Coretan Basayev: 2014

Putri Iklan


Turun dari metromini P11, bersamaan azan Magrib berkumandang. Langkahku serasa gontai. Capek luar biasa hari ini. Wajar, hari Minggu awal bulan. Lapak pakaian bekas pakai yang kujaga di Pasar Senen ramai pembeli. Kerja ekstra keras sesiang ini terbayar dengan lembaran rupiah yang lumayan.

"Rami1, Zal?"

"Alhamdulillah, Bang. Dapeklah rasaki labiah2 hari ini," jawabku tersenyum, begitu Bang Jon, bosku, datang mengambil uang omzet.

"Alhamdulillah. Sanang yo, Zal, kok manggaleh rami taruih3," kata Bang Jon seraya menerima uluran tas pinggang tempatku menyimpan uang hasil jualan.

"Abang ini, kayak baru saja berdagang. Namonyo manggaleh, ado kalanyo rami, ado kala juo langang. Iyo ndak, Bang?4"

"Lah pandai waang5 sekarang, Zal!"

"Iyo, samanjak ikuik karajo samo Bang Jon.6"

"Ini buat jajan waang7, Zal," kata Bang Jon menyerahkan upahku. Sepintas kulirik, ada lembaran biru di lipatan uang yang diselipkannya di tanganku.

Kuraba saku belakang celana jeansku. Lembaran pemberian Bang Jon masih di situ. Kuteruskan langkah kakiku bersemangat. Secapek apapun kalau ada hasilnya tetap menambah gairah hidup. Rezeki tetap harus disyukuri.

Sampai di perempatan yang jika belok ke kanan ke arah rumah kontrakanku dan jika ke kiri arah masjid, aku sempat berhenti sejenak. Ah, lama sekali tidak jamaah Magrib ke masjid, pikirku. Rasa syukurku barangkali yang akhirnya membelokkanku ke kiri.

Langkahku kian mantap begitu memasuki gerbang salah satu masjid besar di Kelurahan Sumur Batu ini. Langsung menuju tempat wudhu.

Selesai shalat, sesaat berzikir mensyukuri segenap kenikmatan. Capek mengajakku sesegera mungkin pulang ke rumah kontrakan.

Saat jalan pulang itulah aku berbarengan dengan seorang gadis yang juga baru keluar dari masjid. Ia terlihat terburu-buru. Sepintas kulihat wajah ayunya dalam balutan mukena. Ia berjalan mendahuluiku, rupanya rumahnya searah dengan kontrakanku. Tapi siapa dia? Baru sekarang aku melihatnya. Entahlah....

***

Ba'da Isya, aku nongkrong di depan rumah kontrakanku bersama Azam. Mendadak aku terusik oleh sosok tubuh ramping berkerudung yang berjalan dan berhenti di warung kelontong depan kontrakanku. Ah, gadis yang tadi....

"Cantik, ya, Zam...," komentarku tiba-tiba, sedikit berbisik.

"Siapa?" tanya Azam sambil mengikuti arah pandanganku. "Oh, cewek berjilbab itu? Namanya Putri, rumahnya masih se-RT sama kita, di ujung jalan dekat taman."

"Sok kenal kau, Zam?" sahutku.

"Emang aku kenal. Namanya doang. Baru dua hari ini di sini."

Gadis yang kata Azam bernama Putri itu terlihat membeli sesuatu dengan sedikit bingung apa yang akan dibeli. Aku jadi tertarik mengupingnya, karena memang jarak yang tak terlalu jauh. Bahkan aku yakin, obrolanku dengan Azam pun bisa jadi didengarnya. Terbukti gadis itu sempat melirik ke arah kami sesaat setelah Azam menyebut namanya tadi.

"Apa, Mbak?" tanya Mpok Atik, pemilik warung.

"Beli yang di iklan itu, Mpok. Apa namanya, ya?" Putri seperti mengingat-ingat. "Yang iklannya pakai joget-joget, bentuk produknya kayak jari tangan."

"Ini, bukan?"

"Iya, yang ini. Berapa harga, Mpok?"

Setelah mendapatkan apa yang ia beli, gadis itu berlalu pulang. Entah mengapa, mendadak ada debar aneh di hatiku.

***

Pagi cerah. Sudah mandi dan bersiap berangkat ke pasar. Duh, saban hari begini terus. Pagi berangkat kerja, pulang senja. Terkadang terasa sekali hambar jiwaku.

"Ada nggak, Mpok?" Suara gadis bernama Putri itu yang pertama kali mampir ke pendengaranku begitu kubuka pintu rumah. Pagi-pagi sudah ke warung tuh gadis.

"Yang ini, bukan?" tanya Mpok Atik memperlihatkan salah satu dagangannya.

"Bukan kayaknya, Mpok. Yang bintang iklannya Sule itu, lho!"

"Oo... ini dia," Mpok Atik mengambil lagi dagangannya yang lain.

"Iya, betul, ini, Mpok. Berapa duit?"

Ah..., gadis berkerudung itu. Lucu juga, ya, saban hari ke warung belinya aneh-aneh. Ada saja produk iklan di televisi yang dibelinya. Mana sampai warung masih perlu menjelaskan iklan yang dimaksud. Cantik-cantik, sayang korban iklan, batinku.

Aku menutup kembali pintu rumah. Menguncinya. Azam belum pulang. Anak Klaten itu kerja PT, dapat shift malam. Dia keluargaku serumah di Jakarta, satu kontrakan. Kami masing-masing membawa satu kunci rumah. Aku lekas melenggang meninggalkan rumah bersamaan HP-ku berbunyi.

"Aslm. Zal, amakmu sakit. Mak Etek baru bisa kasih obat warung. Sebaiknya kamu kirim uang saja biar Mak Etek bawa ke dokter."

Ah, Amak sakit lagi? Baru sebulan kemarin Amak sakit dan harus ke dokter. Amak..., sudah sedemikian sepuh engkau. Maafkan Buyuang yang harus jauh merantau.

Lekas kubalas SMS Mak Etek Yan, "Wslm. Iya, Mak Etek. Sampai di pasar nanti Zal mampir ke ATM. Tolong Mak Etek periksakan Amak. Maaf, merepotkan terus...."

***

Aku kembali shalat Magrib di masjid sepulang kerja. Waktu jalan pulang, terbersit harapan bisa menjumpai Putri lagi. Dan, memang gadis itu muncul dari pintu terdekat dari shof jamaah wanita. Ah..., setan menyusup, mengembus niat selain karena Allah. Ampuni aku ya Allah.

Putri tetap sama, berjalan terburu meninggalkan masjid. Jalan searah, kuikuti langkahnya sampai kupastikan di mana rumahnya.

Aku mampir warung nasi padang langgananku. Minta dibungkuskan nasi dengan dendeng balado. Segan makan di warung karena belum mandi. Tak lama kemudian, aku sudah berjalan pulang menenteng kresek kecil berisi makan malamku.

Ada SMS masuk. "Zal, amakmu sudah Mak Etek periksakan. Kecapekan saja kok, tidak usah khawatir."

Berbalas pesan dengan Mak Etek Yan, mengantarku sampai di rumah kontrakan. Alhamdulillah....

"Bukan, Mpok. Yang terbaru, iklannya juga baru nongol di tivi hari ini."

Duh, Putri sudah di warung depan kontrakanku. Produk iklan apa lagi yang dicarinya? Ah, masa bodoh, aku terlalu capek untuk menyimak obrolannya dengan Mpok Atik.

***

Aku baru terjaga dari ketiduran setelah shalat Subuh tadi. Suara ribut di luar sepagi ini. Lekas kubuka pintu dan keluar.

Terlihat Pak Hadi tetangga sebelah rumah, berjalan terburu bersama Mang Dadang dan Om Hasan.

"Ada apa, Pak?" tanyaku.

"Ada yang meninggal, Zal," sahut Pak Hadi. "Ayo, kesana sebentar. Satu RT kita, kok."

"Siapa, Pak?"

"Mamanya si Putri, Zal," yang menjawab Mang Dadang.

Mamanya Putri? Lekas kututup pintu dan mengikuti ketiganya. Ada perasaan yang mendorongku untuk sekedar ambil peduli pada gadis itu.

Mpok Atik juga keluar warung yang terlanjur dibuka. Berpesan pada Ujang, anaknya, untuk menjaga dagangan.

"Mamanya sakit apa, sih?" tanyaku. Maklum, meski se-RT, aku jarang tahu kondisi tetangga.

"Sudah jompo, kok, Zal," yang menjawab Mpok Atik. "Sudah pikun dan kena stroke. Tiap hari cuma duduk depan tivi. Putri itu anak dari suami pertama mamanya. Tadinya ia tinggal sama bapaknya di Bekasi. Belakangan ia diminta menjaga mamanya itu karena Desta, anak bungsu mamanya mendapat panggilan kerja ke luar kota."

Aku hanya mendengarkan saja cerita Mpok Atik yang meluncur berbarengan langkahnya. "Kalau jadi Putri, ogah aku suruh ngerawat sendiri orang jompo begitu," lanjut Mpok Atik. "Bayangkan, mamanya itu sudah jompo, kalau minta apa-apa musti langsung dituruti. Kayak anak kecil, tiap lihat iklan makanan di tivi maunya dibeliin. Anehnya Putri mau aja nuruti kemauan mamanya itu. Padahal setelah cerai sama suami pertamanya, Putri tidak pernah mendapat kasih sayangnya!"

"Sudahlah, Mpok!" Pak Hadi menyahut. "Orang sudah meninggal kok diributkan. Dosa!"

Aku tertegun mendengar cerocosan dari Mpok Atik. Putri yang tiap ke warung membeli produk yang diiklankan di tivi itu..., ah mulia sekali hatinya.

Terhempas tiba-tiba, aku jadi ingat hubunganku dengan Amak. Beliau yang memaksaku merantau ke Jakarta. Amak selalu membandingkanku dengan tetangga yang sukses di Jawa. Hingga muncul keinginanku ke Jawa berambisi memamerkan kemampuan merantau pada wanita yang melahirkanku itu. Meski sampai delapan tahun aku tinggalkan Bukittinggi, belum ada tanda-tanda aku jadi orang sukses. Aku masih jadi kuli orang!

Aku dan Putri. Dua potret yang berbeda.

***
1ramai (Bhs. Minang)
2Dapatlah rezeki lebih
3Senang ya, Zal, kalau jualan ramai terus
4Namanya jualan, ada kalanya ramai, ada kala juga sepi. Iya tidak, Bang?
5Sudah pintar engkau
6Iya, sejak ikut kerja Bang Jon
7kamu


Dimuat di Majalah Ummi edisi Maret 2014

Lampu Merah


Jon Koplo senang sekali karena banyak hafal lagu yang diajarkan ibu gurunya di TK. Salah satu lagu kesukaannya adalah lagu Lampu Merah. “Lampu merah tanda berhenti, lampu kuning berhati-hati, lampu hijau boleh berjalan… dst,” begitu Koplo berdendang.

Sore hari, bocah warga Dukuh Candi, Ngreco, Weru, ini berangkat TPA di masjid. Saat itu, Tom Gembus yang mengajar ngaji mengajak para santrinya menghafal nama nabi dengan melantunkan lagu 25 Nabi.

“Bagus, dengan nyanyi gampang ta ngapalke nama nabi?” kata Tom Gembus. “Sekarang, siapa yang berani maju nyanyi sendiri?”

Saat itulah Jon Koplo mengacungkan jari. Gembus meminta Koplo maju di depan teman-temannya. Gembus kagum juga ternyata Koplo yang masih TK gampang menerima apa yang ia ajarkan.

“Satu, dua, tiga…!” Gembus memberi aba-aba agar Koplo segera menyanyi.

Koplo bernyanyi dan semua yang ada di masjid tertawa riuh. Gembus juga tak bisa menahan geli. Bagaimana tidak lucu, ternyata Koplo bukan menyanyikan lagu 25 Nabi, melainkan “Lampu merah tanda berhenti…!

Dengan perasaan tanpa dosa, Jon Koplo terus bernyanyi sampai selesai, tanpa peduli mengapa teman-temannya tertawa. Namanya juga anak-anak.

Dimuat di harian Solopos edisi 12 Maret 2014

COD Kadohan


Sekarang lagi ngetrend-ngetrend-nya jual-beli secara online lewat jejaring sosial. Jon Koplo tak mau ketinggalan. ia beberapa kali menawarkan barang dagangan lewat akun Facebooknya. Pembeli bisa menawar lewat Facebook juga. Kalau harganya sudah deal, Koplo dan pembelinya bisa ketemu untuk pembayaran dan penyerahan barang. Istilah kerennya COD (Cash on Delivery).

Kali ini, Jon Koplo menawarkan HP kesayangannya. “Yang minat bisa COD di Alun-alun Sukoharjo,” tulisnya di Facebook. Koplo aslinya Weru, tapi karena sering ke Sukoharjo maka dia menjadikan Alun-alun sebagai lokasi favoritnya untuk COD karena letak yang strategis.

Tak lama, akhirnya ada calon pembeli yang menawar HP-nya dan deal harga. Koplo berangkat ke Sukoharjo untuk ketemu.

Tom Gembus yang menjadi calon pembelinya belum juga datang. Koplo tetap menunggu sampai Gembus tiba di Alun-alun.

“Maaf, Mas, agak terlambat,” Gembus meminta maaf.

Nggak apa-apa. Memangnya rumah sampeyan di mana?” tanya Koplo.

Kula Tawangsari, Mas.”

Koplo terkejut. “Woalah, Mas. Jebul wong Tawangsari ta. Omahku Weru, Mas. Mending COD neng Tawangsari luwih cedhak. Tiwas janjian neng Alun-alun Sukoharjo.”

Gembus juga terkejut. “Woalah… jebule COD kadohan iki, Mas!”

Keduanya tertawa, menertawakan kebodohan sendiri. Salahnya nggak nanya alamat dulu.

Dimuat di harian Solopos 21 Desember 2013

Sire Meh Ngirit


Dampak kenaikan BBM adalah naiknya seluruh kebutuhan hidup. Hal itu juga yang dialami keluarga Lady Cempluk, seorang janda yang tinggal bersama anaknya, Jon Koplo, di dukuh Sidowayah, Ngreco, Weru, Sukoharjo. Suatu hari, untuk melakukan pengiritan, Cempluk berniat memasak menggunakan kayu bakar.

“Kalo tiap hari masak pakai majikom  kan pake setrum, jadi pajak listriknya mahal. Biar sedikit irit, aku masak pakai kayu bakar saja, gampang dapatnya!” kata Cempluk ngomong sendiri sambil menyalakan tungku.

Sementara itu, Jon Koplo yang semalam tidak tidur di rumah, saat pagi tiba, ia sampai di rumah. Ia melihat majikom ternyata kosong, tidak ada isinya. “Simbok belum masak, sebagai anak yang baik, aku akan membantu Simbok,” niatnya ikhlas. Lalu, Koplo mengambil beras, mencucinya dan lekas memasaknya di majikom.

Lady Cempluk yang nongol dari dapur melihat majikom menyala segera membuka dan menjumpai nasi setengah matang di dalamnya. Ia lekas berteriak memanggil anaknya, “Koplo, siapa yang menyuruh kamu masak nasi?”

Koplo datang tergopoh-gopoh. “Bantu Simbok, Simbok lupa belum masak, ta?”

Oalaah, Koplo… Koplo! Simbok mau ngirit masak pakai kayu, eeehhh malah kamu masak lagi pake mejikom! Ini pemborosan! Nggak tahu apa-apa mahal kamu ini!”

Koplo plonga-plongo diomeli ibunya. Wo, jebul, Simbok wis masak ta? Woalah…

Dimuat di harian Solopos edisi 20 Januari 2014

Keunikan Taaruf yang Mengesankan


Judul : Taaruf Lucu dan Berkesan
Penulis : Anas Rumahbaca, dkk
Penerbit : Elex Media (Quanta)
ISBN / EAN : 9786020208022 / 9786020208022
Tebal :  172 halaman
Berat : 185 gram
Dimensi : 210 mm x 140 mm
Tanggal terbit : Rabu, 27 Maret 2013
Harga: Rp 32.800

Taaruf adalah pilihan bagi orang yang ingin menikah tanpa diawali pacaran. Dalam proses perkenalan dengan calon yang diharapkan nantinya menjadi pasangan hidup, ternyata banyak sekali peristiwa unik, lucu dan sangat mengesankan dialami para pelaku taaruf. Dan keunikan itulah yang berhasil dibingkai dalam buku ini.

Ada 10 kisah seputar taaruf yang ditulis oleh 10 penulis dengan masing-masing karakter, gaya bercerita dan kesan yang berbeda-beda. Kesemuanya menjadi warna unik dalam buku ini.

Kisah pertama merupakan pengalaman seorang ustaz yang sangat grogi ketika mengisi kajian yang pesertanya mayoritas akhwat, yang mengantarnya pada sebuah proses taaruf tak terduga. Disusul kisah seorang perempuan yang menumpang bus Damri tiba-tiba didatangi lelaki mualaf yang mengajaknya taaruf dan tanpa basa-basi langsung menyodorkan map proposal nikah berisi biodata lengkap dengan surat sertifikat rumah dan mobil. Kemudian kisah taaruf ekspres di KRL Ekspres. Kisah lucu tentang gadis yang diminta saudaranya menemui calon suami yang mengajak taaruf di sebuah taman hanya berbekal ciri berkemeja biru, hingga ia salah sasaran 2 kali. Atau perkenalan yang diwarnai suara kentut dari salah satu pelaku taaruf gara-gara keasyikan menyantap makanan bersama. Dilanjutkan sebuah kisah taaruf yang hampir sampai di ujung khitbah ketika ketahuan salah satu pelaku taaruf berbohong soal umur. Kemudian kisah ikhwan yang mengikuti kajian dengan niat mencari jodoh.

Tak ketinggalan, ada akhwat yang taaruf dan menyampaikan syarat agar tidak dilarang menonton bola. Kemudian kisah gadis yang hampir menolak calon gara-gara rambut gondrong. Diakhiri kisah keikhlasan seorang akhwat dilangkahi adiknya menikah, hingga berbuah kebahagiaan di akhirnya.

Karena buku ini menyajikan kisah-kisah nyata yang terkadang ada sedikit berbau pacaran, maka diberi kesimpulan berupa rambu-rambu dalam bertaaruf yang benar dan sesuai syariat Islam.

Buku ini sangat menghibur dan bisa menjadi pembelajaran ringan bagi yang mau menjalani taaruf. Cukup lucu dan sangat mengesankan.

Alhamdulillah, Cerpen Keduaku di Majalah Ummi (Maret 2014)

Maret 2014 menjawab penantianku lebih dari sebulan belakangan ini. Ya... akhirnya penuh syukur kusambut juga kiriman lewat Pak Pos.

"Yah..., nih...," istriku menyodorkan majalah Ummi edisi Maret 2014 padaku. Pas aku baru sampai di rumah sepulang kerja.

Penantian bermula saat aku dapat SMS dari redaksi Ummi, 16 Januari 2014 lalu:

Ummi : "Assalamu'alaikum. Mhn konfirmasinya apakah cerpen putri iklan sudah dikirim ke media lain. #Redaksi Ummi#"
Aku : "Waalaikumussalam. Belum dikirim dan blm pernah publish di media lain. Apakah akan dimuat di Ummi?"
Ummi : "Insya allah akan dimuat di majalah ummi edisi februari"
Aku : "Alhamdulillah...."

Tunggu punya tunggu, bulan Februari tiba. Tak ada kabar apa-apa. Nanya temen yang langganan Ummi, ternyata cerpen yang dimuat bukan cerpenku. Kok bisa, ya?

Tanggal 5 Februari aku SMS Ummi.

Aku : "Assalamualaikum. Apakah cerpen saya tdk jd dimuat di Ummi? SudenBasayev (cerpen Putri Iklan)"
Ummi : "Wa'alaikumussalam wr.wb. insya allah akan dimuat bln maret."
Aku : "Oke, kmrn salah informasi dr redaksi, saya cek di ummi februari ternyata blm ada. Syukron infonya."
Ummi : "Ok, mohon maf ya."
Aku : "Iya, gak apa2, Umm. :)"

Tara... penantian terjawab! Majalah Ummi edisi Maret 2014 sudah di tangan. Memang pelayanan Ummi bagus sekali, setiap cerpen dimuat, pasti penulis dikirimi 1 eksemplar bukti terbit.

Tak sabar lekas kubuka majalah itu. Dan, alhamdulillah di rubrik cerpen memang cerpenku yang dimuat, berjudul Putri Iklan. Mau tahu ceritanya? Beli dong majalahnya....

Ini sebenarnya bukan cerpen yang sengaja kukirim untuk rubrik cerpen di Ummi. Tapi adalah cerpen yang kuikutkan lomba cerpen yang diadakan Ummi tahun kemarin.

Cerpenku tidak beruntung, tidak masuk nominasi. Tapi sesuai janji Ummi, naskah yang layak muat akan diterbitkan di majalah Ummi. Dan, meski aku sudah tidak begitu berharap, eh... ternyata nasib baik masih menyapa.

Dan... cek rekening BCA-ku, alhamdulillah honor sudah dikirim sejak tanggal 3 kemarin. Alhamdulillah....
Jumlahnya? Hm... naik lho, jadi 350 ribu. Bikin semangat nulis lagi!!!