring perubahanku, lagu-lagu yang dulu kusebut jahili ternyata sekarang jadi lagu yang sering kuputar di CD Player. Lagu yang menghiasi playlist MP3 di henponku. Lagu yang menandai panggilan dan pesan masuk di telepon genggamku. Ah, aku terlalu jauh!

“Selamat atas kemenanganmu, Met. Kamu berubah ke arah yang baik. Kamu tahu, aku sebaliknya. Aku seperti bukan Jony yang dulu...”

“Dan semua belum terlambat, Jon. Kita masih ada kesempatan memperbaiki diri kok. Sebelum ajal kita datang...”

Itu nasehat murni dari Metty. Bukan plagiat kata-kataku.

“Ya, Met. Thank's ya. Akan kucoba perbaiki diri...”

“Nah gitu dong. Semangat lagi...”

Aku senyum. Semoga memang masih bisa aku perbaiki diri. Ternyata seorang sahabat lama sanggup membuatku merenung. Ya ampun, dari mana Metty tahu nomor henponku? Kan lama aku tak berkorespondensi lagi dengannya?

“Ngomong-ngomong dari mana kamu tahu nomor henponku?”

“Aku kemarin kirim surat ke alamat rumah kamu di Surabaya. Yang ngirim balasan adik kamu, dia ngasih tahu nomor henponmu. Alhamdulillah ketemu juga kamu lagi...”

Aku mengangguk.

“Ow gitu. Syukurlah. Dan kayaknya SMS-an kita cukup dulu deh. Besok sambung lagi. Ini SMS terakhir, pulsaku habis. Makasih ya.” kututup pesan setelah sadar pulsaku habis.

“Ya sudah. Insya Allah nanti nyambung lagi.”

Kemudian aku rebahkan diri di lantai. Kumatikan tivi. Kubaca lagi semua SMS Metty. Bisakah kuselesaikan semua masalahku sendiri? Masalah terlalu banyak! Masalah keuangan dengan seorang rekan kerja. Masalah gila dengan Tanti!!

Kali ini henponku berdering. Reff lagu Nidji rentak berkumandang. Di layar henpon kulihat tulisan, ‘Honey memanggil...’

‘Honey’-ku menelepon. Tanti menelepon. Ah, aku langsung merasa malas mengangkatnya. Tanti adalah satu masalah besar sendiri! Kubiarkan henponku berhenti sendiri tanpa memencet tombol hijau. Lalu berdering lagi...

Ingat nasehat Metty, atau nasehatku untuk Metty dulu, “Yakinlah, masalah kita tak akan diselesaikan orang lain, hadapi sendiri dan carilah pemecahannya.”

Hmm. Apapun, ini adalah masalah yang harus kuhadapi!

Kuangkat telepon dari Tanti. “Hallo...”

Suara Tanti berat dari seberang. Sambil menangis ia rupanya...

“Bapak marah besar! Bapak mau kandunganku digugurkan! Aku pusing...! Aku ingin mati saja, Jon...!”

Tanti... terbayang malam laknat itu!

Tanti... pacarku yang mengandung benih dariku!

***

Sidowayah, 8 Januari 2008
Buat Metty Dining Pangestuti, maaf ya aku pinjam nama dan sedikit kenanganku denganmu.


Kecelakaan (8)


KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 8

Om Teddy Syah dan Tante Mabruroh memohon pamit.

"Aku juga pamit," kata Nisa. "Laras sama Nining kan juga masih harus ke rumahku. Tadi terlanjur memulai mengerjakan tugas kelompok. Kayaknya harus dilanjut meski Uky nggak ikut."

"Iya, kita kerjakan bersama. Uky tidak usah ikut," sambut Nining.

Nisa, Laras dan Nining ikut bangkit berdiri. Mereka pun ikut pamit. Pakde Ikhtiar dan Mbak Nova menyalami mereka bersamaku. Tak lupa kuucapkan terima kasih pada mereka. Beruntung aku ya, Mas Suden, punya sahabat dan om tante sebaik mereka....

"Nah, sekarang Pakde juga mau pulang dulu," kata Pakde Ikhtiar.

"Pakde ikut-ikutan saja...," komentarku.

"Ada kesibukan yang harus Pakde kerjakan," kata Pakde Ikhtiar.

"Kesibukan apa, Pakde?"

"Biasa, rebahan," Mbak Nova yang menjawab, sambil tersenyum.

"Rebahan sambil nonton berita di televisi, Ky. Hiburan orang tua seperti Pakde ya cuma begitu," sambut Pakde Ikhtiar membela diri.

"Oh, rebahan itu termasuk kesibukan, ya, Pakde?" tanyaku. Pakde ada-ada saja, nih.

"Karena orang rebahan tidak bisa mengerjakan yang lainnya, jadi masuk kategori kesibukan, Ky," yang jawab Mbak Nova.

"Maksudmu Bapak tidak bisa kerja apa-apa kalau lagi rebahan, gitu, Nov?" Pakde Ikhtiar rupanya mengerti disindir anaknya.

"Lha Bapak kalau sudah asik rebahan di depan tivi kan memang begitu. Kerjaan rumah tidak satu pun yang dipegang."

Waduh, ini anak-bapak kayaknya lagi perang panas-dingin, Mas Suden. Gimana nih?

"Bapak kan juga butuh istirahat, Nov. Kalau lagi musim ke sawah, Bapak juga ke sawah. Ini saja lagi tidak ada kerjaan sawah, jadinya Bapak santai di rumah. Kamu tidak suka?" Pakde Ikhtiar malah terlihat marah.

"Maaf, Pak, Nova nggak maksud begitu, saya minta maaf, Pak. Bapak jangan marah sama saya, ya...," pinta Mbak Nova segera. Terlihat anak gadis Pakde Ikhtiar ini ketakutan dengan sikap bapaknya. Aku jadi serba salah, nih, Mas Suden.

"Terserah, Bapak mau pulang!" kata Pakde Ikhtiar dengan nada kesal. Lalu keluar dari ruang tamuku.

Mbak Nova memandangku. "Ky, maaf, ya, aku juga pulang dulu. Aku takut Bapak marah."

Aku hanya bisa mengangguk. Berdebar kencang hatiku. Kasihan Mbak Nova dengan sikap Pakde Ikhtiar. Satu sisi, Pakde Ikhtiar itu orangnya baik sekali. Sisi lain, kalau lagi marah membuat orang takut di dekatnya. Kalau Mas Suden suka marah-marah nggak? Jangan, ya, Mas. Kasihan anak-istri Mas Suden kalau Mas bersikap kasar. Eh, jadi kayak menggurui Mas Suden. Maafkan Uky, deh, Mas.

Sepeninggal Pakde Ikhtiar dan Mbak Nova, mendadak rumah ini terasa sepi. Kuambil remote dan menyalakan televisi. Mencoba mencari chanel yang acaranya bagus. Tapi tidak ada yang menarik.

Kumatikan lagi televisi. Aku beranjak masuk kamar. Tidur sajalah, perbanyak istirahat. Luka jahitan di lenganku terasa berdenyut. Menikmati pedihnya. Dalam kesendirianku. Oh, syahdu benar hidupku, ya Mas Suden....

Saat sejenak aku rebahan di kamar. Kudengar suara motor masuk pekarangan rumahku. Berhenti di halaman rumah. Siapa lagi yang datang, Mas Suden?

Tok! Tok! Tok!

"Permisi, kulanuwun!"

Terdengar pintu yang tidak kututup diketuk orang. Suara salam yang terdengar kasar di telinga. Siapa, sih, Mas Suden? Mas Suden tahu nggak siapa pemilik suara itu. Rasanya asing bagiku.

Aku lekas bangun. Keluar kamar secepatnya, karena ketukan pintu makin tidak sabar. "Permisi! Ada orang tidak, ya?"

Di ambang pintu kulihat dua orang lelaki bertubuh tegap dan tampang kasar. Mereka mengenakan jaket kulit hitam. Meski aku sudah menampakkan diri, mata mereka masih melongok-longok seperti mencari sesuatu.

"Siapa, ya? Ada perlu apa?" kuberanikan bertanya.

"Mana si Jabrik? Suruh keluar dia!" bentak salah seorang tamuku.

"Bapak tidak di rumah," jawabku dengan nada agak gemetar. Sikap mereka tidak bersahabat, Mas Suden....

"Kemana dia?" tanya tamuku itu.

"Jangan bohong, ya! Dia pasti di rumah!" bentak yang satunya lagi.

"Bapak sedang keluar. Pamitnya menghadiri acara nikahan teman Bapak."

Kedua tamu itu masuk. Dengan liar mata mereka melongok kesana-kemari mencari Bapak. Bahkan salah seorang berani membuka pintu kamarku dan pintu kamar lainnya. Mereka tidak percaya jawabanku.

"Ada nggak?" tanya tamuku yang berdiri di depanku. Dimaksudkan kepada temannya yang mengecek ke kamar.

"Semprul! Jabrik tidak ada!" jawab si penggeledah kamar.

"Saya sudah bilang, Bapak lagi pergi," kataku lekas. Berharap keduanya percaya dan segera enyah dari hadapanku.

"Baiklah. Aku percaya. Dia memang tidak di rumah ini. Nomernya aku hubungi tidak nyambung. Apa kamu punya nomer Jabrik yang lain?" tanya salah satu tamu itu padaku. Nadanya sangat tidak sopan sebagai seorang tamu.

Nomer Bapak? Wah... aku saja tidak tahu.

"Bapak ganti nomer dan aku tidak tahu."

"Ganti nomer? Beraninya dia ganti nomer!"

"Kartu lama hangus tidak bisa dipakai."

"Hahaha. Alasan saja si Jabrik itu. Kurang ajar!"

Aku tidak menjawab lagi. Ah, ada-ada saja kejadian hari Minggu kali ini.

"Kamu anaknya?"

Aku mengangguk.

"Sampaikan pesanku pada bapakmu kalau sudah pulang nanti. Secepatnya si Jabrik harus menemui Ibu Sovia! Jangan lupa, ya!"

Eits,
_Bersambung_

Kecelakaan (7)


KECELAKAAN 
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 7

Mbak Nova segera menghidangkan dua gelas teh manis hangat untuk kedua orangtua Nisa. Sementara untuk Pakde Ikhtiar dibawakannya segelas kopi kegemaran beliau. Mas Suden nggak usah minum, ya, nanti nambahin repot Mbak Nova.

"Nah, silakan diminum dulu. Setelah minum baru bercerita," kata Pakde Ikhtiar mempersilakan.

"Iya, Om dan Tante, silakan minum dulu. Untung ada Mbak Nova yang tulus membantu saya menyiapkan minum. Silakan, jangan sungkan, kayak saya kalau di rumah Om dan Tante," kataku segera.

"Iya, Pakde, Uky. Terima kasih Dik Nova. Ayo, Mas Tran, diminum dulu," suara Tante Mabruroh. Lantas meminum teh bersama sang suami.

Beberapa saat setelah keduanya menikmati teh seduhan Mbak Nova, Nisa yang sudah tidak sabar mulai bertanya, “Ayolah, Pak, Bu, segera ceritanya.... Kita sudah menunggu dengan gundah gulana, apakah harus menanti lagi lebih lama?”

“Iya, iya, Nisa Sayang. Soal kenapa Ibu ikut sama bapakmu, kan setelah kalian pergi ke puskesmas, saya menunggu kabar lewat handphone. Tapi lama sekali tidak ada kabar. Lalu saya telepon bapaknya Nisa ini. Eh, Mas Tran bilang lagi ke bengkel ngurus motornya Uky. Lalu saya minta dijemput mau ikut jenguk Uky ke sini.”

“Jadi ketika Bapak jemput Ibu ke rumah, yang nabrak Uky kabur dari bengkel gitu? Wah, itu namanya tidak bertanggung jawab. Seharusnya Bapak tidak boleh ceroboh begitu. Harusnya, Bapak menunggu sampai urusan selesai, baru menjemput Ibu,” sambar Nisa dengan dugaan-dugaannya. Dia memang pintar berhayal, Mas Suden. Sayang, apa saja dia hayalkan, padahal belum kelar cerita ibunya.

“Nisa, sabar dulu, jangan dipotong cerita Tante,” protes Nining di sebelahnya.

“Iya, tuh, kebiasaan!” tambah Laras.

“Nisa, kamu tahan dulu ngomongnya. Cerita belum selesai. Jangan suka menduga-duga seperti itu,” nasehat Om Teddy Syah.

“Iya, iya...,” sahut Nisa sedikit kesal juga.

“Sekarang dengarkan Mas Tran yang akan bercerita,” kata Tante Mabruroh sambil mempersilakan Om Teddy Syah agar meneruskan penjelasannya.

Kami pun terdiam, bersiap menerima penjelasan dari bapaknya si Nisa ini.

“Setelah kita pisah di puskesmas, ya sesuai rencana, saya sama Mas Zen yang nabrak Uky, menuju ke lokasi kecelakaan. Motor Uky diamankan di rumah warga terdekat. Kami ambil segera. Mesinnya nyala, hanya body rusak cukup parah. Untung ada bengkel dekat situ yang buka.”

Om Teddy berhenti sejenak. Disela dengan meneguk teh manis dulu sebelum melanjutkan. Beliau memang beda dengan Tante Mabruroh dan Nisa yang betah ngomong panjang lebar. Jadi wajarlah, baru cerita sedikit saja sudah harus dijeda minum.

Nisa hampir bersuara kalau tidak ditarik tangannya sama Nining. Nining memintanya bersabar. Nisa menurut.

“Motor dicek sama tukang bengkelnya. Saat itulah, Mas Zen berkata pada saya, bahwa dia mau pamit dulu.”

Tuh, kan... dia kabur?!” sambar Nisa tidak sabar dengan lambannya si bapak bercerita.

“Jadi bener cowok itu pergi begitu saja, Om?” tanyaku.

Om Tran alias Om Teddy Syah tidak langsung menjawab. Beliau mengeluarkan sesuatu dari saku baju. Lalu menaruhnya di atas meja. Selembar KTP.

“Dia berubah jadi KTP?” tanya Nisa tersentak. Lebay ini mah....

“Maksudnya apa ini, Om?” ikut bertanya Laras tidak sabar.

“Mas Zen pamit, katanya ada kepentingan yang mendesak sekali. Dia meninggalkan KTP sebagai jaminan bahwa ia bertanggung jawab.”

“Terus... terus... terus...?” Pakde Ikhtiar rupanya ikut penasaran.

“Buat apa dia ninggalin KTP?” tanyaku.

“Dia janji untuk perbaikan motor sama kontrol kamu, akan dibayarnya,” kata Om Teddy sambil memandang ke arahku. Aku mengangguk paham.

“Om percaya begitu saja?” tanya Laras.

“Justru karena Om tidak langsung percaya, makanya dia ninggalin KTP sebagai jaminan pertanggungjawabannya,” jawab Om Teddy.

“Kalau dia tidak kembali lagi bagaimana?” tanya Nining.

Tumben Nisa diam tuh. Mingkin memberi kesempatan yang lain untuk bertanya pada bapaknya.

“Tapi kalau Om lihat gelagat Mas Zen itu, kayaknya sih orangnya jujur. Mungkin memang sedang ada urusan yang tidak bisa ditunda. Ya sudah, Om terima KTP dia. Motor Uky ditinggal di bengkel mau dibenerin sama tukang bengkelnya. Lalu Om jemput ibunya Nisa. Terus kemari.”

Pakde Ikhtiar mengangguk-angguk. “Menurut saya, dia tetap akan kembali. KTP itu tidak sembarangan ditinggal-tinggal. Artinya, dengan meninggalkan KTP, maka dia akan kembali.”

“Benar juga pendapat Pakde,” Om Teddy setuju. “Untuk itu, KTP Om serahkan sama Uky.”

“Biar di meja situ, Om,” kataku.

“Mas Zen juga meminta alamat rumah kamu kok, Ky. Berarti memang ada itikad baik. Tidak usahn khawatir.”

Aku mengangguk. Pendapat Pakde Ikhtiar dan keterangan Om Teddy menurutku sih cukup untuk meyakinkan bahwa penabrakku memang bertanggung jawab. Benar, nggak, Mas Suden?

“Dan barang kali, kita tidak bisa berlama-lama di sini, Uky, Pakde Ikhtiar, Dik Nova....,” kata Om Teddy.

“Kalian mau pulang?” tanya Pakde Ikhtiar.

“Iya, Pakde. Yang penting Uky selamat, tidak harus dirawat di puskesmas. Saya sama Mas Tran mau pamit dulu,” sambung Tante Mabruroh.

“Ya sudah kalau begitu,” kata Pakde Ikhtiar. “Ada Nova yang bisa menemani Uky di rumah ini, sambil menunggu bapaknya pulang.”

_Bersambung_

Kecelakaan (6)


KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 6


"Assalamualaikum...," suara Tante Mabruroh di ambang pintu.

"Waalaikumussalam...," jawab kami hampir bersamaan.

Tante Mabruroh masuk disusul Om Teddy Syah yang selesai memarkir motor. Lihat, Mas Suden, pasangan serasi, kan? Satunya gagah satunya cantik. Om Teddy dan Tante Mabruroh. Baik-baik lagi orangnya.

"Bapak kok bisa sama Ibu?" tanya Nisa menyambut.

"Bisalah, kan suami-istri," sahutku berniat bercanda.

"Maksudku kok bisa kesini barengan? Bukannya tadi Bapak ke bengkel sama orang yang nabrak kamu, Ky. Seharusnya, secara logika kan Bapak tidak sedang bersama Ibu. Begitu maksudku, Uky. Kamu sakit masih aja suka gagal paham?!" semprot Nisa parah.

"Gitu, ya? Bener juga kamu, Nis...."

Tante Mabruroh langsung menyerbu ke arahku. "Uky, kamu tidak apa-apa, kan? Saya khawatir sekali sama kamu. Waktu dapat kabar kamu kecelakaan, saya cemas sekali. Sebenarnya mau ikut ke puskesmas bareng-bareng Mas Tran dan teman-teman kamu, eh, tidak dbolehin sama bapaknya Nisa. Suruh jaga rumah dulu katanya. Menunggu kabar dari mereka, saya was-was terus...."

Mas Suden kenapa senyum-senyum? Mendapati kata-kata berbaris-baris dari Tante Mabruroh? Hahaha. Tante Mabruroh memang begitu, Mas. Sekarang Mas Suden tahu kan, dari mana kebiasaan Nisa yang suka nyerocos panjang-lebar itu berasal?

"Saya tidak apa-apa, Tante Cantik...," sambutku. Ibu si Nisa ini lekas memelukku. Kujauhkan lengan dari sentuhannya agar tidak menyenggol lukaku.

"Syukurlah, Ky. Kata Mas Tran kamu luka-luka, mana yang sakit? Oh, tanganmu ini yang dijahit? Lututmu? Pasti sekarang terasa nyut-nyutan, ya? Kamu yang sabar, ya, semua ini adalah ujian dari Allah. Kalau kamu sabar, ini bisa menjadi penebus dosa-dosa kamu."

Aku mengangguk-angguk saja mengiyakan setiap penggal kata Tante Mabruroh. Sementara Om Teddy Syah menyalami Pakde Ikhtiar. Lalu duduk bergabung dengan semua yang hadir di ruang tamu ini.

Untunglah, tidak berapa lama kemudian, Tante Mabruroh sudah bisa memahami keadaanku. Beliau lekas menyalami Mbak Nova, juga Pakde Ikhtiar.

"Ini bapak dan ibunya si Nisa, ya?" tanya Pakde Ikhtiar.

"Iya, saya yang mengandung melahirkan Nisa. Dan Mas Tran ini bapaknya Nisa yang sangat saya cintai. Nama Nisa yang ngasih bapaknya itu, Pakde. Sebenarnya saya mau kasih nama Isnaini, tapi kata Mas Tran tidak boleh. Mas Tran bilang Isnaini itu artinya dua, wong Nisa ini anak pertama kami, jadi ya tidak pas kalau diberi nama Isnaini. Saya manut saja akhirnya anak kami dinamai Annisa."

Pakde Ikhtiar mengangguk-angguk. "Annisa itu kan artinya sangat bagus, dan cocok buat nama anak pertama sampeyan berdua."

"Pakde tahu artinya?" tanya Tante Mabruroh lekas.

"Ya, tahu, lah. Biar anak gadisku yang menjelaskan. Nov, kamu jelaskan arti nama Annisa ke beliau coba. Masak harus Bapak langsung yang menjelaskan. Kan ada kamu mewakili Bapak."

Mbak Nova mesam-mesem melihat obrolan bapaknya dengan Tante Mabruroh. "Bapak saja yang jelasin," kata Mbak Nova lekas.

"Kamu saja, Nov. Kamu kan perempuan, jadinya bisa menjelaskan nama perempuan dengan baik."

"Nah itu, Bapak tahu, arti nama Annisa," sahut Mbak Nova.

"Kamu itu disuruh jelasin kok malah muter-muter," kesal Pakde Ikhtiar.

"Benar, Pakde," malah Tante Mabruroh yang menanggapi. "Annisa memang artinya perempuan, Pakde. Ternyata Pakde paham juga arti nama berbahasa Arab, ya. Pakde keren...."

Pakde Ikhtiar baru sadar kalau tidak sengaja telah menyebutkan arti nama Annisa. Bahkan beliau tidak menyangka kalau Annisa itu artinya perempuan. Lihat Mas Suden, Pakde Ikhtiar senang sekali dibilang paham arti nama berbahasa Arab, padahal kebetulan saja itu. Hehehe.

"Ya, saya sedikit-sedikit juga ngerti bahasa Arab. Nama saya saja pakai bahasa Arab, Ikhtiar. Tahu kan artinya?" Pakde malah membahas nama beliau.

"Apa artinya, Pakde?" aku coba bertanya.

"Ikhtiar itu artinya usaha. Kalian baru tahu?"

"Wah, Pakde memang keren. Serba tahu arti nama berbahasa Arab. Nisa salut sama Pakde," suara Nisa. Tidak sabar rupanya dari tadi dia diam saja.

"Silakan duduk, biar Nova bikinkan minum," kata Pakde Ikhtiar mempersilakan Om Teddy dan Tante Mabruroh. Lalu memberi kode Mbak Nova agar segera ke dapur. Sambil tangan beliau mengulurkan gelas kopinya yang sudah habis. Maksud hati agar Nova mengganti dengan kopi baru.

"Tidak usah repot-repot, Pakde," kata Om Teddy Syah sungkan.

"Tidak repot, kok. Nova itu anak gadis saya, rumah kami di sebelah, jadi tetangga paling dekat sama Uky. Kami sudah kayak keluarga sendiri," kata Pakde Ikhtiar menjelaskan, meski tidak ada yang bertanya.

Om Teddy mengangguk-angguk.

"Pak, Nisa tadi perasaan nanya kenapa Ibu bisa datang bareng Bapak, deh. Kok belum ada yang jawab? Kan Nisa penasaran. Terus, cowok yang nabrak Uky mana? Kabur dia? Bukannya tadi ke bengkel sama Bapak?" suara Nisa mempertanyakan pertanyaannya yang masih membuatnya bertanya-tanya dengan sederet tanya.

"Iya, Om, saya juga penasaran," Nining ikut bersuara.

"Apa benar cowok itu kabur?" menambahkan tanya si Laras.

"Sebentar, biar beliau berdua minum dulu baru menjelaskan," Pakde Ikhtiar yang bicara. Lalu berseru ke arah dapur, "Nov, teh hangatnya mana? Buruan, ya, dan jangan lupa gelas Bapak."

"Iya, iya, Pak. Ini tinggal angkat," sahut Mbak Nova.

Nah, tak terasa sudah harus nulis kata 'bersambung' nih, Mas Suden....

_Bersambung_

Kecelakaan (5)


KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 5


Aku sempat terlelap beberapa saat, Mas Suden. Tapi suara canda Nisa yang mengobrol dengan Pakde Ikhtiar sempat mengusik ke alam bawah sadarku. Kubuka mata, terlihat olehku Mbak Nova menunggui di kamar.

"Mbak Nova di sini dari tadi?" tanyaku merasa tidak enak hati.

"Iya, Ky. Nggak tega saja lihat kamu sakit berbaring sendirian," jawab Mbak Nova sambil tersenyum. Duh, jadi teringat kasih-sayang seorang ibu. Kalau ingat Ibu aku jadi sedih, Mas Suden.

"Terima kasih, Mbak. Aku sudah terbiasa sendirian. Aku malah takut bikin repot Mbak sama Pakde."

"Kamu tuh sudah kayak adikku sendiri, Ky. Rasanya nggak tega lihat kamu begini."

"Mbak Nova bikin aku terharu. Terima kasih atas perhatiannya, Mbak."

Mbak Nova senyum lagi. Cantik sekali, ya, Mas Suden. Senyum tulus dari gadis sederhana yang menyejukkan. Senyum yang bisa menginspirasi para pujangga untuk menggubah syair. Mas Suden nggak minat bikin puisi tentang senyumannya? Hahaha, bercanda, Mas. Aku tahu puisi Mas Suden berantakan kok!

"Kamu mendadak lebay, Ky. Tumben saja seorang Uky bawa-bawa perasaan."

Aku tersenyum dengar komentar Mbak Nova itu. "Aku pengin keluar, Mbak. Rasanya lebih nyaman ngobrol sama sahabat-sahabatku dari pada tiduran begini."

"Ya sudah, kita gabung sama mereka. Bapak sedari tadi asik saja sama sahabat-sahabatmu itu. Dengerin tuh, guyonan mereka tak habis-habis."

Aku bangun. Duduk sebentar. Baru kemudian berjalan agak tertatih didamping Mbak Nova. Lututku serasa kaku dan perih.

Melihat aku muncul, Nisa langsung berdiri menyambut. "Eh, kamu nggak tidur saja, Ky? Hati-hati jalannya. Aturan kamu istirahat saja. Kan orang sakit itu sebaiknya banyak-banyak tidur, bukan malah gabung ngobrol kemari. Lagian kan kamu habis minun obat, biasanya habis minum obat bawaannya mengantuk."

"Mana bisa tidur, suaramu memenuhi jagad begitu, Nis," komentar Nining sambil tertawa kecil.

"Nggak apa-apa. Enakan gabung mengobrol di sini. Canda kalian kan penyembuh duka dan lara," kataku sambil mencoba mengajak bercanda.

"Betul juga, Ky. Apalagi suara merduku, bisa menawarkan segala racun. Bahkan kalau aku bernyanyi, maka akan banyaklah pendengar yang tenteram hatinya," kata Nisa dengan nada serius.

"Yang benar? Suaramu begitu berkhasiat?" Pakde Ikhtiar yang menanggapi dengan kagum.

"Halah, Pakde, jangan dianggap serius si Nisa mah. Dia cuma bercanda, kok," Laras mencoba menyadarkan Pakde Ikhtiar, agar tidak terkena pengaruh kata-kata Nisa lebih dalam.

"Tapi bener lho. Apalagi yang soal menyanyi, kalian bisa membuktikan. Mau lagu apa? Lagu Indo, luar, atau soundtrack drama korea. Pilih saja akan kunyanyikan."

"Tidak, tidak usah, Nis. Kami percaya saja, nggak perlu nyanyi di sini!" cegah Nining segera.

"Nyanyi satu lagu saja bolehlah, Nis," pinta Pakde Ikhtiar.

"Aduh, nggak usah lagi, Pakde. Bisa kacau dunia!" cegah Laras.

"Pakde minta lagu apa?" tanya Nisa bersemangat.

"Wuyung bisa?" tantang Pakde Ikhtiar.

"Wuyung itu penyanyi apa judul lagunya, Pakde?" Nisa kernyitkan dahi.

"Hahaha. Iya, deh, kalau nyanyi Wuyung, aku mau ikut dengerin," Laras menanggapi sambil tertawa.

"Emang kamu tahu lagunya, Ras?" Nisa menoleh Laras.

"Bapak ini ada-ada saja," suara Mbak Nova. "Sudahlah, Nis. Dikerjain Bapak kamu. Anak zaman sekarang mana tahu lagu Wuyung...."

Lihat, Mas Suden, Nisa malah kebingungan dengan tantangan lagu dari Pakde Ikhtiar. Mas Suden tahu nggak lagu Wuyung? Kalau Nisa yang nggak tahu wajar, kalau Mas Suden yang nggak tahu, namanya kebangetan!

"Kalau nggak bisa ya sudah, tidak apa-apa. Pakde cuma ngetes, kamu tuh tahu apa tidak lagu Jawa," kata Pakde Ikhtiar sambil menyeruput kopi tetes-tetes terakhir.

"Pakde mah gitu... ngerjain Nisa, ya?" Nisa cemberut lucu. Kami malah tertawa melihatnya. Nisa memang selalu menyegarkan suasana. Selalu betah berada di dekatnya.

Obrolan kami berhenti sejenak saat terdengar suara motor masuk ke halaman rumahku, lalu berhenti. Kami lekas menengok ke luar lewat pintu yang tak tertutup. Rupanya yang datang bapaknya si Nisa.

“Om Teddy datang tuh,” Laras yang bicara.

“Laras, berapa kali harus kuperingatkan agar tidak memanggil bapakku begitu?!” suara Nisa dengan nada tegas.

Laras baru sadar salah bicara. “Maaf, Nis. Maksudku Om Tran. Maaf, maaf, maaf!”

Aku menahan tawa melihat tingkah Laras. Memang begitu, Mas, jangan sampai memanggil bapaknya si Nisa dengan nama Teddy Syah. Semirip apapun, beliau tetaplah Om Tran, bukan artis.

Nisa segera menyambut bapaknya. Rupanya beliau tidak sendirian. Om Teddy datang bersama istrinya. Mas Suden kenal belum sama istri Om Teddy Syah? Namanya Tante Mabruroh, Mas Suden. Beliaulah yang melahirkan Nisa, ibu kandung Nisa.

Oh, ya, Mas. Soal nama Teddy Syah itu memang ada sejarahnya. Cukup unik menurutku. Dan kisah ini pun kami dengar langsung dari Tante Mabruroh. Mas Suden pengin tahu nggak?

Waktu itu, awal-awal kami sering belajar kelompok di rumah Nisa, Tante Mabruroh pernah bercerita tentang masa mudanya. “Saya waktu belum nikah sangat mengagumi sosok Teddy Syah. Mungkin kalian tidak begitu familiar atau paham tentang dia. Dia artis lho, ya... ngetrend zaman saya. Sampai-sampai saya sering mimpi menikah dengan Teddy Syah,” begitu dulu Tante Mabruroh mengawali bercerita.

Tante Mabruroh melanjutkan, “Keinginan kuat itu bahkan saya panjatkan dalam doa-doa. Tiap selesai salat lima waktu atau pun di sujud-sujud salat malam, selalu saya minta sama Allah agar dijodohkan dengan Teddy Syah. Lucu, ya? Saya sendiri tidak habis pikir kenapa saya sampai sebegitunya waktu itu.”

Mas Suden tahu nggak, ternyata doa itu sangat berperan dalam hidup ini. Sebagaimana Tante Mabruroh melanjutkan kisahnya ketika itu. “Percaya tidak percaya, akhirnya saya berkenalan dengan Mas Tran, yang sekarang jadi bapaknya Nisa itu. Kalian lihat, sangat mirip sekali dengan Teddy Syah. Makanya, saya iyakan saja saat Mas Tran mengajak berumah tangga. Luar biasa, bukan? Ini kuasa Allah....”

Kami sempat kagum juga dengan kisah cinta itu. Menurut Mas Suden, salahkah kami latah memanggil bapaknya Nisa dengan sebutan Om Teddy Syah? Wajar, kan? Tapi Nisa tidak terima hal ini. Ia selalu marah kalau kami keceplosan.

Eh. Lewat 900-an kata, Mas Suden. Sudah dulu, ya. Lanjut ke bagian 6 aja nanti.

_Bersambung_

Kecelakaan (4)


KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 4


Lihat Mas Suden, Om Teddy Syah sudah selesai berembuk dengan penabrakku. Beliau mendekati kami.

"Syukurlah, Uky tidak harus dirawat inap. Sekarang boleh dibawa pulang."

"Alhamdulillah, kalau begitu ayo kita antarkan," sambut Laras bersemangat.

"Lalu bagaimana urusannya dengan yang menabrak, Pak? Enak dong kalau dia lepas tangan begitu saja. Uky yang cedera, sementara dia tidak kenapa-napa. Sekarang Uky kita bawa pulang, dia juga pulang? Begitu saja selesai, Pak?" tanya Nisa tanpa sungkan. Di depan penabrakku pula.

"Nisa, kamu tidak perlu memikirkan itu. Bapak sudah bicara sama Mas Zen," sahut bapaknya Nisa segera. "Oh iya, nama orang yang menabrak Uky adalah Zaini, panggilnya Mas Zen."

"Ya harus mikir dong, Pak. Uky sahabat Nisa. Nisa harus campur tangan dengan permasalahan ini."

"Sudahlah, Nis," kataku. "Kamu tidak perlu begitu juga. Bapakmu lebih paham mengurusi masalah ini."

"Mas Zen mengakui kecelakaan ini adalah kesalahannya. Makanya, dia bertanggung jawab untuk pengobatan Uky," Om Teddy Syah mencoba memberikan penjelasan.

Nisa mulai bisa tenang, Mas Suden. Tapi mendadak ada saja yang ia ingat. "Lalu? Bagaimana dengan motor Uky? Kata Uky lumayan kerusakannya? Pokoknya, dia juga harus memperbaikinya."

"Tentu saja, Nis. Kamu tenang sajalah. Semua sudah Bapak bicarakan sama Mas Zen," kata Om Teddy pula. Sebenarnya beliau sudah terbiasa dengan sikap Nisa yang begini ini, tapi terlihat juga agak kesal beliau karena Nisa tidak berhenti bertanya-tanya.

"Maaf, ini ada obat yang harus diminum Dik Uky nantinya," suara petugas medis dari meja kerjanya. Om Teddy mendekat ke sana. Menerima segepok obat yang harus kukonsumsi nanti.

"Tiga hari lagi, Dik Uky kontrol kemari, ya...," terdengar kata-kata petugas medis itu pada Om Teddy.

Petugas medis yang satu lagi membantuku duduk. "Tidak apa-apa. Luka sudah diobati. Ini nanti bisa langsung pulang," katanya.

Penabrakku yang kata Om Teddy bernama Mas Zen itu mendekati meja kerja IGD untuk membayar tagihan pengobatan. Baguslah kalau benar dia bertanggung jawab pengobatanku dan perbaikan motorku.

Om Teddy mendekatiku. "Uky, kamu bisa jalan pelan-pelan, kan?"

Aku mengangguk. Untung juga ada Om Teddy Syah ya, Mas Suden. Jadi ingat Bapak. Beliau sedang ke Wonogiri. Mana nomer handphone Bapak belum kusimpan pula. Sudahlah, yang penting aku selamat. Toh ada sahabat-sahabatku di sini.

"Nisa, Laras, dan Nining, kalian bisa mengantar Uky ke rumah, kan?" tanya Om Teddy.

"Bisa, Om," jawab Laras mewakili.

"Bapak mau kemana?" tanya Nisa.

"Bapak sama Mas Zen mau ke lokasi kecelakaan. Mau ambil motor Uky dan membawanya ke bengkel."

"Terima kasih banyak, ya Om, sudah merepotkan," kataku jadi sungkan.

"Tidak ada yang repot, Uky. Ayolah, kamu pulang sama mereka. Nisa biar dibonceng Laras. Kamu naik motor bersama Nining."

Kami segera berpamitan pada petugas IGD. Tentu tak lupa berterima kasih atas kecekatan mereka merawat lukaku. Mas Suden, aku jadi terharu juga sama kebaikan Om Teddy dan para sahabatku. Saat-saat seperti ini mereka sangat berarti. Beberapa saat kemudian, kami sudah meninggalkan puskesmas.

Sesampainya di rumahku, beberapa tetangga melihat tanganku yang diperban dan kedatanganku yang diantar teman-teman, mereka langsung ambil peduli.

"Uky kenapa? Jatuh?" tanya Pakde Ikhtiar, tetangga sebelah, yang langsung membantuku berjalan menuju pintu masuk.

"Iya, Pakde. Tapi nggak apa-apa, kok," kataku.

Selain Pakde Ikhtiar, datang juga Lek Rouf, Mbah Heru, dan beberapa tetanggaku yang lain. Mereka langsung menyerbu dengan pertanyaan-pertanyaan. Biasalah, di kampung begini, tetangga memang sangat perhatian. Beda dengan di kota yang saling cuek dengan keadaan orang lain.

"Bapakmu kerja, Ky?" tanya Mbah Heru. "Mbok ditelepon biar pulang."

"Libur, kok, Mbah. Tadi pergi ke hajatan teman di Wonogiri," jawabku.

"Sudah kamu kabari, Ky?" tanya Lek Rouf.

"Belum, Lek. Bapak ganti nomer, saya malah belum menyimpannya."

"Ya sudah, yang penting kamu selamat. Buat tiduran saja di kamar, ya," saran Pakde Ikhtiar.

"Iya, Pakde."

Aku dibaringkan di kamarku. Mbak Nova, anak Pakde Ikhtiar yang baru muncul lekas ke dapur membuatkan minum untukku. Mbak Nova memang terbiasa dengan keluargaku. Sama seperti tetangga yang lain, sih.

Nisa, Nining, dan Laras duduk di ruang tamu. Mereka terlibat obrolan dengan para tetangga yang penasaran dengan kecelakaan yang aku alami. Jadi berasa sekali ya, Mas Suden, suasana solidaritas yang ditunjukkan semua orang. Meski bukan saudara, tapi tetangga adalah orang-orang dekat yang selalu ambil peduli pada keadaan kita.

"Uky, minum dulu tehnya," kata Mbak Nova.

"Iya, Mbak. Makasih."

"Mbak mau bikinkan minum juga buat teman-temanmu itu."

Aku mengangguk.

"Sama bikinkan aku kopi, Nov," Pakde Ikhtiar yang duduk di sisi ranjangku yang berkata.

"Bapak ngopi di rumah sajalah," protes Nova.

"Nggak apa-apa lagi, Mbak," aku menyahut. Pakde Ikhtiar memang sangat suka minum kopi. Apalagi kalau lagi ngobrol malam sama Bapak. Betah banget asal ada kopi.

"Sama ambilkan nasi buat Uky. Buat lambaran minum obat."

Begitulah, Mas Suden. Pakde Ikhtiar sama Mbak Nova sudah kayak keluargaku saja. Mbak Nova membuatkan teh untuk Nisa, Nining, dan Laras. Lalu masuk ke kamar membawakan kopi buat Pakde Ikhtiar, dan nasi untukku. Mbak Nova memaksaku menelan nasi dulu sebelum meminumkan obat yang kubawa dari puskesmas.

Setelah memastikan aku baik-baik saja, para tetangga berpamitan. Tinggal Mbak Nova dan Pakde Ikhtiar menemani ketiga sahabatku. Aku mendadak mengantuk setelah minum obat.

Kecelakaan (3)


KECELAKAAN
Suden Basayev
Cerita Bersambung bagian 3


"Dik, maaf, ya, Dik. Kamu bisa bangun? Ayo, kita segera ke puskesmas."

"Iya, bawa ke puskesmas segera! Kasihan, luka-luka begitu."

Mas Suden, aku bisa duduk. Syukurlah. Meski sakit sekujur badan rasanya. Orang yang menabrakku sudah bangkit dari tadi, dia tidak cedera kayaknya, Mas. Malah dia membantuku berdiri sekarang. Ternyata aku pun bisa berdiri. Lututku sakit, pastilah membentur aspal. Dan ada darah mengalir di lengan kiriku.

Penabrakku seorang lelaki muda bertubuh jangkung, perawakannya kurus. Tidak kulihat ia merasakan kesakitan. Bahkan motornya sudah didirikan. Aku merintih perih. Dia membimbingku naik ke atas motornya. Aku menurut saja.

"Dik, kamu bisa pegangan, kan?" tanyanya. Aku mengangguk.

Kulihat motorku sudah didirikan. Ada kerusakan cukup parah pada body motor. Tapi saat di-starter salah satu pengerumunku, mesin masih menyala.

"Pak, tolong titipkan motornya ke rumah warga terdekat. Saya bawa gendhuk ini ke puskesmas dulu biar lukanya dirawat," pinta penabrakku.

"Iya, Mas. Ini kunci motornya, sama tasnya dibawa ke puskesmas saja."

"Iya, Pak. Terima kasih."

Jadilah aku membonceng laki-laki yang menabrakku menuju ke puskesmas Weru yang memang tidak terlalu jauh dari lokasi kecelakaan. Sial amat nasibku, Mas Suden. Semoga lukaku tidak ada yang serius, ya, Mas....

Motor sudah berbelok masuk puskesmas. Langsung ke arah gedung IGD. Dua orang tukang parkir membantuku turun, dan langsung memapahku masuk ruang IGD. Aku dibaringkan di ranjang yang tersedia.

Penabrakku langsung menemui petugas medis yang berjaga. Tidak lama kemudian, dua orang petugas medis mendekatiku. Langsung melihat lukaku. kuperlihatkan lenganku yang berdarah. Dengan cekatan lukaku dibersihkan. Rupanya kulit lenganku sobek dan harus dijahit. Aah....

"Minum, Dik...." Suara lelaki yang menabrakku. Cepat sekali dia sudah membawa segelas teh hangat yang dipesan dari kantin depan IGD. Aku menurut saja, menyeruput hangat dari sedotan.

Kejadiannya seperti cepat sekali, Mas Suden. Tidak menyangka aku mengalami kecelakaan. Dan kini di ruang IGD, luka lenganku dijahit. Lututku dibersihkan darahnya. Syukurlah, tidak ada yang benar-benar serius.

"Dik, ada nomer keluarga yang bisa dihubungi?" tanya penabrakku.

"HP di tasku...."

Lelaki itu mengulurkan tasku. Lekas kuambil androidku. Ya ampun, Mas Suden, aku tidak menyimpan nomer baru Bapak. Lalu siapa yang harus kuhubungi?

Notifikasi WhatsApp. Pesan dari Laras. "Sampai mana, Uky?"

Tampaknya aku harus menghubungi Laras. Dia pasti sudah di rumah Nisa bersama Nining. Lekas kusentuh logo telepon WhatsApp.

"Hallo, Ky...," suara Laras di seberang sana.

"Ras, aku tabrakan. Ini lagi di puskesmas. Kalian kesini ya, segera."

"Heh? Serius?"

"Iyalah, masak aku bohong. Buruan ya...!"

Usai menutup panggilan. Lelaki penabrakku yang berdiri di dekatku bertanya, "Masih ada luka lain nggak, Dik, selain lengan dan lutut?"

Aku menggeleng.

"Alhamdulillah. Maafkan saya ya, Dik, semua kesalahan saya."

Aku diam saja. Mendadak aku merasa sebal juga. Teringat dia naik motor sambil mainan handphone.

"Minum lagi tehnya, Dik...."

Aku menggeleng.

Petugas medis mendekat. "Sudah, tidak ada yang serius. Luka-luka luar saja. Hanya lengannya yang dijahit harus dirawat dengan baik."

Syukurlah, Mas Suden, ya.... Ingat rasanya waktu kejadian tadi, kupikir parah benar lukaku. Kata-kata petugas IGD ini cukup melegakanku.

"Minta data diri pasiennya. Nama sama alamat?"

Segera kusebutkan namaku. Juga alamat rumah, serta beberapa pertanyaan lain yang diajukan petugas itu.

Beberapa saat kemudian, terlihat Laras, Nisa, dan Nining tiba. Mereka muncul bersama Teddy Syah. Mas Suden kenapa kaget? Teddy Syah? Hahaha. Maksudku bapaknya si Nisa. Aku, Laras, sama Nining sering menyebut beliau sebagai Teddy Syah, soalnya wajah beliau memang mirip sekali sama artis satu itu. Lihatlah, Mas Suden, benar mirip kan, bapak si Nisa sama suami Rina Gunawan itu? Tapi Mas Suden jangan sebut nama Teddy Syah di depan Nisa, ya. Nisa suka marah-marah bapaknya disama-samain dengan artis.

"Ya ampun, Uky... kenapa bisa begini?! Tanganmu... sama lututmu? Sakit sekali, ya? Kasihan sekali Uky...!" suara Nisa. Ah, dia mah suka lebay gitu. Mana suaranya nggak bisa pelan lagi.

"Nggak apa-apa, kok, Nis. Sudah diobati, tenang saja," kataku segera, agar Nisa tidak makin menjadi celotehannya.

"Kamu tabrakan sama siapa? Mana orangnya? Tega sekali dia nabrak kamu?"

Ah, Nisa, nanya pelan saja kenapa, sih! Mana berderet gitu pertanyaannya. Padahal yang orang ditanyakannya berdiri tak jauh darinya.

"Maaf, Dik. Saya tidak sengaja menabrak Dik Uky ini...," penabrakku yang menjawab pertanyaan Nisa. Nisa langsung menolehnya.

"Mas ini, bisa-bisanya nabrak sahabatku! Kasihan kan jadi begini?" labrak Nisa tanpa babibu. Nisa memang begini orangnya, Mas Suden. Tapi ini juga bentuk rasa kesetiakawanannya, rasa solidaritasnya untukku. Ya, meski harusnya nggak perlu heboh begitu juga, sih.

"Nisa, sudah. Kamu diam saja. Biar Bapak yang ngurusi," suara berwibawa Teddy Syah yang akhirnya mendamaikan suasana, meredakan letupan Nisa.

Bapaknya Nisa segera menyalami penabrakku. Lalu mengajaknya agak menjauh dari kami. Giliran Nining dan Laras yang berebut mendekatiku. Melihat lukaku lebih dekat.

"Bagaimana kejadiannya, Uky?" tanya Nining.

"Cowok itu naik motor sambil mainan HP, Ning. Begitulah, dia tidak melihatku. Tabrakan deh."

"Beneran kamu baik-baik saja?" Laras bertanya.

Aku mengangguk. "Sorry, ya, Ras. Alakatakmu tumpah di jalan."

"Ya ampun, Ky. Itu mah nggak penting. Yang penting kamu selamat. Alakatak kamu pikirin."

Mas Suden, cukup dulu ya. Lukaku terasa nyut-nyutan nih. Kita lanjut lagi nanti di bagian empat, ya.