Coretan Basayev: September 2017

Cerita Romantis di Jumat Gerimis


Belajar memahamimu adalah belajar bagaimana aku tidak menyakiti hatimu.

"Yah, bagaimana menurutmu?" tanyamu untuk kesekian kali.

"Apa, Say?"

"Ayah kalau sudah melihat handphone lupa sama istri," protesmu.

Sejenak kualihkan dari menatapi layar Android. Menemukan matamu pada raut setengah kesal. Begitu kamu lucu bagiku. "Ada apa, Bunda cantik?"

"Dari tadi diajak ngobrol nggak nyambung. Belakangan ini, Ayah lebih sering mantengin handphone."

"Ada kelas online, Sayang. Lagi bedah tulisan teman."

"Ya sudah, lanjutkan saja."

Kamu keluar kamar. Aku biarkan. Kembali menekuni layar handphone. Menyimak peserta grup Kentang ODOP Batch 4 yang tengah mengkritisi tulisan nonfiksi Mbak Nazfa yang berjudul Alih Fungsi Lahan, Penyebab Utama Banjir Bandang Garut.

Aku memang lebih banyak sekedar, eh, sekadar menyimak saja. Tulisannya sudah oke punya, dengan sumber referensi yang serius, seserius penyajian yang dipaparkan Mbak Nazfa. Sukses selalu, Mbak.

Beberapa saat, kamu masuk kamar lagi. Tapi tidak hendak mengusik keasikanku lagi. "Marah, Say?" tanyaku.

"Halah, terusin saja. Tuh bunyi lagi," katamu saat terdengar notifikasi adanya komentar baru di grup. Kamu memilih membetulkan posisi tidur Humaira, anak kedua kita yang baru 10 bulan itu.

"Hehe. Iya, kelasnya sebentar lagi kelar kok," kataku tanpa ditanya.

Belajar memahamimu adalah belajar bagaimana aku tidak menyakiti hatimu.

Akhirnya closing statement. Bedah tulisan diakhiri. Dan tak sempat kubahas di sini.

Kutaruh handphone. Tepatnya, ku-charger. "Sudah. Nih, handphone tak taruh," kataku padamu.

"Baterai low, kan? Coba kalau enggak," rajukmu.

Aku tersenyum. Apalagi masih melihat wajah kesalmu yang belum hilang.

"Maaf ya, Say. Hobi Ayah nulis bikin Bunda jengkel."

Kamu tidak menanggapi. Lekas kusambung, "Kan Ayah nggak hobi nonton bola larut malam, nggak hobi keluar malam, nggak hobi..."

"Ya sudah, yang penting Ayah nggak neko-neko," potongmu lekas.

"Neko-neko apaan?" tanyaku sambil senyum-senyum. Jengkelmu sudah berkurang banyak lho. Aku tahu, kamu akan tetap mensyukuri apapun tentangku. Rajukmu pun bukan hal yang perlu kukhawatirkan. Hehehe.

"Ayah belum nulis setoran ODOP buat besok kan?" tanyamu.

"Belum dapat ide."

"Ya cari idenya, terus ditulis," katamu. Aku memaknainya sebagai saran yang bagus.

"Iya, iya. Ayah persiapkan dulu tulisan buat esok," sambutku.

Belajar memahamimu adalah belajar bagaimana aku tidak menyakiti hatimu.

Alhamdulillah, kelar. Ambil hikmahnya saja. Sementara gerimis di luar masih ritmis, menutup Jumat di hari ke-29 bulan September 2017 dengan romantis.

Ada "Rindu di Semangkuk Sup Kelereng Merah"



Kamis, 28 September 2017, dari pukul 20:00 sampai 22:00 adalah jadwal bedah tulisan di grup Kentang One Day One Post (ODOP) Batch 4. Tulisan yang dibedah adalah sebuah cerpen berjudul Rindu di Semangkuk Sup Kelereng Merah karya Mbak Rahayu Wulansari.

Sayangnya, aku tidak bisa online bersama teman-teman untuk membedah karya cantik dari Mbak Rahayu ini. Bersamaan waktu, aku menjadi pemandu acara di kampung, yakni pemutaran film Pemberontakan G30S/PKI yang diselenggarakan Takmir Masjid bekerja sama dengan Koramil setempat. Jadinya, terpaksa aku tidak bisa ikut membedah cerpen Mbak Rahayu ini. Maafkan aku ya, Mbak Rahayu.

Sebagai gantinya, aku mau sedikit mengomentari tulisan Mbak Rahayu yang sangat apik ini. Cerpennya ber-setting luar negeri, yakni Taiwan. Dan jujur, aku belum pernah sekalipun bisa menulis cerpen dengan setting luar negeri. Mbak Rahayu ini keren, bisa menuliskannya dengan asik, enak, mengalir, juga informatif. Menurutku, agar bisa menghasilkan cerita sekeren ini tentu harus mengadakan riset atau bahkan harus pernah mengalami tinggal di sana.

Aku membaca cerpen berjudul Rindu di Semangkuk Sup Kelereng Merah ini tanpa menjeda. Sekali baca karena merasa enak menikmatinya. Meskipun sedikit banyak aku bisa memprediksi ke arah mana endingnya. Tapi sangat terhibur aku mengenyamnya sampai huruf penghabisan.

Membaca judulnya aku malah penasaran, sebenarnya kata yang baku itu mangkuk apa mangkok sih? Soalnya ini judul, jadi 'tidak boleh' salah. Ya, aku langsung nanya ke paman jauhku, yakni Pamanda Google. Kata beliau memang sudah benar mangkuk, bukan mangkok. Ya sudah, aku tidak bisa mendebatnya.

Cerita sudah mengalir dengan baik dan nyaman. Aku tidak menemukan rasa janggal dalam menikmatinya. Bahkan aku belum melirik sedikit pun kupasan para mentor dan teman-teman di grup Kentang, saat menulis ini. Mungkin mereka lebih jeli dalam menilai tulisan Mbak Rahayu ini.

Mbak Rahayu cukup pintar menceritakan tentang Ama, si Nenek usia 76 tahun itu. Bagaimana rasa kangen beliau pada anak-anak cukup bisa turut kurasakan. Sayang aku belum bisa mengicipi supnya. Hehe. Mbak Rahayu sukses menyajikannya.

Aku belum bisa menulis cerpen ber-setting luar negeri, maka aku tidak punya kapasitas mengkritisinya. Sedikit saja, mungkin Mbak Rahayu agak kurang mengekpos deskripsi tempat di Taiwan-nya. Jadinya agak hambar. Tapi tidak begitu berpengaruh. Cerpennya sudah rupawan.

Membaca karya Mbak Rahayu, maka aku kembali benar-benar merasa bahwa aku ini belum apa-apa. Di ODOP Batch 4 ini aku memang seperti gelas kosong yang belum isi. Semoga bisa banyak belajar dari karya teman-teman semua. Agar gelasku terisi sedikit demi sedikit.

Mbak Rahayu Wulansari, cerpennya keren. Senang berkesempatan membacanya, meski tak bisa bersama teman-teman mengupasnya di grup. Semoga sukses, ke depannya makin banyak karyanya dan makin keren cerpen-cerpennya.

Tulisan ini sekedar asal coret asal komentar. Kalau membuat Mbak Rahayu khususnya, tidak berkenan, aku mohon maafnya ya.

Para Jomblo, Kamu Harus Tahu Ini Sebelum Terlambat


Jomblo pada dasarnya adalah orang yang sedang menunggu sesuatu yang indah pada waktunya, alias menunggu jodoh yang dijanjikan oleh Allah Swt. Pada masa ini segala kegalauan akan menghampiri menjadi teman keseharian.

Pertama kita harus meyakini janji Allah Swt, bahwa setiap kita sudah dicatatkan jodohnya. Jodoh seperti apa yang akan kita peroleh, ternyata bisa kita tentukan sejak dini. Ini tergantung ikhtiar kita soal jodoh.

Para jomblo yang terhormat. Mungkin kita selama ini selalu menghayalkan jodoh kita seperti ini, yang bisa begini, yang sederhana, yang tidak neko-neko, dan sebagainya. Bisakah itu kita dapatkan?

Baiklah, para pembaca semua, tulisan kali ini akan sedikit mengulasnya. Semoga bisa dipahami dan diambil manfaatnya.

Saya pernah baca sebuah kutipan yang entah dari mana asal muasalnya, tapi sangat bagus untuk kita pahami. Bunyinya, "Kita adalah gambaran pasangan kita kelak."

Apa maksudnya?

Begini. Kita yang saat ini menunggu jodoh, marilah sejenak bercermin di kaca benggala. Tengok dan kenalilah diri sendiri. Kalau sudah, sesuai kutipan di atas, maka seperti inilah gambaran jodoh yang akan kita dapatkan.

Masih belum paham?

Ketika kita menginginkan jodoh kita adalah seorang gadis yang baik hati. Maka gambaran gadis yang baik hati itu harus ada pada kita, kita harus jadi seorang perjaka yang baik hatinya. Ketika kita mengimpikan jodoh seorang gadis yang shalilah taat beragama, maka gambaran itu harus kita wujudkan pada diri kita, yakni dengan membentuk pribadi kita sendiri menjadi seorang perjaka yang shaleh dan taat pada agama. Jadi, kita adalah gambaran pasangan kita kelak. Gamblang, kan?

Selanjutnya, meski belum mendapatkan jodoh, ternyata kita juga perlu memikirkan lagi jauh ke depan. Soal anak. Heh? Anak? Kan jodoh saja belum dapat!

Pernikahan tentu saja di kemudian hari akan berlanjut dengan keinginan kita mendapatkan keturunan yang baik-baik. Dan para jomblo jangan menganggap ini bukan kapasitasnya untuk dipikirkan.

Mumpung masih jomblo, maka kita harus sudah bersiap untuk memiliki gambaran bagaimana keinginan kita memiliki anak nantinya. Apakah ini tidak terlalu buru-buru? Oh tidak.

Sebagai jomblo kita harus berdoa kepada Allah agar kelak diberi keturunan yang shaleh dan shalehah. Keturunan yang baik akhlaknya. Yang bisa menjadi kebanggaan kita kelak.

Sedikit flashback ke masa dulu, zaman Rasulullah Muhammad Saw. Ingat ketika beliau dicaci bahkan dilempari batu oleh musyrikin di kota Thaif. Saat itu malaikat yang geregetan menawarkan pada beliau untuk menimpakan dua bukit Makkah pada mereka. Tapi apa kata Rasulullah Saw?

Dengan hati lembut lagi penyayang, Rasulullah menjawab, "Aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari sulbi mereka orang-orang yang mau menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun." (Hadits riwayat Bukhari).

Artinya, Rasulullah Saw berdoa agar ada keturunan baik di masa mendatang bagi mereka. Dan tentu doa ini jauh-jauh hari sebelum akhirnya dari para musyrikin itu nantinya memiliki keturunan justru yang menjadi pembela agama Allah Swt.

Dari kisah tersebut, para jomblo sudah sepantasnya mengambil hikmah bahwa meskipun belum ada jodoh, maka kita harusnya sudah mulai berdoa kepada Allah agar kelak diberi keturunan yang baik, sesuai idaman kita.

Allah yang Maha Mendengar tentu akan mengabulkan doa hamba-Nya yang tulus. Ketika para jomblo meminta kelak diberi keturunan baik, maka Allah pun akan menyiapkan ibu yang baik bagi calon anaknya kelak. Dipadukan dengan ikhtiar kita menjadi pribadi yang baik maka sangat pas sekali, sehingga kita akan memetik indahnya pertemuan dengan calon jodoh kita nantinya.

Para jomblo, apa yang kamu tunggu? Mulailah. Kamu yang harus memulai. Dan harus sejak sekarang. Semoga bermanfaat.

Mereka Membantai Saya Habis-Habisan



Padepokan Kentang sejenak hening. Bukan karena ditinggal pergi para penghuninya. Justru mereka tengah berkumpul di ruang aula pertemuan. Keempat guru terlihat duduk bersila di depan para cantrik yang tengah dikumpulkan. Mereka adalah Guru Syaiha, Guru Ik, dan Guru Nova yang terlihat kurang sehat. Sementara Guru Mabruroh tampil sebagai pemandu pertemuan.

"Malam ini, kita berkumpul di sini, bukan tanpa keperluan," Guru Mabruroh mulai berkata-kata penuh wibawa. Matanya tajam memandang ke arah salah satu cantrik yang didudukkan di tengah-tengah aula, di antara para guru dan cantrik lainnya.

Cantrik itu adalah Wakhid. Dia terpekur menatap lantai. Ia sadar menjadi sorotan malam ini.

"Kau tahu mengapa kau didudukkan di situ?" tanya Guru Mabruroh ditujukan pada Wakhid.

"Ampun, Guru," kata cantrik bernama Wakhid itu. "Saya di sini untuk mempertanggungjawabkan tentang nasib Emak yang merasa tidak betah ikut anaknya di tempat indah yang disebutnya istana. Saya siap menerima segala wejangan."

"Bagus. Dan siap tidak siap, kau harus legawa jika kami semua akan memojokkanmu."

"Guru Mabruroh." Guru Syaiha angkat suara. "Tidak perlu berlama-lama. Mulailah."

"Baiklah. Para cantrik semua. Di depan kalian ada teman kalian yang telah dengan sengaja menyesatkan seorang Emak. Silakan kalian berikan urun rembuk tunjuk ajar."

Beberapa saat para cantrik saling pandang. Seorang cantrik bernama Nazfa tampak membolak-balikkan halaman sebuah Kitab KBBI. "Guru, tidak seharusnya dia menggunakan kata "sekedar". Menurut KBBI, harusnya "sekadar". Dia bersalah untuk hal ini, Guru."

"Bagus," sambut Guru Mabruroh. "Kalian ingat ini. Jangan pakai "sekedar", yang benar "sekadar"! Paham?"

"Paham, Guru," nyaris serentak para cantrik menjawab.

Nazfa melirik Wakhid. "Maaf, aku tidak bermaksud tak sopan."

"Tidak perlu meminta maaf, Nazfa!" terdengar Guru Syaiha berkata dengan nada agak keras, saat melihat kesungkanan Nazfa.

"Iya, Guru. Sama kata-kata seperti 'ndak', harusnya dimiringkan. Itu kan sudah terpengaruh bahasa daerah," kata Nazfa pula.

"Iya. Itu juga benar. Semua kata dari bahasa daerah harus dimiringkan," simpul Guru Mabruroh.

Cantrik lainnya, bernama Rahayu, terlihat tidak tenang duduknya. "Ada apa, Rahayu?" tanya Guru Mabruroh melihat itu.

"Ampun, Guru. Sudut pandang orang keduanya bagus. Bahasanya pun mengalir," kata Rahayu segera.

"Kau membelanya?" sentak Guru Mabruroh.

"Ampun, bukan maksud saya begitu, Guru."

"Ya, sudah. Sekarang aku tanya. Apa maksudmu membuat si Emak tersesat segala macam? Apa pesan yang hendak kau sampaikan?" bertanya Guru Mabruroh pada Wakhid.

"Saya hanya ingin agar semua orang bisa memahami perasaan ibu kandungnya, Guru. Apakah itu salah?" Wakhid menjawab dan membalikkan tanya.

"Seharusnya kau tambahi konfliknya," sahut Rahayu. "Apalagi kesannya menggantung, tidak selesai."

"Benar, aku juga belum bisa menangkap pesannya," cantrik bernama Isnaini ikut menanggapi. "Tapi aku bisa mengerti jiwa Emak."

Nurul, cantrik lainnya tak mau ketinggalan. "Titik-titik apa harus tiga kali?"

"Iya. Titik-titik harus 3 kali. Kalau di akhir tambahi 1 lagi sebagai penutup," jawab Wakhid.

Guru Nova ikut berbicara. "Berilah catatan pada kata-kata yang berbahasa daerah, lalu diberi penjelasan di bawah!"

"Iya, Guru."

Guru Mabruroh melihat sekeliling. "Aku tidak melihat Sovia. Mana dia?"

"Sedang di bilik dapur memasak mie, Guru," menjawab salah satu cantrik.

"Baiklah. Aku juga perlu memberikan wejangan." Guru Mabruroh kembali memandang ke arah Wakhid. "Pembukaanmu seharusnya jangan terlalu panjang."

"Iya, Guru."

"Kepanjangan nanti membuat malas orang-orang," Guru Syaiha menyahut. "Padahal awal itu menjadi penentu lanjutannya."

"Guru, apakah kitab KBBI harus jadi acuan?" bertanya cantrik bernama Uky sambil melirik Nazfa yang selalu menenteng kitab itu.

"Itu harus jadi pegangan, Uky," menyahut cantrik lain, namanya Dwi.

Guru Ik angkat bicara. "Kitab KBBI dan sebangsanya kadang tidak perlu kita jadikan aturan wajib jika kita bisa memilih sesuka kita. Meskipun kita memang sebaiknya mengikuti aturannya."

"Aku juga tidak menjumpai Emak pakai jarit dan berbahasa daerah," kata Guru Syaiha pula. "Harusnya itu ada!"

Malam kian larut. Suasana di aula padepokan masih terlihat seru. Semua mengulas ulah Wakhid yang menyesatkan seorang Emak yang tidak kerasan bersama anaknya.

"Baiklah. Sudah larut. Semoga kalian bisa ambil pelajaran ini semua," kata Guru Mabruroh akhirnya.

"Saya akan memperhatikan semua wejangan, Guru," kata cantrik bernama Wakhid itu dengan kelegaan.

Maka demikianlah, suasana malam menyelimuti padepokan Kentang.

***

Terima kasih buat masukan para admin dan teman-teman ODOP Batch 4 di grup Kentang atas cerpen saya berjudul Istana pada acara Bedah Karya tertanggal 26 September 2017. Segala masukan sangat saya hargai. Judul post agak berlebihan, ya? Abaikan sajalah. Sedikit saya simpulkan di sini, ya...

1. Paragraf pembuka jangan terlalu panjang, agar pembaca nyaman untuk melanjutkan paragraf berikutnya.

2. Penggunaan bahasa daerah ditulis miring (italic) dan lebih baik lagi diberi tanda (footnote) dan diberi penjelasan di bawah.

3. Perhatikan ejaan yang benar, seperti sekadar (bukan sekedar), silakan (bukan silahkan), atau peduli (bukan perduli).

4. Jadikan acuan KBBI, EYD, PUEBI agar tulisan kita beraturan, meski boleh saja kita pakai pilihan kata sesuka kita.

5. Jangan sering terjebak menggunakan kata 'dan', 'ku', 'mu' dsb dengan komposisi terlalu sering bahkan berlebihan. Misal setelah titik pakai 'dan', di kalimat berikutnya pakai 'dan' lagi.

6. Tulisan bersifat telling sebaiknya dialihkan ke showing. Kita tidak perlu mengatakan tokoh utama repot di jalan, tapi cukup gambarkan saja bagaimana orang repot di jalan. Tidak perlu bilang tokoh marah, tapi ceritakan bagaimana seseorang sedang marah.

7. Untuk cerita yang bersetting daerah atau tokohnya dari daerah tertentu, ada kalanya perlu ditunjukkan dialog berbahasa daerah tersebut, dengan catatan artinya tentu saja.

Barang kali itu sedikit yang bisa saya tangkap dari wejangan kritik dan saran para admin dan teman-teman di grup Kentang. Semoga semua ini bermanfaat.

Yuk, terus berkarya. Terima kasih.

Sini, Aku Ajarin Nulis di Koran Solopos


Wah, judulnya sok-sokan. Seolah aku sudah jago nulis betulan. Bukan bermaksud sok pintar ya. Anggap saja pancingan biar kamu-kamu klik tautan ke postingan ini. Harapanku sih moga-moga tulisan ini bermanfaat.

Tulisan ini lebih ditujukan buat penulis pemula, kayak aku juga sih. Buat penyemangat saja. Oke, yuk kita mulai.

Solopos adalah koran lokal Kota Solo, Jawa Tengah. Yang tentu menjadi rujukan berita dan informasi seputar Solo Raya dan sekitarnya. Tapi kita tidak akan membahas yang berat-berat kok.

Adalah salah satu rubrik harian di koran Solopos, yang menurutku paling sederhana. Isinya juga yang ringan-ringan. Jadi cocok untuk pemula mengasah karya. Nama rubriknya "Ah Tenane".

Setiap kita pasti pernah mengalami kisah-kisah menggelikan, lucu, memalukan, bahkan mungkin mengenaskan. Peristiwa kecil itu tidak bisa kita lupakan. Tahukah bahwa itu adalah modal dasar untuk menembus Solopos pada rubrik Ah Tenane.

Baiklah, untuk membayangkan seperti apa kisah yang bisa masuk ke rubrik tersebut, di bawah ini aku berikan contoh tulisanku yang berhasil dimuat di Solopos.

Salah Alamat

Jon Koplo memboncengkan istrinya, Lady Cempluk, yang sedang hamil. Keduanya mengikuti mobil Tom Gembus yang berisi beberapa orang meninggalkan Kecamatan Weru, Sukoharjo. Mereka hendak menjenguk Gendhuk Nicole, tetangganya yang habis operasi di rumah sakit di Solo lantaran kecelakaan.

Di tengah jalan, ndilalah motor Koplo tertinggal mobil Tom Gembus. Koplo tidak berusaha mengejar karena takut jika ngebut bisa membahayakan kandungan Cempluk. Sampailah mereka di RS Otopedi Solo. Koplo dan Cempluk melihat-lihat siapa tahu ketemu rombongan Gembus. Tapi tidak ada. Padahal keduanya tidak tahu Gendhuk Nicole dirawat di ruang apa.

Koplo pun menelepon Gembus.

“Halo, Mbus, ruangannya sebelah mana? Aku di dekat masjid rumah sakit. Jemput kemari, ya?” pinta Koplo.

Tunggu punya tunggu, ternyata Tom Gembus tak kunjung nongol juga. Malah HP Koplo berbunyi, ada telpon dari Gembus.

“Halo, Plo. Dekat masjid sebelah mana? Kok nggak kelihatan?”

Cempluk mendadak curiga ada yang tidak beres. “Mas, tanya-a, rumah sakitnya Ortopedi apa bukan?”

Koplo pun bertanya pada Gembus dimana rumah sakitnya. Blaik! Gembus menjawab, “Rumah sakit Karima Utama Kartasura! Lha kalian di mana?”

“Wooo…”  Koplo mendadak lemas. Ternyata salah alamat!

“Makanya, tadi nanya dulu, jangan sok tahu begini,” omel Cempluk sambil mecucu. Dasar… dasar!

Wakhid Syamsudin, Sidowayah RT 001/RW 006 Ngreco, Weru, Sukoharjo
Dimuat di harian Solopos edisi Selasa, 18 September 2023

Satu lagi contoh, ya....

Simbah GR

Hati-hati kalau memanggil teman. Setidaknya itulah yang ingin Jon Koplo nasihatkan kepada semua orang. Pasalnya, gara-gara memanggil teman sekelasnya, siswa SMP Negeri 1 Weru, Sukoharjo ini harus berurusan denga gurunya.

Ceritanya, Tom Gembus, temannya, biasa dipanggil dengan sebutan Simbah. Jon Koplo juga terbiasa memanggil begitu padanya. Nah, pada suatu hari saat jam istirahat, Koplo yang mau nirun PR hasil pekerjaan Tom Gembus, terpaksa berseru memanggil Gembus yang berada di luar kelas. “Mbaaah…! Simbaaah…!”  teriaknya.

Pada saat yang bersamaan, lewatlah Bu Lady Cempluk, guru IPS Ekonomi yang memang sudah sepuh. Merasa ada yang tidak beres, beliau segera memanggil Koplo untuk menghadap ke kantor guru. Koplo yang masih tak tahu alasan dipanggil ke kantor hanya manut saja.

“Le, aku sadar kalau aku sudah tua. Tapi tidak sopan kalau kamu memanggil gurumu dengan panggilan Simbah. Paham?” kata Bu Cempluk dengan nada menasehati.

Blaik!  Koplo baru ngeh atas dengan yang terjadi. Buru-buru ia meminta maaf pada Bu Cempluk dan menjelaskan bahwa yang ia panggil Simbah adalah Tom Gembus, temannya.

Tak lama kemudian Jon Koplo sudah keluar dari kantor guru sambil ngguya-ngguyu dhewe.

Wakhid Syamsudin, Sidowayah RT 001 RW 006 Ngreco, Weru, Sukoharjo 57562
Dimuat di harian Solopos edisi Rabu, 10 Oktober 2012

Aku rasa dua contoh sudah cukup untuk memberikan gambaran tentang seperti apa tulisan yang bisa diterima Ah Tenane. Kalau belum puas akan contohnya, banyak di blog-ku ini kuposting tulisan Ah Tenane kirimanku yang sudah dimuat di Solopos. Obrak-abrik saja....

Baiklah, ketentuannya apa saja?

Tulis pengalamanmu, yang lucu menggelikan atau memalukan dalam format MS Word, cukup 1 atau 2 halaman A4 saja. Jenis font atau ukurannya biarkan standart bawaan MS Word saja.

Tokoh di dalam cerita tidak boleh melebihi 4 orang. Dan semua nama pelakunya wajib diganti dengan nama yang disediakan oleh Solopos. Nama pelaku laki-laki silakan diganti dengan Jon Koplo atau Tom Gembus. Sedang nama perempuan diganti dengan Lady Cempluk dan Gendhuk Nicole. Itu saja, jangan sekali-kali ada nama selain mereka. Di bawah naskah tulisi saja nama asli kamu beserta alamat lengkap.

Kemudian kirim naskah melalui email ke [email protected]. Ingat, di lampiran ya, jangan pada badan email. Selesai. Tinggal nunggu nasib dimuat atau tidaknya.

Bagaimana agar kita bisa tahu cerita kita lolos atau tidak? Kalau langganan korannya bisa cek di halaman depan. Nah kalau tidak langganan atau bahkan tidak berdomisili di Solo bagaimana?

Kita bisa iseng sehari sekali mengecek di website Solopos Hari Ini pada alamat http://pusdat.solopos.com/indeks. Memang sekedar review isi korannya, tapi bisa cek  nama kamu jika dimuat. Atau lihat halaman depan epaper Solopos di http://epaper.solopos.com. Kalau judul Ah Tenane dan paragraf awal mirip tulisan kita, nah berarti lagi rezeki kita. Atau japri aku saja, nanya Ah Tenane siapa yang dimuat hari ini. Kebetulan aku langganan epaper-nya.

Untuk honornya, setiap naskah dimuat akan diberi imbalan Rp75.000,- jika diambil langsung ke Griya Solopos yang beralamat di Jln. Adisucipto No.190 Solo, Telp (0271) 724811. Pengambilan minimal jarak seminggu dari hari tulisan dimuat. Sementara yang tidak bisa mengambil langsung, honor akan dikirimkan ke alamat kamu lewat wesel pos. Dipotong biaya wesel tentunya.

Tertarik dan tertantang mencoba? Ayo, peserta ODOP Batch 4 serbu redaksi Solopos dengan naskah kita!

Oh iya, setiap hari Ah Tenane butuh satu cerita yang dimuat. Kecuali hari Ahad dan tanggal merah. Artinya, peluang dimuat lumayan besar, kan...

Ini dulu postingan kali ini. Semoga bermanfaat untuk kita semua...

Update!
Kata redaktur Solopos, bagi yang alamatnya jauh bisa menyertakan no rekening bank agar honor ditransfer. Atau kalau tidak, bikin surat kuasa pengambilan honor bermaterai 6 ribu, kirim ke alamatku, kapan waktu aku ambil honor bisa kuambilkan sekalian. Tanpa tambahan biaya, santai saja...

Menulis Lagi Tentang Kamu, Seolah Tiada Habisnya



Sungguh kamu adalah yang paling mengesankan dalam hidupku. Apapun tentang kamu, semuanya. Perkenalan itu..., kenekatanku waktu itu..., penolakanmu... Oh, semua masih indah dalam kesanku.

Kamu pasti masih ingat pertama kali kita bertemu. Aku pura-pura mengetikkan jadwal kajian remaja demi menjumpaimu. Bidadari di rental komputer. Ah... Kadang malu sendiri ingat waktu itu. Kamunya cuek saja menyelesaikan ketikan yang kupesan. Tanpa melirikku yang curi-curi padang padamu. Kamu tahu, ada bunga bermekaran ketika itu.

Aku tak perlu menceritakan bagaimana perjuanganku mendapatkan nomer telepon genggammu. Itu tak penting. Yang penting itu, bagaimana aku menyusun kata terbaik untuk kukirim padamu pada SMS perdana.

"Assalamualaikum..., benar ini nomer Ukhti Ningsih?"

Terkirim. Dan serasa seabad menunggumu membalasnya. Kamu sibuk di depan komputermu? Atau tidak dengar ada SMS masuk ke telepon genggammu? Atau jangan-jangan kamu tidak suka merespon SMS dari nomer asing?

Akhirnya balasanmu kuterima. "Waalaikumussalam. Iya. Ini siapa?"

Waduh. Aku siapa? Mengapa mendadak pertanyaan itu sulit aku jawab. Apa aku harus  langsung menjawab, memperkenalkan jatidiriku padamu?

"Ana Sam," kusebutkan namaku.

"Sam siapa? Orang mana?"

"Yang kemarin mengetikkan jadwal pengisi kajian remaja."

"Oo... Yang pakai baju koko tapi rambutnya gondrong itu, ya?"

Kamu mengingatku rupanya. Syukurlah. "Ingatan yang bagus, Ukh...."

"Ada perlu apa ya?"

"Em... sekedar taaruf boleh, kan?"

"Silakan. Ini kan sudah saling kenal."

Paling tidak, aku sudah mengenalkan diriku padamu. Itu sudah sesuatu yang sangat berarti bagiku.

Hari yang kulalui setelahnya adalah hari yang penuh kesan. Sesuatu yang indah, bunga-bunga cinta bermekaran. Dan itu aneh, padahal aku baru mengenalmu. Kesederhanaanmu. Wajah bersihmu tanpa make up berlebih. Kerudung lebarmu. Kesantunanmu. Oh, aku benar-benar tertawan!

Tapi sayang, SMS-SMS susulanku sangat jarang kamu respon. Apa yang terjadi? Kamu tidak suka kukirimi SMS? Sampai aku tergetar pada pesan yang kamu tulis suatu ketika:

"Akhi, pada baris-baris huruf yang antum kirim, ada ribuan anak panah setan yang meluncur. Maafkan jika ana takut meresponnya."

Deg. Aku terhempas. Aku memang salah dengan segala kedunguanku mengirimimu SMS tanpa peduli waktu. Bahkan SMS-SMS bualan tidak ada maknanya, yang justru membuatku sangat buruk dimatamu.

Kamu sangat mengesankan. Itu yang akhirnya kutangkap. Kamu begitu kukuh menjaga diri dari lawan jenis. Bahkan sekedar berbalas SMS. Tahukah... aku semakin kasmaran. Bahkan semakin tertantang untuk mendapatkanmu. Oh....

Entah siapa yang mengembuskan kenekatan pada diri ini saat jari-jariku menulis ini padamu...

"Afwan, Ukh. Ana mau berterus terang pada Ukhti. Ana ingin mencari pasangan hidup, dan ana jatuh hati pada Ukhti. Berkenankah sekiranya Ukhti menerima pinangan ana? Afwan... afwan... afwan!"

SMS itu benar-benar terkirim padamu. Gila... mengapa aku senekat ini? Dan apa yang terjadi sesaat setelah kamu membacanya? Mendadak tubuhku panas-dingin. Aku gemetaran. Aku tidak tahu ada apa dengan diriku.... Aku takut menerima balasan SMS itu. Apa kamu akan menolakku? Ya Allah... jika dia terbaik untukku, jodohkanlah. Jika dia memang tercipta bukan untukku, hilangkanlah pengharapanku padanya.

Kamu tahu, lamanya kamu membalas SMS itu sangat-sangat menyiksaku. Ketakutan-ketakutanku... Bayang-bayang penolakanmu... Apakah akan hancur seketika hatiku?

Tidak sabar akan balasan itu, kukirim SMS susulan, "Jika Ukhti tidak berkenan, maafkanlah SMS tadi. Abaikan saja, Ukh. Anggap tidak ada SMS itu. Afwan...."

Dan balasanmu kuterima...

"Akhi, kita baru kenal nama. Bahkan wajah Akhi saja ana sama sekali tidak ingat. Aneh, antum kok yakin sekali mau meminang ana?"

"Ukh, ana sudah sangat yakin semenjak melihat Ukhti pertama kali."

"Afwan, antum belum tahu siapa ana. Ana tidak sebaik yang mungkin antum perkirakan."

"Ana sudah yakin, Ukh. Apakah niat tulus ana bisa Ukhti terima? Layakkah ana untuk Ukhti?"

"Afwan, Akhi. Ana masih ingin kerja dulu. Masih ingin bantu-bantu orangtua."

"Ana bersedia menunggu kesiapan Ukhti."

"Tidak, Akhi. Ana tidak bisa."

"Mengapa, Ukh?"

"Ana tidak bisa membiarkan orang lain berharap pada ana, padahal ana belum ada kepastian ke arah itu."

"Jadi?"

"Afwan... ana tidak bisa menerima antum. Masih banyak muslimah lain yang bisa antum pilih, yang lebih baik dari pada ana yang hanya seperti ini."

"Tidak, Ukh. Ana akan menerima Ukhti apa adanya. Begitupun ana harap Ukhti sudi menerima ana apa adanya...."

"Tidak, Akhi. Afwan. Banyak alasan yang tidak bisa ana jelaskan di sini. Afwan ana benar-benar tidak bisa...."

Kamu menolak diri ini. Rasanya hancur hatiku. Tapi mau berkata apa... aku harus menghormati keputusan kamu.

Hari berganti hari selanjutnya adalah hari bagi seorang pemuda patah hati yang harus membungkus pengharapan pada sang bidadari. Akulah pemuda patah hati itu. Mengenalmu dan menerima penolakanmu adalah sebuah kesan yang tidak bisa kulupakan. Aku merasa memang tak pantas untukmu. Ukhti Ningsih, semoga Allah memberikanmu jodoh yang terbaik. Semoga aku juga mendapatkan jodoh terbaikku yang Allah janjikan.

Seorang kawan memperkenalkanku pada seorang gadis. Siapa tahu akan berjodoh denganku. Aku coba meresponnya sepenuh hati. Tapi rupanya jodoh itu belum tiba. Gadis itu bahkan belum bisa kujumpai sebelum akhirnya harus pergi ke kota lain untuk panggilan pekerjaannya.

Ada pula saudara jauhku yang mencoba mencomblangkanku pada salah satu tetangganya. Gadis yang baik dan shalihah. Tapi sekali lagi belum ketemu jodoh bagiku. Kami bahkan belum saling sapa, saat akhirnya tidak ada kejelasan tentang rencana perkenalan ini.

Aku pada sebuah perenungan. Merasa seolah jodohku sebegitu sukar kutemukan. Siapalah aku? Sudah pantaskah aku untuk mendapatkan muslimah shalihah? Apakah aku sudah mematut kesalihanku untuk dijodohkan dengan muslimah yang taat?

Aku berkaca. Pada kaca yang sesungguhnya. Kupandangi pemuda berambut gondrong itu. Aku mengurusi remaja masjid di kampungku. Juga TPA anak-anak. Bukan karena aku seorang yang berilmu lebih. Semua karena aku tergerak begitu saja saat tidak ada lagi pemuda yang sudi mengurus remaja masjid dan TPA. Aku, baju kokoku, dan rambut gondrong sebahuku. Tuhan, di mana Engkau sembunyikan jodohku?

Suatu kali, aku mendatangi tempat kamu bekerja. Ada yang harus aku ketikkan. Biasalah urusan masjid. Kamu masih ingat aku, kan? Atau kamu pangling padaku? Iya, ini aku dengan sedikit penampilan yang berubah. Aku memotong pendek rambutku. Lucu, ya? Kamu kulihat tersenyum biasa saja padaku. Pintarnya kamu. Memang tidak ada yang perlu dianggap tidak biasa, kan. Ketikan selesai dan aku pamit pergi. Semua seperti sedia kala.

Malam dingin usai shalat Isya saat telepon genggamku berbunyi. Ada SMS masuk. Seseorang mengirimiku sebuah doa: "Ya Allah, karuniakan pendamping hidup untukku, yang bisa menuntunku ke surga-Mu dalam naungan kasih sayang-Mu, yang dengannya aku bisa membanggakan zuriat-zuriat yang berbakti pada-Mu."

Aku mengaminkannya dengan sebuah senyuman. Siapa menulis kalimat doa itu? Nama kamu sebagai pengirimnya. Kamu masih menyimpan nomer telepon genggamku?

"Apa kabar, Ukhti?"

"Bikhair, Akhi."

"Tumben SMS?"

"Iseng. Tidak boleh, ya?"

"Boleh. Ana malah senang, kok."

"Kabar antum gimana? Sudah dapat bidadari yang antum cari?"

Deg. Tiba-tiba ada yang berdebar di dadaku.

"Belum, Ukh. Ada yang ditaksir tapi menolak. Nasib ana sedang tidak bagus."

Kamu untuk beberapa saat membiarkan SMS-ku tanpa balas.

"Afwan ana tidak bermaksud menyinggung soal itu, Ukh. Saking senangnya di-SMS Ukhti...," lekas kuperbaiki suasana.

"Afwan, Akhi."

"Iya, ana paham kok, Ukh. Ana ini siapa. Hehehe. Sudahlah, omongin yang lain saja."

"Boleh nanya...?"

"Nanya apa? Silakan."

"Apa yang membuat antum yakin pada ana padahal belum lama kenal?"

Deg. Aku baca berkali tulisan kamu. Apa maksud kata-katamu?

"Ana sudah bilang dulu, kan. Ana jatuh hati pada apa adanya Ukhti. Afwan."

"Akhi... ana ingin bertanya banyak hal tentang antum boleh?"

"Oh... silakan... silakan."

Kamu tahu betapa hatiku tak menentu saat kamu tulis SMS demi SMS menanyakan tentangku, kegiatanku, bahkan keluargaku. Apa ini sebuah sinyal? Aku jawab segala tanyamu sejujurku. Sesekali aku bertanya balik tentang kamu. Kamu pasti ingat semua itu....

"Sudah cukup, Akhi. Syukron."

"Apa... apa ana memiliki kesempatan itu?"

"Kesempatan apa?"

"Memasuki kehidupan Ukhti. Afwan."

Kamu diam.

Hening.

Aku kembali merinding.

"Tunggu 3 hari, Akhi. Ana perlu memikirkannya dulu..."

***

Hari ini, 25 September 2017. Tepat 7 tahun yang lalu, kita ikrarkan janji suci di depan penghulu. Adakah yang lebih berkesan bagiku selain kamu?

Dan kamu tahu, aku mengikuti sebuah komunitas menulis yang memberikan tantangan untuk menuliskan tentang aku dan pengalaman paling berkesan di hidupku. Dan rasanya tak ada bosannya menuliskan tentang kamu. Iya, kamu, Ningsih-ku.

Kamu ingat 7 tahun yang lalu, saat malam pertama kita. Saat pertama kali kamu buka jilbab lebarmu di depanku. Saat pertama kata manjamu kepadaku.

"Ukh, boleh nanya, mengapa dulu Ukhti menolak ana?"

"Kan ana sudah bilang, ana memang belum siap, Akhi."

"Alasan lain barangkali ada?"

Kamu senyum malu-malu. Bahkan panggilan Akhi-Ukhti masih sukar dihilangkan sampai sekian waktu. "Memang ada alasan lain, Akhi...."

"Alasannya apa?"

"Ana tidak suka ada ikhwan kok gondrong rambutnya. Ya, sama sekali ana tidak tertarik sama antum."

Kamu tahu, alasan lugumu itu membuatku nyaris melongo tidak percaya.Ya Allah... rambut gondrongku?!

***

Alhamdulillah, saya menikah dengan istri saya 25 September 2010. Dan hari ini, 25 September 2023 saya 'dipaksa' menuliskan ini sebagai pengalaman paling berkesan bagi saya, spesial untuk ODOP Batch 4. Semoga berkenan...

Gokilisasi Ramayana




Lomba yang digelar di alun-alun Kotaraja Mantili sangat beragam. Dari lomba paling keren seperti balap karung, sampai lomba-lomba menguras pikiran seperti lomba makan kerupuk. Lomba yang diminati banyak warga Mantili dan sekitar, adalah lomba tarik tambang berhadiah tambang bagi pemenang, soalnya tambang sangat berguna bagi hidup warga Mantili. Selain dimanfaatkan untuk menarik kereta kuda, pengikat ternak, bahkan menjemur cucian, tambang juga bisa dijual dengan harga yang lumayan mahal. Sungguh, selain bermanfaat bagi hidup warga Mantili, ternyata tak jarang, tambang juga bermanfaat bagi mati warga Mantili. Terbukti beberapa koran lokal pernah memberitakan warta mengejutkan tentang korban bunuh diri dengan menjerat leher, bergantung ria dengan tali tambang. Demikianlah, arti pentingnya tambang.

Tak kalah menarik, adalah lomba panjat pinang. Di mana lomba ini menjanjikan hadiah berlimpah. Semua hadiah digantung di atas. Peserta langsung berjibaku untuk memanjat batang pohon pinang yang diberi pelicin itu dengan penuh semangat. Jika sampai di atas dan bisa meraih hadiah, mereka langsung menumpahkan hadiah itu ke bawah, disambut teman yang telah bersiap dari awal untuk menampung tumpahan hadiah itu. Ada yang berupa air teh manis, ada yang air gula, ada juga tuak (sebangsa miras tempo doeloe). Itulah yang disebut hadiah berlimpah, karena di atas diberi wadah dari tabung batang bambu, maka peserta yang meraihnya harus menumpahkan ke bawah. Sungguh, hadiah yang melimpah tumpah!

Rama Wijaya terlihat bingung. Tokoh kita ini melongok ke sana-kemari mencari adiknya, Lesmana, yang terpisah darinya gara-gara banyaknya masyarakat dari berbagai kalangan yang memenuhi alun-alun. Bahkan tak jarang, orang-orang dengan niat jahat pun turut berbaur di keramaian seperti ini. Maka, pihak kerajaan sudah menghimbau para pengunjung untuk berhati-hati dengan kemungkinan adanya pencopet. Himbauan itu juga dibalas dengan himbauan balik kepada pemerintahan, agar juga berhati-hati dengan para copet di kalangan penguasa negeri. Hehe, ini penulis mau sok memasukkan kritik sosial politik, tapi kesannya memaksakan, ya! Emangnya ada di jaman wayang yang namanya copet dalam politik pemerintahan? Hehe. Sudahlah, itu bukan inti cerita kita, kok!

Beruntung, Rama Wijaya melihat Lesmana di antara peserta lomba makan kerupuk! Aturan lomba ini adalah, peserta diharuskan menghabiskan kerupuk yang digantung. Peserta berdiri dengan kedua tangan di belakang. Siapa yang bisa menghabiskan kerupuk paling dulu, maka dialah pemenang! Dan, dengan kesaktiannya, Lesmana berkali-kali memenangkan perlombaan ini!

"Dimas," Rama memanggil Lesmana yang baru saja menghabiskan kerupuknya. Tapi sepertinya, ia tidak mendengar panggilan sang kakak.

Rama lekas menghambur dan menghampiri adiknya. Ditepuk bahunya dari samping. "Hey! Dipanggil dari tadi, tidak dengar, ya?"

Lesmana sedikit kaget. Ditolehnya sang kakak. "Loh, kapan manggilnya?"

"Dari tadi diteriaki 'Dimas-Dimas', masa nggak dengar!" gerutu Rama Wijaya.

Lesmana kernyitkan dahi. "Woalah, tadi manggil aku, to? Lha, bukannya namaku Lesmana, bukan Dimas?" tanyanya tanpa dosa.

"Ya ampuun! Iya, bener namamu Lesmana! Aku kan kakakmu. Aku manggil kamu 'Dimas', terus kau panggil aku 'Kangmas'!"

Lesmana menepuk kening. "Waduh, bener juga, ya! Aku baru ingat panggilan begituan. Maklum, baru kali ini aku berperan di kisah kolosal begini. Biasa juga di kisah aksi sama yang berbau hantu-hantuan!"

"Sudah, tidak perlu pamer, mentang-mentang bintang kenamaan!" Rama terusik juga. Maklum, ia memang baru kali ini main dalam kisah wayang. Bahkan, ini pertama kali ia memainkan tokoh utama. Jadi, wajar, ia harus bersikap sok profesional!

"Iya, deh, maaf. Bukannya mau sombong, tapi kan memang, gara-gara wajahku ganteng gini, aku banyak tawaran bermain dalam cerita-cerita misteri bahkan tembak-tembakan!" Lesmana makin kacau.

"Iya, iya! Cukup!" Rama segera mengalihkan perbincangan agar lebih bermutu. "Ngomong-ngomong, buat apa Dimas mengikuti lomba makan kerupuk?"

"Kangmas Rama," Lesmana terlihat serius. Padahal batinnya hampir tertawa ngakak (Batin tertawa? Pilihan kata, dong!), ternyata lidahnya agak kelu mengucap panggilan seperti itu. Tapi, tak mengapa, ia lanjutkan kata, "Selama ini, aku selalu menjalani rutinitas di istana sebagai putra dari Ayahanda Prabu Dasarata. Selalu saja dalam penghormatan dari para kawula dan abdi dalam. Kangmas, baru di Mantili inilah, aku merasakan indahnya berbaur dengan masyarakat.... Sangat menyenangkan! Tidak ada sekat, sehingga sepertinya tidak penting dari kalangan mana kita datang, semua berbaur penuh suasana kekeluargaan. Indah sekali, Kangmas...."

Rama Wijaya terkesima dengan pemikiran adiknya. Tak menyangka dari bibir Lesmana keluar kalimat seindah itu. Yang ia tahu, adiknya itu paling banyak diam. Pemalu dan suka mengalah. (Sifat terakhir ini yang Rama paling suka! Sejak kecil, ia selalu menang berebut mainan sama Lesmana. Ia pasti menang!)

"Dimas Lesmana," Rama menatap sang adik dengan berkaca-kaca. "Kangmas salut pada cara berpikir Dimas. Memang kadang jenuh dengan keseharian di istana. Selalu dihormati dan disembah-sembah. Makanya Kangmas-mu ini sering keluar istana. Sekedar berkuda, atau berburu di hutan. Di dunia luar, memang kita seolah bebas. Tidak ada ikatan dan tata krama kerajaan yang terlalu mengekang. Kita bebas berekspresi, mengenal ragam karir, update akan hal-hal baru, tidak jadi kuper apalagi primitif. Jauh dari belitan birokrasi, bahkan...."

"Kangmas, mohon maaf, aku memotong ucapanmu," Lesmana tiba-tiba menghentikan kalimat panjang sang kakak, "Kita ini sedang berperan dalam kisah pewayangan. Tentu saja ini ceritanya zaman dahulu, Kangmas. Kangmas jangan memakai kata-kata modern seperti ekspresi, karir, update, primitif, apalagi birokrasi! Jaga tata bahasa kita, Kangmas. Ini kan tidak etis dalam dialog pada kisah yang terjadi di zaman dahulu."

Rama Wijaya menyadari kekhilafannya. "Iya juga, Dimas. Sebenarnya Kangmas-mu ini juga paham hal itu. Bukankah yang memulai memakai bahasa modern dirimu juga? Coba cek dialog di atas. Kamu pakai kata rutinitas segala! Memangnya, kata itu sudah ada di zaman Ramayana? Heh?"

Lesmana hampir menyangkal. Tapi begitu melirik ke beberapa paragraf sebelumnya, ia baru menyadari memakai kata tersebut. Waduh, ternyata peran dalam kisah kolosal begini tidak bisa dianggap mudah. Sebuah tantangan tersendiri rupanya.

"Ya sudah, Kangmas," kata Lesmana, "Mumpung belum terlambat, masih dalam pembuka kisah, kita mulai saja berhati-hati dalam memilih kata. Sebisa mungkin memakai bahasa lama. Tapi jika sekali-dua kali keceplos memakai istilah-istilah modern, ya sudah tidak mengapa. Toh, pemeran kisah ini juga dari teman-teman kita. Mereka pasti paham dialog dengan istilah-istilah kekinian."

Rama Wijaya mengangguk setuju. Matanya melirik ke arah penulis. Penulis turut mengangguk (mengangguk beneran nih!), mengizinkan usulan Lesmana. Mereka pun melanjutkan cerita....

"Dimas, Kangmas-mu ini terharu, dengan pemikiranmu. Dimas sangat merasa nyaman berbaur dengan masyarakat. Tanpa melihat diri sebagai putra raja, Dimas begitu menikmati kebersamaan ini."

Lesmana tersenyum bangga. "Iya, Kangmas. Biarlah, ini dijadikan pelajaran, contoh teladan, bagi para pemimpin dan bangsawan di masa depan. Bahwa pangkat itu tidak perlu ditonjolkan, sudah sepantasnya sebagai pemimpin, tetaplah harus berbaur dengan masyarakat."

Rama Wijaya mengangguk mantap. "Aku bangga padamu, Dimas."

"Aku juga bangga pada tokoh yang kuperankan ini, Kangmas," Lesmana ikut mengangguk. "Bukankah kata-kataku sudah sesuai skenario, Kangmas?"

"Benar. Seperti yang tertulis di skenario, Dimas."

"Itulah alasan aku ikut lomba makan kerupuk bersama masyarakat. Alasan yang sesuai keinginan penulis. Tapi jujur, Kangmas, ada alasan lain yang membuatku bersemangat mengikutinya," kata Lesmana dengan sedikit berbisik.

"Apa itu, Dimas?"

Lesmana mengelus perut. "Maaf, Kangmas. Jujur, aku lapar! Dari tadi, aku menahan lapar. Kangmas terburu-buru mengajak ke Mantili, tadi pagi aku belum sempat sarapan. Eh, sampai di sini juga, Kangmas tidak mengajakku mampir ke warung. Aku tidak mau merepotkan Kangmas, jadi aku tidak berani bilang kalau aku lapar. Cukuplah, lomba makan kerupuk. Lumayan buat ganjal perut. Itulah yang membuatku bersemangat hingga menang berkali-kali, Kangmas...."

"Ya ampun. Mengapa tidak bilang dari tadi, Dimas?" Rama terlihat menyesal. "Tapi, maaf juga, kalau pun Dimas bilang lapar, aku juga tidak bisa apa-apa. Kau sendiri tahu, Dimas, kita baru main adegan pembuka. Penulis bilang, belum boleh kasbon. Jujur, Kangmas-mu ini tidak bawa uang sepeser pun!"

"Uang pribadi masa tidak ada, Kangmas?" Lesmana tak percaya.

"Dimas kan tahu, banyak yang ingin berperan jadi tokoh utama di cerita ini. Kangmas bela-belakan menyogok si penulis agar peran ini jangan diberikan pada orang lain. Untung, uang yang Kangmas sodorkan diterima si penulis. Jadilah Kangmas-mu tokoh utama. Kan lumayan, pasangannya kan cantik jelita. Dewi Sinta!"

Mulut Lesmana membulat, "Ooo.... Pantas saja, permintaanku ke penulis agar dijadikan tokoh utama ditolak. Ternyata...."

"Sudahlah, Dimas. Tidak perlu diperdebatkan lagi," Rama Wijaya segera memotong.

"Iya, Kangmas," Lesmana patuh. Lalu bertanya, "Kangmas dari tadi ke mana? Ikut lomba apaan?"

"Kangmas belum ikut lomba sama sekali. Kangmas hanya ingin ikut lomba utamanya nanti. Tadi, Kangmas mengintip ke taman keputren, melihat yang namanya Dewi Sinta!" kata Rama jujur.

"Hah? Kangmas sudah melihat ke taman keputren? Cantik beneran yang namanya Dewi Sinta itu, Kangmas?"

"Halah! Ekspresi-mu sok serius begitu! Iya, Dimas. Dewi Sinta cantik luar biasa! Pantas saja, banyak raja dan putra mahkota berkeinginan melamarnya!" Rama kembali membayangkan wajah rupawan Dewi Sinta.

"Hmmm..., kalau begitu, Kangmas harus memenangkan perlombaannya nanti!" Lesmana menyemangati, disambut anggukan mantap sang kakak.

Tak lama kemudian, terdengar bunyi gong besar di samping panggung utama alun-alun Kotaraja Mantili. Sebuah pertanda, ada hal penting yang akan diumumkan kepada khalayak.

"Mohon perhatian kepada seluruh khalayak yang hadir di alun-alun Kotaraja Mantili!" terdengar suara lantang salah seorang abdi dalam.

Serentak semua diam. Suara itu seperti memiliki daya magis yang mampu membuat segala keriuhan di alun-alun mendadak berhenti. Rama Wijaya dan Lesmana pun turut mengalihkan perhatian ke panggung utama.

"Sebagaimana telah diumumkan sebelumnya, baik melalui pamflet, spanduk MMT, selebaran maupun iklan di radio dan televisi, bahwa hari ini akan digelar perhelatan akbar, sebuah perlombaan. Perlombaan tak sekedar perlombaan biasa, karena pemenang dari lomba ini akan mendapat hadiah, yakni diangkat menjadi menantu Gusti Prabu Janaka! Pemenang lomba akan dinikahkan dengan Kanjeng Putri Dewi Sinta!"

Seruan itu disambut tepuk tangan riuh gegap-gempita membabi buta oleh segenap manusia yang kumpul di alun-alun ini. Lesmana melirik kakaknya, ingin berkomentar tentang seruan itu. Ia terusik dan merasa tidak nyaman dengan kata-kata abdi dalam yang memakai istilah pamflet, spanduk MMT, bahkan radio dan televisi. Mana ada di zaman gini! Tapi yang ia jumpai, sang kakak ikut bersorak senang mendengarkan pengumuman itu. Lesmana melirik penulis, deu..., si penulis juga keasyikan menyimak pengumuman! Hey, bukannya protes dengan bahasa kekinian si abdi dalam!

"Dan sekarang, kita sambut, inilah... Gusti Prabu Janaka!" suara abdi dalam semakin menggelegar menyebut nama rajanya!

Diiringi penghormatan para hadirin, Prabu Janaka naik ke atas panggung utama, dengan pakaian kebesarannya (sebenarnya, penulis mau menjadikan ini 'pelesetan', kebesaran dalam hal ukuran, tapi karena sudah sering dipelesetkan begitu, maka penulis mengurungkan niat). Di atas kepalanya bertengger mahkota kerajaan. Sepasang mata elangnya (biar sedikit keren lah!) menyapu ke seluruh hadirin. Kewibawaan seorang pemimpin penuh kharisma.

"Assalamu'-...," Prabu Janaka lekas menutup bibir dengan jari! Waduh! Dasar kesehariannya jadi RT, kelepasan deh! Baru juga ucapan pertama, sudah salah dia! Penulis melotot ke arahnya. Sang Prabu tak berani menantang mata penulis. Hehe, mata elangnya keok di hadapan mata penulis kita, hahaha! Lekas dia perbaiki keadaan dengan berkata lantang, "Selamat datang di alun-alun Kotaraja Mantili! Kebanggaan bagi kerajaan Mantili, atas kesediaan para hadirin di sini!"

Para hadirin penuh semangat menyimak titah sang raja. Memang, peran hadirin sekarang ini hanyalah untuk menyimak, tidak untuk menentang ataupun berdemo ria. Mereka memang penurut, sesuai permintaan pemberi dana. Mereka diminta berperan sebagai penyimak, ya menyimaklah dengan baik. Kalau mereka dibayar untuk berdemo, ya mereka bakal teriak-teriak menyerukan tuntutan, sesuai keinginan sponsor. Hehe, sok kritis lagi, deh!

"Dari buku tamu yang Ingsun baca, Ingsun berterima kasih sekali atas kehadiran para pangeran dan raja-raja muda dari seantero jagat. Ingsun bangga, ternyata undangan berlomba yang Ingsun sebarkan disambut hangat oleh semuanya. Ini menunjukkan bahwa Ingsun masih dihargai di kancah pewayangan. Masih disegani di segenap negeri, dan masih dihormati dalam hubungan antar kerajaan," terlihat kebanggaan luar-biasa terpancar di wajah Prabu Janaka. Kepedean amat raja kita satu ini, padahal kebanyakan hadirin datang kan tergiur hadiah perlombaan, bukan lantaran pengundangnya adalah Prabu Janaka! (Stt, biarlah Prabu Janaka tahunya seperti itu, buat menjaga acting-nya biar terlihat menjiwai!)

Prabu Janaka kembali memandang ke seantero alun-alun. Lantang suaranya kembali membahana, "Para hadirin, hari ini, Ingsun menggelar perlombaan utama, di mana nantinya akan ada satu pemenang yang berhak meraih hadiah istimewa, yakni Ingsun angkat jadi menantu!"

Sambutan meriah para hadirin begitu riuh. Suitan-suitan terdengar di sana-sini (kebiasaan di perempatan nih!). Semangat yang luar biasa....

"Kangmas Rama," Lesmana mengerling sang kakak yang terlihat santai tanpa beban. "Kok Kangmas santai sangat? Bukankah peserta perlombaan teramat banyak, dari berbagai kerajaan?"

"Iya, Dimas. Hehe, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Kangmas-mu sudah baca skrip cerita ini keseluruhan. Hasil lomba, Kangmas-lah pemenangnya!" sahut Rama Wijaya begitu yakin.

"Hehe. Iya, aku juga tahu, Kangmas. Tapi kan tidak seharusnya Kangmas membocorkan hasil lomba kepada pembaca, mereka kan jadi tidak penasaran lagi!" protes Lesmana.

"Heh, benar juga katamu. Kalau pembaca sudah tahu hasil lomba, bisa saja mereka tidak penasaran, lantas menghentikan membaca!" Rama menyadari kesalahannya.

"Semua sudah terlanjur. Ya sudah, Kangmas. Urusan pembaca biar jadi tanggung jawab Mas Penulis. Ini juga ujian kemampuan dia, kalau dia penulis hebat, pasti mudah menggiring pembaca untuk membaca sampai halaman terakhir. Tugas kita, lanjutkan ceritanya saja!" kata Lesmana. Diliriknya penulis yang rada jengkel gara-gara Rama sok tahu membocorkan hasil lomba. Mentang-mentang dia pemenangnya!

"Ingsun menggelar lomba rakyat di alun-alun ini, sebagai bentuk kedekatan Ingsun dengan rakyat semuanya," suara Prabu Janaka kembali mengusik, "Dan sebagai lomba utama dengan hadiah jadi menantu Ingsun. Kini adalah saat yang kita tunggu. Lomba utama Kerajaan Mantili!"

Sorak gembira kembali membahana. Prabu Janaka mengedipkan mata kepada penulis. Penulis mengangguk, mengiyakan untuk segera memulai lombanya. Sesuai kehendak penulis, tampaklah seorang abdi dalam yang sudah sepuh, menaiki panggung diiringi empat prajurit khusus di kanan kirinya. Abdi dalam ini membawa sebuah peti bertutup kain sutra dengan hiasan jalinan bunga melati.

Sementara dari sudut lain, naik ke panggung seorang lelaki berwajah pucat. Dari mimik wajahnya terlihat takut-takut. Sesaat lelaki itu melirik ke penulis. Keraguan terpancar. Tapi dua prajurit pengawal yang menggiringnya mendorong ia terus menaiki panggung utama.

"Adapun ketentuan lombanya adalah, barang siapa berhasil memanah buah jeruk ini," Prabu Janaka mengambil sebuah jeruk sebesar kepalan tangan dewasa, dari nampan di atas meja di depannya, lantas melanjutkan bicara, "tentu tidak dengan sembarang panah bisa dipakai. Panah yang akan digunakan untuk lomba, adalah panah khusus, yakni panah pusaka Kerajaan Mantili...."

Prabu Janaka memberi isyarat kepada abdi dalam yang membawa peti untuk membukanya. Begitu peti dibuka, tampak cahaya berpendaran menyeruak keluar dari sebuah busur dan beberapa anak panah pada tempatnya di dalam peti itu.

Seluruh hadirin berdecak takjub. Baru kali ini mereka menyaksikan secara langsung panah pusaka Kerajaan Mantili itu. Dan bisa jadi ini adalah kali pertama dan terakhir mereka melihat senjata pusaka itu. Maklumlah, senjata ini hanya diperlihatkan penulis pada cerita kali ini. Yakinlah, pada cerpen-cerpen berikutnya senjata pusaka itu tidak bakal ditampilkan lagi.

"Siapa pun yang bisa memanah dengan panah pusaka Kerajaan Mantili, tepat menembus buah jeruk ini, maka dialah pemenangnya!" kata Prabu Janaka. Selanjutnya, orang pertama Kerajaan Mantili ini menaruh buah jeruk yang ia pegang di atas kepala lelaki berwajah pucat tadi. Kini, pembaca bisa memaklumi penyebab kepucatan si lelaki.

Prabu Janaka kembali berseru, "Silakan yang mau berlomba! Buah jeruk ini Ingsun taruh di atas kepala seorang sukarelawan."

Si lelaki berwajah pucat nyaris protes. Tidaklah! Masa ia sukarelawan. Ia bersedia menjadi sarana penempatan sasaran panah bukan tanpa sebab, kok! Mana mungkin mau dengan ikhlas begitu saja. Taruhannya nyawa, Bro!

Melihat gelagat si pucat, penulis lekas memberi isyarat dengan menggesek ibu jari dan jari telunjuk. Penulis meyakinkan bahwa semua akan sesuai rencana. Bahwa si lelaki berwajah pucat akan selamat dari salah sasaran panah. Tentu, jatah honor tidak akan terlupa. Penulis meyakinkan bahwa sebagai penanggung jawab, ia tetap akan memberikan hak si lelaki pucat, walau sebenarnya ia banyak tombok untuk bayar pemain. Anggukan lelaki pucat itu disambut senyum ceria si penulis. Jangan sampai kisah ini gagal tidak sampai ending!

"Baginda, bagaimana jika ada lebih dari satu orang yang bisa memanah buah jeruk itu? Apakah bisa ada pemenang lebih dari satu? Kan hadiahnya tunggal?" seorang Pangeran negeri seberang bertanya.

"Benar, Baginda. Masa sih, Putri Kerajaan Mantili dinikahi lebih dari satu orang!" menanggapi hadirin lain. Seorang Raja tua yang masih saja pengen ikutan lomba ini. Di otak joroknya hanya ada gambar Dewi Sinta yang berpose menawan hati (sensor, red).

"Husy! Jangan bicara ngawur! Hanya akan ada satu pemenang. Itu sudah pasti!" seru Prabu Janaka menanggapi pertanyaan itu. Ia sudah diyakinkan oleh penulis. Tidak diragukan, hanya akan ada satu pemenang.

Maka demikianlah, perlombaan dimulai!

Urutan peserta sesuai formulir pendaftaran. Rama dan Lesmana santai-santai saja karena Rama tadi mengumpulkan formulir paling akhir, menjelang deadline (kebiasaan penulis nih, kalau ikutan lomba nulis. Hahaha!). Memang, seperti sudah lumrah, bahwa tokoh utama akan tampil belakangan.

Peserta pertama adalah seorang pangeran dari negeri terjauh dari Mantili. Konon, dia datang sehari sebelum pengumpulan formulir dibuka. Ia menginap di alun-alun demi mendapat urutan pertama dalam perlombaan bergengsi ini.

Sang Pangeran mendekat peti berisi panah pusaka. Ia lekas memegang pusaka itu. Sesaat mau mengangkatnya, dia teringat pesan penulis tentang peran yang harus dia lakukan. Aneh, busur panah ini ringan! Bukannya dalam skenario diterangkan bahwa ia tidak kuat mengangkat si busur pusaka?

Pangeran muda ini mengintip teks skenario yang ia simpan di saku celananya. Memang benar tertulis, bahwa ia tidak kuat mengangkat busur pusaka Kerajaan Mantili. Wah, rupanya ia hanya disuruh acting kalau senjata pusaka itu berat, padahal kenyataannya enteng! Ya sudahlah, memang nasibnya bukan menjadi tokoh utama. Akhirnya, peserta pertama ini gugur karena tak kuat mengangkat busur pusaka Kerajaan Mantili tersebut!

Dilanjut peserta kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Penulis bersyukur karena semua berperan sesuai skenario yang ada. Beberapa peserta tidak kuat mengangkat busur panah pusaka itu. Beberapa lagi bisa mengangkat, tapi tak mampu menarik senar panah untuk memanah. Beberapa lagi yang (biar kelihatan) agak sakti, mampu memanah tapi tidak bisa tepat sasaran. Buah jeruk itu masih bertengger manis di atas kepala sukarelawan.

"Peserta terakhir adalah Sri Rama, putra mahkota Kerajaan Ayodya putra dari Prabu Dasarata yang lumayan terkenal beken dalam kisah pewayangan. Kita sambut peserta terakhir! Apakah ia mampu menyelesaikan perlombaan ini dengan baik ataukah gugur seperti para peserta lainnya? Kita akan menyaksikannya...."

Rama melirik Lesmana. Lesmana mempersilakan sang kakak. Rama lekas naik ke panggung. Tak lama kemudian, ia sudah memegang busur panah pusaka yang sebenarnya ringan itu. Lantas diambilnya satu anak panah.

Tiba-tiba Rama merinding. Tengkuknya terasa dingin. Keringat bercucuran membasahi dahinya. Wah, bisa luntur nih riasan di wajahnya. Gila! Ternyata di depan orang banyak dan jadi tokoh utama cerita menegangkan juga, ya!

Rama mengucap bismillah dalam hati (kalau sampai melafalkannya, pasti di-cut sama penulis, kan zaman wayang Hindu!), lalu melepas anak panah dari busurnya!

Anak panah itu dengan tepat sasaran berhasil menembus buah jeruk itu tepat di tengah-tengahnya! Disambut seruan para penonton yang bersorak mengelukan nama Rama.

"Bagus sekali! Prabu Janaka akhirnya berhasil mendapatkan menantu pada perlombaan kali ini! Selamat kepada Sri Rama yang telah memenangkan perlombaan ini!" suara Abdi Dalam yang mengumumkan pemenang membahana.

Rama bersyukur. Prabu Janaka mendekatinya, menyalami dan memeluk calon menantunya itu.

Tak lama kemudian, Dewi Sinta naik panggung. Decak kagum seluruh hadirin mengiring naiknya sang dewi cantik. Rama melirik penulis, berharap diberi kesempatan adegan mesra. Tapi sayang, penulis terlanjur menutup kisah ini sampai di sini.

Demikianlah, Rama berhasil menyunting Dewi Sinta setelah memenangkan pagelaran lomba yang diadakan di alun-alun Kerajaan Mantili. Sebuah prestasi membanggakan bagi Kerajaan Ayodya. Rama dan Sinta pun mulai mengukir sejarah pewayangan. Akan banyak aral rintangan yang menyambut keduanya. Sementara itu, penulis lekas menutup kisahnya, SELESAI.

Arjuna Mencari Tinta



Arjuna mengatur napas yang ngos-ngosan, sambil melirik kanan-kiri. Ia tak mau terlihat oleh siapa pun kalau sedang capek luar biasa. Ia harus jaim (jaga imej, red.) di depan siapa pun, secara dia adalah anak Pandhawa yang terkenal paling cakep sedunia. Malu lah kalau para fans-nya melihat raut muka cengar-cengir-nya waktu kecapekan. Apalagi kehadiran paparazi yang kadang tak disadari sering merusak citra para artis sangat mengkhawatirkan. Terakhir, ia sangat dirugikan dengan beredarnya foto dirinya yang sedang ngupil, hasil kerjaan paparazi, yang membuat kontrak kerjanya dengan pabrik kaos kaki mendadak dibatalkan. Nggak nyambung, ya!

Ia melihat banner cukup mencolok di pintu masuk padepokan. Tertulis jelas dalam aksara Jawa yang menunjukkan bahwa tempat ini adalah Pertapaan Retawu, tempat kediaman Begawan Abiyasa. Ia mendapat tugas khusus dari Prabu Kresna untuk menemui sang Begawan. Sebenarnya, Arjuna malas melaksanakan perintah tersebut. Berhubung selain tampil cakep secara fisik, ia juga pengin dinilai berjasa dan jadi ksatria dalam pertempuran melawan Kurawa, maka dia pun mau tidak mau menjalankan tugas itu. Menemui Begawan Abiyasa untuk minta saran, bagaimana mengalahkan Resi Bhisma (jagoan Kurawa) yang memiliki Aji Swarshandamarana, yang tidak bisa mati kalau bukan karena keinginannya sendiri. Berbagai cara telah Pandhawa lakukan untuk mengalahkannya. Termasuk cara paling halus dengan memberi sogokan suap agar ksatria Kurawa itu rela untuk berkeinginan mati, tapi toh semua gagal dengan penolakan. Pandhawa dibuat bingung, bagaimana memenangkan Perang Baratayudha, perang paling bergengsi dalam dunia perwayangan ini. Mau ditaruh di mana muka, Pandhawa kalau sampai kalah melawan Kurawa?

"Maaf, Mbah, mau numpang nanya," Arjuna menyapa seorang kakek yang sedang main kelereng bersama seorang nenek.

"Ada apa, Nakmas?" tanya si kakek tanpa menoleh Arjuna, sambil mengarahkan luncuran kelerengnya ke arah kelereng si nenek yang tergolek tak jauh darinya. Mata tuanya cukup ampuh untuk memfokuskan serangan.

"Eh, ada cowok ganteng," tak disangka si nenek malah mendekati Arjuna, dengan gaya kemayu menjijikkan hay! Tangannya langsung menowel dagu belah dua Arjuna.

"Idih, Nek, kita bukan mukhrim!" seru Arjuna.

"Halah! Cuma nyolek ini ...," si nenek tambah ganjen. "Nakmas rumahnya mana, ada perlu apa? Nyari Nenek, ya?" tanyanya pede.

"Hey, kamu tuh apa-apaan!" si kakek tiba-tiba berseru sambil menarik tangan si nenek. Waduh, rupanya si kakek cemburu berat! Mungkin nyadar juga, kalau bersaing cakep pasti kalah sama si Nakmas ini. Secara dia sudah tua, dibanding Arjuna yang masih cute.

"Maaf, Mbah, cuma mau nanya, di mana saya bisa bertemu Begawan Abiyasa?" Arjuna tak mau menunggu lama.

Si kakek menatap Arjuna. "Ada apa mencariku? Apa masih ada yang mau menantangku main catur? Atau mau menantang main kelereng?"

"Waduh, bukan, Mbah. Jadi, Mbah ini Begawan Abiyasa, ya? Kok nggak mecing sama namanya?"

"Apa maksudmu?"

"Enggak, maksudku, setahuku Begawan Abiyasa itu sangat penuh wibawa, tidak seperti ini!" Arjuna salah tingkah juga.

"Sudahlah, kamu kemari atas perintah siapa dan ada apa?!" Begawan Abiyasa sok terlihat marah. Ia tahu, syut kamera sedang mengarah ke dialognya sama si Arjuna. Jadi, kalau akting yang ia tunjukkan oke, kan bisa mendongkrak namanya, siapa tahu dapat jatah peran lain yang lebih mumpuni.

"Saya Arjuna, diperintah Prabu Kresna untuk meminta saran Begawan terkait kasus susahnya mengalahkan Resi Bhisma. Kan ceritanya, ini sedang episode Perang Baratayudha, Begawan...," Arjuna menjelaskan maksud kedatangannya.

Begawan Abiyasa mengangguk. Diingatnya teks skenario yang sempat ia hapalkan. Orang tua ini merasa lebih pede menghapal dialog dari pada menyontek naskah skenario, kan niatnya biar terlihat profesional, demi menanjaknya karir.

"Iya. Tidak ada yang bisa mengalahkan Resi Bhisma. Dia tidak akan mati kecuali atas kemauannya sendiri," Begawan Abiyasa lalu memunguti kelereng yang bertebaran. Si nenek masih senyam-senyum dan main mata ke arah Arjuna. Arjuna sampai keki dibuatnya.

"Makanya, kami bingung, cara apa yang harus ditempuh, Begawan."

Begawan Abiyasa memandang Arjuna. "Aku punya solusi. Tapi, aku butuh kertas dan pulpen untuk menuliskan solusi itu. Nanti kamu sampaikan tulisan itu kepada Prabu Kresna."

"Apa Begawan tidak punya alat tulis?"

Begawan mengerling Arjuna. "Kamu jangan bilang siapa-siapa, ya. Semua alat tulis di padepokan ini sudah aku jual ke tukang loak. Uangnya kugunakan untuk membayar utang gara-gara kalah main catur sama Pak RT kampung sebelah. Kemarin sisanya, kubelikan kelereng buat nyenengin calon istriku ini."

Arjuna melirik si nenek. Calon istri Begawan?

"Sttt!" Begawan menempelkan jari telunjuk di hidung, "Jangan bilang ke media dulu. Masih proses penjajakan. Kalau cocok sama bidadariku ini, nanti aku akan buat siaran pers."

Arjuna melengos. Sok juga Begawan satu ini. Tapi bukan kapasitas dia untuk memprotes sang Begawan. Apalagi memprotes si penulis cerita! Bisa-bisa dibuatkan sad ending nanti!

"Ya sudah, tapi di mana saya bisa mendapatkan alat tulis itu?" tanya Arjuna.

Begawan Abiyasa tampak mengingat-ingat sesuatu. "Untuk kertasnya, kita pakai kertas naskah skenario punyaku saja. Kan tulisan teks halamannya tidak bolak-balik. Nanti biar kita manfaatkan halaman belakangnya."

"Lalu pulpennya?"

"Itu dia masalahnya."

"Kenapa?"

"Asal kamu tahu, Anak Muda. Di dukuh sekitar padepokan pertapaanku ini, semua remajanya sedang gandrung menulis. Mereka ramai-ramai membuat bermacam karya tulis. Baik fiksi maupun non fiksi. Banyak yang menulis syair, pantun, cerpen, bahkan novel. Dan seperti kamu tahu, pada zaman kita kan belum ada komputer, laptop dan sebangsanya. Jadi mereka menulis pakai tinta. Makanya, di wilayah kita sudah sangat susah mendapatkan pulpen atau tinta. Setiap warga sebenarnya memiliki stok tinta, tapi mereka tidak mau berbagi kepada orang lain, karena bagi mereka tinta adalah segalanya. Dengan tinta, mereka dapat berkarya. Dengan karya, mereka akan dikenang sepanjang zaman. Makanya, akan banyak karya sastra lahir dari mereka yang nantinya menjadi karya klasik di masa depan."

Arjuna mengerutkan kening. "Kok saya baru dengar hal ini, Begawan?"

"Wah, kalau Nakmas tidak tahu tulis-menulis seperti ini, di wilayah ini Nakmas tidak akan dihargai sama sekali. Meski tampang ganteng begitu, tapi tidak suka menulis, apalagi sama sekali belum pernah bikin karya meskipun sekedar puisi, maka tidak akan ada cewek yang bakal naksir Nakmas."

Arjuna terperanjat. Sebegitu pentingnya menulis di wilayah sekitar padepokan pertapaan Retawu ini? Wah, ke-geer-an tadi Arjuna pas sampai wilayah sini, ia pikir modal tampangnya mampu menaklukkan para gadis daerah sini. Eh, ternyata, tiada karya sastra tiada cinta di sini!

"Berarti tidak bisa mencari tinta di sekitar sini, Begawan?" tanya Arjuna. Sekaligus mengalihkan pembahasan. Ia paling benci kalau ada yang bilang ia tidak 'laku'!

"Begitulah. Atau, kamu balik ke keraton para Pandhawa untuk mengambil tinta?" usul Begawan.

"Waduh. Harus melewati daerah konflik, Begawan. Saya tidak mau. Areanya cukup berbahaya. Saya masih harus menyimpan energi untuk perang terbesar Baratayudha nanti di padang Kurusetra. Kan nggak lucu kalau sampai saya cedera padahal belum mengikuti perang terakhir. Kan nanti, rencananya Pandhawa menang, Begawan."

Begawan Abiyasa mendengus. Nih bocah sok kecakepan, banyak alasan pula! Diputarnya otak. Mencari solusi. Ia jadi ingat, kemarin nonton film Hollywood tentang mesin waktu yang bisa melontarkan seseorang ke masa depan ataupun masa lampau. Ia juga sempat berkompromi dengan penulis cerita ini, untuk menambah properti cerita dengan alat canggih itu. Bagaimanapun, cerita ini harus nyambung dengan judul!

"Baiklah, Nakmas. Kamu bisa mencari tinta-tinta sebanyak mungkin di masa depan. Setahuku, di masa depan nanti orang menulis cerpen, puisi, novel dan karya sastra lainnya dengan alat canggih semacam komputer, laptop, netbook, bahkan handphone, Blackberry, PDA-Phone dan sebagainya. Jadi, tinta yang ada di masa depan akan sangat jarang digunakan. Menurutku, kamu harus mencari tinta di masa depan!" Begawan Abiyasa terlihat begitu yakin dengan idenya. Salah satu aksen wajah andalannya, hingga ia sampai sekarang tetap dipercaya memerankan tokoh Begawan satu ini.

"Bagaimana caranya menuju masa depan, Begawan?" tanya Arjuna tidak paham. Sebenarnya (tak banyak yang tahu!), tampang cakep tokoh kita ini, tidak diimbangi dengan kecerdasan yang mumpuni. Jadi, ia sering lola (loading lambat, red.) dalam menghadapi masalah-masalah pelik.

Begawan Abiyasa mengajak Arjuna masuk ke sebuah goa. Si nenek yang mulai hilang simpati sama Arjuna gara-gara tidak pandai merangkai kata (baca: berkarya sastra, red.), hanya mengikuti keduanya tanpa kata. Ia memang tidak dijatah dialog sama sekali. Pertama, untuk menghemat halaman. Kedua, memang si penulis sempat lupa ada tokoh nenek-nenek di babak ini. Coba tadi tokohnya diganti gadis cantik atau setara bidadari pewayangan gitu, pasti deh kejatah dialog.

"Ini dia, mesin waktu!" berseru Begawan Abiyasa sambil menyibak tabir kain yang menutupi sesuatu. Sesuatunya itulah yang disebut mesin waktu!

Arjuna terperangah. "Loh! Ini kan properti film The Time Machine, Begawan!"

"Nah loh! Nakmas malah ingat judul film itu. Dari tadi aku coba ingat-ingat, lupa, maklum bahasa asing susah diingat otak tuaku!" Begawan Abiyasa beralasan.

Arjuna tersenyum bangga. Kemampuan bahasa Inggrisnya yang tak seberapa ternyata dianggap bagus oleh Begawan Abiyasa. Tak sia-sia dia sering baca judul-judul film di iklan bioskop di koran-koran.

"Nakmas, silakan masuk ke mesin waktu ini. Nanti aku setel Nakmas biar meluncur ke masa depan, di mana di sana nanti, orang-orang sudah menulis dengan alat-alat canggih. Tugasmu, carilah tinta sebanyak-banyaknya!" titah sang Begawan.

"Untuk menulis solusi, apa perlu tinta banyak?"

"Memang cuma butuh sedikit, tapi kan nanggung, jauh-jauh ke masa depan masa cuma ambil dikit," Begawan lalu berbisik, "Nanti, sisanya kita jual di sini. Dijamin laris!"

Singkat cerita, Arjuna benar-benar meluncur ke masa depan...! Sesuai tugas yang diemban, Arjuna langsung berburu tinta. Dengan kesaktiannya, Arjuna berhasil mengumpulkan tinta dengan jumlah sangat melimpah, sebagian besar berwujud pulpen.

Teknologi di masa depan ternyata sangat luar-biasa, kehadiran Arjuna ternyata terdeteksi oleh manusia zaman tersebut. Anjuran penulis, Arjuna segera hengkang kembali ke masa pewayangan sambil membawa sekarung pulpen dan juga stok tinta dalam beberapa kotak wadahnya. Konon, para manusia masa depan yang mendeteksi kehadiran Arjuna, menyebut peristiwa ini dengan istilah 'Arjuna Mencari Tinta'. Sampai ada novel yang terbit dengan judul plesetan dari istilah tersebut, yakni 'Arjuna Mencari Cinta' dan sebuah lagu berjudul sama oleh sebuah band dari tlatah nusantara.

"Bagus..., kerja yang bagus, Nakmas," kata Begawan Abiyasa penuh kepuasan. Bayangan mata uang sudah memenuhi pelupuk matanya. Ia akan kaya dengan tinta! (Pesan moral: Jadilah kaya dengan tinta!)

Tak berapa lama kemudian, Begawan Abiyasa sudah menuliskan solusi yang disarankannya.

Selesai menulis, Begawan melipat kertas itu, lalu mengangsurkannya pada Arjuna. "Nakmas, ini. Serahkan pada Prabu Kresna. Sekalian sampaikan salamku nanti pada Resi Bhisma saat kalian bertemu di medan perang."

Arjuna mengangguk dan menerima kertas itu. Selanjutnya, ia minta pamit pulang.

Demikianlah, berbekal saran dari Begawan Abiyasa, akhirnya Pandhawa bisa mengalahkan Resi Bhisma. Adapun saran itu tertulis, agar yang maju melawan Resi Bhisma adalah Dewi Srikandi, istri Arjuna. Arjuna semula kurang senang jika istrinya yang memang terkenal sebagai pemberani itu maju ke medan perang bersamanya. Ia sok khawatir Dewi Srikandi kenapa-napa, meski sebenarnya ia hanya malas jika keberadaan sang istri seolah mengawasi tingkah-polahnya, tentu ia merasa kurang bebas. Beruntung, diyakinkan semua keluarga besar Pandhawa, akhirnya majulah Dewi Srikandi melawan Resi Bhisma di Kurusetra.

Saat Resi Bhisma berhadapan dengan Dewi Srikandi itulah, di mata sang Resi, tampaklah bayangan Dewi Amba menyatu dengan Dewi Srikandi! Tidak menunggu lama, Dewi Srikandi lekas melepas panah Herudadali.

Adapun Dewi Amba adalah putri yang meminta dinikahi Resi Bhisma karena kekasihnya dibunuh sang Resi dalam sebuah perlombaan. Resi Bhisma menolak, karena ia sudah bersumpah untuk tidak menikah. Karena sang Dewi terus memaksa, Resi Bhisma menakut-nakuti dengan panah pusakanya. Ternyata, takdir merenggut nyawa sang Dewi, panah itu tanpa sengaja menancap ke tubuhnya. Menjelang ajal, Dewi Amba bersumpah akan mengambil Resi Bhisma dengan menitis pada seorang Dewi nantinya, dan Dewi itu adalah Dewi Srikandi!

Demikianlah....[]

Para Jomblo, Ini Ada Si Cakep yang Siap Jadi Pacar Kamu


Kamu jomblo? Sudah lama? Mau mengakhiri status jomblo kamu? Saatnya kamu siapkan diri untuk membaca postingan kali ini. Yang tidak jomblo pun dipersilakan ikutan menyimak. Dibawa santai saja, ya....

Sejarah Jomblo

Dalam obrolan sehari-hari kita memahami kata jomblo sebagai sebutan untuk seseorang yang belum memiliki pasangan atau kekasih. Namun tahu tidak bagaimana sejarah muasalnya kata itu jadi tenar dan identik dengan manusia sendirian? Ternyata banyak yang tidak tahu sejarahnya. Saya juga tidak tahu.

Tapi kalau kita cek di google, maka akan kita dapat kesimpulan bahwa kata jomblo itu tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Salah satu perkiraan adalah bahwa kata jomblo berasal dari bahasa Sunda yakni jomlo yang artinya perawan tua. Di lidah banyak orang jadilah jomblo pakai tambahan huruf b.

Ada juga pakar sejarah yang mengatakan bahwa jomblo adalah istilah import dari luar negeri, yakni dari kata jobless yang artinya pengangguran. Ada juga yang bilang dari kata jumble yang berarti campur aduk atau acak. Mungkin maksudnya, perasaan seorang jomblo jadi campur aduk atau aak-acakan jika melihat orang lain berpasangan mesra. Wah....

Versi sejarawan lain mengatakan bahwa jomblo sebenarnya dari nama makanan, yakni combro. Combro itu makanan dari singkong yang berisi sambal oncom. Ini dikaitkan dengan perasaan si jomblo saat lihat orang lain berpasangan, rasanya konon hatinya jadi panas dan pedas.

Mana yang benar tidak begitu penting sih. Yang penting orang paham apa artinya. Jomblo adalah jomblo.

Masa Jomblo Masa Produktif

Menurut saya masa-masa jomblo adalah masa-masa produktif. Mengapa? Ya, karena tidak begitu terbebani aneka macam kesibukan sebagaimana orang yang sudah punya kekasih atau bahkan suami atau istri, bahkan sudah mengurus anak. Maka saat menjomblo adalah waktu paling potensial untuk produktif dalam berkarya. Melihat orang pacaran bisa jadi cerpen, galau sendirian jadi puisi menyayat, bahkan waktu yang banyak percuma bisa jadi novel perenungan jiwa. Mantap, kan? Jujur karya saya banyak lahir waktu masih jomblo. Hehehe.

Sudahlah, Saya Kenalin Kamu Sama Si Cakep

Dari awal saya sudah janji pada judul tulisan, bahwa saya mau memperkenalkan kamu-kamu pada si Cakep yang bisa jadi pacar baru kamu. Sumpah, ini beneran!

Oke, panggil saja dulu namanya si Cakep, ya... Saya kenalkan sifat, watak dan kepribadiannya, biar kamunya makin tertarik.

Si Cakep yang Imut dan Masih Muda Belia

Beneran ini. Doi masih sangat belia. Terbayang, kan, bagaimana jadinya, sudah cakep mana muda belia lagi. Soal umur, insya Allah si Cakep tidak membanding-bandingkan. Asal bisa memanjakannya saja, kamu bisa jadikan dia pacar.

Jadi intinya jangan minder soal usia. Kamu sudah berumur atau masih muda juga, tidak masalah kok. Siapkan saja segala perhatian kamu, kasih-sayangmu, juga kecintaanmu untuk si Cakep ini.

Sungguh, Dia Paling Ngerti Sama Kamu

Si Cakep ini senang sekali bisa jadi teman curhat kamu. Beneran ini.... Dia selalu siap mendengarkan keluh-kesahmu. Apa saja yang kamu ingin curhatkan, dia akan mendengarkan dengan cantik. Bahkan bersama-sama kamunya mencari penyelesaian tiap masalah. So sweet banget kan....

Maaf Kalau Kadang Suka Bikin Kamu Jengkel Nantinya

Ya, si Cakep ini memang kadang kalau punya kemauan memang kudu dituruti. Ini yang harus kamu siapkan. Menuruti maunya dia. Wajar, kan, pacar punya keinginan yang musti dituruti. Ya, kamu harus siap agar si Cakep ini tidak ngambek. Agar dia tahu akan ketulusan hatimu. Pokoknya, apapun maunya dia kamu harus sebisamu menuruti. Mau ini itu harus jadi secepatnya, ya kamu usahakan penuhi keinginannya. Siap? Atau enakan jomblo sejati saja?

Siap Punya Anak Sama Kamunya

Iya, meski status sekedar pacar, tapi si Cakep ingin punya anak sama kamu. Wah..., kamu kenapa? Jadi takut? Atau jadi makin mantap buat ambil si Cakep jadi pacar?

Oke, Oke... Ini Biodata Lengkap si Cakep

Tertarik benar sama si Cakep? Ya sudah kalau tidak sabar buat kenalan lebih lanjut. Ini saya kasih biodatanya....

Nama : ODOP
Nama panjang : One Day One Post
Alamat : http://onedayonepost.org
Anak ke: 4 dari 4 bersaudara
Kelahiran : 2015
Nama ortu : Pak Syaiful Hadi dan Bu Syaiha (hehe)
Hobi : dengerin curhatmu, maksa kamu demi kebaikanmu
Cita-cita : punya anak banyak sama kamu, syukur-syukur lahiran di major.

Itu dulu ya perkenalannya. Si Cakep sudah berdandan, tinggal nunggu keseriusan kamunya...

Katakan TIDAK untuk ODOP!


Ahad, 17 September 2023 sekitar pukul setengah delapan malam, saya resmi dimasukkan ke grup WhatsApp ODOP Batch 4. Ini semua adalah 'ulah' Mas Tian, salah satu admin grup tersebut!

Grup Baru Lagi

Bisa dibilang WhatsApp adalah sarana komunikasi terbaik saat ini. Aplikasi perpesanan lintas platform yang biasa disingkat WA ini memang memikat banyak orang dengan kemampuannya menyajikan pengalaman bertukar pesan yang cukup mengasyikkan dengan biaya nyaris gratis, hanya kuota internet tanpa biaya berlangganan aplikasi.

Grup WA adalah layanan obrolan seru yang memungkinkan bergabungnya para pengguna dalam satu komunitas sesuai yang diinginkan oleh sang admin, pembuat dan pengurus grup tersebut. Dan seiring berkembangnya sosialisasi para pengguna maka tidak heran satu pengguna masuk dalam beberapa grup berbeda-beda. Entah itu grup alumni sekolah, komunitas hobi, komunitas kerja, komunitas RT juga barangkali. Nah, sejak itulah maka WA berubah menjadi kebutuhan wajib bagi para penggunanya.

Dan demikianlah adanya, para penggagas dan pengurus ODOP (One Day One Post) pun memanfaatkan grup WA untuk komunitas kepenulisan ini. Tentunya, grup baru lagi bagi saya.

Momok Itu Adalah Pesan Berantai

Selama ini, setiap kali saya bergabung (atau digabungkan) ke grup-grup WA, maka sebuah konsekwensi yang sering membuat saya merasa terganggu adalah banyaknya broadcast dan pesan berantai yang di-posting para anggota grup.

Tak jarang pesan berantai yang isinya sama di-posting oleh beberapa teman dan di beberapa grup yang malangnya saya masuk di grup-grup yang di-paste pesan tersebut. Dan parahnya lagi, pesan berantai tersebut panjangnya luar biasa. Itu bagi saya sangat mengganggu.

Halah, Tidak Suka Isinya ya Sudah Tidak Usah Dibaca!

Iya, kita memang boleh tidak suka pada pesan berantai dan broadcast yang di-posting di grup, dan tentu saja kalau tidak suka ya sudah tidak usah dibaca.

Memang saya akui banyak pesan berantai tersebut berisi informasi ataupun kabar yang baik dan bermanfaat. Dan banyak anggota yang terbantu dengan adanya pesan tersebut. Tapi saya kok kadang merasa kurang sreg saja.

Pertama, banyak yang sekedar copy-paste (copas) tanpa peduli kebenaran isinya. Kedua, banyak pesan berantai yang isinya hoax (info atau berita palsu dan tidak benar). Ketiga, kadang satu grup posting-an berantai diulang-ulang. Keempat, sering kali informasi penting dari admin malah terabaikan gara-gara banyaknya pesan berantai yang disebarkan.

Itu sih sebagian kecil dari rasa terganggunya saya akan banyaknya posting-an tanpa filter. Tentu tidak semua sependapat dengan saya....

Katakan Tidak ya, untuk Grup ODOP!

Saya cuma berharap agar pesan-pesan berantai tidak masuk ke grup baru saya ini. ODOP, cukuplah link ke tulisan di blog para peserta dan info-info dari admin. Itu saja sih, dari pada saya tidak menulis post di blog ini. Semoga judulnya membuat penasaran saja. Hehehe.

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa dikritisi di kolom komentar ya... Salam kenal buat para admin dan teman-teman peserta ODOP. Yuk, belajar menulis terus....

Kayaknya ODOP Ini Nih!


Menjadi seorang penulis. Itu cita-citaku. Atau tetap menulis di saat sedang berprofesi apapun. Intinya, menjadikan aktivitas menulis sebagai ruh kehidupan.

Tapi apa daya saat cita-cita itu berhadapan dengan kenyataan. Kesibukan kerja, mengurusi keluarga, kegiatan kemasyarakatan yang tidak ada habisnya? Wah... kegiatan menulis keok, gugur di tengah jalan.

Rasa Iri Memanggil

Saat mainan internet, buka media sosial, mendadak tertegun menyaksikan kawan maya yang selama ini kukenal juga suka menulis, eh tahu-tahu sudah pamer karya berwujud buku yang diterbitkan major. Wah, aku kemana saja? Iri sekali dengan kawan maya itu.

Belum lagi kalau main ke toko buku atau pun singgah ke perpustakaan. Melihat buku-buku keren bertebaran seperti mengejek kevakumanku dalam menulis. Oh, tidak...! Aku seperti harus berontak. Aku harus bisa menulis seperti mereka! Buku baru tebal ratusan halaman? Waw... kapan namaku tercantum sebagai penulisnya? Kapan?

Di jejaring sosial pun kerap kawan maya yang mengunggah capture karyanya yang dimuat di koran atau majalah. Aku iri dengan mereka. Dan rasa iri itu memanggil lantang. Ayo, kembali berkarya!

Yang Sulit Itu Istiqamah

Beberapa karyaku memang pernah berhasil tembus di majalah atau koran. Tapi itu sebatas 'pernah'. Dan yang kusayangkan, sulitnya menembus lagi. Mentok rasanya. Draft-draft tulisan mengendraft (mengendap maksudku). Ide-ide yang berseliweran kabur terbawa angin malas. Ah... sampai kapan terus begini?

Istiqamah atau konsisten dalam menjalani proses menulis adalah sesuatu yang sangat sulit, sukar, dan benar-benar tidak mudah. Seringnya justru kalah di tengah jalan. Apa yang harus aku lakukan?

Oh, Paksalah Aku!

Aku mulai berpikir, ini semua karena tidak ada yang memaksaku menulis. Padahal menulis butuh 'pemaksaan' agar terasah. Semakin banyak menulis semakin mendidik konsisten. Dan itulah yang mungkin kuperlukan.

Hari-hari berlalu. Lewat begitu saja. Beberapa blog yang kupegang pun terbengkelai. Postingan barunya mana? Aah... ayolah, siapa bisa memaksaku menulis?

Kayaknya ODOP Ini Nih!

ODOP? Ada pendaftaran ODOP? Apaan nih ODOP? One Day One Post? Begitu melihat info ini di Facebook, aku langsung coba googling dan mengunjungi web ODOP. Meski info tentang itu masih sangat minim yang kudapat dari internet, tapi aku berhasil menangkap apa sebenarnya ODOP itu.

Yang kutangkap, itu adalah wadah untuk konsisten menulis. Entah apa dan bagaimana metodenya, tampaknya aku harus ikut! Kayaknya ODOP ini nih yang kubutuhkan. Aku ingin menulis! Aku ingin terus menulis!

Nah, apakah persepsi dan ekspektasiku tentang ODOP ini bakal menjawab segala buntuku? Semoga inilah jalan itu. Welcome, ODOP! Semoga bisa lolos seleksinya. Aamiin...