Coretan Basayev: Oktober 2017

Sudah Registrasi Ulang SIM Card Anda?



Pernah dapat SMS cinta dari Kominfo yang isinya: "Per 31 Okt 2017, pelanggan wajib registrasi ulang nomor prabayar dengan validasi Nomor Induk Kependudukan dan No. Kartu Keluarga."?

Dan hari ini adalah 31 Oktober 2017! Apakah Anda sudah ngestokaken dawuh Kominfo tersebut? Sudahkah Anda registrasi ulang kartu SIM Card prabayar?

Sampai 29 Oktober kemarin, menurut data dari Dirjen Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Ahmad M. Ramli menyatakan sudah ada satu juta nomor pelanggan prabayar yang sudah registrasi ulang dengan NIK dan nomor KK. (inet.detik.com)

"Saya lihat, pelanggan telkomsel paling banyak yang sudah registrasi ulang," kata Ramli.

Lalu bagaimana sih cara registrasi ulangnya? Gampang sekali kok. Cukup melalui SMS.

Untuk pelanggan lama, silakan menulis pesan ke 4444. Format penulisan untuk kartu Indosat, Smartfren, dan Tri adalah: ULANG#NIK#No.KK#, sementara untuk kartu XL dengan format: ULANG#NIK#No.KK, dan Telkomsel formatnya: ULANGNIK#No.KK#

Sementara pelanggan baru (kartu perdana), caranya sama, SMS ke 4444, formatnya NIK#No.KK# untuk Indosat, Smartfren, dan Tri. Lalu Daftar#NIK#No.KK untuk XL. Dan untuk Telkomsel RegNIK#No.KK#

Mudah bukan? Tapi mengapa masih banyak yang enggan registrasi ulang? Biasa, warga kita memang kebanyakan menyepelekan hal-hal seperti ini. Tapi tenang saja, registrasi ulang ini memang secara resmi dimulai hari ini, 31 Oktober sampai 28 Februari 2018, kok.

Lalu apa yang terjadi jika kita mengabaikan semua ini? Apakah yang akan dialami oleh kartu prabayar kita?

Jika sampai batas waktu tanggal tersebut (28 Februari 2018) belum registrasi, maka akan diberi waktu perpanjang 15 hari. Bila masih juga belum registrasi, maka akan diblokir layanan panggilan keluar dan SMS keluarnya.

Jika belum insyaf juga? Maka seluruh layanan, termasuk data internet, akan diblokir oleh operator. Nah, bagaimana? Masih mau coba-coba abaikan SMS cinta dari Kominfo?

#sayajugabelumregistrasiulang

Panembahan Podo


Pangeran Jayasabha dan selusin prajurit khusus yang ia bawa menunggu di pendapa padepokan. Siang yang tanpa matahari, mendung gelap yang tak bersahabat, dipadu hembusan angin pegunungan yang menggidikkan. Wedang jahe hangat yang disajikan para cantrik sudah ludes sedari tadi, yang masih sisa dalam cangkir pun sudah dingin.

"Keparat, lama sekali Panembahan Podo itu?!" terdengar makian sang pangeran. Kentara sekali ia sudah tidak sabar menunggu.

Melihat kegusaran junjungannya, seorang prajurit lekas berseru pada salah satu cantrik yang lewat. "Cantrik, mengapa panembahanmu belum juga keluar? Apa dia tidak tahu siapa tamunya?!"

Cantrik yang dimaksud lekas mendekat. Mengaturkan sembah. "Ampun, Tuan. Panembahan akan segera keluar. Beliau sudah menyelesaikan puja semadi."

"Kalau bukan atas perintah langsung Ayahanda Prabu Kertajaya, tidak sudi aku menunggu selama ini. Menyingkirlah dari hadapanku, jengah melihat tampangmu!" Pangeran Jayasabha menghardik. Cantrik itu lekas beringsut pergi dengan muka pias.

"Gusti Pangeran, apa tidak sebaiknya kita masuk ke ruang dalam padepokan saja? Hamba curiga, jangan-jangan panembahan itu sengaja berlama-lama, menyepelekan kedatangan kita...."

Pangeran Jayasabha menatap prajurit di depannya. "Usulmu cukup masuk akal. Ayo, kita masuk saja!"

"Jangan, Tuanku. Biarkan panembahan yang keluar menemui Tuan-Tuan," seorang cantrik separuh baya mencoba menahan.

"Jangan coba-coba melarang!" sentak prajurit yang tadi memberi usul, sambil mendorong cantrik itu hingga terjengkang jatuh. Beberapa cantrik mendekatinya, membantu bangun.

Tapi belum sempat mereka melangkah masuk, keluarlah Panembahan Podo. "Maafkan jika saya membuat Tuan-Tuan berlama menunggu. Saya Podo yang Tuan cari. Silakan kembali duduk di pendapa."

Pangeran Jayasabha sesaat tercenung. Ditatapnya orang yang baru saja muncul itu. Dalam bayangannya, Panembahan Podo pastilah sudah tua, tapi yang ada di hadapannya adalah seorang yang masih muda, bisa jadi seusia dengannya. Penampilannya yang mengenakan pakaian serba putih, serban melintang di dadanya, juga kain penutup rambut kepala yang juga putih, meyakinkannya bahwa pemuda itu yang dia cari.

"Benarkah aku berhadapan dengan Panembahan Podo?" tanya sang pangeran menghilangkan keraguan.

"Saya memang yang Tuan maksudkan. Saya Podo, pemilik Padepokan Kentang Sastra ini. Silakan duduk, biar para cantrikku mengambilkan lagi minuman hangat."

Pangeran Jayasabha terpaksa menurut saja. Keduanya duduk bersila di balai pendapa. Sementara selusin prajurit khusus berjaga di sekitar mereka. Beberapa cantrik datang membawa minuman hangat dan makanan ringan yang semua berbahan dasar kentang.

"Sambil diminum, Tuan, juga makanannya silakan dinikmati," Panembahan Podo mempersilakan. "Maafkan jika kami hanya memiliki ini untuk disajikan. Seperti Tuan lihat, sekeliling padepokan ini hanya ada tanaman kentang. Ini sudah turun temurun, kebiasaan bertanam kentang dari pendiri padepokan ini. Saya hanya meneruskan."

"Baik, Panembahan. Aku akan menikmati apa yang Panembahan sajikan. Terima kasih sekali," kata-kata Pangeran Jayasabha terdengar agak dipaksakan. Rupanya kekesalan menunggu tadi masih bercokol.

Panembahan Podo bisa melihat semua itu. Meski usianya masih muda, tapi dia memiliki waskita yang tinggi, keilmuan yang mumpuni. Bahkan sekadar hanya untuk membaca perwatakan orang yang baru sekali ditemui, dia bisa.

"Panembahan, rasanya aku sudah cukup lama di sini. Sebenarnya pekerjaanku sangat banyak. Aku meluangkan waktu kemari menemuimu. Langsung atas perintah Ayahanda Prabu Kertajaya."

Panembahan Podo mengangguk-angguk. "Sebuah kehormatan untuk saya, Tuan. Pangeran dari kerajaan Kediri datang ke Padepokan Kentang Sastra atas perintah Maharaja Kediri, Prabu Kertajaya, hanya untuk menemui kawulanya yang dina ini."

"Tidak usah terlalu berbasa-basi, Panembahan."

"Saya sungguh-sungguh, Tuan."

Pangeran Jayasabha menghela napas. Sebenarnya ia terkesima juga dengan sikap dan pembawaan tenang yang ditunjukkan pemuda di hadapannya. Usianya ternyata sangat tertinggal dibanding segala sikap dan pembawaannya yang sangat dewasa itu.

Panembahan Podo lekas bertanya, "Sekiranya ada perintah apa dari Prabu Kertajaya? Dan apakah seorang saya bisa melaksanakannya?"

"Panembahan. Aku tidak tahu apakah engkau mengerti perubahan dan perkembangan di luar sana atau tidak. Aku akan sedikit menjelaskan pada Panembahan."

"Saya jarang keluar dari padepokan, Tuan."

"Begini, Panembahan...," lanjut Pangeran Jayasabha, "Kerajaan Kediri kita sedang dibayang-bayangi sebuah gangguan dari para pemberontak."

"Apakah ada yang seberani itu, Tuan?"

"Iya. Telik sandi yang disebar di mana-mana, selalu melaporkan hal ini."

"Pemberontakan tentu ada penyebabnya."

Pangeran Jayasabha berhenti bersuara. Agak terkejut ia dengan sahutan Panembahan Podo. Tapi lekas ia melanjutkan bicara, "Penyebabnya tentu karena mereka iri dengan kekuasaan Ayahanda Prabu. Dan mereka mau coba-coba mengusiknya."

"Kalau saya boleh sedikit berbicara tentang hal ini, ada sekadar masukan dari saya untuk Gusti Prabu."

"Masukan apa? Bicaralah saja...."

"Saya tahu persis, Gusti Prabu sedang bermasalah dengan para pemuka Siwa, para pendeta, para resi dan para biksu...."

"Katamu kau tidak pernah meninggalkan padepokan, Panembahan? Tahu apa engkau persoalan itu?"

"Ampunkan saya, Tuan. Sekadar saran, hentikan keinginan Gusti Prabu untuk menjadikan diri sebagai Dewa yang mengharuskan para pemuka Siwa dan lainnya untuk menyembah pada Gusti Prabu. Inilah pemantik bara-bara kecil pemberontakan. Sayang jika Kediri yang sebesar ini harus diusik perpecahan."

Mendadak merah padam wajah Pangeran Jayasabha. "Berani sekali mulutmu berkata selancang itu, Panembahan?!"

"Saya sekadar memberi saran, Tuan."

Pangeran Jayasabha mencoba menahan amarahnya. Dia teringat pesan ayahandanya agar jangan sekalipun berani membuat masalah dengan Panembahan Podo. Sial, batinnya, apa yang membuat Ayahanda begitu takut pada pemuda ini? Ditatapnya sang panembahan yang masih dengan segala ketenangannya.

"Baiklah, Panembahan. Aku akan meneruskan kata-kataku, perintah dari Prabu Kertajaya."

"Katakan...."

"Ayahanda menyerukan kepada seluruh perguruan kanuragan dan segenap padepokan di Kediri untuk bergabung menjadi satu kekuatan, melawan dan menghentikan segala kemungkinan pemberontakan."

Panembahan Podo mengangguk paham. "Kecuali Padepokan Kentang Sastra, bukan?"

"Padepokan ini juga, Panembahan. Harus patuh dan bersedia bergabung menguatkan Kediri, tanah tumpah darah kita."

"Tapi untuk apa Padepokan Kentang Sastra, Tuan? Di sini kami hanya belajar sastra. Belajar membaca kitab-kitab, belajar menulis di rontal. Apa bisa kami untuk melawan pemberontakan?"

"Aku tidak yakin dengan perkataanmu, Panembahan. Aku tahu, di sini juga belajar olah kanuragan. Kesaktian Panembahan Podo sampai membuat Prabu Kertajaya menurunkan perintah langsung kepada putranya hanya untuk menemuimu!"

"Tidak, Tuan. Saya tidak berani menerima perintah ini. Biarkan Padepokan Kentang menjadi satu pengecualian."

Pangeran Jayasabha mulai tersinggung. "Artinya kau membangkang, Panembahan?"

"Saya tidak berani, Tuan."

"Omong kosong! Kau menolak bergabung dengan kekuatan bentukan Maharaja Kediri. Di mana rasa kesetiaanmu kepada negeri ini?"

"Tuan, saya selalu setia dengan Kediri. Tapi untuk bermusuhan dengan sesama rakyat Kediri, saya tidak bisa."

"Rupanya kau panembahan yang tidak tahu diri. Aku akan mengadukan semua perkataanmu pada Ayahanda Prabu. Jangan salahkan jika Ayahanda akan mengambil tindakan tegas pada penolakanmu ini!"

"Saya berdiri di atas kebenaran yang saya yakini, Tuan," kata Panembahan Podo masih dengan ketenangannya.

"Keparat! Aku tidak menyangka meluangkan waktu kemari hanya untuk sebuah pembangkangan." Pangeran Jayasabha mengumpat-umpat. Lalu memberi isyarat pada para prajurit untuk lekas pergi.

Panembahan Podo memandang kepergian tamu-tamunya dengan tetap tenang. Kuda-kuda gagah yang mereka pacu itu menghilang di belokan jalan, meninggalkan kepulan debu yang cukup pekat. Sepekat hati sang pangeran.

"Panembahan, apakah sikap Panembahan ini tidak berbahaya?" seorang cantrik mendekat.

Panembahan Podo memandang si cantrik. Seiring para cantrik lainm yang sedari tadi menyaksikan pertemuan di pendapa itu berdatangan mengumpul.

"Apa kalian takut pada Pangeran Jayasabha? Atau Gusti Prabu Kertajaya?" bertanya sang panembahan.

Para cantrik tidak ada yang langsung menjawab.

"Saya rasa kalian semua pun tahu, Gusti Prabu memegang tampuk kekuasaan dengan kejam dan tidak adil. Rakyat banyak menderita. Bahkan, Gusti Prabu mengaku jelmaan Dewa yang harus disembah. Apakah tidak wajar jika memantik api pemberontakan?"

Para cantrik mengangguk. "Tidak ada yang perlu ditakuti atas sebuah keyakinan kebenaran dalam bersikap," kata sang panembahan.

Cantrik yang tadi bertanya, yang memang paling sepuh di antara para cantrik lainnya, segera memberikan tanggapannya. "Saya mendukung sikap Panembahan Podo. Saya semakin kagum pada Panembahan, meski masih muda, tapi memiliki wawasan yang luas sekali."

"Sudahlah. Anggap tidak terjadi apa-apa di sini. Kembali bekerja. Kembali berlatih sastra. Kembali membaca naskah-naskah kitab lama untuk bekal hidup kalian. Dan sebagai bentuk kewaspadaan, kita juga tetap berlatih kanuragan."

"Siap, Panembahan."

Sebelum sempat para cantrik bubar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan seseorang. Semua mata mencari sumber suara tepuk tangan itu.

Entah dari mana, tiba-tiba di halaman padepokan muncul seorang pemuda berperawakan tegap bertepuk tangan. "Luar biasa, Panembahan Podo. Tidak salah orang-orang menyebutmu sebagai panembahan muda yang berwawasan tinggi."

Panembahan Podo melihat kedatangan pemuda itu lekas berkata, "Ada tamu rupanya. Silakan masuk."

Pemuda itu tertawa. "Terima kasih atas sambutannya, Panembahan. Terimalah salam hormat saya."

"Jangan sungkan. Masuklah."

"Saya tidak berlama-lama, Panembahan. Kedatangan saya sebagai bentuk dukungan atas sikap tegas panembahan atas ajakan Pangeran Jayasabha. Jangan takut pada Kerajaan Kediri."

Panembahan Podo tersenyum. "Apa yang kami takutkan? Kami mengambil sikap, kami akan mempertahankannya."

"Bagus," kata pemuda tegap itu. "Dan saya harap, Padepokan Kentang Sastra ini berkenan memberikan dukungan pada rakyat yang akan menghentikan segala ketidakadilan yang ada."

Panembahan Podo menatap wajah tamunya itu. "Kami hanya segelintir orang yang menyukai sastra, Kisanak. Biarkan saya dan para cantrik di sini belajar sastra. Kami tidak ingin ikut dalam hiruk-pikuk pertikaian sesama saudara, sesama orang Kediri."

Pemuda itu tertawa lagi. "Saya tahu, engkau pasti akan menjawab seperti itu. Saya hargai sikap Panembahan. Dan maaf sekali, saya tidak bisa berlama-lama. Saya mohon pamit...."

"Silakan, Kisanak."

Pemuda itu melangkah pergi. Sementara Panembahan Podo masih menatapnya sampai menjauh.

"Siapa pemuda itu? Apa ada yang mengenalnya?" tanya salah seorang cantrik.

Panembahan Podo yang menjawab. "Dialah yang akan memimpin pemberontakan rakyat. Dia berangkat dari Pakuwon Tumapel. Dia Akuwu Tumapel...."

Para cantrik saling pandang. "Ken Arok?"

30/10/2023 00:07

Saya niatnya mencoba mengerjakan Tantangan VI ODOP Batch 4, tapi jauh dari harapan dan belum sesuai tantangan, saya mohon maaf dan saya akan mencoba membuat fiksi lain untuk menjawab tantangannya. Jujur, saya belum begitu paham maksud tantangannya.

*Nama sang panembahan jika dibalik merupakan nama komunitas kita.
*Nama padepokan adalah kelompok yang terkeren di Batch 4. Hehe....

Domain Baru Blog Saya


Pernah terlintas dulu, untuk membeli domain untuk blog saya ini. Tapi tidak pernah saya turuti. Saya berpikir untuk apa? Toh, blog saya jarang diisi postingan baru. Pengunjung juga sepi.

Tapi setelah saya gabung dengan komunitas ODOP (One Day One Post), di mana setiap hari saya harus nulis untuk dipost di blog, maka saya semangat lagi. Apalagi mulai banyak teman-teman yang berkenan mampir, baca dan komentar di blog saya ini. Akhirnya, saya beli domain untuk blog ini. Dan, selamat datang di coretanbasayev.com!

Domain adalah nama unik yang diberikan untuk mengidentifikasikan nama server komputer seperti web server atau email server di jaringan komputer ataupun internet. Nama domain berfungsi untuk mempermudah pengguna di internet pada saat melakukan akses ke server, selain juga dipakai untuk mengingat nama server yang dikunjungi tanpa harus mengenal deretan angka yang rumit yang dikenal sebagai alamat IP. Nama domain ini juga dikenal sebagai sebuah kesatuan dari sebuah situs web. Nama domain kadang-kadang disebut juga dengan istilah URL atau alamat website. Itu penjelasan tentang pengertian domain yang saya kutip dari wikipedia.com, makanya lengkap dan terlihat saya seperti orang yang tahu benar soal ini. Hehe, padahal saya awam.

Saya nge-blog di blogspot miliknya google. Nyaman, dan cukup mudah bagi awam seperti saya ini, meski belum paham cara-cara optimalisasi blog biar bisa menghasilkan duit. Hehehe. Bukan untuk itu sih saya nulis di blog. Seperti tagline blog, saya sekadar belajar menulis di sini.

Saya membeli domain dengan nama coretanbasayev.com, sehingga akses ke alamat sebelumnya (coretanbasayev.blogspot.com) bisa diperingkas dan memang lebih mudah diingat. Saya beli di niagahoster.co.id, dipandu customer service yang ramah dan sangat fast respon. Tidak sampai 1 jam, proses domain baru saya pun kelar dan sukses. Dan saya pun dapat harga promo yang cukup meringankan kantong saya. Terima kasih, niagahoster.co.id....

28 Oktober 2017, bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, akhirnya blog saya resmi memakai domain baru. Semoga semangat baru juga menjadi penggelora sehingga saya bisa lebih konsisten lagi belajar menulis di blog ini. Lagi pula, sehari sebelumnya, 27 Oktober, juga merupakan Hari Blogger Nasional. Jadi rasanya pas sekali saya membeli domain ini.

Saya juga ingin berterima kasih buat teman-teman yang bersedia meluangkan waktu menengok blog saya ini. Setiap kunjungan dan komentar teman-teman benar-benar membuat saya makin bersemangat menulis. Semoga ini juga menjadi ikatan silaturahim, yang bisa memanjangkan usia kita, serta memperlancar rezeki. Aamiin.

Yuk, semangat menulis. Melihat, menyaksikan, dan membaca kehidupan untuk merekam dalam tulisan yang semoga bisa diambil manfaatnya oleh sesama. Semangat nge-blog!

Rina Gunawan Ternyata Juga Menulis Buku, Lho!


Sebuah buku berjudul 33 Tips Menyiapkan Pernikahan, ternyata pernah diterbitkan oleh seorang Rina Gunawan. Selebriti yang memilih mengurus keluarga setelah menerima pinangan dari Teddy Syah ini, yang kini pernikahan mereka sudah mencapai usia ke-18, merasa perlu berbagi pengalaman lewat sebuah tulisan.

Rina memang menggeluti bisnis wedding organizer yang diberi nama 9HN Production, sehingga berdasar pengalamannya itu akhirnya dia memberanikan diri meluncurkan buku pertamanya ini.

"Buku ini sebenarnya belum sempurna, namun jika ini di-share ke pasangan yang mau menikah, semoga bisa merealisasikan pernikahan yang diimpikan," begitu ujar artis yang memiliki nama lengkap Rina Mustikana Gumilang Gunawan ini.

Rina yang mulai berjilbab sejak Muharram 1428 Hijriah ini, me-launching bukunya pada 28 Juni 2014, di Balai Kartini, Jakarta. Selain bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-40, buku ini terbit juga bertepatan dengan 15 tahun berdirinya 9HN Production.

"Di WO ini saya udah lama. Jadi tahu suka-duka, seluk-beluknya. Semoga buku yang berisi 33 tips ini bisa mewakili," katanya pula.

Rina sendiri mengaku selalu merasa takjub saat melihat ijab kabul pengantin. "Saya paling senang banget di saat ijab kabul pada pengantin karena beribu malaikat bisa menyaksikan," ujarnya.

Keuntungan dari penjualan buku ini sengaja disumbangkan ke daerah bencana melalui yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Foundation. Ini adalah sebuah wujud kepedulian yang bisa Rina tunjukkan, yang semoga menjadi amal yang membela di hari akhir kelak.

Sementara Teddy Syah, sebagai seorang suami, sangat memberi dukungan pada Rina. "Saya dari awal Rina membuat bisnis ini ada, selalu memberi dukungan. Orang bilang kalau bulan puasa Rina sepi job, alhamdulillah malah. Jadi bisa banyak waktu untuk keluarga. Bukunya semoga bisa jadi ilmu yang bermanfaat," harap Teddy.

Berbagi pengalaman melalui sebuah buku adalah sebuah pilihan tepat. Selain bisa dibaca siapa saja, buku terbit juga meninggalkan jejak di masa yang akan datang. Semoga kita bisa meniru langkah Rina ini.

Bastian Tito dan Fenomenalnya Wiro Sableng



Kabar akan diproduksi ulangnya film Wiro Sableng, sang Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, membuat saya seolah melayang ke masa lalu, di mana saat-saat awal saya berkenalan dengan pendekar gendeng itu, yakni dari novel buah karya Bastian Tito.

Bisa dikatakan, novel serial silat berseri inilah yang menginspirasi saya untuk bercita-cita menjadi seorang penulis. Wiro Sableng adalah novel yang selalu berusaha saya beli dan saya koleksi. Meskipun tidak seluruh episode bisa saya dapatkan. Dan saya selalu berhayal bisa menulis cerita seperti itu.

Bastian Tito menulis novel Wiro Sableng sejak 1967, dan sampai 2006 sudah terbit sebanyak 185 episode. Proses penulisannya tiap episode rata-rata memakan waktu 3 minggu untuk novel setebal 128 halaman.


Penulis produktif yang lahir 23 Agustus 1945 dan meninggal pada 2 Januari 2006 ini, mengetik sendiri naskahnya, lalu untuk proses edit dan penyelesaian buku dilakukan asisten. Dalam sekali menulis, Bastian Tito biasa menggarap 2 sampai 3 buku sekaligus.

Sebelum menulis Wiro Sableng, ayah dari Vino G. Bastian ini memilih langsung berkunjung dan mensurvei tempat atau daerah yang akan dijadikan setting cerita. Dipelajarinya adat, budaya, legenda maupun cerita-cerita masyarakat setempat dan dihubungkan dengan situasi cerita dalam novel dengan suasana alam dan keadaan pada masa silam. Apalagi, sebagai pendekar, Wiro Sableng dikisahkan mengembara ke hampir seluruh daerah di Indonesia. Bahkan kerennya, nama daerah pun memakai nama jadul, seperti Andalas untuk Sumatera, Mengkasar untuk Makasar, dan sebagainya.

"Persis yang saya ingat, beliau menulis itu berdasarkan tempat yang real. Beliau suka travelling, lihat ke lokasi sebenarnya lalu beliau capture ke dalam buku," kenang Vino G. Bastian. "Jadi yang beliau tulis itu otentik tempat sebenarnya, beliau mendatangi tempatnya langsung sebelum nulis, kayak ke candi-candi."

Novel karya besar Bastian Tito ini pun sudah diadaptasi menjadi film dan sinetron laga. Tercatat sekitar 7 judul film layar lebar telah diproduksi dengan pemeran Tonny Hidayat sebagai sang pendekar.

Sementara untuk sinetronnya pernah tayang tahun 1995, diperankan oleh Ken Ken (Herning Sukendro) episode 1-50, dilanjut Abhie Cancer pada episode 59-91. Penggemar novel Wiro Sableng tentu sudah tidak asing dengan ketiga pemeran itu.

Bastian Tito sendiri pernah mengatakan pada Ken Ken, bahwa ia ada keinginan Wiro Sableng diperankan oleh anaknya. Harapan ini tampaknya akan segera jadi kenyataan, karena produksi ulang film Wiro Sableng sudah mulai digarap oleh Lifelike Pictures dengan sutradara Angga Dwimas Sasongko dan diproduseri oleh Sheila Timothy. Pemeran Wiro Sableng benar-benar anak penulisnya, Vino G. Bastian. Dan yang membuat film ini layak ditunggu adalah adanya kerja sama dengan Fox International Productions.


Semangat menulis dan sangat produktifnya Bastian Tito ini seharusnya juga bisa menjadi cambuk bagi para penulis pemula. Seperti saya tentunya yang sampai sejauh ini masih sangat minim karya dan sering dilanda vakum dalam dunia kepenulisan.

Meski Bastian Tito sudah meninggal dunia, toh karyanya sampai sekarang masih dikenal orang. Bahkan, ada komunitas pecinta Wiro Sableng mengabadikan novel serialnya dalam bentuk e-book sehingga tidak sirna begitu saja dan banyak yang bisa membacanya.

Apakah Anda tidak tertarik mengabadikan nama dengan karya? Kalau tertarik, marilah kita lecut diri, agar menulis menjadi bagian dari hidup kita.

Teddy Syah dan Rina Gunawan, Pasangan Seleb yang Awet Membina Rumah Tangga


Selebritis dan pernikahan biasanya selalu identik dengan perceraian. Kawin-cerai di kalangan artis memang seolah makanan sehari-hari dunia entertainment. Jadi bahan liputan acara gosip di televisi yang semakin digosok semakin sip, katanya.

Barangkali pasangan Teddy Syah dan Rina Gunawan, adalah pasangan selebritis yang cukup sukses dalam membina rumah tangga. Pada 11 April 2023 lalu, pernikahan keduanya telah mencapai usia yang ke-18. Rentang waktu yang tidak pendek, bukan?

Selain terbilang awet, rumah tangga Teddy Syah dan Rina Gunawan juga jauh dari gosip. Salut untuk kekompakan mereka. Dan saat ini, keduanya dikaruniai dua anak yang diberi nama Aqshal Ilham Syafatullah dan Karnisya Rahmasyah. Sangat bahagia, sudah lengkap rasanya dikarunia anak laki-laki dan perempuan.

Usai menikah, Rina Gunawan memilih meninggalkan dunia hiburan, menjadi pengurus rumah tangga yang baik bagi keluarga bahagianya. Kesibukannya sekarang adalah menjalankan bisnis wedding organizer. Sementara sang suami masih aktif bermain sinetron.

Kita intip, yuk, resep apa yang kedua pasangan ini pakai hingga bisa awet dan semoga langgeng selalu pernikahan mereka ini.


Salah satunya adalah, meski sesibuk apapun, keduanya tetap menyempatkan waktu untuk family time, liburan bersama keluarga kecil mereka.

Rina juga terlihat sangat akrab dengan keluarga Syah, keluarga dari suami. Jadi, dengan jalinan kekeluargaan yang terikat dengan baik maka semakin mengharmoniskan rumah tangga mereka.


"Kami juga mengalami pasang-surutnya berumah tangga, seperti pasangan lain juga kok, tapi alhamdulillah kami bisa menghadapi dengan baik," ungkap Rina Gunawan. "Kuncinya, kami begitu mengagungkan cinta, baik kepada pasangan maupun kepada Sang Pencipta yang selalu memberi anugerah terbesar."

Kebahagiaan Rina juga terbaca dari salah satu postingannya di Instagram, pada 11 April lalu. "Tak terasa udah jalan 18 tahun pernikahan kita sayang. Pada hari ini aku merasakan hidupku semakin indah, bahagia, dan bermakna. Terima kasih kamu telah mengisi ruang hatiku dengan cinta yang indah dari hatimu," tulisnya.

Rina juga menggenapi dengan doa, "Semoga hubungan kita ini sampai tahun ke tahun dan sampai tua kita nanti akan selalu bersama. Amin ya Rabb. Selamat hari anniversary cintaku...."

Semoga rumah tangga Teddy Syah dan Rina Gunawan harmonis selalu, sakinah mawadah warahmah, dan langgeng tentunya. Semoga bisa menginspirasi pasangan artis atau selebritis lainnya yang akan dan sudah menikah, agar lebih mengedepankan keharmonisan rumah tangga dari pada ego pribadi.

Sumber gambar : www.brilio.net
Tulisan ini buat Mbak Mabruroh, Mbak Nining Prasetyaningtyas, Mbak Isnaini Annisa, Mas Dwi Septiyana, Mbak Savina Rahayu, dan semuanya deh anggota Grup Kentang ODOP Batch 4, yang semalem ngegosipin suaminya Mbak Rina Gunawan pas sesi bedah tulisan kerennya Mbak Nining. Hihihi....

Tolong, Saya Mengantuk!


Belakangan ini, saya merasa sering kali mengantuk. Depan komputer ngantuk, baca buku ngantuk, ngobrol ngantuk, dan yang bahaya, naik motor ngantuk. Mengapa, ya, saya kok bisa ngantukan berat seperti ini?

Akhirnya saya googling penyebab mengantuk. Dan dapat beberapa pembahasan. Saya pun mencoba menghilangkan ngantuk dengan ikut membahas tentang mengantuk ini.

Dari web http://www.organisasi.org, saya dapat informasi, bahwa manusia mengantuk disebabkan beberapa faktor:

1. Sudah waktunya tidur.
Saya rasa ini bukan penyebab mengantuknya saya. Masak naik motor ngantuk dibilang sudah waktunya tidur. Tentu faktor ini tidak bisa dibenarkan sama sekali, untuk memaknai kantuk saya.

2. Kurang tidur.
Nah, ini kayaknya juga salah. Saya merasa cukup tidur kok. Mengapa faktor ini dijadikan kambing hitam? Bagi orang lain, mungkin bisa jadi.

3. Otak yang terlalu panas.
Wah..., otak panas? Bayangan saya malah ke hp android yang batrenya mendadak terasa panas gara-gara kebanyakan trafick aplikasi. Hm... bisa juga ya, apakah saya lagi banyak mikir? Tapi mikir apa? Apa mikir penyebab kantuk jadi saya pun mengantuk? Entahlah.

4. Gejala penyakit kencing manis (diabetes).
Wah, jadi ngomongin penyakit? Takut sayanya. Masak sih mengantuknya saya karena penyakit? Oh, tidak. Saya baca penjelasannya, selain sering mengantuk, gejala lain penyakit ini adalah sering kehausan dan sering buang air kecil Yes! Saya tidak. Lewat, dah, faktor menakutkan ini.

5. Gejala kurang darah (anemia).
Wah, makin ke sini kok makin ngomongin penyakit, ya? Kurang darah bikin lemes dan mengantuk katanya. Hem... kurang darah? Apa iya?

6. Olahraga yang porsinya tidak tepat.
Kebanyakan olahraga dengan porsi berlebih akan membuat tubuh berkurang drastis energinya, wah... ini mah nggak mungkin jadi penyebab ngantuk saya. Wong saya jarang olahraga. Eh, penjelasan berikutnya, jarang olahraga ternyata juga membuat orang kurang bertenaga yang mengakibatkan kantuk! Jiah, ini jangan-jangan benar, saya jarang olahraga!

Hm..., pembahasan soal mengantuk sudah selesai. Terima kasih buat yang menulis artikel di http://www.organisasi.org. Saya jadi sadar, saya kurang olahraga. Tapi, setelah nulis ini, saya tidak mengantuk lagi. Eh, apa menulis termasuk olahraga juga, ya? Entahlah... Mungkin ada yang bisa bantu jawab?

Hukum Bermakmum pada Anak yang Belum Baligh


Untuk mengajarkan agar terbiasa salat, seorang ibu mengajak anak laki-lakinya yang belum baligh untuk berjamaah. Karena perempuan tidak boleh jadi imam bagi laki-laki, maka ibu tersebut meminta anak laki-lakinya menjadi imam.

Nah, apakah salat ibu dan anak laki-lakinya itu sah? Kan sebagai imam, ternyata si anak belum lagi baligh.

Saya pernah penasaran dengan kasus seperti ini. Tapi belum sempat mencari jawabannya. Beberapa hari lalu, saya ikut kajian di masjid kota kecamatan, kajiannya fikih yang disampaikan Ustaz Khairul Umam. Dan pembahasan sampai pada bab Salat Berjamaah. Ada pun kajiannya mengacu pada kitab fikih Imam Syafii.

Lalu apa jawaban dari tanya di atas? Sahkah salat dengan imam yang belum baligh? Saya ringkas penjelasannya di sini, disertai tambahan dari hasil googling.

Baligh adalah syarat wajib salat. Artinya, jika seseorang sudah baligh maka dia punya kewajiban salat. Jadi anak kecil yang belum baligh maka dia tidak wajib salat. Tidak wajib, artinya boleh saja dia salat, apalagi sebagai pendidikan agar terbiasa salat.

Sahkah salat bermakmum anak belum baligh? Nah, kita mengacunya ke syarat sah salat. Di antara syarat sah salat (fardu) adalah suci dari najis, suci dari hadats kecil dan besar, menghadap kiblat, menutup aurat, sudah masuk waktu salat, dan seterusnya. Dan baligh tidak termasuk syarat sah salat. Artinya, salat tetap sah meski dikerjakan anak yang belum baligh, asal terpenuhi syarat-syarat sah seperti di atas; suci, menghadap kiblat, dan sebagainya.

Dalam sebuah hadits, disebutkan sebagai berikut: "Dari Jabir bin Abdillah bahwa Amr bin Salamah ra berkata, "Aku telah mengimami salat jamaah di masa Rasulullah Saw sedangkan usiaku saat itu baru tujuh tahun." (HR Bukhari)"

Jelas, usia 7 tahun belum masa baligh dan itu dijadikan dasar bolehnya bermakmum pada anak kecil. Menurut mazhab Imam Syafii, bahkan meski itu salat Jumat sekalipun, tetap sah diimami anak yang baru mumayyiz.

Pengertian mumayyiz adalah usia tamziz di mana seorang anak belum baligh (belum mimpi basah bagi laki-laki, belum haid bagi perempuan) tapi sudah bisa membedakan antara yang baik dan tidak baik, sudah merasa malu ketika tidak menutup aurat, dan menunjukkan fungsi akalnya normal. Untuk soal jadi imam salat, maka dia harus sudah mengerti salat musti dilakukan dengan serius.

Demikian jawaban sah tidaknya salat bermakmum pada imam yang masih anak kecil. Terlebih jika anak kecil tersebut lebih baik bacaan dan hafalan Quran-nya. Salat jamaah tetap sah.

Wallahu a'lam bisshawab.

S. Tidjab, Maestro Sandiwara Radio yang Menuliskan Novel Perdananya


Terpesona saya ketika akhirnya menemukan novel berjudul Pelangi di Atas Gelagahwangi, Drama Cinta di Senja Kala Majapahit. Apa istimewanya? Nama penulisnya: S. Tidjab!

Bagi yang mengalami masa jaya sandiwara radio di era 80-90, tentu tidak asing dengan nama besar S. Tidjab, sang maestro penulis skenario Tutur Tinular, Mahkota Mayangkara, Kaca Benggala, Kidung Keramat, dan banyak lagi judul sandiwara radio yang lahir dari tangan kreatifnya.

Terlahir di Solo pada 1946, Stanislaus Tidjab bergumul di dunia kesenian sejak SMP. Menjadi karyawan Sanggar Prathivi tahun 1983-1990 sebagai penulis dan sutradara. Skenario sandiwara radionya selalu memukau, dialog-dialognya yang benar-benar hidup seolah membawa pendengar masuk ke zaman sejarah, bertemu para tokoh dari Singasari, Majapahit, bahkan Demak Bintoro.

"Beliau sangat pandai dalam mengolah cerita. Tokoh-tokoh fiktif dihadirkan dengan tokoh-tokoh sejarah sehingga menjadi suatu cerita yang sangat menarik untuk dinikmati dan tentu saja dapat dipertanggungjawabkan," komentar Ferry Fadli, salah satu nama yang tenar memerankan tokoh rekaan S. Tidjab, seperti Arya Kamandanu dan Mpu Janardana.

Senada dengan Ferry Fadli, pemeran tokoh Sakawuni, yakni Ivone Rose, turut memujinya, "Saya menyukai karya-karya beliau karena alur cerita yang runut dan konflik-konfliknya tajam di samping tokoh-tokoh yang utuh, kuat, dan menantang."

S. Tidjab yang kini tinggal di Bogor bersama sang istri, Siti Saanah, dan lima anaknya: Andong Bhegawan, Titah Dono Panduko, Trisulo Abdi Dharmo, Praptani Putri, dan Putri Saraswati, ternyata masih selalu bergelora dalam berkarya.

Novel perdananya, Pelangi di Atas Gelagahwangi, adalah adaptasi dari sandiwara radio karyanya yang telah disiarkan secara serentak di 100 stasiun radio nusantara pada 2007.

"Semula saya ragu apakah saya bisa menulis sebuah novel? Saya sepenuhnya sadar jika sandiwara radio dan novel adalah dua media yang sangat berbeda karakter," ungkap S. Tidjab.

Namun, dia menyimpulkan bahwa karakter kedua media tersebut memiliki titik persamaan mendasar. "Keduanya membutuhkan ide atau gagasan seorang penulis, membutuhkan komunikan (pembaca atau pendengar), membutuhkan teknik bertutur yang memadai, ada pengenalan tokoh, setting peristiwa, speed dan dinamika cerita, klimaks, dan sebagainya," simpulnya.

Berdasar pertimbangan itulah, S. Tidjab memberanikan diri menyerahkan naskah Pelangi di Atas Gelagahwangi untuk diterbitkan oleh Qanita, lini PT Mizan Pustaka. Cetak perdana Agustus 2008 dengan tebal 704 halaman, novel perdana S. Tidjab pun launching ke pasar buku tanah air.

Bagi penulis pemula, sebenarnya bisa belajar banyak dari karya-karya S. Tidjab, baik yang berupa sandiwara radio, yang banyak dijumpai di internet dalam format mp3, atau video-audio Youtube, mau pun belajar langsung dari novelnya.

Pada karya-karya besar S. Tidjab, penulis pemula bisa belajar bagaimana menciptakan dialog-dialog yang benar-benar hidup. Berkisah dengan penuturan tanpa menggurui melalui percakapan para tokohnya.

S. Tidjab sendiri berharap karyanya yang terbit dalam bentuk novel sejarah ini agar bisa dinikmati dan misi yang terkandung di dalamnya bisa dengan mudah dipahami oleh para pembaca.

Apakah debut sang maestro sandiwara radio ini akan bisa mendapat hati para penggemar novel di Indonesia, khususnya novel sejarah? Yang pasti, novel Pelangi di Atas Gelagahwangi ini adalah sebuah terobosan baru yang akan mengobati kerinduan para pecinta sandiwara radio, yang memiliki nostalgia pada zamannya, terlebih penggemar racikan gurih S. Tidjab.

Sebuah Pengorbanan Cinta


Serial Lembar Ibrah
Dalam kisah Thalhah bin Ubaidillah Sebuah Pengorbanan Cinta
Dikisahkan oleh Suden Basayev

Perang Uhud yang mengerikan. Ketidakpatuhan pasukan pemanah di atas bukit karena tergoda harta rampasan perang, telah membalikkan keadaan. Padahal Rasulullah Saw memerintahkan agar tidak meninggalkan bukit sampai perang benar-benar usai. Akhirnya, pasukan kafir menguasai bukit, hingga pasukan muslimin berguguran diserbu anak panah.

Situasi mengerikan, Rasulullah Saw terluka parah. Pasukan kafir seolah berebut mengejar Rasulullah Saw dengan kilatan pedang mereka. Pasukan muslimin sudah sangat kocar-kacir.

Di dekat Rasulullah Saw tinggal 11 mujahid Anshar dan seorang Muhajirin, yakni Thalhah bin Ubaidillah. Mereka mati-matian melindungi Rasulullah Saw dari serangan pasukan kafir.

"Siapa yang berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku di surga kelak!" seru Rasulullah Saw. Maka kesebelas prajurit Anshar terus berusaha menghalau serangan pasukan kafir yang memburu Rasulullah Saw. Sementara Thalhah menjadikan diri sebagai perisai yang melindungi sang Nabi.

Kesebelas prajurit Anshar gugur sebagai syuhada Uhud. Tinggallah Rasulullah terkepung bersama Thalhah bin Ubaidillah.

Thalhah mengayunkan pedang ke sana kemari. Ia tidak memedulikan keselamatannya, baginya yang terpenting adalah melindungi Rasulullah dari jangkauan senjata musuh.

Thalhah memeluk Rasulullah dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara tangan kanan mengayunkan pedang menangkis serangan lawan yang mengelilingi keduanya. Keadaan memang tidak imbang sama sekali.

Sabetan pedang lawan menembus tubuh Thalhah. Tusukan tombak berebut mencacah kulit Thalhah. Darah berlumuran, bermuncratan dari luka-luka itu. Tapi Thalhah tak peduli, ia tetap memeluk Nabi, melindunginya, menjadi perisai baginya.

"Ya Allah, ambil darahku hari ini sekehendak-Mu hingga Engkau ridha," desis Thalhah. Pedangnya sudah terlepas entah kemana. Jarinya patah disambar tajamnya pedang lawan. Beberapa anak panah bahkan menancap di tubuhnya.

Thalhah bin Ubaidillah berserah pada Allah. Dia inginkan keridhaan Allah. Sebuah pengorbanan cinta yang sesungguhnya telah ia tunjukkan. Sambaran pedang dan kucuran darahnya seolah menyemburkan kembali sebuah kenangan lama. Sebuah kisah cinta yang tidak sepantasnya. Sebuah perasaan yang sangat tidak layak.... Dan air mata Thalhah ikut mengucur.

Aisyah, istri Rasulullah, yang masih terhitung sepupunya. Kecantikannya, kebaikannya.... Thalhah pernah sedemikian tolol. Waktu itu, ia mendapat kesempatan berbincang dengan sepupunya itu. Rasulullah datang dan menunjukkan rasa tidak sukanya. Rasulullah memberi isyarat agar Aisyah menjauhi Thalhah dan masuk ke biliknya.

Wajah Thalhah memerah waktu itu. Ia tersinggung dengan sikap Rasulullah, karena memang ia memendam perasaan pada istri Nabi itu. Desisnya, "Akan kunikahi Aisyah nanti setelah engkau wafat...."

Thalhah menyimpan kekesalan itu, hingga suatu ketika turunlah wahyu Allah, surat Al Ahzab ayat 53: "Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat."

Thalhah menangis ketika dibacakan ayat itu. Sadarlah ia akan kesalahannya. Ia pun bertaubat, dimerdekakannya budak, lalu menyumbang sepuluh ekor unta, dan berumrah dengan berjalan kaki. Dia merasa malu dengan perasaan sukanya pada istri Nabi. Tapi kelak, dengan penuh cinta, Thalhah menamai putri kecilnya dengan nama Aisyah.

Sabetan pedang kesekian kali dari musuh membuat Thalhah tidak sadarkan diri. Tapi sebelum tersungkur, ia melihat Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah mendekat memberikan bantuan. Rasulullah Saw selamat.

Seusai perang Uhud, Thalhah masih diberi kesempatan hidup. Meski tubuhnya penuh cacat, tak kurang 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan tombak dan anak panah. Tapi sebuah kebahagiaan tersendiri bisa menjadi perisai bagi Rasulullah, manusia agung suami dari Aisyah.

"Kalau ingin melihat syahid yang masih berjalan di muka bumi, lihatlah Thalhah bin Ubaidillah," begitu sabda Rasulullah.

Balada Seuntai Kalung


Serial Lembar Ibrah
Dalam kisah Fatimah Az Zahra Balada Seuntai Kalung
Dikisahkan oleh Suden Basayev

Seorang musafir diantarkan salah seorang sahabat Nabi ke rumah Fatimah Az Zahra.

"Wahai, engkaukah Fatimah putri Rasulullah Saw?" tanya musafir itu.

"Iya, saya putri Rasulullah Saw. Adakah yang bisa saya bantu?"

Sahabat yang mengantarkan musafir itu membantu menjawab, "Musafir ini kehabisan bekal, di masjid beliau meminta makan kepada Rasulullah. Tapi Rasulullah sedang tidak ada yang bisa diberikan. Maka, Rasulullah memintaku mengantarkan musafir ini padamu, wahai istri Ali...."

"Baiklah. Tunggulah sebentar." Fatimah masuk ke rumah. Musafir itu menunggu penuh harap, ia sungguh sudah sangat kelaparan.

Sementara di dalam rumah, Fatimah Az Zahra kebingungan karena memang sedang tidak ada makanan untuk diberikan kepada musafir itu. Tapi ia ingat sesuatu...

Fatimah kembali menemui musafir dan sahabat di depan. Putri Rasulullah Saw ini mengulurkan seuntai kalung. "Juallah kalung ini. Mudah-mudahan harganya cukup untuk memenuhi kebutuhanmu."

Musafir itu sejenak tertegun. Ragu-ragu ia terima uluran kalung itu. Tapi Fatimah tampak bersungguh-sungguh dan ikhlas.

Kedua tamu Fatimah itu kembali ke masjid, berjumpa lagi dengan Rasulullah Saw dan para sahabat yang sedang berbincang di sana.

"Bagaimana, saudaraku? Adakah makanan yang kau dapatkan?" bertanya Rasulullah Saw.

Musafir itu menunjukkan seuntai kalung yang diberikan Fatimah. "Putrimu memberikan ini untuk kujual, wahai Rasulullah...."

Melihat kalung itu di tangan musafir, Rasulullah terharu dan tak kuasa menahan tangis. Beliau tahu persis, itu satu-satunya perhiasan yang dimiliki Fatimah, seuntai kalung hadiah pernikahan dari suaminya, Ali bin Abi Thalib. Tapi Fatimah merelakannya untuk musafir yang sedang lapar itu.

Musafir itu memohon diri. Bersegera hendak menuju ke pasar. Ammar bin Yassir yang ikut duduk di masjid, bergegas menyusul musafir itu.

"Wahai saudaraku, hendak kau jual berapakah kalung itu?" tanya Ammar bin Yassir setelah berhasil menyusulnya.

"Aku akan menjualnya dengan roti dan daging yang bisa mengenyangkan perutku, juga sehelai pakaian untuk menutup tubuhku, dan 10 dinar untuk bekalku pulang," jawab musafir itu.

"Aku beli dengan 20 dinar untukmu, ditambah baju serta seekor unta untuk tungganganmu. Bagaimana?" tawar Ammar.

"Baiklah, itu cukup untukku," jawab sang musafir.

Setelah mendapatkan kalung itu, Ammar bin Yassir memanggil seorang budaknya yang bernama Asham. "Wahai Asham, pergilah pada Rasulullah Saw. Sampaikan kalung ini sebagai hadiah dariku, dan juga engkau kuserahkan kepada beliau. Jadi mulai hari ini, engkau bukan lagi budakku, tapi budak Rasulullah...."

Rasulullah menerima kedatangan Asham dengan gembira. Apalagi hadiah kalung dari Ammar adalah kalung milik putri beliau yang diberikan kepada musafir yang kelaparan itu. Bersama Asham, Rasulullah segera menuju ke rumah Fatimah Az Zahra.

Melihat kedatangan ayahandanya, Fatimah lekas menyambut dengan segera. Rasulullah segera menunjukkan kalung itu.

"Putriku, Ammar bin Yassir menghadiahkan kalung ini beserta seorang budaknya untukku. Maka, aku melakukan hal sama kepadamu. Ambillah kalung ini dan terimalah Asham menjadi sahayamu," kata Rasulullah Saw.

"Subhanallah walhamdulillah wallaahu akbar. Kalung ini kembali padaku, wahai Ayahanda Rasul?" sambut Fatimah terlihat gembira.

"Iya. Ini masih rezekimu...."

Lalu Fatimah memandang Asham. "Hari ini, engkau bukan budak siapa pun. Engkau merdeka, wahai Asham..."

Asham terkejut mendengarnya. Tiba-tiba ia menangis...

"Mengapa engkau menangis? Bukankah seharusnya engkau berbahagia menyambut kebebasanmu?" tanya Fatimah.

"Aku menangis karena terharu, wahai putri Rasulullah.... Seuntai kalungmu telah mengenyangkan perut yang lapar, menutupkan pakaian bagi musafir itu, memberikan tunggangan baginya, dan akhirnya membebaskan seorang budak," kata Asham memberikan jawaban.

Dan lebih dari itu, kalung dengan ikhlas disedekahkan, tetapi Allah berkuasa mengembalikannya lagi pada pemiliknya, Fatimah Az Zahra, kesayangan Allah dan Rasul-Nya. Subhanallah....

Sebuah Jawaban Pinangan


Serial Lembar Ibrah
Dalam kisah Salman Al Farisi Sebuah Jawaban Pinangan
Dikisahkan oleh Suden Basayev

Salman Al Farisi menemui Abu Darda.

"Ada apakah saudaraku? Sepertinya kau ingin membicarakan sesuatu? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Abu Darda segera.

"Iya, saudaraku, seperti engkau tahu, aku adalah orang Persia, dan di Madinah ini aku hanyalah seorang pendatang."

"Tidak ada bedanya, Salman. Dalam Islam tidak mengenal perbedaan suku bangsa. Bahkan engkau adalah sahabat Rasulullah Saw yang sangat diistimewakan beliau," tukas Abu Darda.

"Aku tahu, saudaraku. Tapi untuk masalah satu ini, tetap ada bedanya antara seorang pendatang dari Persia dengan orang asli Madinah sepertimu."

"Ada apa sebenarnya, Salman saudaraku?"

Salman sejenak terdiam. Ada sedikit keraguan untuk berbicara. Abu Darda melihat gelagat itu. "Tampaknya ada masalah serius, Salman? Atau jangan-jangan kau ingin aku melamarkanmu pada gadis Madinah?"

Salman terkejut dengan kata-kata Abu Darda. Mungkin Abu Darda berniat mencandainya, tapi itu adalah yang sesungguhnya, yang membuat Salman menemui Abu Darda.

"Subhanallah, engkau bisa menebak isi hatiku, saudaraku?"

Abu Darda justru terkesima sendiri. "Hei, jadi benar perkataanku? Kau ingin menikahi gadis Madinah, Salman saudaraku?"

Salman mengangguk. Abu Darda tertawa senang. Dipeluknya Salman Al Farisi. "Subhanallah wal hamdulillah.... Aku bahagia mendengarnya. Sungguh, aku akan dengan senang hati membantumu. Siapa gadis itu?"

"Seorang gadis Anshar yang aku kagum keshalihahannya. Saudaraku, aku pendatang, tidak tahu bagaimana adat dan tata cara melamar di Madinah ini. Maka aku butuh bantuanmu untuk hal ini...."

Maka, Abu Darda pun mengantarkan Salman Al Farisi menuju ke rumah orangtua dari gadis Anshar yang telah membuatnya tertarik. Keduanya diterima ayah dari si gadis dengan sangat ramah.

Setelah mempersilakan tamunya duduk, ayah gadis yang ditaksir Salman segera menanyakan maksud kedatangan keduanya. Abu Darda yang menjadi wakil Salman yang menjawabnya.

"Saya Abu Darda, dan ini saudara saya, Salman, pendatang dari Persia. Seorang sahabat Rasulullah Saw yang sangat istimewa dengan amal dan jihadnya."

Ayah si gadis itu mengangguk-angguk sambil memandang Salman yang sedang diperkenalkan oleh Abu Darda. Beliau menanggapi dengan senang, "Sebuah kehormatan bagi saya atas kedatangan kalian berdua...."

Abu Darda melanjutkan, "Dan maksud kedatangan kami berdua, saya mewakili saudara saya ini, Salman, untuk menyunting putri Anda."

"Subhanallah, adalah kebahagiaan saya jika bisa bermenantukan sahabat kebanggaan Rasulullah Saw. Tetapi untuk masalah ini, hak jawab sepenuhnya ada pada anak gadis saya. Saya serahkan semua pada putri saya."

"Tentu saja memang harus demikian, kami memahami hal itu...."

Ayah gadis Anshar itu masuk ke dalam, menemui istri dan anak gadis beliau. Salman dan Abu Darda menunggu dengan hati berdebar-debar. Salman memohon kepada Allah Swt agar diberikan yang terbaik. Sebuah kepasrahan seorang sahabat Nabi kepada Allah, tuhan sekalian alam.

Orangtua si gadis keluar bersama sang anak. Makin berdegup kencang jantung Salman Al Farisi.

"Maafkan saya, saya akan mewakili jawaban dari putri saya," ibu dari si gadis yang berkata-kata.

"Silakan, kami siap mendengarnya," kata Abu Darda. Salman mengangguk sepakat.

"Dan maafkan kami jika harus berterus terang."

Deg. Kata-kata itu membuat hati Salman kebat-kebit. Ditolakkah pinangannya?

"Saya mohon maaf, wahai Salman, sahabat Rasulullah yang diberkahi Allah. Putri saya menolak pinangan Anda. Sekali lagi maafkanlah keterusterangan ini...."

Salman kecewa, tapi ia lekas menata hati. Ia memang sudah pasrah pada Allah yang menentukan jodoh bagi hamba-hamba-Nya.

Rupanya jawaban gadis Anshar itu ada kelanjutannya. Sang ibu kembali berkata-kata, "Dengan mengharap ridha Allah, putri saya justru akan menerima jika yang berkeinginan melamarnya adalah Abu Darda."

Abu Darda terkejut. Salman pun terkesima. Si gadis Anshar menunduk dalam.

"Allahu akbar!" Salman bertakbir. Ia merasakan kuasa Allah yang sangat luar biasa detik itu.

"Itulah keterusterangan dari putri kami," pungkas sang ibu.

Salman mengguncang bahu Abu Darda. "Saudaraku, semua mahar yang aku persiapkan kuserahkan padamu, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian berdua!"

Semua yang ada di ruang tamu itu terkesima dengan perkataan Salman. Sebuah sikap seorang sahabat Nabi yang sangat luar biasa dan dewasa. Abu Darda bagai tidak percaya dengan apa yang terjadi saat itu. Sebuah kuasa Allah yang di luar akal manusia....

Tentang Alakatak yang Kemarin Saya Tulis


18/10/2023 10:50 PM. Lagi buntu nih, tidak ada ide untuk ditulis sebagai bakal setoran post untuk besok. Coba cari ide baca-baca facebook, tidak satu pun yang menarik. Hari ini, saya memang sedikit agak sibuk, mengerjakan pendingan kerjaan yang cukup memakan waktu.

Iseng saya buka dashboard blogger. Mencoba mencari ide yang barangkali bisa didapat dari menelusuri tulisan-tulisan yang sudah saya posting. Eh, mata saya terpaku pada tulisan tantangan ODOP pekan ini, tentang makanan khas daerah saya, alakatak, yang tanggal 16 kemarin saya post.

Yang membuat saya tercenung, duh... ternyata sudah ada seribu lebih pembaca yang berkunjung ke posting-an berjudul Kerinduan Itu Bernama Alakatak ini.

Ini penampakannya:




Saya lihat ke blog. Di sana tulisan itu nangkring di Populars, posting-an terpopuler. Dalam 2 hari, sudah menarik minat membaca blog saya. Selain di grup ODOP setoran link harian, saya memang membagikannya ke facebook.



Di facebook juga banyak penggemar alakatak berkomentar tentang tidak bisa lepasnya mereka dari ketagihan makanan dari Weru ini. Ada 14 pengguna facebook yang membagikan kiriman saya ini.



Jadi, saya berkesimpulan, alakatak memang sangat fenomenal. Bagi warga Weru dan sekitarnya, alakatak adalah bagian dari kehidupan mereka. Makanan yang asing dan aneh namanya bagi orang luar Weru ini cukup membuat para perantau selalu kangen pada rasa nikmatnya. Yang selalu dicari saat mudik.

Tulisan saya kali ini memang sekadar iseng. Ya, tentu juga biar tetap ada setoran tulisan atau post harian ke komunitas ODOP yang saya ikuti.

Jumlah pengunjung 1035 pada 1 postingan blog saya dalam 2 hari, juga 14 orang membagikan link di facebook, serta 55 orang menyukainya, bagi saya adalah angka-angka yang cukup banyak. Mengingat saya bukan orang terkenal, dan juga respon pembaca secepat ini, tentu sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya.

Saya suka menulis. Suka nge-blog. Dan saya selalu bersemangat jika tulisan saya banyak yang baca. Semoga bisa konsisten menulis. Terima kasih buat semuanya.

Semata karena Allah



Serial Lembar Ibrah
Dalam kisah Ali bin Abi Thalib Semata karena Allah
Dikisahkan oleh Suden Basayev

Adalah Amr bin Abd Wad al-Amiri, dedengkot musyrikin Quraisy yang sangat ditakuti di medan perang. Suatu ketika dalam situasi perang Khandaq, ia sesumbar menantang berduel pasukan muslim. "Hai, orang-orangnya Muhammad. Siapa di antara kalian yang bernyali besar? Majulah! Aku tantang berduel satu lawan satu. Akan aku tunjukkan kekuatan seorang Amr bin Abd Wad al-Amiri. Dan biar semua tahu betapa konyolnya Muhammad dan penmgikutnya. Ayo, siapa berani maju?"

Mendengar tantangan itu, Rasulullah Saw memandang kepada para sahabat yang memang sudah siap berperang. Tapi tidak untuk duel berdua dengan Amr. Beliau berkata, "Siapa yang bersedia menyambut tantangan itu?"

Saat semua terdiam membayangkan ngerinya kekejaman Amr bin Abd Wad al-Amiri, terdengar suara seorang pemuda sambil mengangkat tangan bersedia. "Saya siap, ya Rasulullah!"

Rasulullah Saw melihat ke arah pemuda itu. Dialah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah Saw sendiri. Ia masih terlalu muda. Maka kembali ia tawarkan, "Siapa yang berani selain Ali?"

Tidak ada sambutan. Sedemikian ngerikah seorang Amr bin Abd Wad al-Amiri?

"Perkenankan saya menghadapinya, ya Rasulullah," pinta Ali bin Abi Thalib mantap.

"Baiklah, Ali. Berhati-hatilah," pesan sang Rasul.

Maka majulah Ali bin Abi Thalib ke hadapan Amr bin Abd Wad al-Amiri. Terkekeh Amr melihat seorang pemuda yang memenuhi panggilannya berduel. "Seorang anak kemairn sore? Kalian menyepelekanku?"

"Amr bin Abd Wad al-Amiri, apa lagi yang ditunggu? Aku datang memenuhi tantanganmu!" seruan Ali bin Abi Thalib penuh keberanian, tanpa gentar sama sekali.

"Baiklah. Jangan salahkan jika pedangku merobek perutmu!"

Segera saja duel antara Ali dan Amr terjadi. Amr tidak menyangka sedemikian gesit gerakan Ali. Begitu pandai pemuda itu bermain pedang. Tapi Amr tetap menerjang, tenaganya masih cukup besar untuk menyerang pemuda itu. Tapi ternyata kemampuan Ali bin Abi Thalib lebih unggul. Sebuah sabetan pedang Ali membabat keras ke arah paha Amr bin Abd Wad al-Amiri. Darah mengucur dari luka besar itu. Amr roboh sambil memaki-maki kesal.

Ali tersenyum. Ia akan segera menyudahi duel dengan menghabisi nyawa lelaki sombong itu. Tiba-tiba, Amr bin Abd Wal al-Amiri meludah ke arah muka Ali. Ludah itu mengenai wajah si pemuda. Ali marah karenanya.

Rasulullah Saw dan para sahabat melihat pertempuran itu dengan tegang. Mereka melihat kemarahan Ali atas ludahan Amr. Tapi mereka justru melihat Ali bin Abi Thalib mundur, menjauh dari musuh yang sudah tidak segarang tadi. Tapi Amr bin Abd Wad al-Amiri bisa saja tiba-tiba menyerang meski pahanya sudah terluka robek besar. Para sahabat khawatir keadaan berbalik, jika Ali membiarkan dedengkot Quraisy itu masih hidup.

Ternyata tidak berapa lama kemudian, Ali bin Abi Thalib kembali mendekati Amr dan menuntaskan tugasnya. Pedang Ali menebas tubuh Amr bin Abd Wad al-Amiri, mengantar kematiannya.

"Ali, mengapa tadi sempat ragu membunuhnya? Dia orang yang berbahaya," bertanya seorang sahabat.

Ali bin Abi Thalib memandang sahabat itu. Lalu menjawab, "Semula aku sudah hendak menuntaskan duel dengan menghabisi nyawanya dengan niat lillahi ta'ala. Tapi begitu ia meludahiku, aku marah. Aku tidak mau membunuhnya berdasar kemarahanku. Perlu beberapa saat untuk aku jinakkan kemarahan ini, hingga aku bisa membunuhnya semata karena Allah Swt."

Para sahabat tertegun mendengar alasan itu. Sebuah pelajaran berharga ditunjukkan seorang pemuda berkelas.

Serunya Jumpa Penulis di Taman Ismail Marzuki bersama 7 Penulis Nasional


Hari Minggu, 15 Oktober 2017, adalah hari yang ditunggu-tunggu para pecinta dunia kepenulisan. Pasalnya, ada event Jumpa Penulis yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Jumpa Penulis adalah event tahunan yang diselenggarakan oleh tim KMO Indonesia untuk mempertemukan para penulis nasional dalam satu panggung dan satu waktu sekaligus dengan para peserta yang punya minat di dunia kepenulisan atau bercita-cita menjadi seorang penulis.

Pada Jumpa Penulis (JP) kali ini, tercatat ada 7 nama penulis nasional yang siap berbagi pengalaman di dunia kepenulisan pada para peserta. Mereka adalah Ippho Santosa, Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Tere Liye, Ahmad Rifai Rifan,  Tendi Murti, dan Dewa Eka Prayoga.

Siapa yang tidak kepengin coba? Sayangnya, tidak semua orang punya keberuntungan bisa hadir dalam event langka ini. Bagaimana tidak langka? Bayangkan saja betapa panitia berjuang penuh kesulitan mengumpulkan ke-7 penulis tenar itu dalam satu waktu sekaligus, mengingat kesibukannya masing-masing yang luar biasa.

Saya salah satu pecinta tulis yang malang, hiks, tidak berkesempatan hadir dalam event keren ini. Tapi saya tidak perlu berkecil hati, karena ada para sahabat yang hadir yang tidak segan berbagi pengalaman berharga ini.

Kebetulan saya gabung di komunitas menulis ODOP (One Day One Post) Batch 4. Sebuah komunitas online yang saling menyemangati dalam hal tulis-menulis. Nah, beberapa sahabat saya di komunitas ini beruntung bisa menghadiri event langka di Taman Ismail Marzuki, Jakarta ini.


Ini contoh para sahabat maya yang akhirnya bisa kopdar di event JP.
Para sahabat saya selain bisa berburu ilmu langsung pada para penulis di atas, juga bisa kopdar bertemu teman-teman yang selama ini hanya berkomunikasi di dunia maya. Sungguh menyenangkan sekali. Saya hanya bisa pasang muka pengin. Hihihi...

Kang Fery foto bersama para pecinta menulis, paling ganteng dari sebelah manapun.
Salah satu sahabat, yang juga adalah pengurus di ODOP, yakni Kang Fery, dengan senang hati berbagi ilmu yang diperoleh dari event Jumpa Penulis ini. Berikut ini, beberapa catatan beliau yang di-share di grup ODOP, yang saya ringkas, yang semoga bisa bermanfaat. Saya minta izin Kang Fery ya, untuk share di blog saya ini.

Ini Kang Fery ODOP yang berbaik hati share pengalaman di JP
1. Tere Liye

Beliau mengatakan bahwa sudah menulis selama 25 tahun. Menulis itu harus ditumbuhkan, dan terus dirawat meski masih berupa lilin kecil, agar bara apinya berkobar membara dan bisa menerangi dunia.

Tere Liye menasihatkan agar berhenti mengeluhkan kesibukan dan tidak punya waktu untuk menulis. Menulis membutuhkan latihan, yang tentunya bukan perkara mudah, dan merupakan perjalanan panjang. Beliau mengisahkan proses penulisan novelnya yang berjudul "Pulang", 70% diselesaikan di atas kereta! Di mana saja kita bisa menulis. Manusia modern kan terbiasa menulis lebih dari 1000 kata per-hari. "Cek pesan WhatsApp-mu," kata beliau.


Perjalanan menulis seorang Tere Liye tidak selalu mulus. Dulu, novelnya yang berjudul "Hafalan Shalat Delisa", perlu melewati 2 kali penolakan penerbit, sebelum akhirnya berjodoh dengan penerbitnya, bahkan sampai difilmkan.

Closing statement dari Tere Liye, "Waktu terbaik menanam pohon adalah 25 tahun yang lalu. Jangan berkecil hati jika belum, karena waktu terbaik kedua adalah hari ini! Menulis adalah salah satu jejak keabadian. Tanamlah pohon kepenulisan sekarang juga."

2. Tendi Murti

Beliau mengenalkan KMO (Komunitas Menulis Online), dan memperkenalkan seorang penulis disabilitas bernama Indah, yang menulis lewat handphone dan tidak pernah sekolah.


Tendi Murti lalu menyemangati dengan Ikrar Peristiwa: "Saya mengijinkan diri saya untuk menjadi penulis dan menerbitkan 1 buku dan menjadikannya best seller atau lebih dari itu."

3. Ahmad Rifai Rifan


Beliau menyampaikan Kunci Sukses Menulis, yakni: Motivasi, Eksekusi, dan Konsistensi. "Ibadah diterima Tuhan jika memenuhi dua syarat, niat dan cara. Begitu pun menulis."

4. Ippho Santosa

"Ilmu itu seperti kijang, kalau kita tidak mengikatnya, maka akan lepas begitu saja. Bagaimana mengikatnya? Dengan menulis," kata Ippho Santosa. "Orang yang menulis biasanya selalu tenang dan telah berdamai dengan dirinya sendiri."


Beliau memaparkan banyak hal tentang kepenulisan. Sampai juga pada poin, jika seorang penulis sudah menerbitkan karya dan diundang dalam acara-acara. Maka tipsnya:

- Memasang niat dan berdoa
- Menghilangkan gugup
- Membedakan audiens agar tepat apa yang akan diomongkan
- Menyamakan audiens, anggap semua sama
- Memahami posisi bagus berdasar pengamatan orang lain, bukan diri sendiri
- Membaur dan kontak mata, bergerak ke semua, jangan hanya satu sisi
- Memahami VAK, Visual Audio Kinestetik.

5. Helvy Tiana Rosa

HTR mengutip pesan Umar bin Khattab ra., "Ajarkanlah anak-anak kalian menulis, karema menulis akan mengubah pengecut menjadi pemberani."


Jenis tulisan apa pun, kalau ditulis dari hati, maka akan menggugah hati-hati yang lain. "Menulislah yang memberi makna, bukan hanya jejak di dunia, tetapi jejak sampai akhrat," nasihat beliau.

HTR juga memberikan tips menjadi penulis: Tekad kuat, mau berlatih, dan bergabunglah dalam komunitas menulis.

6. Dewa Eka Prayoga

Dewa Eka Prayoga menulis berdasar pengalaman pribadi. Beliau berkisah pada tahun 2012, di usia 21 tahun, mengalami bangkrut besar hingga hitungan 7 miliar! Setelah itu, menulis menjadi aktivitasnya.


“Penulis harus bisa jualan,” kata beliau. Bagaimana supaya laris sebelum launching? Ada 3 step:

Pertama, Personal Branding. Sharing-sharing dahulu, selling-selling kemudian. Makin kita narsis, makin eksis dan makin laris. Jadi expert dan jadi ahli.

Kedua, List Building. Bangun database (follower). Manfaatkan semuanya, email, Facebook group, WhatsApp, Telegram, Line, dan lain-lain.

Ketiga, Cyber Army. Bangun pasukan digital sebagai asset pendongkrak penjualan. Rekrut, bina caranya, dan komporin terus.

“Tidak semua rencana berhasil, apalagi tidak merencanakannya,” kata beliau. So, ada 4 hal yang harus dilakukan: Rencanalan seperlunya, action sebanyaknya, doa sekencangnya, dan sedekah sebanyaknya.

7. Asma Nadia

“Menulis adalah menebar semangat, menebar inspirasi, dan melangitkan mimpi,” kata Asma Nadia.


Pada kesempatan ini, beliau melaunching novel Bidadari untuk Dewa, yang merupakan kisah hidup Dewa Eka Prayoga. Kisah Dewa menarik karena melibatkan tantangan yang lengkap, yaitu harta, tahta, dan wanita, serta jatuh-bangun yang hebat di usia muda.

Demikian sedikit ringkasan sangat singkat yang berhasil saya himpun dari sharing Kang Fery ODOP. Semoga bermanfaat.

*Semua foto hasil jepretan Kang Fery, dan ada 2 foto share dari Mbak Uky ODOP. Copyright ada pada mereka.

Kerinduan Itu Bernama Alakatak


Mobil mewah berplat ibu kota negara itu berhenti di Pasar Tawangkuno. Hari itu Kliwon, hari pasaran di Tawangkuno, selain Pahing. Dari mobil yang menepi itu turun seorang ibu paruh usia, ia hendak berangkat kembali ke kota. Melangkah segera ke arah salah satu penjual di pasar. Apa yang ia beli? Alakatak.

Di lain waktu, lain kesempatan. Seorang perantau sukses yang baru mudik. Menyempatkan ke Pasar Cakruk. Satu yang membuatnya kangen yang harus segera ia beli. Alakatak.

Seorang ibu pulang dari Pasar Watukelir. Disambut anaknya yang baru masuk SMP. Apa yang ia tunggu sebagai oleh-oleh sang ibu dari pasar? Alakatak.

Pasar Pon Kandren, seorang nenek sedang duduk melepas lelah sambil menikmati makanan kesukaan beliau. Alakatak.

Di Jakarta. Suatu ketika. Beberapa anak muda perantau dari Weru, Sukoharjo, terlihat mengobrol. Di dekat mereka ada bungkus rokok, asbak penuh abu, biskuit, dan botol minuman ringan. Tapi ada yang dirindukan oleh lidah mereka yang tidak bisa dijumpai di Jakarta. Alakatak.


Iya. Alakatak. Di manapun di dunia ini, di belahan bumi sebelah mana juga, mungkin banyak dijumpai makanan enak, nikmat, gurih, sedap, dan menggiurkan. Tapi tidak akan bisa menandingi cita rasa makanan khas dari Weru, Sukoharjo, Jawa Tengah ini. Tentu ini berlaku bagi masyarakat dan perantau yang asli dari Kecamatan Weru dan sekitarnya.

Namanya alakatak. Tempe alakatak. Atau biasa juga disebut tempe lekatak. Makanan ini memang hanya bisa dijumpai di pasar-pasar tradisional di sekitaran kecamatan Weru. Menjadi oleh-oleh khas para ibu sepulang dari pasar. Memanjakan lidah para pecintanya. Dan setiap orang dari Weru bisa dipastikan sangat menyukainya. Tidak terkecuali. Berbagai usia, anak, remaja, dewasa, orang tua, kakek-nenek, semuanya. Mereka akan sepakat dengan kenikmatannya. Tak ayal, mereka yang merantau pun akan selalu mencari alakatak setiap kali mudik.


Alakatak adalah makanan berupa tempe yang berbahan dasar sejenis kacang-kacangan atau polong, benguk namanya. Direbus, digiling, dibumbui kunyit dan kelapa. Disajikan basah atau lembek empuk, sedikit kenyal digigit.

Alakatak biasa dilengkapi dengan mie bertekstur lembut dengan warna putih atau kuning berbentuk kotak memanjang. Mie ini dibuat dari bahan tepung tapioka. Rasanya gurih dan sangat memanjakan lidah....

Alakatak selalu dibungkus dengan daun jati, dengan potongan lidi sebagai penusuknya agar tertutup aman. Tusuk dari lidi ini juga biasa digunakan untuk menusuk alakatak saat memakannya.


Makanan yang selalu dirindukan pecintanya ini hanya bisa ditemui di kecamatan Weru. Harganya murah-meriah. Siapa pun bisa membelinya di pasar tradisional Weru. Sebutlah Pasar Watukelir, Pasar Tawangkuno, Pasar Kersan, Pasar Cakruk, atau sedikit keluar dari Weru yakni di Pasar Tawangsari.

Apakah Anda penasaran dengan alakatak? Kalau iya, maaf, Anda harus ke Weru, Sukoharjo, karena makanan khas ini tidak memungkinkan dikirim ke luar daerah. Hal ini disebabkan tidak adanya bahan pengawet makanan yang dipakai dalam proses produksi alakatak. Ditambah lagi campuran kelapanya yang membuatnya tak cukup awet untuk dimakan di lain hari. Bahkan, pagi dibeli tidak bisa dimakan sore, pasti sudah basi dan tak lagi enak dinikmati.



So, Anda penasaran dengan alakatak, maka mau tidak mau harus berkunjung ke Weru, Sukoharjo. Alakatak, memang tiada duanya....

Kecerobohan Seorang Panglima Perang


Serial Lembar Ibrah
Dalam kisah Usamah bin Zaid Kecerobohan Seorang Panglima Perang
Dikisahkan oleh Suden Basayev

Mirdas bin Nuhaik tertawa penuh kepuasan. Pedang terhunusnya masih berlumuran darah bahkan cacahan daging musuh yang berhasil ia bunuh. Sudah beberapa nyawa pasukan muslim berhasil dia habisi.

Kembali Mirdas bergerak. Tebasan pedangnya kian menggila. Kembali nyawa-nyawa melayang dibabat tajamnya pedang yang ia sabetkan.

"Mirdas bin Nuhaik!" suara seseorang di antara kecamuk perang.

Mirdas menoleh. Berdiri dengan pedang terhunus juga, seorang panglima perang muslim yang masih muda tapi sangat disayang Rasulullah.

"Anak sahayanya Muhammad rupanya?!" Mirdas menyeringai. Ia sudah banyak mendengar keahlian bertempur panglima perang di hadapannya itu. Baru kali ini berkesempatan mencobanya.

"Sudah banyak nyawa para sahabat melayang di tanganmu. Kini tiba saatnya aku yang menghabisi nyawamu, wahai Mirdas."

Mirdas tertawa keras. "Usiamu masih muda, tidakkah sayang jika hari ini kau berhadapan denganku, wahai Usamah bin Zaid?"

"Apa yang aku takutkan padamu? Ayo, majulah, jemput kematianmu!" sentak panglima perang muslim yang memang adalah Usamah putra Zaid bin Haritsah.

"Sombong kau, anak muda! Mari kita lihat, siapa yang lebih pandai bermain pedang!"

Mirdas berseru keras sambil maju menyerang. Usamah menyambutnya. Pedang beradu di udara menimbulkan percikan bunga api. Pertempuran seru berlangsung. Tampaknya, masing-masing memiliki keahlian bermain pedang dengan baik, hingga pertarungan berlangsung cukup lama.

Mirdas bin Nuhaik semakin penasaran. Serangannya dengan mudah dimentahkan Usamah. Dia makin membabi buta. Tapi justru itulah gerakannya menjadi tidak terkendali. Tak berapa lama, Usamah terlihat di atas angin.

Serangan Usamah gencar sekali. Beberapa sabetan pedang panglima perang muslim itu berhasil melukai lengan Mirdas. Mirdas terdesak. Benar-benar terdesak.

Usamah terus memburu Mirdas tanpa ampun. Keadaan Mirdas benar-benar terjepit. Pedangnya terlempar, tak sanggup menahan sabetan pedang lawan.

Tapi Usamah dibuat terkejut, saat hampir ia tusukkan pedang ke tubuh Mirdas, mendadak lelaki itu berseru mengucapkan kalimat syahadat. "Asyhadu alla illaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullaah!"

Usamah menahan tusukan pedangnya. Sementara Mirdas sudah benar-benar tidak berdaya.

"Mirdas, dalam keadaan seperti ini, engkau berlindung dengan pura-pura beriman? Aku bukan panglima perang bodoh yang mudah kauperdaya!" Usamah meragukan keimanan Mirdas.

Tak ayal lagi, pedang Usamah berkelebat. Mirdas menjerit keras saat pedang panglima muslim itu menembus lambungnya. Darah mengucur deras. Berakhirlah sudah perjalanan hidup Mirdas di tangan Usamah.

Kabar terbunuhnya Mirdas sampai ke Rasulullah Saw. Termasuk syahadatnya sebelum mati.

"Usamah, begitukah perlakuanmu kepada seorang yang telah bersyahadat?" bentak Rasulullah Saw. Kentara sekali kemarahan beliau.

Usamah mencoba membela diri. "Tapi, ya Rasul, dia hanya berpura-pura agar tidak dibunuh!"

"Usamah, mengapa tidak sekalian engkau belah saja dadanya, sehingga kau bisa melihat apakah hatinya bersyahadat atau tidak?!"

Usamah sama sekali tidak berani melihat wajah merah Rasulullah yang sedang marah itu. Sungguh, seumur hidup baru kali ini Usamah menjumpainya.

"Ya Rasulullah. Kalau demikian adanya, ampunilah saya. Saya mohon mintakan ampunan kepada Allah atas kecerobohan saya...."

Usamah bertaubat. Rasulullah tetap memutuskan dia bersalah. Tapi tidak berlaku hukum qishas (nyawa dibayar nyawa), karena Usamah membunuh dalam situasi perang. Dibantu Rasulullah Saw, Usamah mengumpulkan harta berupa 100 ekor unta untuk membayar diyat kepada keluarga Mirdas. Sungguh, begitu besar nilai nyawa seorang yang sudah berikrar syahadat di mata Rasulullah Saw.

Raden Hasan dan Raden Husain


Serial Janma Jatya
Bagian Satu
Raden Hasan dan Raden Husain

Dua pemuda itu adalah Raden Hasan dan Raden Husain. Berkuda di sebuah padang rumput di tepi sebuah hutan kecil di arah timur Kadipaten Palembang.

"Kando Hasan, kita berhenti dulu," salah satu di antaranya berseru. Ia menarik tali kekang kudanya.

"Ada apa, Dindo Husain?"

"Aku mau menantang Kando bermain panah," jawabnya. Ia lalu turun dari punggung kuda, menuntun binatang perkasa itu dan mengikatnya di bawah sebatang pohon trembesi tua.

Raden Hasan hanya tersenyum. Pemuda gagah itu tidak bersegera turun dari punggung binatang tunggangannya. Ia hanya mendekatkan kudanya ke arah adiknya yang selesai mengikat kuda.

"Kau masih penasaran, Dindo?"

"Hahaha." Raden Husain tertawa kecil. "Aku sudah melatih lagi kemampuanku memanah, Kando. Kando akan segera menyaksikannya."

"Aku percaya, dan dengan senang hati, kuterima tantanganmu, Dindo."

Tidak menunggu lama, Raden Husain lekas memasang papan kayu untuk sasaran anak panah. Papan kayu randu alas yang cukup lebar, yang diberi goresan berwarna merah. Goresan berupa lingkaran bulat dengan titik tengah sebagai sasaran utama, dan beberapa lingkaran kecil mengelilingi titik itu dengan ukuran makin membesar. Di mana semakin jauh dari titik utama, maka anak panah yang menancap tentu saja yang kalah.

"Lihatlah, Kando, aku akan perlihatkan kemampuan Husain yang sesungguhnya."

Raden Husain menenteng busurnya. Menjauh dari papan sasaran. Setelah jarak dirasa cukup, segera memasang sebatang anak panah. Merentang tali busur dengan gaya sedemikian rupa, dan tidak lupa melirik ke arah kakaknya sebelum meluncurkan anak panah. "Jangan kedipkan matamu, Kando."

Raden Hasan tertawa ringan. "Pasti, Dindo. Aku juga mau tahu perkembangan latihanmu."

Mendengar itu, Raden Husain kian tertantang untuk membuktikan ketepatannya memanah sasaran. Tatapan matanya tajam menusuk titik merah di tengah papan sasaran. "Bismillahir rahmanir rahim," desisnya.

Settt!!!

Jlebbb!

Anak panah batang kayu bermata besi lancip itu meluncur dengan sangat deras ke arah sasaran. Luar biasa, mata besi lancip itu benar-benar menancap pada sasaran yang diinginkan pemanahnya.

Raden Husain berseru girang. "Lihatlah, Kando, lihatlah!"

Raden Hasan memberikan tepukan tangan tanda salutnya. "Sangat mengesankan, Dindo. Sungguh kau seorang pemanah jitu sekarang," Raden Hasan menanggapi.

"Kando bisa melakukannya lebih baik, dan aku belum ada apa-apanya," Raden Husain merendah, menyadari bagaimana sang kakak yang memang jago dalam memanah. Tidak hanya memanah, seluruh senjata bisa dia mainkan dengan sangat sempurna. Dan Raden Husain selalu iri dengan kemampuan kakaknya itu.

"Tapi hasil latihanmu sangat memuaskan, Dindo," Raden Hasan tetap memberikan pujian tulus.

"Giliranmu, Kando...," Raden Husain mengingatkan.

Raden Hasan tersenyum. Ia tidak turun dari punggung kudanya, tapi malah menggebraknya hingga binatang berbulu hitam pekat itu meringkik keras, mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi, lalu berlari menuruti kemauan penunggangnya.

Raden Hasan memacu kudanya berkeliling padang rumput. Adiknya melihat saja kelakuan sang kakak. Pemuda gagah itu sambil berkuda mengangkat busur panah. Memasang satu batang anaknya. Dan kudanya terus bergerak.

Raden Husain penasaran akan apa yang akan ditunjukkan sang kakak. Ia hanya tidak mau melewatkan sekejap pun pertunjukan yang kakaknya tampilkan.

Raden Hasan melihat sekilas ke papan sasaran, yang di tengahnya menancap anak panah yang dilepas sang adik. Dengan gerakan cukup gesit dan sangat cepat, ia merentang busur, dan tak lama kemudian anak panah itu sudah meluncur dengan deras, nyaris Raden Husain tidak melihatnya.

Siuutt!

Jleebb!


Raden Husain terperangah. Takjub dan nyaris tidak bisa percaya akan apa yang dilihatnya. Anak panah yang dilepas Raden Hasan membelah anak panahnya yang sudah menancap lebih dulu pada papan sasaran. Anak panah Raden Hasan tepat pada titik sasaran, dengan membelah anak panah Raden Husain menjadi dua bagian!

"Kando..., luar biasa, aku tidak percaya Kando melakukannya!" seru Raden Husain seraya mendekat papan sasaran.

Raden Hasan menghentikan lari kudanya di dekat sang adik. "Kalau kau giat berlatih, kau juga bisa melakukannya, Dindo...," kata Raden Hasan.

Raden Husain menggeleng-geleng kepala masih penuh ketakjuban. Raden Hasan mendongak ke langit sebelah barat. Senja mulai turun. "Dindo, sebentar lagi Magrib tiba. Ayo kita kembali ke Kadipaten. Aku tidak ingin Bundo kebingungan karena kita belum pulang."

Meski masih belum hilang rasa takjubnya, Raden Husain tidak membantah. Ia kemasi papan sasaran. Ia masukkan kembali ke keranjang besar tempatnya menyimpan beberapa alat latihan olah kanuragan. Tak lama kemudian, keduanya sudah menggebrak kuda masing-masing menuju kota praja Kadipaten Palembang. Sementara di langit barat, matahari sudah memudar sinarnya.

(Semoga) Bersambung....

Inilah 7 Langkah Taktis Agar Cerpen Lolos Redaktur Media Cetak


Bagi seorang penulis, baik pemula atau yang sudah kawakan, pasti selalu ingin buah karyanya dibaca banyak orang. Salah satu cara agar banyak pembaca tentu saja dengan memublikasikannya di media cetak, baik itu koran atau pun majalah.

Untuk menembus koran atau majalah memang tidak mudah, tapi juga bukan hal mustahil karena memang media cetak tersebut juga membutuhkan karya terbaik para penulis untuk dimuat di sana. Kita perlu memperhatikan beberapa langkah taktis untuk bisa mendapatkan peluang besar dimuat di media massa.


Dalam sebuah buku berjudul Menulis Kreatif Itu Gampang!, karya Sri Wintala Achmad, terbitan Araska Publisher, Yogyakarta, penulis merumuskan paling tidak 7 pedoman langkah taktis yang bisa kita jadikan acuan dalam mengirimkan naskah ke media massa.

1. Ditulis dengan Rapi

Menurut Sri Wintala Achmad, redaktur sastra media massa tentu memiliki tingkat kesibukan tinggi, apalagi jika karya yang masuk ke mejanya banyak sekali. Labgkah taktis paling awal yang harus kita persiapkan, adalah dengan mengirimkan naskah yang sudah rapi penulisannya. Sudah kita edit semaksimal mungkin masalah penulisan aksara dan tanda baca. Nah, karya bagus dengan kerapian editannya akan berpeluang besar untuk dimuat.

2. Judul Harus Menarik

Saya setuju dengan poin ini. Judul adalah pandangan pertama redaktur atas naskah kita. Gunakan judul semenarik mungkin yang tentu juga harus sesuai isi. Soal penulisan tetap dengan font lebih besar dari pada font isi. Gunakan font kapital dan ditebalkan (bold).

3. Isi Cerita dan Ending harus Menarik

Ini menjadi penting karena memang kualitas tulisan dilihat di sini. Oh, iya, gunakan tema sesuai momentum agar mendapat prioritas untuk dimuat. Misalnya tema wanita saat mendekati peringatan Hari Kartini, tema perjuangan saat menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI, dan sebagainya.

4. Tidak Mengandung Unsur SARA dan Pornografi


Jauhi pemuatan unsur SARA apalagi berbau pornografi. Sekalipun naskah kita bagus, tapi karena melanggar pantangan ini, maka redaktur akan membuangnya ke tempat sampah, karena media massa adalah milik umum yang harus sangat berhati-hati dalam pemuatan naskah.

5. Menyesuaikan Ketetapan Redaktur


Setiap redaktur memiliki ketetapan masing-masing dalam membatasi jumlah halaman yang diperlukan, termasuk misalnya harus spasi ganda, pengaturan kertas A4 dan sebagainya. Hal teknis dari redaktur harus ditaati agar peluang dimuat lebih besar.

6. Mengirin Intensif hingga Redaktur Mengenal Anda

Jadi jangan pernah putus asa. Naskah pertama, kedua, ketiga ditolak, tetaplah terus mengirimkan naskah selanjutnya. Kirimlah misalnya seminggu sekali, maka ketika redaktur mengenal dan mengetahui kualitas kita, maka redaktur pasti memuatnya.

7. Jangan Mengirim Cerpen Baru Sesudah Cerpen Lama Dimuat
Sri Wintala Achmad mengingatkan agar setelah naskah kita dimuat, kita dianjurkan bersabar dan menahan diri. Jangan dulu mengirim naskah baru. Pertimbangan ini karena dalam rentang waktu tertentu, redaktur tidak akan memuat nama penulis sama, tetapi akan memilih menyajikan tulisan karya penulis lainnya yang sudah mengantri.

Itu 7 langkah taktis dari buku Menulis Kreatif Itu Gampang!. Sudah siapkah mencoba mengirimkan naskah ke media massa? Memang tidak mudah tapi bisa kita usahakan.  Betapa kita akan merasakan kepuasan tersendiri saat naskah berhasil menembus media cetak. Apalagi saat honor menulis kita terima.

Yuk, menulis dan terus mengasah kemampuan kita. Semoga kita bisa istiqamah menyampaikan kebaikan dalam karya-karya kita.