Belum pernah aku mengalami keresahan sekalut ini. Sangat menegangkan.
Detik-detik
waktu teramat lambat berjalan. Seperti tersedak di helaan nafasku yang
tak beraturan. Saat seperti inilah aku benar-benar merasa memerlukan
Allah. Hanya Dia yang mampu membantu.
"Duduklah, Nak,"
bapak-bapak yang melihatku mondar-mandir di ruang tunggu ini mencoba
menawariku sambil menepuk-nepuk bangku panjang yang hanya didudukinya
seorang. Ia berhenti membaca koran yang sedari tadi menemaninya.
"Makasih, Pak," aku hanya mengangguk padanya sambil coba tersenyum. Tapi kentara sekali aku gugup.
"Anak pertama ya?" tanya bapak-bapak itu menebak.
Aku
hanya mengangguk. Mataku menatap ke pintu tertutup yang belum juga ada
tanda-tanda akan dibuka. Meski lamat, aku masih bisa mendengar suara
erangan mengejan Ifani-ku. Juga suara Ibu menyemangati dan menguatkan
menantunya itu.
"Dulu, saya juga sepanik kamu, Nak," bapak itu berkata lagi, "Hanya Allah tempat bermohon."
"Iya,
Pak," aku mengangguk. Aku tahu, Ifani sedang berjuang antara hidup dan
mati demi kelahiran jabang bayi anak pertama kami. Kuatkan dia ya
Allah...
Di benakku terbayang garis bibir Ifani-ku itu.
Bibir yang selalu menghias senyum terindah itu kini sedang mengeluarkan
rintihan. Rintihan kesakitan yang hanya bisa dirasakan kaum ibu. Erangan
yang mampu mengagungkan derajat wanita pada titik tertinggi. Sebuah
medan jihad yang hanya diperuntukkan bagi keturunan Hawa...
Aku memaksa diri untuk menenangkan batin dengan duduk di samping si bapak-bapak.
"Yakinlah, semua akan baik-baik saja," orang tua itu berusaha menenangkan hatiku.
Aku menghela nafas setenang mungkin.
"Saya
baru saja menerima anugerah cucu ke tiga, Nak. Anak pertama dari bungsu
saya. Kemarin suaminya juga sepanik kamu. Itu sangat wajar karena
merupakan sesuatu yang baru dalam hidup kalian. Tapi dengan keyakinan
dan pasrah pada Allah, semua akan berjalan lancar..."
Aku hanya mengangguk. Otakku belum bisa mencerna semua kata-kata itu dengan baik. Aku masih benar-benar dalam kekalutan teramat.
Ifani,
gadis pilihan hatiku yang akhirnya kunikahi hampir setahun yang lalu.
Kini dia sedang menahan sakit di hadapan bidan yang membantu
persalinannya. Ya Allah, beri kekuatan pada isteriku itu...
***
Aku
mengenal Ifani ketika sedang KKN di sebuah desa kecil di kawasan Gunung
Kidul. Pertama melihatnya saat aku dan beberapa teman KKN hendak ikut
partisipasi di masjid kampung yang menyelenggarakan kegiatan rutin
mengajari anak-anak membaca Al Quran atau yang lebih dikenal dengan
sebutan TPA.
Kami datang terlambat beberapa menit. TPA
sudah dimulai, beberapa remaja yang peduli kemajuan kampung mereka
tampak disibukkan menyimak dan mengenalkan huruf-huruf hijaiyah melalui
sarana buku iqra.
Teman-teman KKN yang putri langsung
membaur ke kelompok remaja putri yang mengampu anak-anak perempuan
dengan jilbab-jilbab lucu mereka. Aku sendiri bersama teman-teman KKN
putra sudah disibukkan dengan menyimak bacaan iqra bocah-bocah TPA yang
putra.
Kelar menyimak bacaan salah satu anak, lalu
kuberikan tugas menyalin tulisan Arab dari buku iqra padanya. Menunggu
si bocah menyelesaikan tugas, kulepas pandangan mengitari ruangan masjid
kampung ini. Lumayan besar meski bangunannya sudah tua. Empat tiang
penyangga masjid ini terbuat dari kayu jati asli. Kokoh dengan ukiran
tangan orisinil memberi nuansa klasik pada bangunan suci ini.
Tak
sengaja mataku menemukan pemandangan yang sangat mengusikku. Mengusik
segenap hati dan perasaanku. Menimbulkan getaran yang sangat aneh.
Memberi debar dengan birama misterius pada hatiku. Sebuah pemandangan
sempurna bagi mata manusia-ku. Yah... Aku menyaksikan senyuman sempurna
itu. Senyuman bidadari...
Dia sedang menyimak hafalan juz
amma beberapa anak. Senyum puasnya saat memastikan hafalan si anak-anak
benar tampak menghias di bibirnya yang, subhanallah, sangat sempurna
menurutku. Bibir yang menghiaskan senyum itu sama sekali alami, bibir
yang barangkali tak pernah mengenal gincu atau lipstik. Tapi senyuman
yang merekah di situ sangat sempurna. Senyum yang akhirnya kusebut
sebagai senyum bidadari... Belum pernah kulihat sebelumnya.
"Hei, tundukkan pandangan, Ris!" teguran berbisik dari Labib menyadarkanku.
Aku
sedikit tersipu ketahuan melirik ke pemilik senyuman bidadari itu. Agak
gugup saat kucoba senyum ke Labib, "Hehe, sori, Bib. Tapi makasih udah
ngingetin."
Itu momentum pertama yang sangat berkesan
bagiku. Aku merasakan sedang jatuh cinta. Ya, aku telah jatuh hati pada
gadis kampung pemilik senyum menawan itu. Ifani, demikian orang tua si
gadis memberi nama padanya. Nama unik yang bagiku menambah menarik!
Robbana... Aku benar-benar kesengsem padanya.
Selama KKN
di kampung Ifani, entah mengapa aku merasa sangat bersemangat. Aku ingin
bersama teman-teman bisa memberi arti keberadaan kami di kampung ini
dengan turut aktif dalam semua kegiatan kemasyarakatan. Penyuluhan
tentang teori bertani yang benar, atau penyuluhan kepada para remaja
tentang kemungkinan tantangan zaman yang mau tidak mau pasti akan masuk
juga ke kampung terpencil ini.
Kami juga mengupayakan
pembuatan sumur warga yang memiliki sumber mata air terbanyak agar dapat
membantu persediaan air bersih bagi warga di kampung yang identik
dengan kekeringan ini.
Satu yang tak pernah aku tinggalkan adalah menghadiri kegiatan rutin TPA setiap dua hari dalam seminggu di masjid kampung.
"Jangan kotori niat, Ris," Labib mengingatkan. "Hati-hati juga, jangan sampai nama baik almamater tercemar dengan sikap kita."
Aku
mengerti. Kampung Ifani masih sangat terpencil, berarti juga sangat
sensitif. Bayangkan andai nanti sikap ketertarikanku pada si pemilik
senyuman bidadari itu bisa menjadi fitnah.
Benar kata
Labib, niatku partisipasi membantu dalam kegiatan TPA ini harusnya
lillahi taala, tak boleh diniatkan untuk yang lain, termasuk keinginan
menjumpai senyuman pengganggu jiwaku itu. Senyuman bidadari Ifani!
Suatu
kali. Kegiatan TPA berakhir tapi mendadak hujan turun dengan sangat
derasnya. Kami menahan anak-anak TPA agar jangan nekat pulang. Tak
mungkin kami biarkan mereka hujan-hujanan. Untuk menarik perhatian
anak-anak kecil itu, Labib mendaulatku untuk menunjukkan keahlianku
bercerita.
Anak-anak tampak antusias mendengarkan
ceritaku. Aku berkisah tentang Abu Nawas dengan segala kecerdasan dan
kecerdikannya. Mereka tampak sangat menikmati ceritaku.
Tak
hanya anak-anak, para remaja yang tadi mengajari membaca iqra pun,
tampak ikut terbawa dengan suasana penceritaan yang kusajikan. Mereka
turut tersenyum salut dengan kecerdikan Abu Nawas saat berulang kali
mampu lepas dari jebakan hukuman dari Raja Harun Ar-Rasyid. Dan... di
sudut sana, tampak Ifani dengan senyuman rupawannya juga ikut menikmati
ceritaku. Entahlah, hatiku berseru girang karenanya. Semoga ada nilai
plus diriku yang bisa ditangkapnya. Ah, ada secuil pengharapan membuncah
di dadaku. Ifani...
Hujan reda usai kami jamaah sholat
Maghrib. Saat perjalanan pulang, Muslimah, mahasiswi ketua kelompok
putri, sempat berbincang denganku.
"Gaya berceritamu bagus, Ris," ia memulai dengan sebuah pujian.
"Biasa aja, Mus. Rata-rata anak sastra mampu bercerita," aku merendah. Dan memang tak perlu merasa tinggi untuk hal itu.
"Tau
nggak, ada remaja putri yang bilang salut dengan gayamu. Apalagi kamu
benar-benar bisa mengajak semua anak TPA masuk ke ceritamu."
"Ah, jangan berlebihan, Mus. Nggak baik seperti itu."
"Iya. Tapi kamu tau nggak, yang bilang gitu siapa?"
"Emang siapa?"
"Ifani, Ris."
Deg. Jantungku berdegub kencang.
"Kenapa, Ris?"
Aku lekas menggeleng. "Apa yang kenapa?"
Muslimah sedikit mencibir. Lalu ia berkata seperti bergumam sendiri, "Benernya Ifani tuh cantik ya, Ris."
"Ya iya, cewek. Kalo cowok ya ganteng," sahutku asal.
"Tapi beda, Ris."
"Apanya?"
"Ia sangat istimewa."
"Apa istimewanya?"
Muslimah tertawa kecil. "Tuh, kan penasaran," godanya.
"Au ah. Kamu juga yang mancing."
"Kenapa kamu terpancing?"
Ah, Muslimah ini kenapa? Ada yang tidak beres nih dengannya...
"Kamu kenapa sih, Mus?" tanyaku.
"Nggak kenapa-napa. Cuman muji Ifani. Emang kamu nggak sepakat dengan pujianku?"
"Aku sih nggak begitu mengenalnya. Kan kalian dari mahasiswi yang lebih dekat dengannya."
"Ya udah. Aku ceritain tentang Ifani. Dia tuh hebat. Istimewa."
Ini sebenarnya yang kutunggu. Bisa kenal gadis itu lebih jauh. "Dari tadi kamu bilang istimewa. Apa yang istimewa?"
"Kamu tahu, Ris, dia hafal Juz Amma dan juz 29."
Aku sedikit terhenyak tak percaya. "Masak sih?"
"Iya. Kami sering menyimak ia murajaah. Hafalannya sangat bagus."
Aku makin terpana, tapi coba kututupi. Jaga gengsi.
"Sejak kecil Ifani senang mendengarkan Ibunya membaca Quran dan menghafal bacaan suci itu."
Luar biasa.
"Gimana, Ris? Makin tertarik?" Muslimah mengerlingkan mata.
"Maksudmu?"
Muslimah mesem-mesem. "Aku udah tau kok, Ris. Kamu menyukai Ifani kan?"
"Hey, kata siapa?" tanyaku cepat.
"Ehem. Cinta itu seperti batuk," sahut Muslimah, "Tak bisa disembunyikan."
"Ah! Ngomong apa sih, Mus. Nggak enak kalo didengar warga. Kampung ini masih sangat sensitif, bisa menjadi fitnah."
"Iya. Aku tau. Tapi kan kalo kamu emang cinta dia..."
"Cinta apaan sih, Mus. Belum-belum sudah ngomong cinta!" lekas kupotong kalimat Muslimah.
"Bukan
apa-apa, Ris. Ya udah lah, kamu pikirkan sendiri aja. Yang jelas, Ifani
itu istimewa. Satu antara seribu. Kamu mau ngelewatin gitu aja?"
Muslimah akhirnya menyudahi semua.
Tapi jujur, obrolan itu
benar-benar berpengaruh pada diriku. Aku jadi lebih sering memikirkan
tentang Ifani. Iya, benar kata Muslimah, gadis kampung itu teramat
istimewa. Aku mengakuinya. Tapi, apa yang harus kuperbuat? Bilang pada
gadis itu kalau aku..., hehe, jangan. Aku belum siap menikah. Bilang
cinta artinya siap melamar, itu prinsipku.
Tapi rasa itu
makin menjadi. Apalagi tiap TPA aku sayup-sayup mendengarkan Ifani
melantunkan bacaan Quran membetulkan hafalan anak-anak yang kadang salah
panjang-pendeknya. Atau kurang tepat makhraj dan tajwidnya. Gila, aku
makin terpikat, kawan!
Tapi aku tak berani bersikap apapun.
Banyaknya
aktivitas kemasyarakatan sedikit membantuku untuk melalaikan ingatan
pada Ifani. Kesibukan dalam tugas pengabdian cukup menyita waktuku dari
sekedar melamunkan indahnya senyum Ifani.
Tapi tiap jelang
tidur malam, tak jarang mata ini susah kupejamkan. Senyuman bidadari
itu sering mengusik. Robbana... Apa yang musti hamba lakukan?
Untungnya,
jatah KKN yang tak lebih dari dua bulan habis juga. Untung atau malah
rugi ya? Waktu KKN habis berarti aku tak kan lagi terganggu dengan
senyuman itu. Tapi juga berarti, aku "kehilangan" harapan pada gadis
itu... Kuserahkan semua padaMu ya Allah.
Tiba waktu perpisahan itu...
Suasana
sangat mengharukan mengiring upacara pamitan dan perpisahan kami dengan
warga kampung Ifani. Yang bagiku terasa gila adalah tindakan Muslimah
yang mempertemukanku dengan Ifani di pendopo balai desa beberapa saat
jelang kami meninggalkan kampung ini.
"Ifani, ini Haris," Muslimah berbisik pada Ifani.
Ifani mengangguk. Lalu tersenyum indaah sekali... Robbi, senyuman bidadari itu dia sunggingkan hanya teruntuk aku...
"Mas Haris...," ya Allah, ini pertama kali ia berbicara padaku, menyebut namaku...
"Ya, Ifani. Em, sebentar lagi kami akan meninggalkan kampung indah ini."
"Saya
ingin berterima kasih pada Mas Haris dan semuanya. Semoga semua masih
selalu sempat mengingat kami. Paling tidak kirimlah kabar sepulang dari
sini."
"Insya Allah. Kami juga sangat senang bisa KKN di kampung ini."
Muslimah menyentuh tangan Ifani. Lalu terdengar mahasiswi kedokteran itu bicara, "Ifani, kami pasti mengenang kalian."
Ifani mengangguk senang dan tersenyum lagi. Duh...
"Dan," Muslimah melirikku, "Semoga ada alasan bagus yang bisa memaksa kami kembali berkunjung ke kampung ini..."
"Maksud Mbak?" tanya Ifani tak paham.
"Ya...
Barangkali ada hati yang tertinggal di sini...," Muslimah menembakkan
kalimatnya ke jantungku yang langsung berdetak kencang.
***
Tangis bayi yang keras menyentakku. Ifani telah menuntaskan jihadnya!
"Anak pertamamu lahir, Nak...," si bapak menepuk pundakku. Lalu menyalamiku, "Selamat menjadi bapak."
Aku mengangguk cepat. "Alhamdulillah, ya Allah..."
Tak lama, aku sudah masuk ke tempat Ifani berbaring lemah. Mukanya pucat tapi ia sudah kembali dengan senyuman bidadarinya.
"Dek, putri kita cantik sekali," kukecup kening bayi merah yang kutimang. Bahagianya hatiku.
"Tentu.
Ia mewarisi kecantikan Ibunya dong," Ibuku yang menyahut. Beliau duduk
di sisi pembaringan Ifani. Disekanya keringat yang masih menempel di
kening sang menantu.
"Bawa kemari, Mas," Ifani meminta kudekatkan si kecil yang tampak tenang. Kuturuti kemauan isteriku ini.
"Dek, bibir putri kita sama persis dengan bibir Adek, ia mewarisi senyuman Adek."
Ifani tersenyum. Kuraih tangannya.
"Adek
bisa melihatnya, kan?" kubawa jemari tangan lembut Ifani-ku ini untuk
menyentuh wajah dan bibir putri kami yang masih merah.
"Iya,
Mas... Adek seperti meraba wajah Adek. Juga bibirnya...," Ifani terus
meraba wajah lembut bayi kami. Karena hanya dengan rabaan jemarinya ia
bisa menyimpulkan bagaimana bentuk fisik segala sesuatu yang ada di
jangkauan tangannya.
Aku terharu. Ia menikmati rabaan itu
sebagaimana ia dulu menikmati meraba wajahku di malam pertama pernikahan
kami untuk mengenali bagaimana rupaku. Sementara matanya tetap menatap
dunia kosong karena Allah menyimpankan sepasang indera penglihatannya
itu di surga dari semenjak Ifani lahir ke dunia ini.
Kutarik jemari isteriku ini. Kukecup penuh sayang.
"Mas, Adek belum puas meraba wajah putri kita..." protesnya manja.
Cerpen ini duluuuu pernah dimuat di Annida Online tertanggal 28 Juni 2010